Laman

Tonggak

Senin, 01 Juni 2015

Medy Loekito: IN SOLITUDE




Data buku kumpulan puisi

Judul : In Solitude
Penulis : Medy Loekito
Cetakan : I, 1993
Penerbit : Angkasa, Bandung.
Tebal : 63 halaman (41 puisi)
ISBN : 979-547-242-9
Ilustrator : Karel
Kata Pengantar : Korrie Layun Rampan, Rusli Marzuki Saria

Beberapa pilihan puisi Medy Loekito dalam In Solitude

Kampung Naga

di sini keindahan bernyanyi
tanpa ada telinga yang mendengar
dan keramaian merebak
tanpa pandang yang terengah
tangga tanah basah
adalah lambaian petani tua pada anak cucu
berapa lamakah sebuah bangsa
akan bertahan
ketika sang penerus
lari menukar warisan dengan keserakahan
mungkinkah padi tumbuh
tanpa ada yang menabur benih

1992


A Commemoration

betapa indah awal sebuah petaka
tatkala cinta dan berahi tak lagi punya batas
dan segumpal nilai seketika hilang makna
tidaklah menolong air-mata terburai
atau merutuk gemawan yang terhentak seribu kaki kuda
hingga senja taklah lebih dari layar koyak
dendam perjalananmu membuatku terpana
namun pada akhirnya adalah tiada
dan tiba-tiba kutakut rindu

1992



Wahai

denyut sampanku terukir
di kaki pantai nestapa
sebagai tercipta dari Sang Pencipta
sementara tak lekah mentari sore menyayat
dayungku
wahai
adakah engkau di atas sampanku?

1978


Selamat Malam Adinda

saat langit-langit di atas sana menciut
malam datang disertai kelamnya
mungkin engkau telah ada di sana
jauh terpisah dari pelukanku

bau wangi bunga menyentuh hidungku
dalam kamar di mana kau berbaring,
adinda,
beku nadimu menyentuh sukmaku

kemarin masih kau alunkan lagu bintang kecil
kemarin boneka-boneka itu masih tidur dalam
pelukanmu
kini,
sunyi sepi meraupi waktu yang berdetak cepat

dengarlah, dinda
burung kuk kuk lonceng kita berbunyi
dengarlah, adinda
kuberlagu nina bobok di sisimu
dengarlah, adinda
desis embun menimpa kelopak bunga

adinda,
malam tergagap dalam gelapnya
bintang-bintang suram tenggelam dalam lautan awan
tiba-tiba dingin merasuki celah poriku
meregang tubuhku kedinginan
seperti juga tubuhmu yang beku
namun kita tak dapat lagi berdekapan

akh,
serasa kau semakin jauh
di sini, aku sepi sendiri
sesaat lagi tengah malam kan tiba
sedang hujan di luar tak juga reda
seolah turut meratapi kepergianmu

lilin-lilin di kakimu telah suram cahayanya
kembali wangi bunga terhirup olehku
membuat darahku seolah membatu
aku tak kuasa lagi menatap wajah pucatmu nan ayu
sedang selimut tak mampu lagi memanaskan
tubuhmu

adinda,
hari esok tak kau jumpai lagi
terdengar sayup-sayup burung kuk kuk bernyanyi lagi

malam yang mengintip dari balik jendela
membuatku
meremang
kukecup keningmu
selamat malam adinda

1978


Tatkala Cinta tak Berarti Memiliki

di bawah bayang-bayang garis cahaya bulan
kupintal hasrat-hasrat tanpa harap
menyanyi lagu-lagu sumbang
sambil tengadah ke langit kosong
tidaklah mungkin lagu tercipta dari sebuah nada
dan segenggam pasir tak mungkin menjadi sebuah
rumah
bahkan segala kenanganpun pergi
tinggalkan ‘ku dalam kesendirian yang sempurna

1992


In Solitude

ingin kucumbu bulan malam ini
menanggalkannya dari langit
dan membawanya dalam sepiku

1992


Aku Pengembala Matahari

mengalun ombak ditelan angin
di sana daku menanti hari
merumput kala sengatan waktu

1979


Sajak Jarak

  .   .     .        .

1978


Melati Biru

kupungut ludahku
dalam anak sungai  yang mengalir
lalu kutanam
pada celah rimba
dan aku mendengar kidung
sayup tertelan ombak keriput
dari laut menuju ke laut
dari karang bersentuh ke karang
dari nyaring suaraku ke seberang sana
jauh tertinggal sekelopak melati biru
beralun berkidung, tertelan ludahku

1978


Cinta Sepi

dalam sepi kutanam cinta
bagai fatamorgana menjelang pagi
di akhir kokok ayam yang pertama
kau pergi, lalu sepi
tinggal cinta melangkah pergi
lewat jalan sepi
mencari kubur jasadmu tersembunyi

1978


Sepi

dua jejak bulan yang pergi

1979


Di Bukit Pengalengan

bara merah senja mencabik dingin
serakah melahap daun-daun teh
yang terhampar di bukit-bukit
berbatas pohon pinus dan jalan setapak
tiada yang lebih indah selain
pertemuan petang dan malam
ketika gigil dingin menghembus
membelai pipi-pipi kemerahan bocah gunung
di sini harta tidak lagi punya arti
karena setitik hujanpun tak mampu kubeli
bahkan bisik lembut bukit-bukit
tak mampu kujawab

1992


Dari Balik Jendela Puncak Chase Plaza

dari balik jendela puncak Chase Plaza
Jakarta terkapar di bawah
terhimpit bayang-bayang
pengemis cilik yang bercermin pada kaleng coca-cola
rindu susu ibu yang tak lagi ada
tidaklah menarik kilau BMW
atau bis reyot
mereka tak ubahnya mainan dari balik kaca etalase
bahkan dalam mimpipun tak juga ada
di balik debu kaca dan marmer
mentari meleleh pada wajah legam
hidup hari ini sekedar harapkan malam tiba
dan usailah lelah mengais nasib
untuk hari esok yang tak pernah pasti

1992


Rindu

apalah arti sebuah mimpi
ketika lelap terserak pada malam-malam tanpa
suara
kucari hadirmu lepas fajar hingga petang
tersendat tergeragap laksana petir tanpa gelegar
sementara waktu membenamkan segala harapan
dunia seperti kapal yang karam
terjerembab pada kedalaman tanpa batas
tiada yang lebih pasti daripada gelap
tatkala bulan kehilangan cahaya
dan halilintar kehilangan kilatnya
adakah yang lebih berduka selain hati yang rindu
betapa ingin kulihat wajahmu
pada kesia-siaan yang akrab denganku kini

1992


Hakone

adalah pendar cinta Michael Angelo kepada Monalisa
dan dansa Bach dengan walsanya
hidup adalah seni
dan seni adalah Jepang
seperti kabut di udara
serta butir salju di sungai
dan gigil dengan dingin
harmonisme alam dengan manusia
adalah Hakone yang berdendang dalam bisu
tanpa perlu menghentak
hanya gaungnya yang kekal

1992
(nb. Bagi saya ini puisi agak janggal, karena biasanya Monalisa dikaitkan dengan Leonardo da Vinci, atau saya memang tak tahu ada penggalan sejarah lain yang bisa dikaitkan)


Tentang Medy Loekito
Medy Loekito lahir di Surabaya pada bulan Juli. Sajak pertama dipublikasikan tahun 1978. Banyak memerah ilmu tulis-menulis dari Kardy Syaid dan Sutan Iwan Soekri Munaf. Bekerja di Shimizu Corporation. Juga menulis cerpen dan artikel. Tulisannya tersebar di berbagai media massa.


Catatan Lain
Korrie Layun Rampan, dalam pengantarnya ada berkata begini: “...karena sastra yang baik pada dasarnya merupakan guru masyarakat, tempat orang mengaca kehidupan, instropeksi, dan mengantisipasi keadaan.” (hlm.4). Saya suka kalimat itu. Selesai.

2 komentar:

  1. permisi, izin menyimak dari saya seorang pelajar. kalau boleh saya ingin bertanya, apakah 'Sajak Jarak' tersebut tergolong puisi kontemporer? dan nb yg tertulis di bawah puisi Hakone tersebut ditulis oleh siapa, apakah anda atau si penyair sendiri? saya harap blog ini dapat menjadi sarana belajar bagi siapapun terutama pelajar. terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Catatan (nb) di bawah sajak Hakone dari saya, bukan dari penyair. Sajak Jarak, barangkali bisa digolongkan puisi kontemporer, karena keluar dari konvensi puisi yang mendayagunakan kata. Puisi tersebut malah memanfaatkan tanda baca yang diatur sedemikian rupa shg menimbulkan kesan dan efek visual dari jarak. Sip. Makasih sama2.

      Hapus