Laman

Tonggak

Minggu, 02 November 2014

Sutan Iwan Soekri Munaf: OBSESI




 Data buku kumpulan puisi

Judul : Obsesi
Penulis : Sutan Iwan Soekri Munaf
Penerbit : Angkasa, Bandung
Cetakan : I, 1985
Illustrator : Ernawan Rahmat Salimsyah
Tebal : 81 halaman (30 puisi)
Pengantar : Saini K.M. dan Beni Setia

Buku ini terdiri dari 3 bagian yaitu Kisah Cinta Iwan Soekri (19 puisi), Catatan Tahun-tahun Lepas (9 puisi) dan Obsesi (2 puisi panjang).

Beberapa pilihan puisi Sutan Iwan Soekri Munaf dalam Obsesi

Pendurhaka
pada roedy irawan syafrullah

malinkundang itu aku
sangkuriang itu aku
dari batu dan gunung kesombongan
tinggalkan rumah cari kedamaian
yang risi
si penduka itu aku
si perindu itu aku
yang berlayar dari kubang pilu
yang diantar mentari kelabu
ingin membunuh ayahnya juga mengaguminya
ingin kembangkan citranya juga mengurungnya
batas apa dari si penduka, o malinkundang wahai!
batas apa dari si perindu, o sangkuriang wahai!
pintu kelam senantiasa menghablur – satu
lewat suara gedincak, itulah suara lagu rintihku
lewat suara getaran, itulah suara tembang-tangisku
yang tak kenal bundanya tapi mencintainya
yang tak kenal dirinya tapi mengharapkannya
dari batu dan ombak suaraku menyibak
: akulah malinkundang itu! akulah sangkuriang itu
(bunda…
kemalangan beruntun tak terhindarkan
malinkundang itu pergi-pesta ke disco-disco
sangkuriang itu terjerat di bordil-bordil
itulah aku:
yang tersenyum hampa tapi larukan semangatmu
yang menjaga lautmu, yang meronai udaramu
(dan dari batu dan gunung keingkaran
kusebut nama: tuhan!)

1979


Sajak pada Hari Ini
pada pipiet senja

cinta yang padu
sia-sia dikeping tuju
maut. Sentuh sendu-senduku
duka menyatu diserpih salju

tiba di tubuh
rubuh
tiba di jantung
patung

mata yang rawan
sia-sia mengambang ranah
dulu mencari bulan
antara tanah:
tumpah
perawan!

Pariaman 1977


Masih Ingin Kutulis Sajak
pada temanku, saini km

sepetak tanah tanpa kubah
siaplah sudah
selenting bunyi belumlah tiba
dan membangun kahyangan memang tak mudah
di muka sedia pisau sebilah
siapa kan menyerah
sedang darah dara pun engkau gugur berlaga
tiada yang menyebutkan namaku, tubuh membirah
dan dunia tersenyum ramah, ramah…

1980


Rumah
pada putri munziar munaf, ibunda
(kuketuk hatimu)

sepi
dalam keranda. Dan palka gamang
selusuri dara-dara
pada dada bimbang

putik manda
dan sejuta impian kembara
pada setiap kali gigi mentari menerkam
jantung pun panas
terabas angan-angan ke laut lepas

dalam penantian dan langkah tak tentu
kembali pintu rumah kusebut-sebut

(bunda, makin kelam
makin hangat rinduku!)

1980


Sajak

yang kembara dalam usia
membiru
yang lari menyimpan rahasia
berlagu
yang singgah merapal firasat
tersesat
yang hati
mendekap sekali

1980


Ada Senyap Kala Kulupa
pada ina hermina herman di cirebon

malam pun terpanggang sangsi
sebelum menghitung hari
sedang mengapa sejuta manusia
berlari, menghadang sepikah?

pun datang siang
dalam hati sungsang

sebelum sempat menagih janji
sudah diresapinya dalam dekat hati
di sanalah konon kuremas sendu
mencari-cari matamu, dalam potretmu

pariaman 1976


Sebuah Bingkai Potret
pada hanif r tanjung

sebuah bingkai
aku di dalamnya
penuh debu
dalam pendambaan. Sia-sia
untuk bersihkan segala ada
juga debu
dan hidup papa

jakarta 1974


Sonetku

1
salib dan darah
satu sekutu
rangkul ini dunia
di pengharapan tegas-tegas
antara mentari di mentari

2
tonggak dan tali
penggantungan lepas
lingga
tonggak antara:
panjatan

3
salib dan darah
satu sekutu di tonggak
sambil berseru
: Isa, Isa! aku menyerah

bandung mei 1975


Kepada Ully Sigar Rosadi

badai apa menghempas lepas
sementara tuahku hilang
badai apa singgah mendera
sementara bisu berpadu

yang laras
datang berdendang
dalam kembara
sayu

ada lagikah yang lebih Kau
dari dalam laut dari tinggi gunung
ada lagikah yang lebih-Nya
ke dalam hati ke luar kata

yang pukau
kencana lembayung
mega-mega
dara-dara

sepikah yang dibuang alur
antara janji dan tangga asa
sepikah yang dibunuh resah
antara ketuba dan manisnya damba

yang bilur
sendawa lasa
berbuah
keranda

1980


Selamat Malam Kelepak Gundah
pada yuni irawan

gugurlah sumsum sunyi
dan kubur mata iseng lelaki
dari tiap jendela ragu
dan sayap luka

kalau saja dalam beting mimpi
kita jumpa

kata-kata semakin liar
semakin mahar
gaun kekalahan pun kuterima
dan jas kedamaian begitu usang kupasang

kalau saja sisa mimpi
disimpan di rumah besi
mungkin engkau dayangsumbi itu?

perjalanan semakin kasat
langkah pun semakin lambat
memagar hasrat

dalam denting sunyi
ada kata melindap:
selamat malam kelepak gundah!

1981


Kepada Nadir Abbas Kamil

jerat usia
menangkal sebukit citra

tangan kita semakin kotor
dalam permainan tak menentu

bayang-bayang
hanya sekejap mendekat
lantas menjauh

sebaris-sebaris
maut begitu ramah
menegur kita

aku
dan kaukah yang tiba di tebing
dengan suara sepi
dalam kubang pilu

1980


Seorang Anak Berlari dalam Bayang-bayang ketika Mentari Sembunyi di Balik Wajahnya

mentari merangkak di selangkangan senja
menampik sunyi yang bersembunyi
ketika tungkai lengkara meranggas manja

seorang anak merintih dalam nyanyi
melepas palka bunda dalam keranda
ketika dukana berbagai dalam risi

denai merenda lesi yang tinggal
jangan lagi timbang-menimbang
jangan lagi singgang-menyinggang

ah, mentari menangkap lagi wajahnya
seorang anak tadi pun berlari-lari memainkan sunyi
renyahnya jumpa pada senja

jenjang pun ditelusuri
dalam anjang permaisuri

(renangnya dalam buai jamba)

selenggaralah sudah
lelahlah sudah

(renangnya dalam cerai samba)

bocah itu tangkap lagi bayang-bayang
dalam sekap tembang
kendati pasrah melindang

jangan lagi pacu, jangan lagi rancu
biarkan mentari dibeberkan dukana
biarkan sendu menetas randu

ah, sunyinya di sini

1978


Ballada Malindeman dan Putibungsu
untuk pencipta kekal

bahasa damai dalam seluk malindeman
balikkan sarung abadi yang terlepas itu
tanaklah nasi dalam kerudung biru cintamu
kerna dahaga tak pernah lepas jalin ikatan

firdausi hilang sendiri dalam jantung hatinya
lembah-lembah petaka titi tangga bianglala
kerna pagi ini tak ada lagi tujuh bidadari turun mandi

batu di air, belah sendiri…

mawar besi turun mandi, begitulah konon putibungsu
dan tak pernah sedia teteki susu

kerudungnya masih setia lapisi pintu hati kelam
bunda sendiri terdiam menjerang dendam
kerna kaki tak pernah sedia melangkah dalam
dan geram menuntut cari kekasih yang terbang ke samawi lembam

“berikanlah selendang mayang itu, malindeman…”

“suara bayi tak pernah menyentuh hatimu, puan!”
kerna perjalanan sibak getar sepi
tak pernah diam mereguk sangsi

esok hari padi tak tumbuh jadi
detak-detak sebaris gigi
bahasa damai dalam seluk malindeman
tenggelamkan lautan cita
kemana akan cari angin topan untuk gapai letih
bahana suka bila gerangan…
penangkal jelaga
yang datang dan mendidih

firdausi hilang dalam jantung hatinya
lecut langkah tak pernah sampai ke batas-batas
semua dinding hambat terabas
cara makana manusiawi
dalam wajah lepas
melibas!

batu di air, belah sendiri…

“putibungsu, putibungsu
bayimu haus nafsu
tak pernah dapat air susu telaga biru…”

kemana pancuran
kemana siang jadi malam dalam tangisnya
kemana tanda-tanda kehancuran, tanda-tanda kematian
kemana kau, malindeman…

tinggalkan pacul tinggalkan bajak
tinggalkan kerbau tinggalkan sajak
hakiki tenggelam ilusi
intipati terbenam mimpi

“berjanjilah, putibungsu…
kembalilah esok petang bila mentari jadi biru!”
langit kata
deras memancar dalam busa darahnya
tinggalkan rasa
kerna kemarau menghunjam
debu-debu halus pun terbang dari puncak merapi-singgalang
maninjau tak pernah berikan senyum bagi pendatang
hanya lagunya, hanya tariannya dalam alun riak
singkarak terbanting dalam legenda hitam
diraut dendam

“putibungsu, putibungsu…
aku bukan lagi malinkundang zaman
mereguk anggur kematian
dari bahtera semu!”

mata tersesat ke jaring kasat
jemari takar hayat
tak ada lagi hajat
sebelum dekap hidup bersamamu, putibungsu hatiku tersayat…

semua hitam
semua hitam, putibungsu
semua legam
semua legam, malindeman

bahasa damai dalam seluk malindeman
bangkitkan hati putibungsu, bangkitkan batang terendam
menjura sunyi di tepi pagi, tak ada gunanya
mengolah tubuh menjadi perkasa
itulah malindeman! itulah malindeman
lelaki pendendam, lelaki yang cintanya terpendam…
putibungsu bangkitkan hati

putibungsu lupa diri lupa makna
malindeman mabuk diri mabuk makna

“panumu, malindeman..
jantung hatiku, kembang bersemi lagi!”

hanya bentangan mimpi
dekam hati malindeman

hanya bentangan mimpi
dekam sepinya malindeman

hanya bentangan nyata
memagar hati malindeman

hanya bentangan nyata
menggigit luka yang koyak-boyak

putibungsu lari ke surga angsana
cari cinta atas petaka

segala tekad padu
dalam hati putibungsu

segala tekad satu
dalam jantung putibungsu

“firdausi hilang dalam jantung hatiku,
putibungsu!”

suara-suara
menjadi parau
suara-suara memukau
suara malindeman
suara putibungsu
suara orang mabuk bercinta
suara gereseh peseh dari balik ranjang

lihatlah,
putibungsu gadis idola
tak pernah datang menjaja cinta
dengarlah,
genderang perang enggan sentuh lubuk hati
kerna langka jumpa gadis serupa

putibungsu, putibungsu
ada pagar dari langit
ada batas dari bumi

“kutunggu di batang arau,
ketika keluargamu mandi di musim kemarau…”

malindeman, malindeman…
belenggu hati
melenguh setiap diri
malindeman, malindeman…
kau tunggu sebatas langit perak lembayung
mungkin ada asa tergantung

salung sendiri main dalam randai
menggaris-garisi kias sijundai
melindeman terbantai
jadi katai

salung sendiri main dalam indang
baris-membarisi malindeman bertalu-talu mabuk gendang
jadi sendang
jadi endang

salung sendiri main dalam lingkungan hidup
babat hutan jadi redup
demi isi perut

semua sudah luka
manusia sudah kehilangan jiwa

semua jadi manda
manusia jadi gila

malindeman ambil kapak, remukkan hidupnya
babat hati hingga luka

malindeman jadi manda
bermain di pinggir hari
ke tepi senja
menunggu saat perjanjian tiba

(engkaukah don quixot itu, malindeman?)

percayalah,
suara itu, suara asing

“putibungsu, putibungsu…
aku hilang maknawi hatiku!”

suara yang hilang-hilang timbul
gema terbanting di mana-mana

suara yang resah
membabat kisah demi kisah

“putibungsu, putibungsu…
dalam jarak
aku hilang maknawi hatiku!”

malindeman tutup harap
malindeman renggut lindap
malindeman lebarkan sayap
malindeman bungkam seribu basa
malindeman buka pintu
malindeman mimpikan putibungsu
malindeman buka ragu
malindeman masukkan sepi dan bisu

putibungsu harap-harap cemas
putibungsu menunggu cinta
putibungsu menimbang cinta
putibungsu memutus lepas
putibungsu memanggang hati
putibungsu merejam diri

begitulah kodrat
begitulah hayat

“putibungsu, putibungsu…”

suara malindeman
hilang-hilang timbul
“malindeman, malindeman…
bayimu, bayiku juga
kubawa, kuperlihatkan pada Tuhan!”

suara terbanting-banting
suara putibungsu
remukkan hati
sansaikan hati

terpisah dari anak
terpisah dari bapak
langit tak bertuan
sunyi bertambah mega

domba-domba melenguh
tembus tembok-tembok lepas
gontai

“bundakandung, selamat tinggal!”

suara aneh
suara putibungsu

“kemanakah tuan, puti?”

bundakandung mencegah pergi
demi malindeman si tulang punggung
si mata hati
semata loyang

“kembali ke wujud asal…”

suara datar
suara putibungsu

“kau bawakah putera tuan, putera malindemanku, cucuku, puti?”

suara menukik
suara bundakandung
tersekat

“biarlah dalam surga kusimpan kisah kental…
biarlah malindeman, biarlah bundakandung
biarlah puteraku jadi penghubung kekal…”

suara datar
suara hilang
suara putibungsu
suara ketabahan

langit kata
jadi busa
samawi harap
jadi kerap

terang-benderang langkah
tinggalkan sitiung
cerlang datangnya pasrah
tinggalkan silaing

bukit-bukit hati
bukit-bukit sepi
lautan hati
lautan kata
tak terkirakan
sepi pecah
hati remuk

“malindeman, malindeman…”

suara putibungsu
suara hilang
suara datang

“dalam kaba kita jumpa…”

suara putibungsu
suara hilang suara datang
suara luka mengoyak-boyak

“aku rindu bapakku, malindeman!”

suara putibungsu
suara hilang suara datang
suara yang lama dikenal malindeman

suara pelipur lara dalam tiap malam
suara yang hilang

“bapakku rindu cucunya!”

suara putibungsu
suara hilang suara datang
suara-suara jalang

“bapakmu rindu cucunya?
bapakmu rindumu, puan?”

langit pun kemerah-merahan
ssemakin perak
tangga pun hilang sedikit demi sedikit

“putibungsu, putibungsu…
dengarlah,
yang menyuntingmu, selain aku
adalah bapakmu
lelaki yang mencintaimu, selain aku
adalah bapakmu

“putibungsu, putibungsu…
engkau terimakah mahar dari bapakmu?”

malindeman geram
suaranya berat
malindeman dendam
hatinya tersayat

“putibungsu, putibungsu…
kembalilah!”

malindeman geram
suaranya berat
menukik ke dalam jantung
menjerat

langit pun kemerah-merahan
semakin perak
semakin emas
tangga pun hilang sedikit demi sedikit

putibungsu melangkah sambil menari
melindeman rindu dendam dalam hati

putibungsu menjauh
malindeman melenguh

bermain-main dalam ruang mata
mencabik-cabik kisah lama

malindeman mengucap-ucap
kata sendiri jadi lindap

surat terbaca di air
tertulis di batang agam
mengalir bersama suara listrik
surat terbaca di air
terjaga hati dekat beragam
kita jatuh di tiap distrik

melindeman mengucap-ucap
kata sendiri jadi lindap

“perempuan lain jadikan umpan, putibungsuku…
tak pernah ada hati selain kau, puan!”

oh,
semua ada dalam jiwaniku!

bandung 1982


Tentang Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Iwan Soekri Munaf lahir di Medan, 4 Desember 1957. Tulisan pertama dimuat di ruang kecil Kompas, Sabtu 3 Juli 1971 (bersamaan penyelenggaraan pemilu ke-2), sebuah cerpen anak. Masuk Institut Teknologi Bandung tahun 1978 mengambil jurusan astronomi, serta masuk Fakultas Publisitas Universitas Pajajaran tahun 1981. Karya puisinya dimuat di antologi puisi gas ITB 1979 dan antologi puisi bebas gas ITB tahun 1980. Tulisannya tersebar di harian Suara Karya, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Berita Buana, Gadis, Puteri Indonesia, Kartini, Zaman, Anita. Sempat menerbitkan novella anak: Tamasya ke Negeri Semut, 1983. Sejak kawin dan punya 2 anak, ia jarang lagi kongkouw dengan seniman. Segala karya menjurus pada materi. Katanya:”Aku ingin jadi penyair yang kaya batin dan kaya materinya!”. Catatan: Di bagian bawah biodata ada tercetak kurung nama Acep Zamzam Noor. Barangkali bagian ini disunting oleh penyair itu.      


Catatan lain
            Sebuah pengantar unik ditulis oleh Saini KM. Katanya: “Semula saya bermaksud memilihkan sajak-sajak dalam kumpulan ini. Akan tetapi setelah membacanya, pikiran saya berubah. Saya berpendapat lebih baik saya menulis sebuah pengantar. Memilihkan sajak untuk suatu kumpulan akan sama artinya dengan memberikan penilaian mutlak; padahal, belum tentu selera pemilih, betapapun jujurnya dan hati-hatinya, bebas dari kekeliruan. Memberikan pengantar lebih adil kepada penyair. Karena, kalaupun pengantar itu sudah mengarahkan perhatian pembaca dan bahkan membentuk prasangkanya, sedikitnya pembaca punya kesempatan utnuk menguji sendiri ketepatan atau kemelesetan penilaian pengantar.”
            Sebenarnya, pengantar dari Saini KM lebih tepatnya memberi tips alias kiat-kiat, atau dalam bahasanya sendiri, memberi bekal kepada pembaca bagaimana sebaiknya membaca sajak dalam kumpulan ini. Pertama, katanya, sebaiknya membaca sajak tidak dimulai dengan tekad dan upaya keras untuk memahaminya. Janganlah menghadapi sebuah sajak seperti menghadapi sebuah karangan ilmiah atau falsafi. Santailah dan biarkanlah sajak itu memasuki kesadaran anda tanpa ketegangan apa pun. Karena, yang penting dalam membaca sajak tidak hanya memahaminya, akan tetapi apa yang terjadi dalam diri anda ketika anda sedang dan selesai membaca sajak itu.
            Kedua, tutur Saini KM, sajak yang baik senantiasa jelas. Namun dikatakan bahwa kejelasan sajak berbeda dengan kejelasan risalah ilmiah. Tinimbang bertanya “apa yang dimaksud oleh penyair ini?” sebaiknya kita menceburkan diri ke dalam kesadaran penyair. Caranya dengan mengajukan pertanyaan: perasaan dan suasana apa yang saya rasakan saat dan sesudah membaca sajak ini? Jika sudah ketemu dapat dilanjutkan dengan pertanyaan: pokok apa atau peristiwa apa yang mendorong penyair menulis sajak ini? Dan apa yang dikatakan penyair tentang pokok atau masalah atau peristiwa itu. Kalau rasa, pokok dan pendapat sudah jelas, biasanya menjadi jelas pula itikad penyair. Tutur Saini KM, yang dimaksud dengan itikad ialah keinginan penyair yang berhubungan dnegna kita sebagai pembaca. Kadang penyair menulis dengan itikad sekedar mencurahkan perasaan, atau ada yang beritikad membuat perubahan pada diri pembacanya.
            Adapun Beni setia menulis bahwa pada Sutan Iwan Soekri Munaf ada semacam ikatan dengan masa lalu, ada semacam tarikan dan ikatan yang bersumber dari kebudayaan ibu, tepatnya dari budaya/tradisi Minang. Personifikasi “aku lirik” sebagai sangkuriang, malin kundang, malin deman dan putibungsu harus dibaca sebagai ketakutan Sutan Iwan akan hilang dan lepasnya akar hubungan dengan budaya ibu. Beni Setia menyebut ada krisis identifikasi yang berubah menjadi semcam pemberontakan. Ini terutama dikaitkan dengan makna merantau bagi orang Minang. Rohani dan jasmaninya merantau dan bertualang! Kata Beni Setia pula, suka atau tidak suka, kumpulan ini dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh warna, budaya dan tradisi Minang. Tema (kegelisahan) batinnya, pola dan teknik persajakan dikatakan berlara-lara urang awak.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar