Laman

Tonggak

Minggu, 05 Oktober 2014

Leon Agusta: GENDANG PENGEMBARA




 Data buku kumpulan puisi

Judul : Gendang Pengembara
Penulis : Leon Agusta
Penerbit : Pustaka Eidos
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal : x + 235 halaman (173 puisi)
ISBN : 978-979-12442-53-4
Penyunting : Damhuri Muhammad
Perancang sampul : Ricky Hayanto
Tata letak : Hari Ambari
Foto profil : dm.photowork

Kumpulan puisi Gendang Pengembara terdiri dari 2 bagian, yaitu Dalam Kabut Purba (86 puisi) dan Yang Selalu Kembali (87 puisi).

Beberapa pilihan puisi Leon Agusta dalam Dalam Kabut Purba

Kenapa tak Pulang, Sayang?
buat Ibunda

Hijaunya wajah danau kita adalah rindu, sayang
Hijaunya daun-daunan rindunya perawan muda
Bisik-bisik di tepian bila hari naik senja
Kampung kita kian tahun kian lengang
Entahlah. Mana yang pergi tak ada yang pulang

Ke manakah gerangan lajang-lajang kita menghilang
Semarak kampung di rembang petang?
Mereka hilang bersama debu perang saudara
Yang tak pulang ditelan hutan
Yang pulang berterbangan
Anakku bilang: bumi luas tempatku tualang

Rinduku pun kelabu, Ibu
Tapi empedu di kerongkongan
Ibu pun takkan kenal wajahku sekarang
Tak akan ada yang tanyakan anakmu, Ibu
Kalau pun pulang takkan dipinang
Karena kertas kuning, kata-kata yang berjaga
Takkan dikerling karena bukan logam menguning

Di Hari Raya, di hari rindu beralun-alun
Jari Upik, ai, lentiknya memetik inai
Selendangnya lepas terkibas angin, Ibu?
Ah, salamkulah itu.

1962



Di Tengah Jalan

Sayup-sayup terdengar panggilan ke ujung jalan
Di tiap tikungan nisan bertebaran
Orang-orang mengabarkan berita peperangan

Sayup-sayup terdengar suara kereta penghabisan
Gerbong-gerbong dikosongkan tinggal muatan kematian
Di tengah jalan terdengar lolongan bersahutan

Pekanbaru, Oktober, 1964


Dalam Kabut Hitam
: Soe Hok Gie

Malam-malam gemetar. Jauh-jauh renungan luluh
Dari gelanggang menggigil suara memanggil
Laksanakanlah renungan. Tanggungjawab keyakinan

Kemudian pagi
Bergumul dalam kabut bergumpal-gumpal
Dan harap mengapung ke langit jauh
Dan keringat mengering ke bumi keras

Demikianlah gelisah telah lama menggoda
Genta terus berkelenengan. Klenengan gelisah
Gemanya mencari ketentraman yang tak jumpa
Tidak pada bumi, pada tanahair, pada hati yang indah
Juga tidak pada pikiran yang bebas dan samadi
Ketika kabut menghitam bergumpal-gumpal

Jakarta, September 1966


Ya, Kita Memerlukan Seorang Kekasih

Bila sungai-sungai bermuara ke lautan
Laut manakah muara bagi sungai dalam hatiku
Bila burung-burung terbang bebas di cakrawala
Manakah cakrawala tempat mengembangkan sayap
Bagi rindu yang menggelepar dalam dadaku
Bila taman-taman pun juga punya pengasuh
Siapakah pengasuh jiwaku yang buncah ini?

Ya, kita memerlukan seorang kekasih
Hatinya bagai lautan dadanya cakrawala
Budinya lembut buat mengasuh dan menjinakkan
Ya, kita memerlukan seorang kekasih untuk
menemani kita membaca kisah-kisah
menampung kecewa dan meredakan gelisah
membukakan pintu di malam larut

Bila angin berlari pepohonan melambaikan jari-jarinya
Siapakah yang melambai bila aku sedang berkelana
Akar pohon-pohon berpegang erat pada tanah dan batu
Tapi jiwaku yang gamang ke manakah hendak berpegang
Akan terkatungkah aku, mencari atau menunggu
Kamarku yang suram merindukan seorang tamu

Ya, kita memerlukan seorang kekasih
Lengan-lengan yang membelai, memagut jadi satu
Menyalakan lampu, mendoa dan menyulam impian
Malaikat-malaikat sorga pun melayang rendah
Ketika Tuhan merestui satu percintaan
Hingga bumi pun simpati, turut serta orang-orang lalu
Sebab demikianlah alam, Tuhan telah ciptakan

1967


Mengembara

Dengan mesra kusandang dosa itu
Sudah diamanatkan bagiku: mengembara
Bagi hasratku yang berjalan jauh

Hingga sudah biasa aku berpisah
Nafas damai dan tidur yang nikmat
Khianat diterima tanpa kesumat

Kini aku
Menghempas sendiri
Loncat dan terusir dari segala dekapan
Setelah amanat diterima: mengembara

Penjara Tanah Merah
Pekanbaru, 1970


Surat-surat buat Lisa Agusta

1
Malam temaram tanpa angin
Sunyi tergenang di seluruh dataran
Begitu tenang, ketika kudengar kembali
pesanmu sebelum pamit dari kunjungan
menjelang senja:

tulislah
dan kembali
bacalah

tentang kisah-kisah yang terpendam di jalan buntu
tentang nafas yang reda sehabis kecewa
tentang segala yang tak sempat mencatatkannya
yang sesekali melintas samar
bagai jalinan bayang-bayang di siang lengang
tercelup warna hitam keabuan

Ya
Serasa masih ada yang dapat ditiupkan
Pada kejauhan masing-masing, ketiadaan kita
Sebab belum ada jawaban
Di manakah kita telah bertanya
Sebab kita belum mengerti
Sebab kita belum sampai
dalam saat-saat yang teduh
Dan di tembok-tembok yang utuh
Di atas gugus-gugus yang dipertahankan
Awan tergantung beku bersama malam hari

Setelah kembali membacanya, kugoresi
yang harus dilupakan
Belenggu kenangan memabukkan
Belenggu kemanjaan, atau impian
mengambang ke dunia impian yang menjauh
Sebab bila seketika langit merendah
Bumi pun kembali mendebarkan hidup
Busur-busur pun bergetar gempita
terbangkan panah-panah kilatan cahaya
Menembus awan tergantung beku
Menembus malam hari
Menembus rahasia waktu yang diperebutkan

Sementara kita pun ditinggal dan meninggalkan
Mengenang dan dilupakan
Sebelum fana jadi abadi

2
Lisa. Bukan semata nasib yang memisah
Tapi adalah keliaranku semata
Sedang kau begitu jinak
Kelelahan dan kehinaan hidupku
Kau rangkul tanpa memberi tara
Hingga aku terpaut pada belenggu
keselarasanmu dalam derita

Kini, dalam tak bisa saling menyatukan sunyi
Kita pun jadi tergoda – mungkin
untuk cemas atau mengutuki
Inilah bahasa rindu percintaan kita
Bahasa sepi yang nakal
Gendangnya menikam-nikam

Kemboja di halaman rumah kita dulu
Ditanamnya bukan buat perpisahan atau menunggu
Kini jadinya begini:
Semuanya tak lagi melengkapkan kita
Kemboja di halaman, kebuh cengkeh di belakang
Menjadi pohon airmata

3
(Api menjilat-jilat dalam mimpiku
hingga aku terbangun
bantal di kepalaku terbakar)

Kabut jatuh dalam jiwaku yang kosong
Hujan tengah malam mulai reda, ketika padaku
mimpi itu mulai menggoda
menampar jantungku jadi gempar
Kilatan warna hitam putih saling melebur
mengendap ke dalam arus menunggu pagi

Selengkapnya adalah nyanyian duka semata
Bergetar pada tonggak-tonggak kenangan padamu
Jejaknya membekam senantiasa
Penuh aneka permainan
Antara purnama yang kukejar
dan bayang-bayang yang mengejarku

4
Memang tak perlu saling membujuk lagi
Namun adalah rasa kehilangan
Atas pertemuan yang tak tersesalkan
dunia yang tak tertinggalkan
perpisahan yang tak terucapkan
Berapa kali purnama datang
Kuhitung dengan nafas semakin dingin
Udara kian renggang dalam terali besi

Diamkanlah segala sedih pada yang lain
Jika pun sempat janji sudah tiada
Sebelum lengkap pesona
Khianat sudah sedia
Sebelum terbuka suara
Pengembara sudah sampai, di sana

Penjara Tanah Merah
Pekanbaru, 1970


Dengan Temanku Alex

Dingin menyusup tajam
Menembus rabuku basah mengerang
Tak ada album
Atau catatan kenang-kenangan
Hanya ada tembok, jeruji dan kunci

Menangislah tapi jangan meratap, Alex
Neraka atau sorga datang menggoda
Di sini dunia bukan kita yang memberi tara

Namun, masih saja tak terdamaikan
Sonder pilihan, awal dan akhir, manusia
bersuara. Kemudian menjelmakan nyanyian
Diam-diam. Tanpa seorang pun dapat hentikan

Penjara Tanah Merah
Pekanbaru, 1970


Seruling Kapal

Hanya cinta juga yang menuntun mereka dalam kegelapan
Ketika tiba-tiba lampu-lampu menyala dan seruling kapal
berbunyi menandakan akan berangkat, mereka terkejut
Kegugupan menekan keduanya dengan rasa bergegas

Tak sempat mereka ucapkan sebuah sajak perpisahan
Tak sempat mereka siapkan. Dalam sinar mata keduanya
tak ada janji atau harapan; juga tak ada sedih atas
kenang-kenangan, hanya maut yang dapat membacanya

Bintang-bintang pun kian hijau. Agaknya mereka memerlukan
seorang saksi, mereka tak membikin persetujuan apa-apa
Orang jauh itu, yang datang membawa cinta dan harapannya
tak tahu apa-apa atas perpisahan yang dijemputnya

1972


Perbedaan

Semua yang kini kau sebut ketiadaan, tuan
di sanalah sesuatu bagi hidupku
Semua yang kau lewatkan tanpa menoleh, sayang
di sanalah aku duduk dan mengintipmu
Semua yang kau ucapkan berulang-ulang, saudara
itulah yang tak dapat aku yakini
Semua yang kau bisikkan dengan perlahan, sahabat
itulah yang bagiku paling mengerikan

Tapi aku tak sanggup kehilangan engkau
Meskipun engkau sisihkan aku
Perkenalan dengan engkau kecemasan selalu
Maut pun takkan menebus kebimbanganku

1973


Kepada Latiff Mohidin

Tanpa memberi kabar
Yang terbang telah mendarat
Tanpa memberi kabar
Pengembara sudah berangkat
Rindunya di Vientianne
Nostalgianya di Bukittinggi
Malamnya di Frankfurt
Gairahnya di Seoul
Sepinya Sungai Mekong
Gelisahnya di New York
Tangisnya terpendam di hutan-hutan
Darah dan keringatnya Kuala Lumpur
Kuala Lumpur, oh Kuala Lumpur

Kuala Lumpur, Juli 1974


Lintasan Kenangan

Di Schiphol suatu pagi
Musim bunga bagai perawan mandi
Ia tertegun lama, merasakan sepi
di lintasan bentangan kenangan

Ayahnya seorang pergerakan di zaman kolonial
Mati ditembak 8 Agustus 1960
Puluhan peluru muntah di kepala dan tubuhnya
Ketika persaudaraan diperangi sampai ke desa-desa
Di sebuah desa di pinggir danau yang lengang

Kata orang waktu itu terjadi pemberontakan

Melintasi ladang-ladang kincir angin Amsterdam
Lelaki itu ingin ia bersama ayahnya. Ingin membaca
cahaya matanya menyaksikan dunia lain
Setelah perjalanan mimpi mencapai kemerdekaan

Di Keukenhoff dia gumamkan lagi sebuah nama
Aroma bunga tulip menyiangi tubuhnya
Kabut memutih memandikan langkah
Pengembara melintas di alam kenangan

1977


Soneta Perpisahan

Di luar villa berkilauan cahaya perbukitan
Topan turun menjelang pagi di Monterey
Pantai dan laut berkisah lewat gelombang
Ungkapan bimbang terus menggapai

Kita digenggam maut yang mengintai
Gapai luput, desah tumpah di pasir
Mimpi pecah dalam kebisuan
Kita rebah bagai bangkai laba-laba

Rembang pucat membiaskan kelipan
Pada laut bulan berhenti berkaca
Dalam angan pisah menderu berkejaran

Sebelum lidah jadi belati, Eliza
Berikanlah senyummu pada gurun-gurun kehilangan
Yang menelan bintang-bintang dengan sepinya

Santa Cruz, 1978


Ode buat Proklamator

Bertahun setelah kepergiannya kurindukan dia kembali
Dengan gelombang semangat halilintar dilahirkannya sebuah negeri
Dalam lumpur dan lumut, dengan api menyapu kelam
Menjadi untaian permata hijau di bentangan cahaya abadi
Yang senantiasa membuatnya tak pernah berhenti bermimpi
Menguak kabut gelita mendung, menerjang benteng demi benteng
Membalikkan arah topan, menjelmakan impian demi impian

17 Agustus 1945 mereka tandatangani naskah itu
Mereka memancang tiang bendera, mengubah nama pada peta
Berjaga membacakan sejarah, mengganti bahasa pada buku
Meniup terompet dengan selaksa nada kebangkitan sukma

Kini kita ikut membubuhkan nama di atas bengkalainya
Meruntuhkan sambil mencari, daftar mimpi membelit bulan
Perang saudara mengundang musnah, dendam tidur di hutan-hutan
Di sawah teruka dan sakti, di bawah langit negeriku
Kata jadi pasir di bibir pantai, oh, lidahku yang terjepit
Derap suara yang gempita cuma bertahan atau menerkam

Ya, walau tak mudah, kurindukan semangatnya kembali.
Bersama gemuruh cinta yang membangunkan sejuta rajawali
Tak mengelak dalam bercumbu, biar di ranjang bara membatu
Tak berdalih pada kekasih, biar berbisa perih di rabu
Berlapis cemas menggunung sesal mutiara matanya tak pudar
Bagi negeriku, bermimpi di bawah bayangan burung garuda.

1979


Beberapa pilihan puisi Leon Agusta dalam Yang Selalu Kembali

Maninjau, 1990

Terbaca namamu
Angin menjatuhkannya
Di atas daun
Di pinggir rimba

Luka negeri yang ditinggalkan
Bergulir
Dalam bias cahaya danau
Dalam desau daun pepohonan

Bukit-bukit tampak ringkih
Lantunan pantun semakin perih
Ombak pecah di langit
Batu pucat
Menunggu mimpi dikuburkan

1990


Gendang Pengembara
: Soeryo Adiwibowo

Sudah sejauh mana pengembaraan kita, cintaku
Negeri-negeri tua sudah kita lintasi. Antara hamparan
rimba kita temukan gua-gua, seperti tertera pada peta
Kota-kota nenek moyang tak pernah tua, tak pernah tua
Selalu dipuja dalam lagu dan kenangan masa kanak

Gedung-gedung baru menggapai langit, ada pula sisa-sisa
pemusnahan. Cerita zaman, prahara berdatangan dan berlalu

Segera setelah senja, sayangku, kita bisa istirahat
Menjemput cerita baru, menyanyikan senandung pengembara

Kita berada di negeri yang sudah lama kehilangan malam
Mendung punya ceritanya sendiri, menghentak jantung
Langit tersedu dalam kesepian yang renta.

Saksikanlah
Orang-orang berkelompok, melupakan nama masing-masing
Mereka adalah kafilah, jemaah pengungsi kehilangan tujuan
Sepanjang perjalanan mereka bertemu berhala-berhala baja
Mereka tak henti mengutuknya, sampai ke dalam mimpi
Dalam kumandang lagu yang membuat mereka kesurupan

“Kami tak berani hidup lagi, ya Tuhan.
Berilah kami malam bagi segala malam
Biar mentari tak terbit lagi”
Mereka melolong, sampai jadi tuli, ada yang jadi buta

Mari berpuasa, cintaku, dan panjatkan doa buat mereka
Setiap berbuka kita makan tubuh sendiri sambil bercinta
Diiringi kumandang dukana lagu kafilah pengembara

“Bagaimana harus kupikul dosa pada rakyatku?”

Pertanyaan itu semata kegilaan
Igauan dalam kesurupan
Sebab seperti kau tahu, cintaku
Kita tak punya rakyat laiknya raja-raja atau pun penguasa
Kita sudah menyaksikan derita para jemaah
Kemudian jadi penghuni gua di tepi rimba dekat kota lama
Di mana kita bercinta eengan mimpi dan gema-gema

Sama seperti dulu, saat pertama kali kita berjumpa
Sebelum kita mendengar senandung pengembara dinyanyikan
Dengan mahaduka oleh kafilah yang putus asa
Sementara kita tak penah berhenti bercinta, sayang
Masih akan terus berpuasa dan berdoa. Menjelang maut
Setiap berbuka kita makan lagi tubuh kita sendiri
Karena hanya dengan demikian kita merasakan hidup
dan cinta seadanya, sentana gendang pengembara

Jakarta, 2006


Elegi Desember 2004

Dalam tsunami ini ya Allah
Doa manakah gerangan yang harus kami lafazkan?
Ketika topan samudera menghempas bergelombang
Menggulung hari-hari kami dalam simpul mahaduka

Kami seperti si bisu tuli, hanya bisa terbata
Mengeja mukjizatMu dengan gundah gulana

Ya, Allah
Ingatkan kami kembali akan cahaya-Mu
Ingatkan pula kami rahasia bahasa-Mu
Untuk mengarungi lautan duka sedalam ini

Perkenankanlah

2004


Nyanyikanlah Sebuah Lagu, Harvey*

Bayangan hitam berkelebat, di Amboina
Salib memerah, Golgota, betapa jauhnya

Bagi siapa doa
Dalam sengketa?

Dengan nama Allah, maka kasih penuh ampunan
Dengan nama Allah, maha kasih berlimpah sayang:
Kembalikan damai pada jantung kami, darah,
dan nafas kami, yang sesak dalam kepulan amarah

Tampak marah, cahaya merah tumpah dalam senja
Kaki langit menjauh, raib melintas perbatasan siang

Nyanyikanlah sebuah lagu, Harvey
senggang sejenak, lagi sejenak lagi, ah teruskan
Terimalah malam, terimalah Tuhan, yang selalu
Membujuk agar terus berjalan dalam nyanyian
Dalam paduan suara dukamu, oh Amboina

Senja seperti terbakar tampak gaduh
Terjerembab dalam dukamu Amboina
Tersungkur dalam rapuhnya ajal, pesta dajal
Sunyi bergegas di jalan-jalan, lorong-lorong
Hitam hutan meranggas, juga bakau
Burung-burung meracau di pasir

Mayat menjadi arca, melahirkan tanda
Lihatlah, dalam kaca juga terbaca
Kenapa Tuhan, ya kenapa
Adakah kemenangan menjanjikan kesucian
Bagi amarah tangan penggenggam pedang

Nyanyikanlah sebuah lagu, Harvey
Bagi Amboina, dalam duka cintanya

1999
* Harvey Malaiholo, penyanyi asal Maluku


Buku Harian

1
Di Greater Kailash
selalu terdengar Asia menyanyi
derita adalah ibadah
gemanya menghilangkan asal suara
di Agra, dengan Taj Mahal
Shah Jehan mengabadikan agungnya cinta
memahatkan berlian di pusara kekasihnya
dukanya mewariskan mukjizat
karena demi cinta perbudakan pun dimaafkan
penyanyi jalanan berkisah panjang
tak berhenti meratap diiringi kecapi
keindahan bangkit dari pelukan sang maut

2
Di Asia yang renta
manusia menjelma jadi pabrik-pabrik beragama
tak peduli pada teka-teki bencana, banal dan penuh
keluhan: cinta tetap saja angkuh, meski duka bisa agung
dan lihatlah, Calcuta tak mau disapa, “Oh, Calcuta”

malam menggeliat di Broadway, “Oh, Calcuta”
jeritan keperihan melaju di atas panggung suram dengan
bintang-bintang bugil yang tak berhenti menari, menyanyi
menjerit dan menangis, “Oh, Calcuta”

nyanyian itu terus menderu, terbanting dalam sepi
malam-malam beku oleh salju dan menghilang ditelan
hutan gedung-gedung belantara Manhattan
di manakah cinta bagimu, New York?
Pertanyaan hanyalah igauan dari kesunyian
New York lebih mengerikan

3
Di Jakarta
gedung-gedung pun menjelma jadi pohon raksasa
Megapolitan hanyalah nama lain dari keangkuhan
di sini anak-anak muda, anak-anak remaja, anak-anak tua
anak-anak tua bangka, anak-anak jompo, mabuk
Kunang-kunang terbius lampu-lampu
siang dan lampu-lampu malam
mereka menjalar bagai ular, jumpalitan bagai ular
menggerayangi toko-toko kelontong dan elektronika
menerjunkan diri ke dalam tas-tas plastik
melagukan beribu mimpi dalam bahasa asing
lainnya lumat ditelan boneka-boneka plastik
buatan Jepang, direbus dan dibakar di dalamnya
memacetkan jalan raya 40 jam dalam sehari.

1981


Kita Kian Jauh Tersesat

Kau ingat bila malam ia datang mengisahkan berbagai mimpi
Sepanjang siang ia menyaksikan dunia yang seperti mimpi

Pesan utama ditayangkan dalam iklan para tengkulak
Berita sehari-hari jadi selingan, lelucon para tengkulak

Kau ingat malamnya ia melihat lebih dulu baru bermimpi
Sewaktu terjaga semua kisah menjadi apa yang kita alami

Pesan utama zaman ini disampaikan iklan para tengkulak
Berita tentang peristiwa hanya selingan, canda para tengkulak

Sesekali dengan rasa hampa, kita mengingatnya kembali
Dengan rasa terkucil dan teraniaya silih berganti

Pesan utama digelarkan dalam iklan para tengkulak
Berita bencana hanya selingan, guyon para tengkulak

Kita merasa kian tersesat, terhina dalam kesepian
Membaca dan menulis, menulis dan membaca

Agama-agama baru usianya setahun jagung

2007


Struga

Hai, Waktu
Tunjukkan alamatnya kepadaku
Agar kusiapkan rencana arah langkahku

Kisah yang putus di Struga
Menunggu yang nyaris mustahil

Semenanjung putih masih teduh di akhir musim
Di Moskow, beruang merah semakin limbung

Leyla terbang dengan sayap kata-kata
Melintas Macedonia

Doanya topan menderu
Menyerbu sejuta alamat
Sampai ke sorga

Danau Ohrid berkilau di bawah langit Agustus
Meriam penanda watas waspada berjaga
Memisah rindu Leyla pada Albania
Di seberang sana

Struga, Macedonia, masih tercatat di atas peta
Walau waktu kuburkan alamat dalam catatan

Sepanjang sungai Ohrid, di hamparan padang
Di tanah kapur tersisa jejak kuda Alexander Agung
Kesultanan Ottoman, warisannya disucikan
Dalam telaga doa dan zikir pasir

Waktuku tak mungkin sampai
Struga
Macedonia
Semenanjung putih
Menggali hujan airmata
Menjadi senyuman

Masihkan Leyla
Di sana?

2008


Dari Pisau Mana?

Kita pepohonan berpelukan
Penuh penyakit dan kotoran

Sesekali aku sempat mimpi jadi orang suci

Ya, Tuhan. Apakah Kau juga kesepian?

Manakah lebih indah, cinta atau puisi?

Memudar dalam khayalan atau bisa abadi

Antara kutuk dan kealpaan ihwal
Tak pernah bisa mengelak perangkap

Antara alur kisah dan tipu daya

Mungkinkah ada isyarat? Tapi luka tiba
Sebelum terbaca
Dari pisau mana datangnya tikam

05.03.2010


Sajak Pertama
(sebuah paduan suara)

dalam gelap kau ciptakan air               maka    air pun ada
dalam gelap kau ciptakan tanah          maka    tanah pun ada
dalam gelap kau ciptakan tanaman     maka    tanaman pun ada
dalam gelap kau ciptakan hewan        maka    hewan pun ada
dalam gelap kau ciptakan bintang       maka    bintang pun ada
dalam gelap kau ciptakan matahari     maka    matahari pun ada
dalam gelap kau ciptakan bulan          maka    bulan pun ada
dalam gelap kau ciptakan batu            maka    batu pun ada
dalam gelap kau ciptakan waktu         maka    waktu pun ada
dalam gelap kau ciptakan angin          maka    angin pun ada
dalam gelap kau ciptakan sunyi          maka    sunyi pun ada
dalam gelap kau ciptakan malaikat     maka    malaikat pun ada
dalam gelap kau ciptakan setan          maka    setan pun ada
dalam gelap kau ciptakan Adam         maka    Adam pun ada

dari kelam kau lemparkan aku
ke dalam kelam kau lemparkan aku

dalam kelam kulihat kau
dalam sunyi kudengar kau

dalam aku di mana aku kau?
dalam aku kau             ada
dalam aku air               ada
dalam aku batu            ada
dalam aku kelam         ada
dalam aku terang         ada
dalam aku tanah          ada
dalam aku sunyi          ada
dalam aku bunyi          ada
dalam aku bisu            ada
dalam aku diam           ada
dalam aku gerak          ada
dalam aku kita             ada

dalam ada di mana aku?
dalam kau di mana aku?
dalam kau siapa aku?

di luar waktu?

sebelum waktu
di dalam waktu
sesudah waktu, hanya kau, hanya kau, hanya kau, dalam
       gelap
            dalam rahasia
                   Cipta
                        ?

1986
SAJAK PERTAMA dipergelarkan oleh satu grup tadarus bersama sajak-sajak penyair lain dalam “Tadarus Puisi Bulan Suci” 23-24 Mei 1986 (14-15 Ramadhan 1406-H)


Perjalanan Senjakala

1
Rinduku tersesat dalam kehilangan, kenangan sebuah kota
Yang namanya kupanggil dengan nyanyian dan kata-kata cinta
Orang-orang pun menyebutnya seperti dalam nyanyianku

Padang Kota Tercinta

Angin gersang sudah lama berhembus tanpa tujuan
Debu merasuk ke kepala, khalayak jadi pelupa
Kini tak terdengar lagi panggilan nama kecintaan
Bunga-bunga runduk di bawah langit kota kesayangan
Kekasihku sudah lama tak lagi mengenal rindu

2
Seseorang berseru dan memanggil dengan nama lain
Suaranya seperti bersabda. Khalayak terperangah
Burung-burung berhamburan bertabrakan
Kupu-kupu berlindung di bawah warna merah flamboyan
Di sebuah taman sehabis membersihkan sayapnya

Senja merayap pergi sebagaimana datangnya
Orang-orang berjalan merunduk ikut panggilan adzan
Ada yang terjerembab dan hanyut dalam sungai deritanya
Kotaku, kesayanganku. Apa kabar percintaan kita?

3
Dari jendela gubuknya nelayan menatap hamparan samudera
Tuhan mengisyaratkan pertarungan dalam sembarang cuaca
Ikan tak punya sayap untuk terbang sendiri ke dalam dapur
Pada gulungan gelombang bergetaran pesan nenek moyang
Di dasarnya terpendam rahasia samudera yang mengerikan

4
Memang pernah ada kisah sebuah nama
Kesempurnaan yang disucikan oleh cinta

Cinta agung diingkari
Tersebab bicara dengan bahasa bunga-bunga
Sampai waktu, ketika dingin nafsu

5
Kata-kata terasa kian renta dalam gumam si pengembara
Dalam mata terpejam, mimpi lama beralun lebih nyata

Jejak menghilang. Alamat lama pun tak jua bersua

Berbaring menatap langit, terhampar, kota cahaya maha ajaib
Bintang-bintang berkilauan menulis nama-nama kecintaan
Bangkit dari bawah debu, mandi di kolam terangnya rembulan

6
Di sana tertera peta
Di langit berlapis, di rumah gemintang
Tersimpan puisi kota kecintaan
Terselip dalam dendang si pengembara

Kian sepi
Kian menyanyi

Jkt, 05.08.09


Nashar

Lahir ke dalam perut kanvas
Ia takkan merusak bingkai
Rumahnya sendiri

Digalinya warna dari gua-gua laut
Dari pantai siang ke malam kecintaan
Garis-garis meliuk pintas memintas
Hingga bumi terangkat jauh
Langit merendah turun
Lepas dari perangkap nasibnya

Di kakinya beribu gunung runtuh
Menimbun kota-kota angkuh
Gunung dan kota lain terus menjadi
Dibersitkan lidah api
Dari ujung jarinya

1984


Prosesi

Bagaimana berakhirnya senyap?

Orang-orang tak lagi saling memandang
Berkata-kata tapi tak saling mendengar
Merayap menuju senja masing-masing

2011


Tentang Leon Agusta
Leon Agusta lahir di dusun Sigiran, pinggir danau Maninjau, pada 5 Agustus 1938. Berhenti menjadi pegawai pemerintah selepas menandatangani Manifesto Kebudayaan (1964). Atas dakwaan pasal 107 KUHP, dari Januari hingga Juli 1970 menjalani hukuman di penjara Tanah Merah, Pekanbaru. Sejumlah sajak selama di penjara dimuat di Horison edisi Desember 1970. Peristiwa Malari (1974) sempat pula ia ditahan di Padang. Setelah mengikuti International Writing Program di Iowa City (1976), ia mengembara ke sejumlah Negara Asia, Amerika dan Eropa.


Catatan Lain
Sebagaimana buku ini, yang sunyi dari pengantar, komentar teman, tulisan apresiasi, maka begitu pun di catatan kali ini. Bertahun-tahun lewat telah saya pendam nama penyair ini di benak remaja saya, mungkin lewat buku Pamusuk Eneste? Dan sekarang baru saya lihat puisi-puisinya. Foto si penyair di sampul belakang, dengan rambut tebal yang nyaris putih semua, alis dan kumis yang juga tebal, sebagian juga memutih, kacamata bergagang tebal, dan kerut-kerut ketuaan: adalah penanda baru yang mungkin kekal. Oya, saya tak punya informasi akurat, tapi beberapa sajak di kumpulan ini menyinggung-nyinggung tentang “perang saudara” (yang saya duga terkait PRRI?), sepertinya penyair memiliki ingatan menyayat yang bersifat personal tentang masalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar