Laman

Tonggak

Senin, 01 Juni 2015

Irma Agryanti: REQUIEM INGATAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Requiem Ingatan
Penulis : Irma Agryanti
Cetakan : I, Juni 2013
Penerbit : Komunitas Akar Pohon, Mataram.
Tebal : 64 halaman (35 puisi)
ISBN : 978-602-1599-02-0
Penyunting : Kiki Sulistyo
Rancang sampul dan tata letak : Tjak S. Parlan
Pengantar : Bandung Mawardi (Puisi Bermata)

Beberapa pilihan puisi Irma Agryanti dalam Requiem Ingatan

Layang-layang

hanya jika kau datang ke rumah ini
mereka akan bermunculan

tubuhnya buluh bambu
bergambar awan, berekor panjang
dengan sayap bulan agustus

tentu ia akan setinggi siang
sebab cuma kau yang mahir
menggelas temali
lebih kuat dari jambang nabi

sesekali dibiarkan ia hinggap
ke pohon jambu
tempat sepasang ari-ari dikubur
pengikat raga paling nujum

kukira kau tak lagi datang
sejak kita takut menulari wajah masing-masing
saling melepas biar
seperti layang-layang
dan ingatan pada nama kecilmu

2011


Requiem

10 musim dingin
dialamatkan pada namanya

ia mengadu tentang jadi tua
ngilu gusi
cinta
yang tak datang

kartu pos dari paris
mengirim dingin terburuk

daur garis tangan patah
menggambar perempuan 
di mana kesendirian adalah biru salju
dan lengang jalan

sebelum pintu dibuka
mereka melepas sirine
tanda kematian

2012


Sebuah Lorong di Kotaku

sebuah lorong di kotaku
lintasan kereta dan perempuan dalam film

sore adalah 15 menit dengan garis kemerahan
seperti durasi yang dipendek-pendekkan

sebuah lorong di kotaku
menunggu adegan cinta
dan televisi dimatikan

2012


Penari

ia melangkah
sepanjang selendang
meliuk dengan tubuh yang bicara:
aku akan mengitari api
membelah dan mengiring

Rambutnya dibiarkan terulur
menjangkau cahaya

seirama gerak beburung
matanya, menulis riwayat-riwayat cemas
sita yang dibawa rama-rama
rama-rama yang dibawa mati

sehelai tangis, sebaris sepi
di tengah tarian panjang
membuat rinai tubuhnya

di pementasan ini
penari itu, melantun seorang diri
dalam riuh ramai kesunyian

2012 


Patung Air Partini Tuin

dalam tubuh batu
padam matahari

sedingin kolam matanya
corak kain batik
tangannya menangkup bagai kuncup
menutup lubang pusar

ia bukan sita
padanya dikenakan
bunga-bunga tanpa warna
sepucat ikan
penjaga setia garis silsilah

tubuhnya basah
keningnya basah
heningnya basah

membuka diri
ke kedalaman air
sepanjang tahun
menunggu
hanyut

2011


Lidah Kaum Betina

kau takkan pernah mengira
betapa jari-jariku hitam dan memanjang
menjangkau dua butir ceri
jauh ke bukit mapel

jubahmulah yang membuat iri
si tukang jahit
hingga berselisih iman
bahkan mati bunuh diri
sebab diam-diam
ia tak lagi bisa menghitung
berapa jumlah kancing bajumu

jubah yang meluaskan niatku
untuk menanam rasa manis

sungguh, bukan permen atau es krim
yang pantas lumer di lidahku
melainkan lidahmu
lidah kaum betina

2012


Dua Mata

matamu yang liar itu
tak lagi pergi berburu
ia sudah tinggal di sini
di dalam mataku yang terpejam

2011


Ritual di Meja Makan

sebelum hari ini sempurna
aku berdoa
untuk sebuah meja besar
dan lukisan ibu yang menggantung

di mana selalu ada iblis
mata pisau
bagi si pencemburu

betapa ia mahir
memisahkan
darah dari nanah
lapar dari birahi

sambil membayangkan
sekerat daging atau bibirmu
yang manis
yang menetap
dalam mulutku

2012


Kematian Jam

tersebab suara-suara bising
seseorang takkan mendengar
bagaimana aku menghitung mundur

sebuah arloji dengan jarumnya yang bingung
terjebak sepanjang hari
seperti angka-angka di kalender

kenapa harus mengentalkan air mata
pada kematian waktu
sedang apa yang bernyawa, kerap lupa
cara merawat rindu 

2012


Di Rambutmu Angin Tak Lagi Mampir

di rambutmu, angin tak lagi mampir. setumpuk roti
gandum dan ice cream pada petang yang sahaja.
kenangku, dentang jam adalah genta bagi
kepulangan. sepasang sepatu ungu yang berlumut
dan tak lagi menyusun langkah. tapi rautmu,
setabah bunga tulip, sejak semula patah dalam pot
tanah. tak ada yang menunggu di beranda ini, selain
daun-daun gugur dan secangkir teh yang tak hangat
lagi.

2012


Nostalgia 

tak ada yang tiba di sini 
tahun-tahun mengubah diri dalam kalender

kota dan kartu nama
menanda pertemuan
ingatku pada kecemasan jam

kenangan merumuskan kembali tubuh kita
Di mana setiap orang sembunyi
dari derita dan asam matahari 

juga kau, tak ada lagi yang kujumpai  
selain jalanan, gedung tua,
kulit kayu yang melumut

2012


Melankoli Ingatan

ia ingin membuang ingatan, setelah dikenalnya
banyak hal. hujan yang tak punya musim,
membiarkan kenangan memasukkan tangis ke
dalam matanya. mata yang dibuat dari daun-daun
kering, begitu halus dan tabah. tahun-tahun
menatapnya. tahun-tahun yang melukai. tapi kau
membebaskannya dari kesakitan, juga melankoli. ia
ingin membuang ingatan, di muka pintu, waktu
berhenti, perlahan berjalan mundur.

2012


Mata Kancing

demi satu jam yang gelap oleh badai
bajumu lebih lebat
dari barisan pohon marigold
mengasihaniku
agar aku bisa sepenuhnya berteduh
seraya malu-malu pada
misalnya dua batang lilin
atau sebotol anggur putih kulit dada

demi satu jam yang gelap oleh badai
bolehlah merendam
rasa takut dari balik bajumu
seraya berharap
lampu-lampu
tak kembali menyala

2012


Tentang Irma Agryanti
Irma Agryanti lahir di Mataram, Lombok, 28 Agustus 1986. Merampungkan studi sastra Inggris di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Puisinya diumumkan di beberapa media massa dan antologi puisi bersama. Kini bermukim di kota Kelahiran dan menjadi volunteer di Komunitas Akar Pohon.


Catatan Lain
Bandung Mawardi menulis (hlm. 8): “Irma Agryanti mengundang kita menikmati puisi bermata. Ungkapan ini dimaksudkan menjelaskan tentang ketekunan menulis “mata” di puisi. Kita boleh bercuriga jika penggubah puisi tergoda “mata”. Godaan menimbulkan hasrat menggubah puisi-penglihatan.//Mata sering mengingatkan kerja kepujanggaan Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono. Tiga pujangga ini menekuni “mata” untuk mengungkap manusia dan dunia.”
            Maka beberapa puisi dikutip. Puisi “Mata Penyair” dan “Menara Kata” gubahan Subagio Sastrowardoyo, puisi “Mata Pisau”-nya Sapardi dan “Mata Hitam” milik Rendra. Diperbandingkan dengan “Dua Mata”, “Ritual di Meja Makan”, “Melankoli Ingatan” dan kutipan bait dari puisi “Aku Tak Sedang Menulis Puisi Tentang Malam” atau “Ke Balkon”.
            Oya, puisi-puisi dalam buku ini, sebagian besarnya ada dalam blog Penari Kata-nya Irma Agryanti. Di antara puisi terpilih di sini, ada dua puisi yang tak ada di blog, yaitu “Mata Kancing” dan “Ritual di Meja Makan”. Satu lagi, puisi dalam buku tak ada penanda kota/tempat puisi tercipta, hanya ada penanda tahun. Di blog, kerap ada. Nah, saya ingin mengutip puisi yang asyik di blog Irma, namun tak ada di buku Requiem Ingatan. Salam Puisi.  


Gaun Hitam Dan Malam Pengantin Nona Conway

petang membawa gamang
di lebat rambutnya
jatuh di lembar-lembar daun
sebelum sepasang mata kelabu
melintas gerbang taman
menangkap pancaran kesedihan

tak ada warna lain yang melekat di tubuhnya
selain hitam kelam
lebih kelam dari maut
padahal tak ada perkabungan bagi sesiapapun

kuperhatikan ia mengarang cerita
tentang Count Fernando yang mati dibunuh
maka dibuatkan pula malam dari gaun hitam

gaun hitam dan
malam pengantin Nona Conway
dikenakan bersama kekasihnya yang lain

Mataram, 2011


Penelopeia

perempuan yang menyanyi
pada sebuah perjamuan malam
dipinang bulan rambutnya wangi anggur
ia mencari laki-laki
seorang odysseus
berdiri mengenakan helm baja
juga perisai dan dua tombak bersayap perak
dulu pernah dibuatkannya selimut kulit lembu
sebelum para peziarah melahirkan kata-kata dusta
lantas dengan berani melamarnya
penelopeia, perempuan penjaga ithaca
menabur rambutnya di cawan perak
sesaji bagi para dewa
supaya pilar-pilar penyangga langit dan bumi itu runtuh
maka bebaslah ia
perjamuan belum lagi usai
di kamar, penelopeia menenun air matanya
menjadi sungai, menjadi tubuhnya


Pasar Kembang

seorang perempuan muncul dari gerbong
ketika magrib mulai raib
adakah tuhan turun petang ini
atau ia mati di rel
setelah mencicip doa paling lacur


Ngarsopuro

ngarsopuro, mata malam menari
di sebuah lampu minyak

mercusuar berdiri menyilau
dan lukisan tinta batik
dimana kita memejam pikiran masing-masing
antara duka dan dukana
seperti kau, aku pun menemu diri
menuju pelataran waktu
maka ingatan menjadi sengat sembilu
dan perjalanan menjadi belukar
biarlah aku mematung tubuh
ke dalam sunyi pasar malam
sementara ngarsopuro
menjelma rumah burung
riuh dengan siul
yang bersarang di keningku


Puisi yang Dibantai

jangan menulis puisi di negeriku
sebab di sini orang-orang tak pandai membaca
kau tulis lapar, mereka baca bakar
kau tulis sakit, mereka baca sikut
kau tulis sekolah, mereka baca selokan
tanda tanya menjadi tanda seru
tapi kami adalah penyair, katamu
penulis sejarah yang ulung
kami tidak menghujam atau menyimpan dendam
melainkan sebuah kebenaran
maka selepas subuh mereka datang
tanpa mengucap salam
kecuali kebengisan yang angkuh
pagi yang kacau bersama syair-syair bertebaran di lantai
dan isterimu yang mati mengapung di atas darahnya sendiri
lantas kau lihat mereka menari-nari
seperti tarian tikus di atas keju
membakar kertas-kertas, buku-buku, dan meludahinya
sudah kukatakan jangan menulis puisi
tapi kami bukan anjing, katamu
kami menulis tanpa perintah
biarlah kami mengerjakan apa yang selama ini kami kerjakan

demikian hari-hari aku bungkam
sampai generasimu datang
mereka yang lahir dari ujung pena ini
dan menjelaskan apa-apa yang sedang terjadi di negeriku

-mataram, 2010-  


Kejahatan Ciuman

tak perlu doa
untuk sebuah kejahatan

hanya cinta
sedikit daya
berjalan dari ujung gang,
sunyi dan ciuman

barangkali bibirmu
memenangkan pertarungan
mengalahkan peperangan
kurusetra dalam diri

tak ada sesal, 
meski engkau terlanjur
merenggutku

2013 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar