Laman

Tonggak

Senin, 01 Desember 2014

Joko Pinurbo: TELEPON GENGGAM




Data buku kumpulan puisi

Judul : Telepon Genggam
Penulis : Joko Pinurbo
Cetakan : I, Mei 2003
Penerbit : PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Percetakan : Grafika Mardi Yuana, Bogor
Tebal : xii + 80 halaman (32 judul puisi)
ISBN : 978-979-709-074-4
Editor : P. Cahanar
Desain sampul & ilustrasi : Rully Susanto
Penata teks : Irwan Suhanda
Kata pembaca : Nirwan Ahmad Arsuka
  
Beberapa pilihan puisi Joko Pinurbo dalam Telepon Genggam

Selesai Sudah Tugasku Menulis Puisi

sebab kata-kata sudah besar, sudah selesai studi, dan
mereka harus pergi cari kerja sendiri.


Selamat Ulang Tahun, Buku

Selamat ulang tahun, buku. Makin lama kau makin kaya
saja. Tambah cerdas pula. Aku saja yang tambah parah
dan sekarang mulai pelupa.

Maaf, aku tidak bisa kasih hadiah apa-apa selain
sejumlah ralat dan catatan kaki yang aku tak tahu akan
kutaruh atau kusisipkan di mana. Sebab kau sudah
pintar membaca dan meralat dirimu sendiri.

Kau bahkan sudah tidak seperti dulu ketika aku
berdarah-darah menuliskanmu. Dan aku agak curiga
jangan-jangan kau (pura-pura) pangling dengan saya.

Selamat ulang tahun, buku. Anggap saja aku kekasih
atau pacar naasmu. Panjang umur, cetak-ulang selalu!



Lupa

Pekerjaan yang paling mudah dilakukan adalah lupa.
Tidak butuh kecerdasan. Tidak perlu pendidikan. Hanya
perlu sedikit berpikir. Itulah sebabnya, banyak orang
tidak suka kalender, jam, dan tulisan. Menghambat
lupa. Padahal lupa itu enak. Membebaskan. Sementara.

***

Musuh utama lupa ialah kapan. Teman terbaik lupa
ialah kapan-kapan. Kapan dan kapan-kapan ternyata
sering kompak juga.

***

Ia sudah selesai berdandan. Keren sekali. Pakai jas baru.
Dasi warna-warni. Sepatu mengkilat. Minyak rambut.
Deodoran. Parfum. Wangi.

Sampai di depan pintu tiba-tiba lupa. Sebenarnya mau
pergi ke mana? Berpikir sebentar. Memejamkan mata.
Oh iya. Tadi itu rencananya kan mau ke kamar mandi!
Apa salahnya ke kamar mandi pakai jas, sepatu, dan
segala pernik-perniknya? Anggap saja simulasi. Untuk?
Memasuki rumah sakit jiwa.

***

Mandi lupa membawa handuk atau celana untuk ganti
itu biasa. Mandi lupa telanjang mungkin saja terjadi.
Tapi mandi lupa membawa topeng? Bisa berabe. Untuk
apa topeng diajak mandi? Untuk menakut-nakuti sepi.
Untuk menemani wajah sendiri.

***

Aku sedang melamun di ruang tamu. Memperhatikan
daun-daun dipetik hujan, disebarkan ke halaman.
Hampir petang. Kring kring. Ada becak datang.

Becak diparkir di depan pintu. Bang becak nyelonong
masuk ke ruang tamu. Duduk santai. Merokok. Hap!
 Aku tergagap. Siapa dia? Aku merasa tidak pesan becak.

“Lupa ya?” Ia senyum-senyum. Aku bingung. Terpana.
“Lupa ya?” Ia bertanya lagi. Tersenyum lagi. Tiba-tiba
aku ingat bahwa aku memang pernah bertemu orang
yang mirip dia di rumah sakit, tapi bukan dia.

“Anda lupa ya bahwa Anda belum pernah bertemu saya?
Mengapa harus mengingat-ingat?”

“Ikut saya yuk! Gratis.” Ia mengajakku ke kota dengan
becaknya. Aku menolak. Kapan-kapan saja.

Ketika aku sibuk mengamati daun-daun dipetik hujan, ia
ngeloyor begitu saja dengan becaknya tanpa sempat
kuperhatikan arahnya.

Aku kini merasa lega setiap kali melihat becak melintas
di jalan atau diparkir di halaman karena suatu saat
nanti, jika aku hendak pergi ke kota, akan ada bang
becak yang menjemput dan mengantarku. Lumayan.
Nyaman. Sederhana. Tidak tergesa-gesa.

***

Adakah yang benar-benar habis digerogoti lupa?
Lupa: matawaktu yang tidur sementara.


Kecantikan Belum Selesai

Sudah selesai. Sudah kucoba semua warna.
Sekarang bersiaplah kau di ruang ganti busana.

Belum. Belum selesai. Beri aku sentuhan terakhir
pada rambut, mata dan bibir agar melihatku
adalah melihat kecantikan yang belum selesai.

Perlukah, manis, kuoleskan darah pada bibirmu
yang skeptis agar semua yang mendamba kau
sangsai: apakah kecantikan sudah/belum selesai?

Ditemani dua orang perias wajah, penyanyi itu
tercenung lama di depan kaca, memandang senja
di ufuk mata: melihat elang mengitari mambang.

Ia berjalan pelan ke arah panggung.
Petugas kecantikan segera mengatur tubuhnya
sebagaimana mereka mengatur ruang dan cahaya.
Konser dimulai. Hadirin bersorak-sorai.
Selamat malam. Dua jam bersama kecantikan.

Menjelang lagu terakhir penyanyi itu terkulai.
Ambruk sebelum usai. Sudah selesai, ia menangis.
Belum! mereka histeris. Kecantikan belum selesai!


Telepon Genggam

Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan
perempuan yang kebetulan menghampirinya. Mata
mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita
pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu
yang tembus pandang.

Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar,
bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke telepon
genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya.
Sungguh lho. Awas kalau tidak.

Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda
sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan.
Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan.
Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi.
Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.

Masih terngiang denting gelas, lenting piano
dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal
gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan
diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi
yang tak akan pernah habis diurainya.

Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik
antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari
seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil
yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin
ditinggalkan.

Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul
hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit.
Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo
jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan
telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.

Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja
ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya
sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan
kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan telepon
genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon
genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.

Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar
membayangkan perempuan itu mengucap salam:
Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah
kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang
yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala.
Emangnya mau mati?

Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak
pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu
pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah
undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk
dicocokkan dengan kodoknya.

Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa,
telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia
tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar
suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung
yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di
halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.

Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda
meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa
tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir
kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia
terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.

Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam
mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue
pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia
betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu
terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang
ingin tetap tampak perkasa.

Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi
menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba
memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak
putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari
hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya,
sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam
cengkeramannya.

Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat
seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang
di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah
kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung
berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan.
Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut
rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti
saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam
haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo:
pohon hayat yang tak terlihat waktu.


Sudah Saatnya

Sudah saatnya jam yang rusak diperbaiki. Kita pergi ke
bengkel jam dan kepada pak tua penggemar jam kita
meminta, “Tolong ya betulkan jam pikun ini. Jarumnya
sering maju-mundur, bunyinya sering ngawur”. Semoga
tukang bikin betul jam tahu bahwa ia sedang berurusan
dengan penggemar waktu.

***

Sudah saatnya kita periksa mata. Kepada dokter mata
kita bertanya, “Ada apa ya dengan mata saya, kok sering
terbalik: tidak melihat yang kelihatan, malah melihat
yang tak kelihatan?” Mudah-mudahan dokter mata
paham: ya memang begitulah jika mata kita pejamkan.

***

Sudah saatnya celana yang koyak direparasi, pantat yang
congkak didisiplinkan lagi. Kita temui ahli filsafat
celana, kita tanyakan, “Mengapa celana dan pantat
sering tidak dapat bekerja sama; ada kalanya celana
bikin eksis pantat, ada kalanya pantat benci celana?”
Dapat diduga bahwa jawabannya tidak terduga,
misalnya: “Kita perlu menciptakan situasi nircelana.”

***

Sudah saatnya jiwa yang janggal diselidiki. Kita
konsultasi ke pakar psikologi: “Saya bingung. Saya
sering mengalami situasi di mana saya tidak tahu pasti
apakah sedang berada di masa lalu, masa depan atau
masa kini. Tapi saya masih waras. Sungguh. Awas kalau
berani menganggap saya gila.” Jika ia memang ahli,
seharusnya ia mengerti: ya begitulah jika tubuh kena
teluh puisi.”

***

Sudah saatnya kata-kata yang mandul kita hamili; yang
pesolek ngapain dicolek, toh lama-lama kehabisan
molek. Sudah saatnya kata-kata yang lapuk diberi
birahi. Supaya sepi bertunas kembali, supaya tumbuh dan
berbuah lagi.


Ibu yang Tabah

Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak
suaminya dipinjam negara untuk dijadikan kelinci
dalam percobaan sistem keamanan. Sampai sekarang
belum dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya
cuma pemberani yang lugu dan kadang-kadang nekat.
Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu, meskipun
menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa.
Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering
menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran.

Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun,
menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya
kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat
sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras airmata,
menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya
kepada anak-anaknya bila mereka sakit.

Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia
paling tidak suka melihat orang mudah menangis. Bila
anak-anaknya bertanya, "Mengapa Ibu tidak pernah
menangis?", jawabnya, "Biar kutabung airmataku buat
hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa
memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.”

Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber-
di sekolah partikelir yang hidup enggan mati tak mau.
Sebagian besar muridnya bodoh dan berandal, tapi ya
bagaimana lagi, mereka tetap harus dicintai. Ia rajin
menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi
menangis, menghadapi kegagalan. "Berlatih gagal itu
penting," pesannya berulang-ulang.

Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah
dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya
hiburan adalah menonton televisi yang sudah agak pucat
gambarnya. Dan ia penggemar televisi yang baik. Ia bisa
sangat terharu menyaksikan kisah yang menyayat hati,
misalnya kisah tentang pejuang yang digugurkan negara
dan jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut
trenyuh dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam
mengusap airmata. "Jangan menangis!" bentak ibu yang
tabah itu tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk
menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”


Foto

Ia bangga sekali bisa memasang fotonya yang lumayan
keren di dinding ruang kerjanya, persis di bawah jam.
Berhubung ia sering melaksanakan tugas-tugas negara
di luar kantor, foto itu dianggapnya dapat mewakili
cintanya yang resmi kepada instansi yang dipimpinnya
serta pegawai-pegawainya yang patuh-setia.

Tiap hari ada saja pegawai yang datang terlambat.
Tanpa sungkan-sungkan pegawai langsung menuju ke
ruang kerjanya dan menghormat fotonya: “Maaf bos,
saya telat. Kena macet.” Pegawai yang suka ngacir lebih
dulu juga tidak malu-malu minta pamit kepada fotonya:
“Saya ijin membolos ya bos. Mau buang sebel di kafe.”

Setelah beberapa hari tidak menjenguk kantor, siang itu
ngapain bos nongol. Pura-pura tampak berwibawa, ia
meluncur ke ruang kerjanya untuk menghadap fotonya:
“Selamat siang bos. Apa kabar? Lama tidak kelihatan.”
Para pegawai berpandang-pandangan penuh keheranan.
“Foto itu sudah gila!” seru salah seorang dari mereka.


Laut

Sekali-sekali telepon genggam perlu juga diajak piknik
atau jalan-jalan. Ke pantai, misalnya. Supaya makin luas
pandangannya. Makin lepas jangkauannya.

Di pantai ia jatuh cinta pada laut. Ia memanggil-manggil
nama laut, tapi suaranya lenyap ditelan laut.

Aku tiduran di atas pasir, sementara telepon genggam
sibuk memotret awan dan air, merekam derai dan desir.
“Silakan kau latihan mati,” katanya. “Aku ingin
begadang, mendengarkan bisikan-bisikan laut.”

Sekarang, bila aku sakit, telepon genggam suka
menggodaku dengan suara angin dan ombak. Lalu ia
perlihatkan profil bulan yang malu-malu. Profil ajal
yang diutus waktu. “Ingat, kau sudah latihan mati di
pantai,” bisiknya. Tiba-tiba aku mendengar
gemuruh laut.


Masa Kecil

Masa kecil seperti penjaga malam yang setia. Ia yang
membuka dan menutup pintu setiap kau masuk dan
keluar kamar mandi. Sementara kau sibuk mandi, ia
duduk manis di sudut sepi, membaca cerita bergambar
sambil ketawa-ketawa sendiri. Jangan suka lihat orang
mandi, nanti sakit mata! Ia langsung menutup
wajahnya dengan buku, seakan geli atau malu melihat
tokoh komiknya yang (tidak) lucu.


Anjing

Rumahku dijaga dua anjing cerdas: anjing sungguhan
dan anjing-anjingan. Anjing sungguhan sungguh cerewet
dan sok polisi: sepi berkelebat sedikit saja ia sudah
panik lalu menyalak keras sekali. Anjing-anjingan
sungguh kalem lagi pemalu: maklum, tubuhnya terbuat
dari waktu, eh batu.

Entah mengapa malam lebih takut pada anjing-anjingan
ketimbang pada anjing sungguhan sehingga anjing
sungguhan jadi cemburu. “Aku yang sibuk menjaga
rumah ini, kau yang lebih ditakuti. Dasar anjing!” kata
anjing sungguhan kepada anjing-anjingan.

Aku sering terbangun dari tidurku mendengar dua ekor
anjing bertengkar hebat di depan pintu. Dari suaranya
aku bisa tahu bahwa anjing sungguhan makin lama
makin frustrasi. Aku baru sadar bahwa anjing-anjingan
bisa lebih anjing dari anjing sungguhan. Tapi kalau
tidak ada anjing sungguhan, anjing-anjingan pasti akan
sangat kesepian. Bisakah kalian berdamai, hai anjing-
anjingku?


Pelajaran Puisi

Ia sering bingung: apa yang harus ia lakukan untuk
murid-muridnya saat ia memberikan pelajaran puisi.
Susah-susah amat. Ia bentangkan saja puisi di papan
tulis atau di dinding kelas.

“Puisi itu hutan rimba,” ia memulai pelajaran. “Kalian
mau jadi anak rimba?” Meskipun sebagian besar
muridnya anak-anak kota, mereka ternyata mau
mencoba menjadi anak-anak rimba. “Kota juga rimba,”
cetus pak guru yang pandang matanya seluas rimba.

Setelah menunjukkan beberapa celah untuk masuk
rimba, ditambah sedikit penjelasan tentang peta rimba,
ia meminta murid-muridnya segera menjelajahi rimba.
Semula ada yang takut-takut, namun setelah dilecut-
lecut akhirnya berani juga. Ada pula yang belum-belum
sudah bergidik: “Kalau ada ular, bagaimana?” Pak guru
merasa geli: “Jangankan di hutan, di kamar mandi pun
kadang ada ular.”

Ribut sekali. Mereka berhamburan ke dalam rimba
sambil bersorak-sorak: “Rusa jantan berlari masuk
hutan….” Kemudian ada yang menimpal: “Curang!
Memangnya hanya rusa jantan yang bisa berlari masuk
hutan? Rusa betina juga bisa. Ayo balapan!”

Guru puisi itu tampak tenang-tenang saja, tapi waspada.
Ia sudah sangat sering masuk hutan dan tahu rahasia
rimba. Ia sibuk berjaga-jaga, siap memberikan
pertolongan darurat bila, misalnya, ada muridnya yang
linglung atau tersesat.

Tiba-tiba suasana berangsur senyap. Tak terdengar lagi
derai tawa dan suara bernyanyi bersahutan. Ia mulai
panik. Jangan-jangan mereka benar-benar tersesat.
Jangan-jangan ditelan gelap. Jangan-jangan ada yang
masuk jurang. Jangan-jangan ada yang digigit ular. Ia
ingin sekali mencari dan menemukan mereka, tapi sama
sekali tak ada sinyal suara. Malah ia sendiri tiba-tiba
takut tersesat. Takut pada yang tak terlihat.

Ia masih tercenung gundah ketika murid-muridnya satu
persatu muncul dari dalam rimba. Ada yang pakaiannya
kusut dan kotor. Ada yang wajahnya belepotan tanah.
Ada yang lecet-lecet, bahkan luka-luka. Ada yang pantat
celananya jebol. Ada yang kehilangan tas dan kamera.
Ada yang pura-pura kesurupan dan sakit jiwa.

Setelah semuanya berkumpul kembali, dengan nada
murung ia berkata: “Maafkan saya ya, tadi cuma
menunjukkan jalan masuk rimba, tapi tidak memberi
tahu jalan keluar rimba. Aku ingin menjemput kalian
sebenarnya, tapi khawatir kalian merasa dikira anak
manja.” Seorang murid yang rambutnya jadi mirip
rimba menukas: “Jangan terlalu sensi(tif) dong Pak.
Kami baik-baik saja. Lihat nih, kami masih utuh.”

Tiba-tiba matanya berbinar-binar kembali. Lalu ia agak
kewalahan mendengarkan celoteh murid-muridnya. Tadi
saya hampir terperosok ke jurang lho Pak. Saya
berpapasan dengan ular. Saya malah sempat mandi di
pancuran. Saya ketemu pelangi di sungai. Tadi ada
monyet naksir saya lho Pak. Saya terjatuh tanpa sebab.
Saya terguling di tebing. Saya anak rimba!

Bel berbunyi. Bubar. Pelajaran puisi (untuk sementara)
selesai. “Terima kasih ya Pak.” “Lho, jangan berterima
kasih kepada saya. Berterima kasihlah kepada puisi.” Ia
baru sadar bahwa tadi ia tidak sempat sarapan sehingga
perutnya kembung. Agak terburu-buru ia meninggalkan
ruang kelas. Langkahnya kelihatan goyah. Tubuhnya
kelihatan ringkih. Tapi ia adalah raja rimba. Ia kepalkan
dan acungkan tangannya: “Hidup puisi!”

Gerimis berderai membasuh rambutnya yang keperak-
perakan. Gerimis siang. Seperti ribuan diksi dan imaji
berhamburan dari pohon hayat yang rimbun dan tinggi.
Seperti ribuan morfem dan fonem bertaburan dari
pohon waktu yang tak pernah mati. Dan ia berjalan
tergesa dengan perut lapar dan kembung. Nun di
belakang sana murid-muridnya berdiri dan bernyanyi:
“Rusa jantan berlari masuk kantin ….”


Justru

Salahnya sendiri, suka usil bermain kata, merakitnya
menjadi boneka yang seringainya justru membuat ia
takut setengah mati, kemudian bersembunyi di kamar
mandi, padahal di kamar mandi ada dedengkot boneka
yang lebih rumit seringainya, yaitu tubuhnya sendiri.


Tentang Joko Pinurbo
Joko Pinurbo lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, 11 Mei 1962. Menyelesaikan pendidikan di SMA Seminari Mertoyudan Magelang dan melanjutkan studi pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma Yogyakarta (tamat tahun 1987). Sejak tahun 1992 bergabung dengan kelompok Gramedia. Kumpulan Puisinya: Celana (1999) memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001, Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapat penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2002, Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004) menerima penghargaan Sastra Khatulistiwa tahun 2005, Pacar Senja – seratus puisi pilihan (2005).


Catatan Lain
Ini kata Nirwan Dewanto di bagian depan buku: “Penyair kelahiran 1962 ini adalah antipoda puisi lirik sekaligus puisi protes. Ia berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik, sementara kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan [dan bukan kompleksitas] dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika.”
            Di bagian belakang, Nirwan Ahmad Arsuka ambil bagian, dalam tulisan yang bertanda  Jakarta, Mei 2003 itu ia ada menulis: “Yang memang terasa berubah dan mengganggu pada Jokpin di kumpulan puisi ini adalah semangat bermainnya yang agak kelewatan. Penyair kita menjadi agak terlalu tekun mengembangbiakkan kata. Kata-kata pun melimpah, membuat sesak ruang teks sehingga tak banyak lagi tersisa ruang kosong dan lapang yang bisa menampung dan melepaskan imajinasi pembaca. Kata-kata yang membanjir, membuat becek dataran puitik yang hendak dijelajahi, dan kita terpaksa berjinjit, mencari tumpuan frase dan diksi menonjol di antara genangan kata yang banyak muncul. Mungkin kita tak lagi bisa menari dengan bebas, tapi kita tetap bisa melangkah sampai akhir tanpa terjatuh dalam kubangan kata-kata.//… Namun demikian, kumpulan puisi ini jelas masih memungkinkan kita mengenang banyak serpihan imaji yang berharga.”
            Penyairnya sendiri turut menyumbang Kata Penyair. Ia mengaku bahwa puisi-puisi dalam buku ini ditulis tahun 2003, kecuali “Rendezvous”, “Tikus”, “Mataair”, “Ibu yang Tabah”, “Anak Seorang Perempuan”, yang ditulis tahun 2002. Dan “Telepon Genggam” dan “Laki-laki tanpa Celana”, yang ditulis 2002/2003.
            Dan yang menjadi penutup tulisan penyair bertanda Yogyakarta, Mei 2003 ini, adalah paragraf berikut: “Damba saya sebagai penyair sederhana saja: ingin terus menulis selagi bisa menulis. Menulis dalam suasana sebagaimana terlukiskan dalam bait sajak ini: Apa salahnya, sesekali kita berlupa/sesekali kita kembali jadi bocah manja/tidak tahu bencana yang bakal tiba/tidak sempat berpikir tentang dosa [Hartojo Andangdjaja, “Kwatrin Tidak Bernama”, dalam Buku Puisi]. Menulis dengan spirit – meminjam judul lagu U2 – I still haven’t found what I’m looking for.
            Di bagian yang menjadi halaman persembahan atau apalah namanya, ada kutipan lagu U2 kembali, yaitu “Stay”: “Three o’clock in the morning/It’s quiet and there’s no one around/Just the bang and the clatter/As an angel runs to ground”
            Nah, sekarang bagian saya berkomentar tentang buku ini. Saya senang jokpin karena ia tidak pelit menyedekahkan puisi-puisinya. [Saya berpendapat, bahwa penyair perlu juga menyedekahkan puisinya ke publik untuk dinikmati dan Jokpin termasuk yang royal dalam hal ini: ia menyedekahkan semua!]. Saya kira, semua puisi di buku ini tertulis semua di blognya, saya tinggal copy paste dan memeriksa bukunya. Tak ada ralat terkait kesalahan penulisan, tinggal menyesuaikan pemenggalan baris dan beberapa cetak miring. Dan puisi yang muncul di blog ini kali ini, juga tak mengalami perkembangan (yang memungkinkannya muncul dalam beberapa versi), ia masih orisinil seperti di bukunya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar