Laman

Tonggak

Senin, 01 Desember 2014

Rida K Liamsi: TEMPULING




Data Buku Kumpulan Puisi

Judul : Tempuling
Penulis : Rida K Liamsi
Cetakan : II, Maret 2005 (cet. I: Juni, 2002)
Penerbit : Yayasan Sagang, Pekanbaru.
Tebal : xxiii + 94 halaman (29 judul puisi)
Ilustrasi dan kulit : Asnawi KH
Kata pengantar : Hasan Junus
Laman : www.erdeka.com

Beberapa pilihan puisi Rida K Liamsi dalam Tempuling

Ode X

Ada seribu mawar
seribu merah
seribu pagi
basah

Tapi aku mau pergi
dari satu ke lain malam
Luluhkan sukma dalam gaung gaib
gua resahku
Karena seribu bunga layu
dalam genggam ku
Karena aku tak bisa berikan selamat pagi ku
pada kupu-kupu

Mawar merah
pagi yang basah
Jangan berikan selama pagi mu
: Pada bumi
yang cemburu kupu-kupu
berikan bau peluh mu

1975



Tempuling

Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menemukannya
sehabis sekolah
: Tuhan
Siapa lagi yang kini telah menyerah!

Tak terlihat tanda-tanda
Tak tercium anyir nasib
Tak tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
yang jauh dan ngilu
di antara cuaca
dan gemuruh karang

Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai

Seorang bocah menatapnya
penuh gelisah

: Tuhan
Diakah kini yang telah menyerah?
telah kalah?

: Tuhan
Dia memang telah berbisik

Pindahkan pancang
sebelum pasang

Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
guru
lesap
lewat tingkap
tersuruk
di antara tungku
menunggu gelap

Sebatang tempuling tersadai di bibir pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan pelupuk nya
telah basah

: Tuhan
Bawalah seorang menemukan nya
menguburkan nya di antara pantai
memberikan nya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke lubuk dalam
yang akupun tak tahu
di mana akan kutuliskan
rinduku

[1982/1996/2000]


Biarkan Dukacita Itu

Telah adam salibkan ia di kaki gunung percintaan
Telah adam logamkan ia pada karat sebilah pedang
Dan kita pun menerima nya sesempurnanya

:Sayang ku
Biarkan bulan di situ mencurahkan rindu
Biarkan mentari di sana mendedahkan luka
Biarkan kita di sini
di cermin kacau
di jurang waktu

:Sayang ku
Biarkan dukacita itu jadi seteru

[1974-2001]


Di Stockholm
kepada : DI

Dari sebuah taman di Stockholm, suatu petang
kita menyaksikan monumen sebuah jangkar
di antara pelabuhan dan tiang-tiang perahu
dan kau berkata :

Seberapa jauh kita berlayar
kita harus sampai
harus melabuh sauh
dan turun ke pelabuhan
tapi jangan menoleh ke belakang
sebab di belakang adalah laut
sebab laut adalah misteri
yang menyimpan rindu
yang mengeram takut
yang menulis cinta
yang memendam benci

Dari sebuah taman di Stockholm, suatu petang
kita memandang cuaca dan gemerisik angin
dan kau berkata :
Seberapa jauh kita berlayar
kita harus menyimak cuaca
kita harus menghitung angin
tapi jangan menoleh ke belakang
sebab di belakang adalah sepi
sebab sepi adalah misteri
yang menyimpang dendam
yang membunuh mimpi

[2000]


Laut

Seperti mereka sediakala
akupun berdiri di tebing mu
dengan sebatang tempuling

Tikam!

Maka ku tikam jejak riak mu
yang kutahu tak siapapun tahu
di mana tubir mu

Sentak!

Maka kusentak tancap harap ku
Yang kutahu tak siapapun tahu
di mana palung mu

Seperti mereka sediakala
akupun tak pernah menyerah
pada keluasan
pada kebiruan
pada untung nasib
yang hanyut dari teluk ke teluk
yang terombang ambing di pundak
ombakmu

Seperti mereka sediakala
Akupun senantiasa
Tikam!
Sentak!
Tikam!
Sentak!
Tikaaaaaammm!
Sentaaaakkkk!
!
!
!
!

Tempuling ku
Asin mu
Hanya musim
yang bermain

[1982/2000]


Kemejan

Ke lubuk paling ceruk manakah kau
akan menyuruk
ke palung paling ujung manakah kau
akan berselindung
Akan sampai juga jejak tempuling
menghentak punggung
membiarkan engkau
melepas dendam zaman
ke puncak laut

Apa lagi rahasia mu memenangkan pertarungan ini?

Ada pada mu ombak
tapi tak berbadai
Ada pada mu arus
tapi tak berangin
Ada pada mu taring
tapi tak bergeming

Apalagi rahasiamu...
Kecuali lubuk
ke mana sebelum menyerah
kau akan kembali

Kecuali nasib
kepada siapa kau
akan berdamai
Kecuali dendam
ketika kau mengibaskan
ekor mu

ketika kau hitung detak detik
jejak langkah mu
di antara amis musim
di antara ngilu waktu
di antara tikam
dan kilat tempuling

Kecuali pekik pedihmu
:           Tuhan
Inikah nasib ku
Inikah cinta Mu

[1982/1996/2000]


Bulang Cahaya

Elang putih
berekor panjang
mengigal berahi
di ujung tanjung
mengirim isyarat
ke semua pintu :
Terimalah cintaku
cinta tak berkeris
cinta tak bersuku
cinta yang tak tersurat
dalam lagu-lagu

Angin berkisar
perahu berlayar
kudengar sendumu
di ujung sitar :
layang-layang
bertali benang
putus benang
tali belati
cinta ku lepas, cinta ku kenang
cinta sejati, ku biar pergi
hati ku kusut
rindu ku hanyut
berahi ku luput

Ombak gemuruh
mengobar dendam
membakar hari
mengubur mimpi
mengirim rindu
ke semua pintu :
Inilah cintaku
ku dulang jadi timah
ku pahat jadi patung
ku rendam jadi rempah
ku gulai bagai rebung
ku simpan duka ku
sampai ke ujung

Kemarau menderau
padang kerontang
sedih
pedih
dendam
rindu
sangkak
pantang
sumpah
seranah
jadi barah
jadi luka
sejarah

Elang putih
berekor panjang
mengigal sendiri
di ujung petang
mengirim rindu
ke semua pintu :
Kini cintaku
jadi sembilu

[1975/2001]


Ombak Sekanak

O, ombak sekanak
Angin barat
gelombang barat
Laut Sekanak
ombak Sekanak
Kemana kita akan pergi
Pergi
Seperti sepotong sabut
terombang ambing
terkapung kapung
di pucuk ombak
di pucuk buih
di pucuk angin
di rasa ingin
di rasa dingin
di rasa sansai
di rasa lepai

Dimana kita akan sampai
Sampai
seperti sepotong sabut
yang hanyut
yang tersangkut
yang terlempar
yang terdampar
di bibir pantai
di celah karang
di tiang jermal
di kaki tebing
di peluk teluk

Kita seperti sebuah perahu
berlayar
berlayar kertas
berlayar kain
berlayar mimpi
berlayar
di angin barat
di gelombang barat
di laut sekanak
di ombak sekanak

Kita seperti sebuah laut
laut yang tak semua surut
ombak yang tak semua reda
badai yang tak semua
Kita seperti sebuah gapai
yang harus sampai
sampai ke pantai
melepas sansai
melabuh sauh
menambat sungguh
O, ombak sekanak


Jebat

Telah kau hunus keris
telah kau tusuk dendam
telah kau bunuh dengki
tetapi, siapakah yang telah mengalahkan mu

Kami hanya menyaksikan luluh rasa murka mu
celup cuka cemburu mu
kubur rasa cinta mu
di bayang-bayang hari mu

Kami hanya menyaksikan waktu menghapus jejak darah mu
angin menerbangkan setanggi mimpimu
ombak menelan jejak nisan mu
di balik cadar mimpi-mimpi mu

Kami semua telah mengasah keris
telah menusuk dendam
membunuh dengki
meruntuhkan tirani

Tapi siapa yang telah mengalahkan kami
Menumbuhkan khianat
melumatkan sesahabat
mempusarakan sesaudara

Kami hanya menyaksikan waktu yang berhenti bertanya
sejarah yang berhenti ditulis
dan kita hanya membangun sebuah arca

[2002]


Rembang Petang

Adakah kita memang telah siap
ketika sebuah rembang datang
rembang petang
dan kita harus menyapanya
dengan sukma yang tenang?

Kita ternyata masih sering terkesiap
ketika menangkap gemersik dedaunan
ketika bunyi tokek mengusik
ketika sebuah iring-iringan lewat
meski hanya sebuah arakan pengantin
sebuah sunatan kanak-kanak
sebuah unjuk rasa para tunawisma

Kita memang masih sering renyah
ketika sukma bersentuh dengan remah-remah
ketika harus berkemas di pekarangan
menyisihkan sisa dedaunan yang luruh
sesudah hujan
sesudah panas
menggali lubang
membakar
dan menatap asap
layap
menuju lanskap

Kita memang masih sering resah
ketika melewatkan saat rehat
saat meneguk kopi
menyetel kasset
atau membelai pundak Blacky
saat tiba-tiba merasa
: hidup seperti
sebatang akasia
di sudut jalan
membangun bayang-bayang
panjang dan lengang
ketika tiba rembang
rembang petang

Kita memang masih sering terkesiap
ketika menatap kalender
mengingat hari
menyetel televisi
dan bergumam
: kematian seperti
sehelai daun
luruh ketika rembang
terpuruk di sudut jalan
dikubur bayang-bayang

Apakah kita memang telah siap
ketika tiba sebuah rembang
rembang petang
Dan menyapanya dengan sukma
yang tenang?

[1988/2000]


Pancang Nibung (I)

Pancang nibung
di sudut berdengung
teritip ngelembung
di musim bersambung

sudah beribu perahu
tambat
beribu kail
redam

beribu umpan
lesap
beribu pagut
luput

beribu harap
lepas
beribu tunggu
lalu

Tapi cuma ombak
cabar arus
cuma arus
gempur perahu
cuma perahu
goyang pancang

cuma pancang
koyak jejak
cuma jejak
menjejak redam

tapi cuma bisu
bila kemejan akan
di mana kemejan akan
ke mana kemejan akan

tapi cuma cari
beribu tahan
menunggu kemejan
beribu tangan
mengedan kemejan
beribu bisik
membujuk kemejan

Pancang nibung
di surut berdengung
teritip ngelembung
di musim bersabung

Cuma waktu
mencabut mu
dari terumbu

[1998/1990/2000]


Pancang Nibung (II)

Pancang nibung
di laut berdengung
Entah berapa camar
yang
pernah
hinggap

Tinggalkan jejak
di puncak
tunggu mu
           
[1988/2002]


Tentang Rida K Liamsi
Rida K Liamsi jika dibaca dari belakang (kanak ke kiri) maka akan muncul nama Ismail Kadir. Itulah nama sebenarnya dari penyair ini. Juga pernah menggunakan nama pena Iskandar Leo.  Lahir di Dabosingkep, Provinsi Kepulauan Riau, 17 Juli 1943. Pernah menjadi guru Sekolah Dasar, sebelum terjun menjadi Jurnalis. Delapan tahun jadi wartawan Tempo, lima tahun di harian Suara karya, kemudian ke Riau Pos, hingga menjadi CEO Riau Pos Group (RPG). Kumpulan puisinya: Ode X (1971) dalam bentuk stensilan, Tempuling (2003). Novelnya Bulang Cahaya (2007). Kumpulan puisinya yang terbaru Rose. Mendirikan Yayasan Sagang, di mana sejak 1997 telah menerbitkan Majalah Budaya Sagang. Dan setiap tahunnya, sejak 1996, memberikan penghargaan kepada Seniman dan budayawan, karya-karya budaya, institusi budaya, penelitian budaya serta jurnalisme budaya yang bernafaskan budaya Melayu, yang diberi nama Anugerah Sagang.


Catatan Lain
            Barangkali dua paragraf ini menggambarkan betapa sulitnya memberi judul sebuah buku puisi. Maka inilah pergulatan penyair yang ditulis dalam pengantar buku ini: “Semula, beberapa tahun lalu, kumpulan ini akan diberi Ombak Sekanak , salah satu judul puisi dalam kumpulan ini, sebagai simbol dalam perjalanan hidup, pengembaraan dan percikan-percikan mimpi. Tetapi kemudian saya memutuskan mengambil nama itu untuk buku otobiografi saya, yang mungkin lebih pas. Pilihan selanjutnya seperti yang sudah sempat diceritakan pada teman-teman adalah Kemejan (juga dari salah satu puisi dalam kumpulan puisi ini), sebagai lambang dari perjalanan nasib dan pergulatan hidup, namun terasa sangat pasrah, dan bertentangan dengan filosofi hidup saya yang sejak lama memahami arti sikap optimisme dalam hidup. Memahami arti kerja keras dan kesungguhan dalam membangun jati diri. Membangkitkan etos untuk mengatakan,”Menjadi apa dan menjadi apa dan menjadi siapa aku ini?”//Lalu saya memilih Tempuling (juga judul salah sajak dalam kumpulan ini), karena pada nama itu, pada kilatan dan tajamnya mata tempuling itu, tersimpan kekuatan makna kehidupan. Ada semacam energi dari dalam diri yang bangkit dan memancang visinya. Di tangan hati yang arif, di lengan pikiran yang jernih dan di sukma yang tawadduk, sebatang tempuling adalah semangat, adalah tekad, adalah roh akan menentukan ke mana hidup ini akan pergi, memberi makna, dan meninggalkan jejak. Tempuling adalah sebuah pilihan sikap.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar