Laman

Tonggak

Minggu, 05 Oktober 2014

Ahmad Faisal Imron: MALIUN HAWA





 Data buku kumpulan puisi



Judul : Maliun Hawa, Sajak-sajak 1998 - 2006

Penulis : Ahmad Faisal Imron

Penerbit : Komunitas Malaikat, Bandung.

Cetakan : I, Juni 2007

Tebal : ix + 113 halaman (56 puisi)

ISBN : 978-979-16522-0-9

Editor : Acep Zamzam Noor

Desain cover : Cev Abeng

Lukisan cover : Ahmad Faisal Imron

Foto : Gus Bebeng

Tata letak : Roh Anna



Beberapa pilihan puisi Ahmad Faisal Imron dalam Maliun Hawa



Maliun Hawa



setelah itu

kau datang padaku

membawa sebuah parodi

yang tak terduga



bahwa masih di kamar ini

selain puisi, lukisan jingga atau peninggalan Suri

hanya ada seruling kuno, sayap coklat cendrawasih

jarum jam yang kelam atau bunga abadi

yang tak pernah kurelakan pada siapa pun



setelah itu

setelah kau datang padaku

membawa Maliun Hawa

kesedihan yang sempurna



maka lengkaplah

langit di awal Maret ini, seperti pula

detak jantung kita yang membosankan

lebih kelam dari nilam manapun

atau lebih kudus dari lelehan purnama



sabarlah, di luar, tuhan begitu bersayap



dan tak mungkin membiarkan sukma kita menggigil

hujan adalah bahasa lain dari kesedihan itu

namun matahati kita selalu mengira

bahwa purnama yang tenang dan kembali menghilang

bahwa bunga-bunga yang tumbuh dan berguguran kemudian

bukanlah isyarat dari suatu kefanaan



yang semakin menyiksa

melupakan segalanya



tapi kau selalu mengatakan, di luar langit masih berdarah!



1999






Hari Ke-9



bukit kecil itu milik Adam sepenuhnya



inilah situs terakhir

yang mengingatkan kita

selalu pada cinta



pada hari ke sembilan

pada jam yang tak tertahan

langit seperti dinding cadas

dan pasir hanya bias



orang-orang telah memulainya dengan bismillah

wajahnya memerah, tiba dari arah yang resah



musim dingin dan suara beribu-ribu bendera

saling mengekalkan diri di udara



di atas pasir tanpa ujung ini

tak dapat kuhitung berapa juta manusia

yang pernah menangis dan menyerahkan sepenuhnya

padamu, bergamis putih dan semampai



sebelum malam

yang luas, ruang di mana

segala penciptaan ada



2005





Surat Api



dari selembar surat ia meminta sebuah negeri

tubuhnya yang bengkak, rambutnya yang miskin

namun bergairah ketika membikin nyala api



telah kusediakan minuman dari buah pohon narjil

warna merah air pada sebuah cangkir keperakan

diingatnya sekali lagi instalasi dalam bentuk kotak-kotak

dan seperti di sini, di mana harkat manusia terkotak-kotak



telah datang berdua, bergegas dari ujung desa

bagai sepasang biksu, mereka begitu khusyuk



memahami sesuatu

pada sehelai daun pisang

dan mulai menyadari

bahwa di sini, malam

bagai seribu duri



pada balkon ingatanmu

ingin kutitipkan berpetak-petak sawah, benih-benih kina

hamparan putih ombak negeri, cangkul coklat para petani



dulu, kita bakar jantung sendiri

menarikan pena pada lingkaran api

tapi ternyata luluh oleh keadaan

oleh sebuah jeritan



sabarlah, di luar warna hitam itu masih menari-nari



jika pada saat ini kau akan pergi dengan sebuah teka-teki

bagaimana mungkin dapat kupersembahkan padamu:



angin yang segar, dunia khayalan, bayang-bayang ibumu

sejak ia meninggalkan nama di kota yang agung

sejak kau masih dalam suasana yang serba terjangkau

tak dapat terlepaskan, kenyataan yang memang

membikin rongga dada berantakan



tak ada teks-teks lain untuk perubahan semacam ini

selain keyakinan agar selalu mengimani ujung belati!



2001





Walantaka



di jalan itu ada banyak kerikil

kerikil serta cahaya bulan

seseorang menyandarkan cintanya

pada kekosongan



dan malam, di musim seperti ini



di sawah-sawah yang keruh, di air yang kusut

ketika gumpalan awan membeningkannya kembali

dengan menyimpan bayang-bayang putihnya di situ



angin dan daun-daun

seperti hendak berlindung ke utara

Walantaka amatlah jauh

kau hancur dalam kegelapan



bagai bau jenazah, abadi di hembusan udara

tercium olehku aroma daun kemboja, malam itu

dingin seakan mengusir orang-orang bersemedi

sebuah cahaya pun mengendap di sebuah tikungan



tapi kau datang

dengan niat yang jantan

lambung yang hampa

pikiran-pikiran baru

sebuah hitungan ganjil



barangkali kehidupan mesti dimulai dengan rongga terbuka

keranjang-keranjang kosong serta mata bagai elang merana



di tanah ini

telah kutemukan cermin sunyi

bentuk bahasa yang cantik

kebiruan yang terbentang



atau sesuatu yang tak mungkin menjadi tanda seru



ketika di tubuh merah api kembali bergemuruh

ketika mengantarmu ke arah matahari menyerah

ada pasar dan majlis-majlis yang riuh di pagi hari

kaligrafi bumi yang miring, hari-hari yang lipur

jalan-jalan bergelombang bagai bentuk dadamu



setelah ritual dimulai

setelah kitab itu menjadi milik kita



setidaknya, kita dapat menafsirkan kehdiupan ini

dengan tetesan darah atau deraian airmata

cinta yang sanggup melelehkan batu-batu di angkasa



1998





Tasik dan Sebatang Pohon



bahkan di situ

di antara garis lengkung, bercak-bercak kelabu

orang-orang membandingkan warna tubuhnya



mungkin wangi gerimis

pada senja yang mulai merangkak

menjulur bagai selendang Balqis



berdua, pada hari ketika ufuk bara

berpihak ke kampungmu

seseorang dengan pontoh dan paras teraniaya

nama samaran yang lugu

sebuah ungkapan Cina dahulu

hilang ingatan saat menikmati sebuah alunan



warna asar pun bergegas



setiap kali

kuingat bayang-bayangmu

kuingat mawar yang dulu terbakar

tempurung kelapa dalam jala

sisa potongan rambutmu

benar-benar abadi di sini

dekat ilusimu sendiri



Dimar, barangkali ada kalanya pertemuan tiba

sementara biarlah ia mengilhami seluruh kata-kata

sebab cinta hanyalah secarik prosa kehidupan

yang tak terduga



setiap pagi mimpimu disentuh ratusan zohar

mungkin berbunga, mungkin luluh bersama bunga-bunga

tadi malam, setelah kuterima wejangan penuh pancaran

siapa yang kemudian memerahkan wajahmu itu?



senja biru yang mulai kekuning-kuningan

yang mulai digemari langit

dalam tubuh awan, melumuri kusam tubuhmu

memar di ujung alis mataku

ada burung malam di antara semilir angin

di situ kegelisahanmu nampak lebih telanjang

menjalar tak tergenang



gelap yang kembali meratap

dibiarkan berlalu, sehabis rasa pilu



sempurnalah anganmu

menyerap torso-torso yang meleleh

sisa pembakaran yang masih terasa

di bawah satu-satunya pohon



sementara waktu tak pernah bersifat remang

ia lebih lempang dari bentuk bayang-bayang

rasa benci yang seringkali ditakuti sebuah keimanan



barangkali, seperti itulah puisi

mengendap bagai kebenaran

nurani kaum sufi



maka seyogyanya, setelah perjalanan singkat ini

temukanlah pijaran kata-kataku

walau masih sebening

sajak-sajak Zamzam; sajak-sajak sorgawi

Tasik, selalu mengingatkan kita

pada gerbang bumi arah timur:



di mana orang-orang menggaruk tanah purbanya sendiri



dan kita, masih di antara riuh pesta

bercakap-cakap tentang kota yang gosong

atau tentang serdadu-serdadu yang keliru



saat ini, ketika layar hitam dan sebuah lentera ditiadakan

rasa lapar dan keheningan malam kembali kita hayati



kelak, apabila kau hendak membakar duniamu sendiri:

ribuan jalan berbatu, kristal airmata

lorong-lorong berduri, kegelapan yang ranum

atau sorga tanpa sentuhan bunga

mesti kauhadapi dengan ubun dan jidat mengerut

dengan vocal yang terlepas bagai di ujung maut



bukankah dulu bumi ini ditafsirkan dengan berbagai kehidupan

tapi lihatlah! kuburan yang kaucari telah terbuka di mana-mana



1998-2000





Mazla



engkau selalu menjadi Geisha

dalam setiap mimpiku



aku, tentu seorang pembawa keranda

yang tak mungkin kau tahu



pohon dan musim sebelum hujan

matahari dan tubuhmu menyimpan warna yang sama



ada nyanyian kecil

pada teras yang redup

dan kita seperti lilin

pada lantai angin bertiup



misalkan esok

kita tak lagi memaknai betapa hari-hari yang musnah

gelisah yang singgah dan sajak-sajak semu itu

biarkan jerit langit juga burung-burung berpulang

bukankah samudera punya rasa yang sama seperti airmata

pada malam ia menderu, pada siang

seluruh cahaya terpantul darinya



mungkin ini bukan pertama kalinya

aku memandangmu, mungkin kutulis namamu



pada nisan kayu



2006





Muaisim



bermula dari magma

sesudah itu kita berkata: sebelum di titik subuh

sebelum kerikil sampai di genggaman ke-7

ada semacam harap



apalah artinya

antara Arafah dan Muzdalifah?



padang pasir yang sunyi

penderitaan Hajar di suatu hari;

ibu dari semua wanita yang terusir

telah kurangkum pedih bumi ini

dalam diriku, dingin subuhku



pada sisa reruntuhan sang Ibrahim

doa para penziarah melepaskan diri ke angkasa

seputih buih, tenda-tenda bergulung di bianglala

malam, gelombang angin, kemudian pagi



dan fajar menyusun kembali seluruh Mina



dan aku tahu

kota juga keramaian ini hanya sementara

meski badai dan semburan darah domba itu

tercipta menjadi tiga monumen batu



yang tidak demi satu masa



2005





Bentar Utara



di Bentar Utara

di langit yang sekuning Van Gogh

kapinis menggores sebentuk tangis

untukmu, yang masih si pewaris



bayang-bayang Izrail



akhirnya, takluk pada kesia-siaan

pada seruling krem yang kaumainkan

aku rasakan segala yang berguguran



seperti doa Ayub penghabisan



seperti juga jerit sorgawi



pada ronamu y ang kini semerah amarah

pada hitam pastel bayang-bayang soremu

tatapanmu yang keliru, dulu, ketika aku

mengajarimu di gubuk ini dan terkejut

bahwa yang meleleh di tubuh-tubuh itu



nyatanya, seperti kerianganmu yang dulu



nyatanya, semuanya telah tiada!



ketika kita masih bagai perunggu; jiwa yang lugu

dengan tenang, bercerita tentang gadis bibir elastis

matanya yang sebulat purnama atau direbut purnama

di sore yang agung, saat awan-awan putih

menggores langit dengan jemarinya yang santun

mungkin, sedetik sebelum kepedihan mengental



mengental dan dalam

bagai seribu paku berkarat di jantungku

mengental dan dalam

bagai membekunya ujung peluru



kepulangan burung-burung itu

menggarisbawahi nama kita

untuk kematian hari esok

lepas dari seluruh yang telah tiada



Bentar Utara

di mana dendam pada beribu-ribu

gerutu sang suhu



di mana kau

dan hela nafas menjadi

secepat panah mengarah



di mana adzan

juga awan yang bagai kafan

seperti dipersiapkan



bagi sisa iman kita yang sebenarnya



tapi sungguh, dari seruling krem penghabisan

dari ritme-ritme dan tanda seru yang berhamburan itu

tiba-tiba aku ingin melihat sang Suri sedekat mungkin

menyentuh kedua pipinya, seperti menyentuh lelehan lilin



aku pahami benar itu isyarat atau tiga cakar bekisar di matamu

tapi detik ini, rasanya ingin kematian menjadi halus bagiku



2001





Di Taman-taman



apabila seorang pencuri tersungkur di sungai itu

ia sama lusuhnya dengan ingatanku saat ini



begitulah, di stasiun kelabu, pualam-pualam berdebu

seperti sebuah masa lalu yang sangat lengkap bagiku



dan kenapa aku hanya menyimpan sebuah memo

alamat-alamat lokal, nomor-nomor yang sesat



begitulah, penemuan ini tak dapat dibandingkan

udara senantiasa membusuk, lebat di tubuhku

seakan-akan menjadi sandera bagi setiap manusia



di taman-taman, sebuah galeri yang hening

sepanjang jalan utama, taring-taring cahaya

bahkan di halte-halte di mana waktu berlalu

Tuhan seperti tak mengenal lagi kata-kataku



kota ini benar-benar mewariskan berbagai kesombongan

dengan label di kepala atau hurup lain di awal namanya



akan kukabarkan pula keganjilan-keganjilan ini:

kota yang hanya memiliki sedikit bukit

gedung-gedung yang merobek selaput cakrawala

sayap-sayap sunyi, sejauh ia melarikan diri

masih pula ia mengeram dalam setiap nyanyian

nada-nada dingin, kenikmatan dari sebuah senapan



di bibir trotoar saat kulihat seorang lelaki

tak dapat menyebrangi akalnya sendiri

seorang lelaki lain kulihat jidatnya mengkilat



ada yang mencari wajahnya di balik jendela kaca

sementara aku telah kehilangan sebuah peta



siang begitu bertaring

kebisingan berdenting



dan bagai nafas rajawali

kutahan kegelisahan ini



dan bagai seorang pertapa

kubiarkan lapar sempurna



itulah sebabnya mengapa bebanku selalu berkurang

di angkasa, setiap kali kulihat sang saka mengerang

peluru-peluru rahasia, membuat kota ini berlubang



begitulah, aku melangkah lagi

aku tinggalkan segala apa yang disebut keniscayaan

aku lupakan orang-orang dengan semua kejayaan

sebab aku telah menamainya: para pemabuk masa depan



1998





Sejak Dingin



sepasang matamu yang nyaman

seakan kepanjangan lain dari musim bunga

di timur kota



seperti sajak yang kekal

kukekalkan pertemuanmu dengan bulan

seluruh aortaku bergetar

di bawah kerudungmu yang kelam



laksana gairah baru yang selalu membuat hati bersayap

atau bagai garis pelangi yang selalu terbenam di bibirmu

diam-diam ingatanku bergelombang

diam-diam kau menjadi setangkai bunga



pandangi mataku!

akan kautemukan dirimu dalam hakikat mawar



menikmati garis-garis dan bening tubuhmu

kesunyian menganga di atas harapan yang mati

dengan tulus kulukis wajahmu yang santun

kubaringkan di atas gaun dan sebuah mimpi merah



angin begitu sayu saat mengirim harum rambutmu

malam ini, kugenggam wajahmu meski bayang-bayang

seraya mengingat lentik bulu matamu, suaramu yang pilu

dan seperti perisai badai di dasar kata-kata



ijinkan nyanyian ini agar selalu berputar di hatimu

jauh sebelum kukirim sesuatu pada kesunyianmu

menggali kuburan sendiri; mengutuk garis keturunan

atau peribahasa lama yang selalu berayun-ayun dalam hidupmu



setidaknya, wahai perempuan kepedihan

dari rasa yang berlimpah sejak dingin ini kauraba

pagi yang lembut, sebuah jendela yang terbuka di hatimu

atau saat-saat yang kita abaikan, semuanya terkenang

remang-remang atau kembali menjelma sebuah kuburan



1998





Solo



tersusun di langit yang ikal

warna kuning kumparan awan



seseorang tak dikenal membekukan diri pada semburan senja

dengan kaki seperti sebuah kerucut dan tangan berdekapan

memandang jejak kereta yang punah ditelan dingin baja



namun malam masih memberi kesan pada tubuh kereta

sementara rerumputan melepaskan juga airmatanya



namun antara sebuah lagu, daun telinga dan hati yang papa

seorang pengamen dengan rupa Afrika yang mengerut

terlihat begitu resah, membawa Jembatan Merah



dari sebuah jendela yang meleleh

matahari yang dewasa menyapa seorang dara

pohon-pohon mengubah diri menjadi loncatan sayap angin

dan seorang lelaki tua nampak kelihatan bagai pertapa



kemudian pagi, juga segala bentuknya:

relief keemasan, para pengamen yang kelelahan

atau rasa lapar yang selalu dilupakan



saat kita bergegas melewatinya, merantau ke dunia lain

dengan tanpa melihat-lihat, berkata-kata atau berpikir lagi

ada sebuah pintu terbuka, dan kenapa kita tak bertanya!



1998





Segenggam Sawarma



malam sedingin leher Ismail

di taman-taman yang seluruhnya batu

seluruh jemaah dan sisa puing-puing

merapatkan diri pada lampu-lampu



kubayangkan Raudloh



dan seseorang dari pedalaman India

sebelum isya, mengunyah segenggam Sawarma

sebelum khusyuk dalam alunan Khudaefi



kubayangkan juga maqom-maqom itu



berjejal orang-orang

seperti tak terlintas ruang

di mana tak ingin pulang



malam sedingin leher Ismail

di taman-taman yang seluruhnya batu

para jemaah menghabiskan matahari

sore yang terlewati, tak abadi



2004-2005





Batas



tak ada salak anjing

bintang jatuh, di nisan tua yang rapuh



tak ada sesuatu yang terjaga

pada pembuangan perwira Belanda



sebuah bentangan perak

desah paling sempurna

di bukit belerang, neraka merah

dan kabut menyimpan dirinya

pada selaput dan rasa iba



juga hitam yang mengagumkan

bagai gemuruh tarian Istanbul

juga hitam pada pikiranku:

sebuah jalan dan sebuah lembah abadi

seperti jerit 1000 kematian



kita mengira, di angin tukus bulan dan kelelawar

berebut sesajen, seperti sketsa yang tak mengarah

dan kadang lupa, jalan hitam, jalan coklat

dan bunyinya yang seperti maut mendarat

akan kita lewati pada dini hari, pada saat



yang tak ada batas



2006





Jamuan Pesisir

- Facot Roskata



di perjamuan orang-orang pesisir

mencintai angin adalah segalanya



hanya bagiku, kaulah si pelaut itu;

seorang anak yang ingin menjadi laut



tapi di tepi laut, air hanya mengerak

di dekat perapian, kau semakin menghitam

seperti jarum jam dan malam

seperti milik bunyinya yang berjatuhan



tik, tik, tik, tik, tik ….



dan malam, seperti di dusunmu ini

aku telah dapatkan kegelapan paling panjang

pohon-pohon menipis seperti ribuan silet

mengiris jejak bulan dan pikiranku



tapi, ini semangkuk manisan gori, katamu



udang bakar

seluruh rasa yakinmu

nyaris lebih linier

dari rumput dalam eter

disajikan di musim

yang segera beralih



dan pikiranku

kembali bagai semburan lava

berapa derajatkah suhu yang akan digapai



di ini laut, bagi seutuh tubuhku?

ya, di atas permadani biru yang mempesona ini

juga gadis-gadis pesisir dengan kaki mengkilat

serta elok tubuh dan rambut hitam memanjang

kulihat ia dan laut sama halnya sepasang pengantin

mampu menelanjangi seluruh keyakinanku

menancapkan beribu-rabu jarum di pundakku



langit pun kembali seperti masa-masa yang telah kulalui

walau ini hari begitu bergolak dalam hati



ada sebuah cincin merah siam yang selalu kupakai

yang kudapatkan saat kepedihan menjadi diriku

ini yang kemudian akan memetakan seluruh laut

sebelum langit berganti, sebelum aku menyadari



kapan aku harus meninggalkanmu, di sini



laut juga kebiruannya yang terhampar itu

barangkali hanya sedikit dari amsal

hari-hari yang kelak datang, kelak meradang

hari-hari yang tak mungkin seramah para penziarah



tapi lupakanlah

sebab bumi dan sungai-sungainya

yang mengalir di atas sajadah tahajud malammu

pohon-pohon serta beribu-ribu burung

yang hinggap dan merancang sarang di dalamnya

adalah untaian doa lain yang tak terhingga

meski sebenarnya, ia masih tak bernama



tapi sedingin apapun, laut, selalu bagai api



2002





Tentang Ahmad Faisal Imron

Ahmad Faisal Imron lahir di Bandung, 25 Desember 1973. Mondok di berbagai pesantren yang ada di Jawa Barat. Mulai serius nulis puisi sejak tahun 1997. Di muat dalam berbagai antologi puisi bersama dan beberapa media massa seperti Pikiran Rakyat Bandung dan Majalah Horison. Selain itu aktif juga dalam senirupa dan beberapa kali berpameran. Tahun 2001 mendirikan Komunitas Malaikat dengan beberapa temannya dan santri yang aktif di sastra, seni rupa dan musik.  





Catatan Lain
Di bagian belakang buku, ada komentar dari Acep Zamzam Noor, Hawe Setiawan dan Isbedy Stiawan ZS. Tak ada pengantar dari penulis, hanya ucapan terima kasih saja kepada beberapa sastrawan dan orang-orang terdekat. Komentar Acep Zamzam Noor, Puisi AFI seperti panorama yang surealistik. Penggambarannya cenderung visual. Kata Hawe Setiawan, imajinasinya sering fantastik dan ada kalanya tak terduga. Sedang Isbedy Stiawan menyebut puisi AFI sebagai pengembaraan imajinasi-religi. Adapun saya, setuju-setuju saja dengan komentar di atas. Tapi ada puisi yang sedikit mengganggu karena kayaknya kebanyakan memuat kata “seperti”. Selebihnya menikmati saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar