Laman

Tonggak

Minggu, 03 Mei 2015

Mustofa W. Hasyim: TELUNJUK SUNAN KALIJAGA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Telunjuk Sunan Kalijaga, Puisi-Puisi Maiyah.
Penulis : Mustofa W. Hasyim
Cetakan : I, 2013
Penerbit : Gress Publising, Yogyakarta.
Tebal : 130 halaman (44 puisi)
ISBN : 978-602-96826-7-0
Desain sampul : S. Arimba
Tata Letak : Siswanto
Pracetak : Anes Prabu

Beberapa pilihan puisi Mustofa W. Hasyim dalam Telunjuk Sunan Kalijaga

Mata Rantai Cinta yang Buntu

Truk angine mati, Kang Gareng uripno
Truk angine mati, Kang Gareng uripno

Orang Yogya mencintai Yogya
Yogya mencintai Jakarta
Jakarta mencintai Washington
Washington mencintai uang
Uang mencintai dirinya sendiri

Rakyat mencintai pemimpin
Pemimpin mencintai isterinya
Isterinya mencintai rekening bank
Rekening bank mencintai uang
Uang mencintai dirinya sendiri

Buruh mencintai mandor
Mandor mencintai juragan
Juragan mencintai juragan besar
Juragan besar mencintai saham
Saham mencintai uang
Uang mencintai dirinya sendiri

Pedagang mencintai pasar
Pasar mencintai mantri pasar
Mantri pasar mencintai Dinas pasar
Dinas pasar mencintai kantor perdagangan
Kantor perdagangan mencintai menteri perdagangan
Menteri perdagangan mencintai impor
Impor mencintai komisi
Komisi mencintai uang
Uang mencintai dirinya sendiri

Petani mencintai benih, pupuk dan racun hama
Benih, pupuk dan racun hama mencintai pedagang
Pedagang benih, pupuk dan racun hama mencintai pabrik
Pabrik mencintai direkturnya
Direktur mencintai sekretarisnya
Sekretaris mencintai atm
Atm mencintai uang
Uang mencintai dirinya sendiri

Cem cempe cem cempe undangna barat gedhe
Tak upahi duduh tape
Cem cempe cem cempe undangna barat dawa
Tak upahi banyu klapa

2011



Aku Mencari Pahlawan

Dengarlah dengar nyanyian mulia
bagimu pahlawan kusuma bangsa
Dengarlah dengar nyanyian mulia
seluruh negara memuji dikau

Dengar derap langkah pahlawan
Menuju medan perang
Memanggil setiap putera
Ikut bela bangsa

Dengarlah dengar nyanyian mulia
Bagimu pahlawan kusuma bangsa

Aku mencari pahlawan di gedung-gedung parlemen, tidak ada
Aku mencari pahlawan di kantor-kantor pemerintah, tidak ada
Aku mencari pahlawan di pengadilan-pengadilan, tidak ada
Aku mencari pahlawan di makam pahlawan, tampak ada
tapi ketika mata kupejamkan hanya satu dua cahaya

Aku mencari pahlawan di bank-bank, tidak ada
Aku mencari pahlawan di mall-mall, tidak ada
Aku mencari pahlawan di jalan-jalan tol, tidak ada
Aku mencari di hotel-hotel, tidak ada

Aku mencari pahlawan di hutan-hutan, tidak ada
Aku mencari pahlawan di pertambangan, tidak ada
Aku mencari pahlawan di halaman koran, di halaman majalah, di layar
televisi dan di radio-radio, tidak ada
Aku mencari pahlawan di baliho-baliho, tidak ada

Lantas di manakah pahlawan-pahlawan itu?
Aku mencoba pulang, lewat selokan kering, pinggir sungai sampah. Lho
kok ada pahlawan di sini?
Aku berjalan di pasar-pasar kuno yang kelelahan, ada pahlawan juga
di sini. Aku lewat sawah yang petaninya dipukul pingsan oleh impor
kentang, impor wortel, impor kedele, impor jagung, impor brambang
bawang, di sini juga banyak pahlawan tergeletak mereka.

Terus aku berjalan lewat pantai, tambak garam yang dihancurkan oleh
impor garam dari Menteri Perdagangan, banyak pahlawan kelaparan
di sini.
Lalu, di tengah terik matahari membakar jiwa, aku mampir ke Pasar
Klitikan. Ternyata para pahlawan berkumpul di sini,
mereka sedang menjual berbagai barang loak medali, tanda jasa dari
logam, piagam, buku memoar, seragam perjuangan dulu.
“Mengapa dijuali Pak, bukankah ini penanda kalau sampeyan ini pahlawan
negeri ini?” tanyaku
Mereka tertawa lirih. “Semua ini tidak ada gunanya Nak. Maka kami jual.
Yang penting, kami tidak menjual hati dan jiwa kami kepada bangsa
asing,” jawabnya.
Lalu ada pahlawan memakai kaos oblong, dia nyeletuk,
“Mas, mas, sampeyan iki kurang gawean.
Wong nggoleki awakmu dhewe we ora iso
Kok ndadak nggoleki pahlawan bareng.”

Betul kata dia, mencari diri sendiri saja belum ketemu
Kok mau maunya mencari pahlawan segala.

Yogyakarta, 2011


Bangsa yang Suka Libur

Cing cong cicuhung cing cong cicuhung
Kowe bocah kuncung
Wis awan isih njingkrung
Cing cong cicuhung cing cong cicuhung
Kowe bocah kuncung
Wis awan isih kemul sarung
         Prei pak, prei, sekolahe prei, kantore ya prei…

Bangsa yang suka libur dan tidak suka kerja
Bangsa yagng suka belanja dan tidak suka berproduksi
Bangsa yang suka menggunjing dan tidak suka membaca
Bangsa yang suka berhutang dan tidak suka menabung
Bangsa yang suka jalan pintas dan tidak suka proses yang wajar
Bangsa yang suka maksiat dan tidak suka menghitung kualitas diri
Bangsa yang malas dan tidak suka berjuang
Bangsa yang suka tawuran dan tidak suka bersatu
Itu adalah
bangsa t alias bangsat.

Bangsa yang dulu pemberani kini memilih penakut
Bangsa yang dulu penjelajah kini memilih dijajah
Bangsa yang dulu suka membagi ilmu kini suka menyontek kebodohan
bangsa lain.
Bangsa yang dulu dihormati kini memilih mengemis pujian
Bangsa yang dulu berjiwa besar kini memilih kerdil
Bangsa yang dulu mampu menaklukan masa depan dan kini memilih
kalah terhadap masa lalu, kalah terhadap hari ini dan kalah terhadap masa
depan
Itu adalah bangsa t t t alias bangsat bangets

Cing cong cicuhung cing cong cicuhung
Kowe bocah kuncung
Wis awan isih kemul sarung
        Prei pak, prei, sekolahe prei, kantore ya prei…

2011


Nasib Bendera di Dalam Jiwa

Jika kau tanya
di mana letak bendera
apakah di tiang tinggi sana?

jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa

Lantas bagaimana nasib bendera di dalam jiwa?
Bendera yang mana?
Merah putih.
Merah putih.

Kalau itu, nasibnya mirip dalam kisah
Bawang Merah dan Bawang Putih
Bawang Merah yang merasa paling merah
Suka menindas Bawang Putih karena dia putih.

“Kau kan hanya anak tiri, harus terus di bawahku,” teriak Bawang Merah
ketika ayahnya mencoba untuk menerapkan kesetaraan warna
“Merah dan putih sama-sama warna, haknya sama, hanya kebetulan dia
adikmu,”kata sang ayah sabar. 

“Tidak. Bawang Merah atau yang merah harus senantiasa di atas. Aku si
Bawang Merah harus selalu dilayani oleh si Bawang Putih. Karena dia
putih, harus ikhlas melayani kepentinganku,” teriak Bawang Merah lagi.

“Jadi maksudmu apa wahai Bawang Merah?”
“Kepentinganku harus didahulukan. Dia harus tunduk pada
kepentinganku. Dia harus dan wajib memberikan apa saja kepadaku,
sementara aku tidak wajib memberikan apa pun kepada dia.”

“Mengapa harus begitu Nak?”
“Karena Bawang Merah kalau dalam bendera, warnanya kan selalu di atas.
Si Putih selalu di bawah. Yang di bawah sudah seharusnya mengabdi
kepada yang di atas.”
“Siapa yang menetapkan semua itu?”
“Aku, si Bawang Merah yang berhak menetapkan semua aturan.”
“Tidak pakai musyawarah?”
“Tidak perlu Pak.”
“Kau tidak perlu mendengarkan apa maunya si Bawang Putih? Apa
keinginannya tidak perlu kau dengarkan?”
“Tidak. Kewajiban dia hanyalah mendengarkan. Bukan didengarkan.”
“Lho, ini sungguh tidak adil, Nak.”
“Lho ini malah sudah adil Pak. Kalau dia diperlakukan sama malah tidak
adil, Pak. Lantas apa bedanya aku mendapat karunia merah dan dia hanya
bernasib mendapat warna putih Pak? Kan warna berbeda harus mendapat
perlakukan berbeda, itu baru adil.”
“Adil menurut siapa?”
“Adil menurut saya.”

Sang ayah geleng-geleng kepala. Sang ibu tidak kelihatan, sebab baru
asyik berbelanja di mall dan setelah berbelanja dia akan arisan sampai
malam. Jadi, sang ayah kebingungan menghadapi kebandelan anaknya,
Bawang Merah.

Begitulah yang terus terjadi
Sejak Bawang Merah dan Bawang Putih ada, dari hari ke hari, dari tahun
ke tahun, bahkan sampai dengan tahun ke enampuluh enam usia mereka,
Bawang Merah tetap tidak mau mengalah. Dia selalu memperalat Bawang
Putih. Bawang Merah memperlakukan Bawang Putih sebagai budaknya.

Jika kau tanya
di mana letak bendera
apakah di tiang tinggi sana?

jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa
jawabku; ada di dalam jiwa

“Wahai Bawang Putih, bagaimana pendapatmu,” tanya sang ayah.
“Saya mensyukuri keputihan saya. Saya menyadari putih punya kelebihan
dan juga punya kekurangan.”
“Apa kira-kira kelebihanmu?”
“Pertama kami memang lebih siap mengabdi. Kami juga tahan, liat dan
biasa menderita. Jadi ditindas oleh Mbakyu Bawang Merah sudah biasa. 
Sebagai Bawang Putih, saya merasa makin kuat justru ketika makin
ditindas oleh Mbakyuku itu.”
“Benar. Itu semua kelebihanmu. Lantas apa kelemahanmu Nduk?”
“Kelemahanku hanya satu Pak.”
“Apa itu?”
“Aku terlalu amat sabar, itulah kelemahanku. Kalau tidak ingat itu, saya
sudah lama mau marah lho, Yah.”

“Lantas bagaimana kau memperlakukan Mbakyumu yang ganas itu?”
“Aku memaafkan dia Pak. Maklum dia kan anak sulung yang manja.”
“Kau memaafkan dia sampai kapan Nak?”
“Sampai dia bertindak melampaui kepantasan. Baru kugampar mulutnya
nanti.”
Sang ayah diam, menunduk, menangis tersedu-sedu
Merasa gagal mendidik anaknya yang hanya dua orang itu.

16 Agustus 2011


Matematika Curang Curangan

Ja curang ya aja curang
Aja curang ya aja curang
Ja curang ya aja curang
Aja curang ya aja curang
            Nek wani curang matine mbrangkang
            Agi mbrangkang banjur didugang
            Kena dugang banjur njengkelang
            Mlebu kandang apa mlebu njurang

Tersebutlah, ada seekor monyet yang kebingungan
Ia berjalan sendirian di sebuah ibukota, mencari teman
Di dekat jembatan layang ia bertemu penyu alias kura-kura
“Wahai kura-kura maukah engkau jadi temanku?” tanya si monyet

Si kura-kura tersenyum genit, “Mau dong Nyet, kau kan ganteng.”
Berbesarlah hati si monyet, “Kalau begitu yuk jalan-jalan.”
“Okey, okey, tapi untuk apa? Kalau capek aku digendong ya?”
“Ya, deh. Mari jalan-jalan mencari teman baru lagi,” sahut si monyet.

Mereka berjalan menyusuri ibukota itu, dan di bawah pohon angsana
mereka berdua ketemu dengan binatang lincah, bunglon namanya.
“Wahai bunglon yang bijaksana, maukah kau berteman dengan kami?”
“Mau, mau, aku sudah lama menunggu ada teman menyapaku,” jawab
bunglon.

Maka berjalanlah tiga serangkai binatang aneh dan lucu ini, siang amat
panas
Mereka haus. Untung tak dapat ditolak, mujur tidak dapat diundur,
begitulah
Mereka menemukan sebuah tas di belakang restoran. Ternyata isinya jeruk
segar.
Mereka membuka tas itu. Isinya jeruk sebanyak 20 buah.

Bingung juga, 20 jeruk dibagi tiga. Mereka mengamati buah itu agak lama
Lalu tersenyumlah si monyet cerdik. Ia membagi dua buah itu. Menjadi 10
10.
Ia membawa 10 jeruk lalu diletakkan di depan kura-kura, “Wahai temanku
yang baik,
Mari jeruk ini dibagi, aku mengalah deh. Aku mendapat empat, dan kau
enam, mau?”

“Mau-mau, mau sekali. Aku sudah haus nih,” sahut kura-kura.
Kura-kura makan 6 jeruk. Si monyet makan 4 jeruk. Lalu yang 10 jeruk
lainnya
Dihadapkan ke bunglon. “Wahai bunglon yang bijaksana, ini kau kuberi
enam jeruk,
dan aku rela menerima empat jeruk saja. Okey?”

“Tentu saja okey. Wah terima kasih ya Nyet. Kau adil sekali.”
Bunglon makan 6 jeruk, monyet makan lagi 4 jeruk. Setelah puas mereka
berpisah.
Kura-kura dan bunglon memuji kecerdikan dan kebaikan monyet yang
mau mengalah.
Sedang sang monyet menertawakan kebodohan mereka berdua sepanjang
hari.

2009


Perselingkuhan di Dunia Wayang yang Nyata

Ana karo Anto salaman Petruk
Petruk kurang puas
Salaman Gareng
Gareng kurang marem
Salaman Bagong
Bagong masih ngongso
Salaman Semar
Semar masih nggrangsang
Salaman Limbuk
Limbuk njaluk imbuh
Salaman Cangik
Cangik terus memburu dahaga jiwa
Salaman Togog
Togog juga tidak marem
Salaman Jaksa
Jaksa masih haus
Salaman Opas
Opas masih nggragas
Salaman boyo
Boyo terus lajel
Salaman Ana
Ana karo Anto salaman Petruk
Petruk ra gelem manthuk
Salaman glembuk
Glembuk ora kodal
Salaman munyuk
Munyuk malah ngeruk
Salaman celeng
Celeng makin gopleng
Salaman entut
Entut ora mambu
Salaman pete
Pete kurang mandi
Salaman jengkol dan beton
Beton kurang waton
Salaman luwak
Luwak kurang nekat
Salaman kadal
Kadal kurang nguntal
Salaman biawak
Biawak terus nggragas
Digebuk nganggo padhas!
Babak bundhas!

2009
               

Potret Korupsi Eksistensi Diri

Cempo rowa, pakananmu opo rowa?
Pupu gendhing ndhing ndhing ndhing
Rowang rawing wing wing wing
Molang maling ling ling ling

Ini kisah nyata tapi tampak tak nyata
kisah tak nyata tapi tampak nyata
lihatlah dan lihatlah
rasakan dan rasakan

ana tuma ngaku singa
ana buto ngaku satrio
ana uwuh ngaku sapu
ana cindhil ngaku tobil

ana bengi ngaku awan
ana peteng ngaku padhang
ana ama ngaku tamba
ana peceren ngaku sumur

ana geni kok ngaku banyu
ana tai kok ngaku roti
ana wong wuda kok ngaku rapet
ana tukang nyiksa kok ngaku dilarani
tho gentho gentho tenan

ya inilah kisah ketika kepala dijejali kebohongan
ketika kata-kata menjadi jurus tipuan
dan keindahan kekuasaan menjadi tidak bermakna
juga keindahan dari semua selaput-selaput zaman ini!

ana tuma ngaku singa
ana buto ngaku satrio
ana uwuh ngaku sapu
ana cindhil ngaku tobil

ana bengi ngaku awan
ana peteng ngaku padhang
ana ama ngaku tamba
ana peceren ngaku sumur

ana geni kok ngaku banyu
ana tai kok ngaku roti
ana wong wuda kok ngaku rapet
ana tukang nyiksa kok ngaku dilarani
tho gentho gentho tenan

Lha wong kowe we ding marah-marahi
Marahi apa, marahi apa, dik?
Marahi konyo ngene iki lho mas
Marahi mendem kahanan iki lho mas.

Lihat kembali. Rasakan kembali
Bumi ini diciptakan untuk dimakmurkan
Bukan untuk dihancurkan
Tapi yang muncul dari cakrawala, hanyalah si cempa rowa.

Cempo rowa, pakananmu opo rowa?
Pupu gendhing ndhing ndhing ndhing
Rowang rawing wing wing wing
Molang maling ling ling ling

Ana maling ngaku dudu maling
Ana wong culas ngaku dudu culas
Ana sengit ngaku tresna
Ana musuh rakyat ngaku kancane rakyat.

Ini mungkin berbahaya
tapi juga mungkin tidak berbahaya
tergantung definisi kita
tentang apa itu bahaya dan berbahaya.

17 Desember 2009


Tak

Iki wis jam sepuluh
Ayo dha bubaran
Nganggo maca wal’asri
Kanti bebarengan
Wis dipethuk simbok
Uwis dipethuk bapak

Ini zaman tak namanya:
Pemimpin kok tak memimpin
Komandan kok tak ngomandani
Ulama kok tak alim
Wakil rakyat kok tak mewakili
Partai kok tak martaini
Kemajuan kok tak memajukan
Kemakmuran kok tak memakmurkan
Keadilan kok tak berkeadilan
Kesejahteraan kok tak menyejahterakan
Demokrasi kok tak mendemokrasikan
Kemerdekaan kok tak memerdekakan

Iki wis jam sewelas
Ayo dha bubaran
Nganggo maca wal’asri
Kanti bebarengan
Wis dipethuk simbok
Uwis dipethuk bapak

Ini zaman tak yang taknya telah menjadi tak tak juga
Pendidikan kok tak mendidik
Guru kok tak mengguru
Murid kok tak memurid
Kejujuran kok tak jujur
Ujian kok tak ujian
Janji kok tak menjanjikan
Sumpah kok tak sumpah
Kentuk kok tak kentut
Gagah kok tak gagah
Pidato kok tak pidato
Berdiri kok tak berdiri
Bangun kok tak bangun
Piye piye piye njur kepiye. Piye piye piye njur kepiye.
Piye piye piye njur kepiye. Piye piye piye subyung wae.

2011


Peribahasa yang Retak Makna

Ada gula ada semut
Biasa

Mengharap burung merak yang masih terbang, burung puyuh di tangan
dilepaskan
Goblok

Macan ompong berhati musang
Macan aneh

Berat sama dipikul, ringan sama dilemparkan
Tidak bertanggung jawab

Bagi pungguk merindukan bulan
Mau merindukan matahari tidak berani

Menang jadi arang kalah jadi abu
Orang suka main kayu

Apa beda tahu dengan tempe?
Kalau tahu bisa menghasilkan tempe gembus tapi tempe tak bisa hasilkan
tahu gembus

Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian
Kerja nelayan

Jauh panggang dari api
Ayam bakarnya tidak mateng-mateng

Tong kosong berbunyi nyaring
Memukul tongnya keras sekali

Memukul air di dulang terpercik ke muka sendiri
Seger. Kecuali kalo itu air comberan

Setali tiga uang sejuta tinggal utang setriliun tinggal korupsi
Brengsek

Habis manis sepah dibuang
Kalau sepahnya ditelan jelas seret Mas

Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh
Kalau bersatunya untuk korupsi ya runtuh juga

2011


Telunjuk Sunan Kalijaga

Setelah shalat jamaah Ashar, Sunan Kalijaga
dikerumuni para santri, di sebuah surau yang sejuk

Seperti biasa, ada santri yang bertanya
dengan gaya yang diserius-seriuskan.

“Kanjeng Sunan, apakah kebahagiaan itu, Kanjeng?”
tanya santri itu dengan suara mantap.

Sunan Kalijaga terdiam
santri lain tegang, menunggu jawaban

Tiba-tiba Sunan Kalijaga
mengangkat telunjuk, lurus menuju satu arah

Mulut Sunan seperti terkunci
yang menjawab pertanyaan justru telunjuknya

Para santri mengamati Sunan Kalijaga
ada yang khusus mengamati telunjuknya
ada yang mengamati arah tatapan matanya

Lama sekali Sunan mengangkat telunjuk
para santri terus mengamati sambil menebak-nebak.

“Wah saya tahu,” celutuk seorang santri.
“Apanya yang kau tahu?”

“Pokoknya saya tahu.”
“Lha iya apanya?”

“Coba perhatikan telunjuk Sunan.
Ia kan begini. Artinya kebahagiaan itu ada kalau
kalau kita bisa lajel! Wah maaf saru.”

Sunan Kalijaga tetap diam,
telunjuknya menegang ke suatu arah.

Para santri terbagi dua kelompok
Yang satu membenarkan pendapat santri tadi
tapi yang lain menolak.

“Jangan ngawur kamu. Maksud Sunan, kebahagiaan
Itu tidak terletak pada lajelnya seseorang, tapi lihat
     kebahagiaan itu akan muncul kalau kita punya mata yang bersorot kuat.”

“Jadi kebahagiaan itu ada di mata? Tidak di telunjuk?”
“Ya. Kita jangan terkecoh oleh pandangan pertama.”

Mereka ramai, terus berdebat tentang kebahagiaan
yang ditunjukkan oleh Sunan Kalijaga.

“Wah, kalian salah semua. Kebahagiaan itu tidak terletak pada mata
atau pada telunjuk, tetapi ada pada arah. Dan lihat Sunan
     menunjuk ke arah barat. Jadi kebahagiaan itu ada di barat sana.”

“Barat yang mana?”
“Pokoknya barat. Barat yang barat.”

“Kau ini santri ngaco namanya. Lihat kalau Sunan mengacungkan telunjuk
pasti ada maksudnya. Coba kita lihat ia menunjuk ke arah apa?
     Lihat! Sunan menunjuk ke arah bunga melati. Jadi kebahagiaan itu
artinya
Ya bunga melati.”

“Maksudmu ki piye to Dab, kok kebahagiaan itu ada pada melati?”
“Maksudku begini ya Dub. Kebahagiaan itu berbau wangi seperti melati.”
“Jadi kalau seseorang itu berbau wangi, pakai parfum atau deodorant, itu
tandanya ia bahagia?”

“Saya kira begitu. Begitu kan Kanjeng Sunan?”
Sunan Kalijaga tetap tidak mengeluarkan suara dan tidak mengeluarkan
gerakan.

Para santri bingung. Tebakan mereka tidak ada yang dibenarkan
atau disalahkan oleh Sunan Kalijaga.

“Saya kira maksud Sunan tidak begitu,” Kata santri lain,
“Saya kira yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah ketika kita
     punya akhlak mulia sehingga jiwa kita akan wangi di depan malaikat.”

“Ketoke iki mau rada cerdas. Ketoke rada bener. Tapi Kanjeng Sunan
kok tetap diam ya?”

“Saya tahu, sepertinya pendapat saya ini paling benar di antara yang tadi.”
“Apa pendapatmu wahai santri sombong?”
“Saya, setelah mengamati, mempelajari dan menghayati gerakan
dan tata cara Kanjeng Sunan menggerakkan telunjuk jadi punya
pendapat.”

“Pendapatmu piye, jangan berbelit-belit kayak politisi!”
“Begini, ya begini.”

“Mbok dijelaske sing rada cetha to Dul!”
“Baiklah akan saya jelaskan.”

Santri itu mengelilingi Sunan Kalijaga, mengamati Sunan dari berbagai
sudut,
lalu tertawa terbahak-bahak.

“Jangan kenthir Dul. Cepat katakan pendapatmu.”
“Ya, cepat katakan.”
“Begini, ternyata kebahagiaan itu tidak terletak pada telunjuk, tidak pada
mata,
tidak pada arah, tidak pada melati, tidak pada wangi. Akan tetapi…”

“Akan tetapi apa Nyuk!”
“Akan tetapi kebahagiaan itu justru terletak pada proses. Proses dari itu
semua. Kalau tadi ujungnya ada yang berpendapat bahwa Kanjeng Sunan
itu sedang menunjuk bunga melati, maka yang dimaksud
adalah bagaimana bunga melati itu diproses, diciptakan oleh Tuhan. Jadi
kebahagiaan itu akan muncul manakala kita mampu memproses kesadaran
kita sehingga kita sampai pada kesadaran berketuhanan.”

“Wah terlalu filosofis!”
“Terlalu akademis!”
“Tidak alami!”
“Tidak natural!”

“Ya, kebahagiaan itu harus alami, harus natural
kalau tidak percaya mari kita tanyakan kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.”

:”Wahai Kanjeng Sunan, lho kok ora ana?”
Ketika mereka menoleh, Sunan Kalijaga telah menghilang
dari tempat duduknya.

“Wah, apa ini artinya kebahagiaan itu tidak ada?”
“Bukan begitu. Kalau Kanjeng Sunan tidak ada berarti beliau harus kita
cari
itu artinya kebahagiaan itu harus terus kita cari, begitu lho Blok!”

Mereka terus bertengkar, tiada henti-hentinya
sampai ketika menjelang Maghrib Sunan Kalijaga muncul.

Wajahnya merah padam. Ia seperti marah sekali
para santri berhenti bertengkar. Takut. Gemetar.

“Masih ingin tahu dan ingin mencari kebahagiaan apa nggak?” tanya
Sunan.
“Ya Kanjeng Sunan.”

“Kalau begitu, kalian harus ke sana. Carilah kolam.
Semua harus masuk kolam. Cari, kebahagiaan itu di dalam kolam.”

“Setelah kami masuk kolam dan seandainya bisa ketemu kebahagiaan
lalu apa yang harus kami lakukan?”

“Kalian harus ke sini. Jamaah Maghrib. Baik ketemu si bahagia atau tidak
kalian tetap kembali ke surau ini. Saya tunggu. Cepat laksanakan!”

Para santri berlomba berlari ke barat, di balik deretan pohon melati
ternyata ada kolam luas. Mereka semua nyemplung ke kolam.

Semua santri berusaha mencari kebahagiaan, sampai mereka kedinginan
dan Maghrib datang tidak ada satupun santri yang mendapatkannya.

“Bagaimana? Ada yang mendapat kebahagiaan nggak?”
“Tidak ada, Kanjeng Sunan,” semua menjawab apa adanya.

“Ya, sudah. Kalian sudah berwudlu kan? Ayo shalat jamaah semua.
Dul, kau adzan lalu iqomat sekalian.”

Mereka pun shalat dengan khusyuk. Kanjeng Sunan Kalijaga
membaca surat Al Mukminun dan An Nur.

Tak terasa semua mata santri basah, air mata menetes satu-satu
mereka merasa bahagia, justru ketika mereka tidak berusaha memburunya.

Pada saat tahiyat akhir, ketika telunjuk Sunan Kalijaga menegang
dan telunjuk mereka juga menegang sambil membaca syahadat,

“KEBAHAGIAAN ITU SAMPAI PADA PUNCAKNYA!”

Yogyakarta, 2009


Ki Ageng Gedebuk Krincing

Ngendi to papane kebegjan
Nanging tanpa pungkasan
Kang dijaga malaikat Ridwan
Yaiku papane wong Islam
Putra wayah Nabi Adam
Kang kasebut ing kitab Qur’an
Kaampil Nabi panutan
Ayo kabeh para kanca
Padha marani kabegjan!

Tersebutlah kisah di zaman gelap yang paling gelap di tanah Jawa
Ketika seorang raja membiarkan nafsunya bertahta ketimbang jiwanya
Ketika ia menjadi hamba burung syahwatnya
Dan para sentana dalem dan sanak saudara ketakutan
Takut, suatu saat isteri atau anak perawannya bisa-bisa disambar raja!

Bahkan isteri Dalang yang jujur dan sakti saja
Juga disambar raja, dan para ulama yang protes diminta pepe di Alun-alun
Lalu dibunuhi satu persatu
Darah pun memanggil darah, langit memanggil petir paling menggeledek
Cakrawala memanggil perahu dan senjata satria
Pemberontakan pun terjadi. Satria dari sabrang wetan menerobos masuk
Kedaton ditaklukkan
Raja lari pontang panting sambil terus melindungi burungnya.

Pada zaman seperti itulah
Ki Ageng Gedebuk Krincing
muncul ke permukaan
“Ini semua memang telah diwartakan,” katanya.

“Lihat,” teriak Ki Ageng Gedebuk Krincing
“Tuhan telah memberi kita banyak kunci bahagia bagi rakyat
tetapi raja malah menjuali kunci-kunci bahagia rakyatnya itu, demi nafsu
burungnya.
Sebentar lagi kita tidak bakalan punya pantai dan pelabuhan,
Semua akan dijual pada si kebo bule yang siwer matane.
Raja itu menjual kunci untuk ditukar dengan belenggu.
Maka akan terbelenggulah rakyat negeri ini.
Berpuluh-puluh abad lamanya!”

Ngendi to papane kebegjan
Nanging tanpa pungkasan
Kang dijaga malaikat Ridwan

Begitulah, untuk menaklukkan pemberontakan
raja pun bersekutu dengan sebuah kongsi dagang tapi punya serdadu
rakyat hilang, tanah air hilang tapi tahta kembali didapat
negara menjadi sekepal nasi tiwul
yang seret ketika ditelan oleh rakyat yang tersisa
sejak itu, zaman di negeri ini, menjadi, byar-pet-byar-pet
bahkan setelah dengan gagah berani para pemimpinnya menyatakan
merdeka
“Kita telah merdeka!”
“Tapi byar pet byar pet.”
“Merdeka.”
“Byar.”
“Merdeka.”
“Pet.”
“Merdeka.”
“Byar.”
“Pet.”
“Merdeka.”
“Pet.”
“Merdeka.”
“Pet.”
“Merdepet.”
“Pet.”

Ki Ageng Gedebuk Krincing pun bernyanyi sambil menangis.
Diberi krincing kok memilih gedebuk
Diberi krincing kok memilih gedebuk
Diberi gedebuk kok memilih gedebuk
Diberi gedebuk kok memilih gedebuk

Diberi krincing kok memilih gedebuk
Diberi krincing kok memilih gedebuk
Diberi gedebuk kok memilih gedebuk
Diberi gedebuk kok memilih gedebuk

Sana krincing sini gedebuk
Sana krincing sini gedebuk
Sana krincing sana krincing
Sana krincing sini dapat gedebuk

Pada akhirnya Ki Ageng Gedebuk Krincing memilih tidak ada
Tetapi tetap menjaga warta agar tetap ada
Ia melepas nama dan kedudukan, ia lempar ke sungai Opak dan Oya
Lalu menjadi petani di dusun Pundong
Tempat ia menjaga gempa, yang sewaktu-waktu mendatanginya.
Ngendi ta papane kebegjan, ngendi ta papane kebegjan, keluhnya.

Yogyakarta, 2010


Kodhok Lorek

Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung

Kodhok lorek kodhok lorek
Kodhok neng pasungan
Landa lorek landa lorek
Ngguyu gegojekan

Muhammadiyah, hendaknya
jangan meniru negara
cenderung goblok petok
cenderung wagu tur ora mutu

Muhammadiyah, perlu memikirkan jalannya sendiri
Tajdid itu artinya ora melu-melu
Ora melu-melu kemplu
Ora melu-melu gemblung

Jaman kemplu jaman kemplu
jaman jaman kemplu
jaman gemblung jaman gemblung
jaman jaman gemblung

Muhammadiyah itu, dulu sakti tenan
Hanya dengan membaca Al Ma’un
berdirilah rumah sakit, panti asuhan
rumah singgah orang miskin

Hanya dengan membaca Wal ‘Asri
Berdirilah sekolah-sekolah
Kursus-kursus ngetik dan steno
Kursus teknik ndandani radio dan gramapun

Hanya dengan membaca Wadl Dluha
berdirilah pabrik tekstil, jaringan pasar antar kota
berdirilah perusahaan ekspedisi, percetakan
dan perpustakaan sampai di pelosok desa

Muhammadiyah, ndandani masyarakat
Ngedekke bongso nganggo Hizbul Wathon
dadi anane Muhammadiyah karo bongso lan negoro
Isih dhisik Muhammadiyah, itu kata sejarah

Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung

Kodhok lorek kodhok lorek
Kodhok neng pasungan
Landa lorek landa lorek
Ngguyu gegojekan

Lha kok saiki, kok akeh wong Muhammadiyah
kelangan keblat, mbingungi, nubras-nubras?
Kok akeh wong Muhammadiyah nyremimih, nylekethe
ndremimis, nylekuthis, tak berdaya dan tak mandiri

Keadaan kayak gitu kok ingin memperbaiki masyarakat,
bangsa dan Negara. Ngilo, dab, ngilo!
Muhammadiyah itu gerakan pembaharu
coba dengarkan apa yang dilakukan oleh Mbah Dahlan dulu.

Mbah Dahlan pantas disebut Mbahe pembaharu karena
Ia memperbarui dirinya setiap hari, membaca-mendengar-berdialog-
bekerja
Ia memandang hidup dan dirinya secara baru
Ia memandang agama dan masyarakatnya secara baru.

Tidak ada ceritanya pembaharu kok kerjanya tidur melulu, ngiler sisan
Tidak ada ceritanya pembaharu kok kerjanya menggerutu, bergunjing
Tidak ada ceritanya pembaharu kok kerjanya metani salahe liyan
“Ini liberal,lho. Itu konservatif, lho. Itu setengah kader, lho. Kalau itu
lho, lho!
Akhire malah dadi menungso cap lho”

Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung

Kodhok lorek kodhok lorek
Kodhok neng pasungan
Landa lorek landa lorek
Ngguyu gegojekan

Saatnya Muhammadiyah cancut tali wanda
Jangan kalah dengan landa lorek dari negeri Wongsohito
Pemilik burung raksasa Bango Danio, gedung Ing Ming Fu
Dan mafia Waton Thengil Obahe

Muhammadiyah dan wong Muhammadiyah
Jangan mau jadi hamba landa lorek dari Wongsohito
Jadi makanan burung raksasa Bango Danio, dan rela disihir Ing Ming Fu
Dan jangan mau diperas oleh mafia Waton Thengil Obahe

Muhammadiyah maju karena jalan pilihannya sendiri
Islam berkemajuan, ramah, terbuka, cerdas, ora mutungan
Muhammadiyah maju karena lakukan pembaharuan tanpa henti
Justru ketika negara lumer jadi agar-agar dan kemudian membeku jadi
batu.

Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung

Kodhok lorek kodhok lorek
Kodhok neng pasungan
Landa lorek landa lorek
Ngguyu gegojekan

Kodhok ngorek, kodhok ngorek
Ngorek neng njembangan
Theot theblung theot theblung
Theot theot theblung

Hampir Muktamar di Yogya, 2010


Surat Untuk Nabi Muhammad

Ya Nabi,kutulis surat ini,sebagai tanda rasa malu yang besarnya meliputi
bumi dan langit seisinya.Kenapa harus kutulis surat ini
sebagai tanda rasa malu? Karena aku sungguh merasa malu
malu semalu-malunya.

Mengapa aku tidak malu ya Nabi,
Kalau setiap hari kusaksikan umatmu
dan para pemimpin umatmu
kerjanya hanya menjadi peminta-minta

Mereka tidak meminta-minta kepada Tuhan,ya Nabi
tetapi meminta-minta kepada sesama manusia
mereka mengemis uang receh maupun uang besar
mereka mengemis kata-kata kepada yang lebih miskin

Mereka mengemis kekuasaan, mengemis suara
dengan cara yang amat hina,mengungkit-ungkit jasa
dan memamerkan jasa yang secuil
agar mendapat mandat yang penuh

Mereka seperti mengharap syafaat,
tetapi arahnya salah ya Nabi
Minta syafaat kok kepada sesama manusia,
bukan kepadamu ya Nabi

Mereka mengecer-ecerkan wajah dan senyum di jalan-jalan
bukan untuk memancarkan cinta
tetapi untuk memeras rasa haru dan balas jasa
atas kerja yang sesungguhnya menjadi kewajiban mereka

Mereka menjual diri dan jiwa
dengan mengibar-kibarkan janji-janji baru
padahal janji-janji lama
belum pernah mereka tunaikan

Mereka berjanji membuat sejahtera rakyat dan umat
tetapi kerjanya merancang dan menciptakan bencana-demi bencana
Mereka berjanji ingin melindungi rakyat dan umat
tetapi kerjanya menjual perlindungan itu kepada pihak asing

Sungguh aku merasa malu
menyaksikan semua ini
mengapa untuk menjadi pengemis zaman saja
mereka rela memenuhi tiga syarat menjadi manusia munafik,ya Nabi

Coba saksikan,kalau mereka bicara
mereka berbohong
kalau mereka dipercaya,mereka mengkhianati kepercayaan itu
kalau mereka berjanji, mereka langgar sendiri perjanjian itu

Tetapi ingat, ketika mereka merasa mampu menipu Allah
sesungguhnya Allahlah yang menipu mereka
dengan menciptakan fatamorgana kekuasaan
yang memabukkan mereka,yang membuat mereka merasa haus
                  ketika mereka menghilangkan dahaga dengan air laut yang asin

Kutulis surat ini ya Nabi
sebagai tanda rasa malu
sebab kami sungguh tidak mampu
mencontoh segala tindakanmu

Ketika kau,ya Nabi, dikenal sebagai pedagang kaya
kami malah membiarkan atau mempersilakan orang asing
hadir sebagai pedagang, sampai di depan pintu-pintu rumah kami
sementara itu dengan rakusnya kami bangga menjadi umat dan bangsa
pembeli

Ketika ayat-ayat suci yang kau sampaikan
banyak menganjurkan kami agar beramal saleh, yaitu  berbuat produktif
kami bahkan berlomba-lomba menjadi umat dan bangsa konsumtif
sampai apa saja yang datang dari luar kami konsumsi ya Nabi,
                termasuk impian, ilmu dan cita-cita kami

Ketika kau ya Nabi, mampu menghimpun kekuatan jiwa
lewat hidup yang sederhana
kami justru menjadi pemuja kemewahan
kalau perlu, menjadi peminta-minta

Hidup ini telah salah karena tidak kami beri nilai-nilai
tetapi hanya kami beri harga, harga semurah-murahnya
kalau sudah demikian, bagaimana kami bisa menang ya Nabi
menang terhadap diri sendiri, maupun menang terhadap pihak lain

Kutulis surat ini ya Nabi, sebagai rasa tanda malu, karena kami telah
dipermalukan oleh zaman, itu sungguh tidak kami kehendaki ya Nabi
tapi paling tidak, dengan sadar malu kami masih punya sedikit iman ya
Nabi
dan dengan itu, mudah-mudahan kami masih bisa menyelamatkan diri.
Amin.

2009


Setelah Hilangnya Mata Angin

Papat kiblat limo pancer
Papat bangsat limo gangster
Papat kiblat limo pancer
Papat bangsat limo gangster

Aku melihat, timur ada di barat
Aku melihat, barat ada di utara
Aku melihat, utara ada di atas
Aku melihat, atas ada di bawah

Papat kiblat limo pancer
Papat bangsat limo gangster
Papat kiblat limo pancer
Papat bangsat limo gangster

Aku melihat, bawah ada di selatan
Aku melihat, selatan ada di timur
Tidak ada lagi kordinat
Tempat meletakkan posisi

Tak ada lagi mencari arah
Karena mencari tidak ada lagi
Apalagi arah
Tak ada lagi cakrawala.

Sekarang ini, sudah tidak ada lagi teori konspirasi
Sungguh tidak ada lagi teori itu
Siapa bilang ada teori konspirasi, itu omong kosong
Sebab yang ada, hanyalah praktik konspirasi, bukan lagi teori.

Papat kiblat limo pancer
Papat bangsat limo gangster
Papat kiblat limo pancer
Papat bangsat limo gangster

Apa yang harus dilakukan?
Kosongkan dirimu sekosong-kosongnya
Sehingga kosong itu sendiri tidak lagi dapat menjajahmu
Apa lagi isi.

Pejamkan matamu sepejam-pejamnya
Sehingga tidak ada lagi cahaya menjajahmu
Apa lagi kegelapan
Berhentilah, pada titik paling hening dalam sukmamu.

Pembebasan demi pembebasan
Akan menanti
Tapi jangan biarkan
Pembebasan menjadi kelelahan di pelukanmu

Papat kiblat limo pancer
Papat bangsat limo gangster
Papat kiblat limo pancer
Papat bangsat limo gangster

Sekarang ini, mata angin boleh dirampas
Tetapi cinta di dalam diri tidak, Tuhan
Sekarang ini cakrawala boleh dirampas
Tetapi cinta di dalam jiwa tidak,Tuhan

Dengarlah dengar seruan hatiku
Aku cinta padaMu

2010


Tentang Mustofa W Hasyim
Mustofa W Hasyim lahir di Yogyakarta, 17 Nopember  1954. Dari TK hingga PGA di Kotagede, sebelum menyelesaikan pendidikan di FIAD UMY Yogyakarta (1975). Pernah bergabung pula di Persada Studi Klub. Pengalaman kerja sebagai penulis freelance cerita anak untuk Kawanku, Wartawan, Redaktur sejumlah penerbitan, dan editor. Buku kumpulan puisinya: Reportase yang Menakutkan, Ki Ageng Miskin, Musim Hujan Datang di Hari Jum’at, Telunjuk Sunan Kalijaga, Legenda Asal-Usul Ketawa (dalam proses penerbitan). Kumpulan cerpen: Bayi-bayi Bersayap, Api Meliuk di Atas Batu Apung. Menulis 4 kumpulan esai, beragama sekaligus berhati nurani, luka politik dan luka budaya, ranting itu penting, dan Membela Tekstil Tradisional. Menulis 15 novel, antara lain Sepanjang Garis Mimpi, Arus Bersilangan, Kali Code: Pesan-pesan Api, Memburu Aura Ken Dedes, Hanum, Kepak Sayap Jiwa.


Catatan Lain
Di bagian depan buku ini, penulis menulis “Semacam Pengantar”. Di sana dijelaskan pengertian puisi Ma’iyah yang sering disebutnya sebagai rusak-rusakan: “Kalau boleh disebut, tradisi atau kebiasaan menulis puisi seperti ini sudah saya mulai tahun 1970-an, bersamaan dengan ketiksa saya menulis puisi serius. Dulu puisi yang seperti ini, disebut puisi humor atau puisi slengekan, saya bacakan di depan orang-orang serius yang belum mengenal puisi serius. ….. Karena asyik, saya jadi keterusan menulis puisi seperti ini. semoga banyak penikmatnya, sambil memandang dan merasakan Indonesia yang kacau secara nilai tetapi Yogya dan sekitarnya aman-aman saja.” Di sampul belakang buku bertengger nama Muhammad Ainun Nadjib, menulis: “Di pengajian Ma’iyah apa saja dapat menjadi ilmu. Termasuk puisi rusak-rusakan yang setiap tanggal 17 dibacakan di pengajian Mocopat Syafaat, dan kadang dibacakan di Gambang Syafa’at Semarang dan Padhang Bulan Jombang ini.”
            Ada yang unik dengan penyair ini, saya baru nyadar belakangan. Di satu sisi, ia terlibat dan mewakili suara Muhammadiyah, di antaranya dengan terlibat sebagai redaktur Pelaksana di Suara Muhammadiyah dan Majalah Pelajar Kuntum. Juga sebagai ketua majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin. Tapi nama belakang penyair ini, yaitu Hasyim, mengingatkan pada NU. Setidaknya ada 2 puisi di buku ini yang terkait Gus Dur, yaitu Keluhan Keluhan Gus Dur dan Aku Melihat Gus Dur Tersenyum. Ni puisinya…

Aku Melihat Gus Dur Tersenyum

Aku melihat Gus Dur tersenyum
saat kita bingung menebak arah zaman
“Salah sendiri, arah zaman kok ditebak
Mbok menebak itu hasil akhir pertandingan sepakbola, kan
lebih mudah.”

Mendengar kegaduhan di negeri ini, Gus Dur tersenyum.
“Walah walah, orang berebut nasi kok diperdebatkan
piringnya, pancinya, karungnya, lha sampai kapan
hakikat nasi diketahui dan nasinya dapat dimakan ramai-
ramai.”

Ketika ada Pemilu dan lainnya yang membuat pilu hati rakyat,
dia meledek kita, “Lha wong kalian hanya memilih gincu,
bukan manusia. Ya sekarang rasakan akibatnya.
Gincu nggak enak dimakan kan?”

Sebagian koruptor ditangkap, sebagian selamat, sebagian lagi
pura-pura jadi orang baik dan berkampanye bahwa korupsi itu baik. Gus
Dur tahu semua itu, lagi-lagi ia tersenyum,
“Ada korupsi yang lebih gawat kok nggak dilihat, itu
korupsi hati nurani.”

“Piye iki Gus, kok semua malah pada gemblung? Ikut gemblung ora
komanan tidak nggemblung makin tidak komanan. Piye apike Gus?”
“Apike slawatan wae, slawat Badar, slawat perang melawan
kegelapan hati dan jiwa.:

Solatullah salamullah ‘ala Toha rosulillah
Solatulah salamullah ‘alal Hadi habibillah

2011

1 komentar:

  1. Genre puisi buku ini apa ya kak?? apa masuk sastra mbeling?

    BalasHapus