Laman

Tonggak

Minggu, 03 Mei 2015

Timur Sinar Suprabana: KESIUR DARI TIMUR




Data buku kumpulan puisi

Judul : Kesiur dari Timur
Penulis : Timur Sinar Suprabana
Cetakan : I, Januari 2012
Penerbit : Katakita, Yogyakarta.
Tebal : 144 halaman (84 puisi)
ISBN : 978-979-3778-67-9
Editor & desain artistik : Sitok Srengenge
Penata letak & aplikasi desain : Cyprianus Jaya Napiun
Lukisan cover : Markaban

Beberapa pilihan puisi Timur Sinar Suprabana dalam Kesiur dari Timur

kata

kata Datang kepadaku. bertanya
: tahukah kau. o. Siapa menghuni tanda baca
justru ketika kau mengembarai huruf-huruf
yang kekal
yang selalu gagal melupa Cinta

tahukah kau
o, Siapa?


tanpa rasa Pedih

telah kuhapus kau dari mengapa aku mencintaimu
barangkali dengan perasaan seperti bagaimana guru
membusak soal-soal uraian di papan tulis dalam kelas
menjelang berganti jam pelajaran dari sastra ke matematika

telah kuseka dengan telapak tangan gemetar
menggenggam penghapus dengan sisa tenaga penghabisan
yang memucat lunglai di lengan yang tiba-tiba tak bertulang
kerna betapapun jauh kutempuh tiada yang bakal tergayuh

telah kuhapus
telah kuhapus
sebelum benar-benar pupus
kerna terhadapmu aku ini Cinta yang tak sanggup jika mesti layu

seperti selada di piring gado-gadomu yang Dulu



cinta

ia Bukan jika kerna mata
sebab mata gampang terpedaya

ia Bukan jika masih bisa terutara
sebab kata hanya gema yang fana

ia Bukan
kecuali terhadapnya kau hanya bisa Ya

meski mungkin Tidak selamanya


baca

telah kubaca
bahkan hingga yang Bukan kata

o, semua kau Ternyata
: kekasih
: Kekasih

Bahkan beta Juga
o, dikau Pula
: kekasih
: Kekasih

telah kubaca
telah kubaca
makin kubaca
: betapa tiada yang Bisa tiada
betapa tiada
yang bahkan kita sempat sangka Telah tiada

kini kucoba baca
yang kau Belum hendak menuliskannya
melaluimu
wahai, kekasih
wahai, Kekasih

wahai!


surga

di angin yang entah bagaimana mulanya
senantiasa mengekas santer ke tenggara
mungkin terpeta, bernoktah-noktah, di mana sorga
menyembunyi di sebalik kabut cahya

“ayo,” bisikmu. “kita ke Sana”
“tidak, kekasih,” gumamku. “aku Letih terpedaya.”

dan, sembari tersedu, ia pun melukar usianya
sampai bola lampu-bola lampu pecah Semua.


ketika keretamu melaju

ketika keretamu melaju, barangkali menembus hujan yang
menderas di sepanjang empat ratusan kilometer dari timur ke
barat itu, sungguh hatimu telah lebih dulu mengapung dan
melayang sekaligus melayang dan mengapung di sela degap
jantung
tinggal kutunggu dirimu
sembari sesekali berulang tersipu
: digoda Rindu


di dalam Hujan

kota seperti keluh
: juga Cinta. luruh

malam berhujan
hijau dedaun kelabu kehitaman

lalu angin yang tak berarti apa-apa
mendesau fana. dari tenggara

di langit
: sunyi berderit

entah siapa
menghilang di tikungan sana

ah, betapa kurindu tiktak jam
lerai dari pertengkaran

kupilih senyap
: doa-doa yang tak terucap

kubiarkan hujan
menderas di dalam Hujan

seperti kubiarkan Bunga
menghapusi warna kelopaknya


“mengapa tak kaucegah?” tanyamu
“ketika kujauhkan diri dari rindu.”

aku, pucat dan basah dan kedinginan,
berkata, Tidak!”, terhadap kenangan

membiarkan kau Tidur
melupa umur

sendiri
hingga Kini!


jalanan

                -mengapa aku berlinang air mata
                saat kutulis sajak ini?

jalanan Bukan jalan, kekasih
seka pupurmu
hapus gincu itu
kelupas cat kuku
luruh gelang dan kalung itu
duduklah sebentar di hadapanku
tatap mataku
: tidakkah kau bisa lihat anak-anakmu
membayang lelap di bola mataku
meski padahal mereka bukan anak-anakku
mengapa tapi tiap mereka merindukanmu
selalu bertanya mengenaimu padaku
dan tidak memanggili namamu
atau apalagi meneleponmu

jalanan Bukan jalan, kekasih


sajak dari ketika Tadi ke luar Sebentar

aku Seperti menyaksikan bagaimana tiba-tiba
diriku Tidak bertemu manusia
dan bersua melulu dengan debu yang menggebalau sia-sia.
menggelapi udara kota seolah bulir-bulir entah apa
yang bersidesak mencari jalan masuk meracun rongga dada.

aku Seperti menyaksikan
bagaimana tiba-tiba diriku Tidak bertemu ingatan
yang memautkanku dengan tuhan
atau sekedar penghiburan. begitu jauh dari harapan
ketika orang-orang miskin tak bosan-bosan berdoa
dan tiada satu pun yang terkabulkan.

aku tertawa dan gema tawaku menertawaiku.
aku Seperti tiba-tiba Tidak berdaya
bukan kerna oleh rindu atau lantaran jatuh cinta,
melainkan kerna mendadak segala menjadi tua
dan dengan susah payah saling mencoba bertegur sapa
seperti kanak-kanak belajar bersepeda.

“mengapa kau tak Segera pulang saja?”
tanyaku pada saya yang melangkah sembari menunduk
seolah dengan begitu dia pikir tak seorang pun tahu
kalau sedang tersipu
karena perasaan teraduk.
“bagaimana saya berhak pulang
kalau saya tak pernah pergi?”
jawab saya sebelum jatuh terduduk.

barangkali akan makin sunyi dan kian lenyi
kalau saja engkau, o, kekasih, tidak tiba-tiba
menyelinap dalam ingatan dan ngebut main bombom car
dalam benak yang mendadak memerah tua
kemudian meluncur ke rongga dada
menabraki degap jantung yang senantiasa meremaja

sembari tertawa-tawa!


sampun Dalu

dengan Cinta terhadap
:darmanto jatman       

sampun dalu
bisikku padamu
yang belakangan selalu kurindu
padahal engkau lenggah di hatiku

sungguh sampun dalu
bahkan tiktak jam telah pula membisu
semua lukisan markaban membiru
dan sajak-sajak mulai rebahan di dadaku

dari kamarku
ialah jantung yang sungguh ungu
kulihat dunia luar di sana mencari mripatmu
dan ketika ketemu ia klotok segala sendu

dari ruang tamu rumah kontrakku
ialah ilat sewarna kembang sepatu
percakapan-percakapan kami tentangmu
sewajah sorga yang dicrita kitab suciku

aku
kami dan kamu
bukan bunga paru
yang gampang layu

ah, sakmenika sampun Dalu
aku memilih ikut menjadi bersamamu
: Eling, Pracaya,

Mituhu mring Gusti


kutukan ini
: abadi

            -aku Masih selalu merindukanmu

apakah yang kau masih hendak ceritakan padaku jika
bahkan dukacita atau setidaknya semacam kesedihan yang
sangat itu selalu saja tiba-tiba kau saksikan membayang
bergayut di tiap kata sebelum engkau rampung
mengucapkannya seolah tiap benih yang kau tebar
senantiasa langsung mengering sebelum sempat bersentuh
dengan tanah dan berapa tahun pun engkau tersedu
tiada bisa air matamu sanggup sekadar membikinnya jadi
lembab atau apa lagi hingga membikinnya bertunas meski
sedetik sesudahnya segala yang kausangka hijau mendadak
menjelma kelabu yang tapi bukan debu dan bukan pula
cuaca yang terhadapmu tiada pernah tidak memperdaya?

kini seperti gagak atau malah mungkin mainan berbentuk
burung yang terbuat dari plastik dan sayapnya mengepak
patah-patah digerakkan oleh batere yang soak engkau
mengangan mengitari benua demi benua yang kausangka
telah kaumukimkan di rongga dada walau padahal betapa
bahkan sekadar debar pun sudah lama tak menggeletar atau
apa lagi sampai terdenyar di ruang kosong-ruang kosong
yang selalu saja kausangka hutan padahal hanya belukar
dari rumpun-rumpun entah apa yang tiap setidaknya
tiga menit sekali selalu mengasah duri-durinya dan
mematahkan ranting-rantingnya sendiri demi agar bisa
menusuk debar degap jantungmu yang memucat dan
tak henti melingsut sejak kaukatakan, “tidak!”, sembari
lantas meludah sedetik sesudah kukatakan kepadamu,
“bersediakah engkau menjadi kekasihku?”, yang padahal
betapa engkau bahkan ingin aku ini meminang tidak saja
dirimu tetapi sampai ke bayang badanmu

kutukan ini

: abadi


sajak pendek yang kutulis
ketika sore berhujan

sungguh inilah sore berhujan
: melengkapkan penantian

semacam rindu
: membayang jauh dan sendu

kabut, udara dan langit
: mengusaikan pingit

di sore berhujan kuharap kau datang
: berkendara kunang-kunang

apakah kita akan berpeluk
sampai nafas pun takluk?

ataukah kita akan bercakap
sampai degap pun senyap?

kukenakan jaketku saat menunggu
: biru

kubiarkan kancing-kancingnya terbuka
: kerna kuharap engkaulah yang mengatupkannya

barangkali dengan jari-jari gemetar
: tapi aku tahu betapa hatimu tak kenal gentar

barangkali sembari memandang ke mataku
: menyelinap dan menyelidik kalbu

aku ingin bisa meragukan cinta kita
: tapi rasa percaya ini terlalu perkasa

dan sekarang sore makin berhujan
: dan sekarang hujan menderas pula di garis tangan

kutunggu kamu tepat diperpotongan itu
: hangat dan Ungu

menghidupkan urat dan ototku


kubisikkan

selalu
kubisikkan pada tiap huruf
dan tanda baca, aku mencintaimu.”
itulah sebab mereka menjelma kasih
tiap kuhadirkan jadi kata

selalu kubisikkan
pada hati atau benak, aku
mencintaimu.”                  
maka mereka pun melangit-langit
tak sayang beri cuaca cerah
pada jiwa bahkan di saat sayah

selalu kubisikkan
selalu kubisikkan
selalu kubisikkan pada bisik, aku
mencintaimu.”            
maka seluruh bisik berdesik
merisik
jadi ucap

mengusap senyap

engkau, wahai,
sungguh Juga senantiasa bisa
mendengarnya, bukan?


percakapan

keheningan
jauh dan rata
seperti warna malam tanpa bulan
seperti kenangan terhadap mata
seperti ingatan tanpa pautan
: tiada yang masih terpeta

tinggal senyap
berdekap

pucat


memalam diam-diam

di beranda
sisa percakapan masih menggema
mungkin dikekalkan angin
atau barangkali diperam udara dingin
aku tak tahu
dan di langit mega-mega serupa perahu

apakah tadi kami bercakap tentang laut?
ataukah lebih mengenai maut?
oh, tentang atau mengenai apa saja
percakapan mengusir muram durja
kerna sepasang matamu selalu ikut bicara
mengerjap, berkilau, bebas segala penjara

aku mencintaimu,” katamu tiba-tiba
aku tertawa, tak percaya dan merasa dituba.
“engkau tak percaya?” katamu mendesak dalam tanya
nafas pun lengkap. menjauh dari cahaya.
“engkau lihat burung itu?” tanyaku
“ia terbang menempuh malam yang sungguh mulai beku.”

ia tersedu. menjadi jauh dan sendiri.
menjadi kota dan sia-sia.
menjadi hujan dan kehampaan.
menjadi belukar dan hilang debar.
menjadi luh dan terus luruh.
menjadi dekap yang abadi senyap.

hingga kini sisa percakapan masih menggema
mungkin dikekalkan angin


angin di Dahan

ada yang lalu menjadi Lebih berdenyut di entah mana
pada bagian tubuhku
tiap kuingat percakapan-percakapan pendek kita
yang kapan persisnya sudah kulupa.
percakapan-percakapan mengenai
dan tentang yang barangkali saja akan bikin kau ataupun aku
bisa lebih tetap makin bahagia
kalau saja tak pernah sempat terutara.

ah, sandaran lengan dari kursi
yang dulu pernah kaududuki itu mungkin telah berkarat
kerna tak tahan oleh cuaca hari berhujan,
atau lantaran terlalu rindu pada malam
yang tak henti memandangmu ketika kau datang,
berlenggang, bergaun hitam
yang potretnya gagal kutahu
: kini terselip di sela riwayat yang mana.

hai, perempuan
pernahkah kau eja ke mana arah gurat garis telapak tangan
dan siapa pula yang bikin banyak jejak
berserak di tiap tindak?
pernahkah kau coba hentikan tiktak
yang meletik-letik menandai perputaran jarum jam
seperti pernah terhadapmu kukatakan,
“baiklah.
tapi jangan kita saling melupakan.”

Semua mengenai yang menghubungkan aku ke kau
ataupun menautkan kau ke aku
menjadi semacam dukalara yang tapi mengapa
bisa bikin kita tersenyum bahagia?
semua mengenai yang mengingatkanku padamu
ataupun memantulkan kilaumu ke aku
menjadi semacam warni-warna bunga
yang tapi mengapa tak menggarami makna pandang mata?

aku ini hanya angin di Dahan
sebentar seperti singgah, seperti melindap pelahan,
seperti mencegahmu disentuh sedu-sedan,
seperti memang sebaiknya mesti buru-buru kaulupakan

kerna aku hanya angin di Dahan

mungkin
tak sepadan


pintu

adakah yang Sungguh merindumu
melebihi kangen Pintu terhadap datangmu?

adakah yang sungguh menahan Sedu
melebihi isak Pintu pada pergimu?

adakah yang selalu menyambutmu
sekaligus menghantarmu Selain pintu?

bahkan hati pun tak tentu.


Tentang Timur Sinar Suprabana
Timur Sinar Suprabana lahir di Solo, 4 Mei 1963. Sajaknya terhimpun dalam buku sihir Cinta, Gobang Semarang dan menyelam Dalam (bersama Beno Siang Pamungkas). Mengelola rumah budaya Gubug Penceng dan penerbitan kecil Huruf Hidup. Tinggal di kawasan Mijen, Semarang, Jawa Tengah.


Catatan Lain
“Judulnya saja sudah sangat puitis, Kesiur dari Timur. Kesiur berarti desing atau suara lintasan angin. Tapi tak sembarang angin. Timur bisa berarti arah atau salah satu mata angin; bisa bermakna bukan Barat, bisa pula menunjuk sang penyairnya: Timur Sinar Suprabana yang sajak-sajaknya terus berkesiur. Kadang lembut bagai desis rayuan kekasih. Kadang menggelitik seperti hembusan percumbuan. Tapi kadang juga menyentak laksana desing peluru menuju hunjam.” Kira-kira begitu komentar A. Mustofa Bisri di sampul belakang buku. Komentar Triyanto Triwikromo lain lagi: “Bangunan estetika puisinya sederhana dan terkesan menghindari improvisasi dan eksperimen, tapi kokoh untuk menampung pikiran-pikiran liris penyairnya.” Selain dua nama itu, juga ada nama Goenawan Mohamad.
            Nama penyair ini, bagiku, barangkali telah muncul puluhan tahun lewat, semasa aktif kuliah, antara tahun 1998-2003. Di sela-sela jam kuliah yang nanggung, aku kerap pergi ke Perpustakaan I atau suka disebut anak-anak Perpustakaan Paska Sarjana. Letaknya diapit gedung Graha Sabha Pramana dan Gedung Pusat UGM. Di Gedung yang lumayan teduh (dan juga ada kantinnya: menjual nasi pecel yang enak) itu ada Koran dinding, terbitan Semarang. Kalau tak salah ‘Suara Merdeka’. Nah, di Koran itulah puisi penyair ini sesekali muncul, lengkap dengan fotonya yang berambut dowo. 
            Oya, karena kesibukan, isterikulah yang mengetikkan ini puisi. Saya cuma menunjukkan halaman berapa yang diketik, kemudian mengeditnya. Lumayan bagus juga. Cukup teliti. Saya cuma menemukan 2 kesalahan ketik. Terima kasih, honey.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar