Laman

Tonggak

Selasa, 04 Agustus 2015

Gol A Gong: AIR MATA KOPI




Data buku kumpulan puisi

Judul : Air Mata Kopi
Penulis : Gol A Gong
Cetakan : I, September 2014
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tebal : xvi + 71 halaman (49 puisi)
ISBN : 978-602-03-0867-8
Copy editor : Rabiatul Adawiyah
Desain cover : Shutterstock.com
Ilustrasi isi : Aeny Asma
Setter : Fitri Yuniar
Pengantar : Fikar W. Eda (Perjalanan Kopi Gol A Gong)

Beberapa pilihan puisi Gol A Gong dalam Air Mata Kopi

Air Mata Kopi

Aku si pengembara resah
semakin jauh membuat titik
di peta perjalanan riuh dunia
tapi belum juga menemukan
peristirahatan abadi

“Dunia yang hendak ditaklukkan
harus dijauhkan dari wanita,” kubaca
prasastimu di dinding Gateway of India.

Meninggalkanmu mencari rasa kopi
berjumpa luka orang bernyanyi
berdansa tanpa busana diri
wajahmu yang sedih
saat menyeduh kopi
hadir di mimpi

Pergi ke Colaba di jantung kota
memaksa pemilik kedai menyeduh kopi
walau kutahu hanya ada teh susu tanah liat
wajahmu membayang di keruh hitam kopi

Kehadiranmu di tikungan kota
mengingatkanku menuju asal biji kopi
berharap mencium aroma itu
yang kutemui di setiap Jumat

oh, pemilik biji harum kopi
air mata kopi tumpah dari cangkirku

Mumbai, India, 6 April 2012



Jangan Minum Kopi

Setiap pagi di meja makan
Bapak bertengkar dengan Emak
soal secangkir kopi
boleh kuminum atau tidak
itu disebabkan masih balita

“Kita berdosa pada petani kopi. Kita
bukan tengkulak,” Bapak menyeduh teh.
“Lagi pula ngopi bukan tradisi.”

Terlalu jauh Bapak memikirkan
kopi berarti kemelaratan
Emak berbeda cara pandang
warung tetangga dimakmurkan

“Kakekmu dikirim Belanda. Membuka
kebun kopi di seribu bukit,” Bapak masih
menyeduh teh. “HIngga kini tak ada pusaranya.”

Ternyata Bapak punya alasan
panjang kali lebar kebun kopi
sampailah pada panen biji kopi
selain Kakek tak ditemukan
petani pun tak merasakan

Kubuktikan kebenaran
ratusan bulan kuseduh kopi plastikan
hingga kopi luwak harum kotoran
terasa apa yang Bapak resahkan
kenapa ku tak boleh minum kopi
karena di cangkir ada air mata kopi

“Pernahkan kaurasakan
secangkir kopi di lidah terasa asin?”
Bapak tak boleh lagi meminum teh.

Kini tak ada lagi ribut di meja makan
karena Bapak telah berpulang
Emak kini kesepian
aku minum cappuccino sendirian

Serang, 20 Maret 2008


Kopi Ini Pahit Sekali

Aku si pengembara pucat tersesat
berenang lemah di pinggiran Lut Tawar
melihat Bapak perih mengukir tabir batu
satu persatu di kirim ke negeri kepala ratu
dijadikannya ranjang emas biji kopi
tempat pertemuan rasa tubuh Ibu.

Aku si pengembara lugu termangu
menyaksikan upacara agung tanpa mantra
menari suci di pekarangan rumah
biji kopi remuk ditumbuk remuk diteguk
berserah diri pada cangkir porselen milikmu.

Dermaga Takengon, 8 Mei 2013
Embong Malang, Surabaya, 1 Juli 2013


Negeri Kopi

Air matamu mengerak di penggorengan tak berminyak
Suaramu mengepul mengiris malam.
Tubuhmu berdetak berkeringat direguk ditumbuk
Wait a minutes, Mister. Without sugar, ya.
Ini arabika harum sekali. Seperti negeri yang Tuan singgahi.”

Cangkir kayumu membungkuk deritamu diseduh dikeruk.
Kau masih kental pekat rasa gula tak kauingat.
Kau sembunyi di seribu bukit, lars mesiu tubuhmu sakit.
“Sudahlah, Tuan. Tubuhku capek. Mari bersulang saja.
Ini robusta pahit sekali, seperti negeri yang Tuan gagahi.”

Tubuhmu mengurai serbuk,
dicambuk disegel dalam plastik.

Bangko, Jambi, 4 Juni 2013.


Kita Pura-pura

Kita pura-pura bermimpi kehidupan dimulai saat biji kopi
ditanam. Kita pura-pura tak merasa perlu menyiraminya. Kita
pura-pura tahu langit mengatur semuanya. Kita pura-pura
berdiri di Sabang dan berakhir di Merauke menghitung nasib.
Kita pura-pura memanennya dengan gembira. Kita pura-pura
bersahabat dengan empat penjuru mata angin. Kita pura-pura
merasakan kopi itu manis sekali. Kita pura-pura menyampur-
nya dengan gula. Kita pura-pura tidak terkena diabetes. Kita
pura-pura jadi tengkulak. Kita pura-pura tak punya kebun
kopi. Kita pura-pura miskin. Kita pura-pura.

Hotel Pum, Sabang, Pulau Weh, 3 Mei 2013


Didong

Nyanyianmu menumbuhkan biji kopi nomor satu.
Melawan rantai tangannya, mengusir takut tidurnya
Hari ini berulat, lupa menyanyikannya.
Matahari terbit di malam purnama tak berbulan.
Angin tak memiliki kekuatan negeri terdiam.
Kau bercermin, tak lagi memiliki mulut

Lubuk Linggau, 8 juni 2013


Kopi Joss

Malam purnama tanpa bulan
kita duduk di Warung Lek Man
di sebelah utara Stasiun Tugu Yogya
memesan kopi plastik bara arang
orang suka sensasi suaranya

Bergelas kopi mengeluarkan bunyi
ibarat kereta api yang hendak pergi
mengantarkan harapan ke kota baru
walau hanya sekadar jadi babu

“Silakan diteguk kopinya.
Jujur saja ini kopi pabrik,” suara itu
menusuk di telinga.

Malam itu kau menolak kopi arang
memilih membakar tubuhmu di tungku
minta dimasukkan ke gelas kopi
bunyinya membikin ngilu di pipi

Kau menyuruhku mengaduknya
membuang segala racun kafein
meminumnya dengan sate bintang
agar mengerti rindumu kepadaku
tak berbalas perih hujan

“Aku tak mau ke kebun kopi.
Aku ingin café kopi,” kau keluar
dari gelas kopi. Tubuhmu berlumur tanah.

Malam purnama masih tanpa bulan
kita menyusuri Yogya hingga ke selatan
melarungkan tubuh sendiri
kami terapung bersama ribuan plastik kopi.

Yogyakarta, 22 Februari 2010


Anak Kopi

Aku singgah di  Pangkal Pinang
bau timah kedai kopi berebut tempat
di jalan ternama jantung kota tua
merebut tradisi kacang segelas susu

Kudengar seorang perantauberkeluh,
“Kasihan benar anak-anakku
untuk pintar harus ke ladang kopi
memilih biji terbaik pedih tak sekolah
memamah rumput plastik memakan telivisi 
lupa jalan pergi meninggalkan kami.”

Kupesan dua gelas kopi tung tau
menghibur si perantau agar segera pulang
kampung halaman menua dalam cangkir
diaduk mengabur dalam pusaran waktu

Masih kudengar si perantau meratap,
“Kasihan benar anak-anakku
untuk mencintai harus menjemur kopi
memilih hari baik bergantung warna langit
menumbuk mimpi menyeduh cita-cita
lupa jalan pulang kepada kami.”

Kutinggalkan kedai kopi tung tau
menyeberang menuju kopi tiam
aku berharap ada arabika di sana
walaupun tak ada kebun kopi di sini  
         
 Jalan Singapur, Pangkal Pinang, 22 April 2013


Petualangan Kopi

Perkenalkan: si petualang
ada di gelisah jiwa muda
merdeka menyanyi cinta
merdeka merasakan rindu
merdeka menyeduh pahit kopi

Akulah si petualang
menyeret nyeri kampung halaman
mencari akar pohon muasal
kumulai dari merah kebun kopi

Ya, aku si petualang
meninggalkan petak indah sawah
menuju kota di seribu bukit
yang selalu kunyanyikan
bersama panas kopi pagi

Oh, aku si petualang
berdiri  di jantung Masjid Raya
mengenang air bah di telivisi
menggenggam dunia baru
dalam plastik kopi

Hey, kulihat banyak petualang
di setiap perempatan jalan kotamu
dengan rasa malu menanyakan
bagaimana nasibmu hari ini
setiap panen kopi tiba

Ah, aku si petualang luka
rencongmu hilang bentuk
golokku lupa ilalang
perempuanmu menabuh genderang
perempuanku merias wajah
kotamu megah menjulang
kotaku kelam tenggelam
pada serbuk hitam kopi

kopiku sudah lama dingin
aku tak berani meminumnya

Banten – Banda Aceh, 1 Mei 2013


Tak Ada Kebun Kopi

Ketika sampai di Dermaga Baloang
ramai sopir angkutan menawarkan tumpangan,
“Pengembara, pengembara! Ayo naik motor becakku.
Tak berlaku syariat di Sabang. Mari kita bergembira.”

Kota Sabang menyambutku dengan gerimis
wajah keriput Hokkien ada di saku baju
satu alamatnya kutemukan di lipatan kertas kopi
kuserahkan ransel lusuhku untuk diperiksa
apakah kita masih bersaudara?

Kususuri gedung tua tak bernomor
memantulkan tubuh renta kakekku
yang dikirim Belanda sebagai pesakitan.

Kuketuki pintu reyot pertokoan
ruang kosong menahan rindu tanah leluhur
tak kulihat kebun kopi di dalamnya

Hokkien renta menawarkan malam kepadaku
menyeduh kopi plastik di trotoar jalan
sudah bergelas kopi malam ini dihabiskan
untuk harapan digantung di lampu jalan
“Pemimpinku tak paham pergaulan.

Dermaga kosong. Pulauku ketinggalan zaman.
Aku katak dalam tempurung,” kauaduk
kopi gelasmu hingga keruh.

Kuhirup seteguk kopi rasa gula aneh di lidah
yang kuminum tadi pasti bungkus plastiknya.

Hotel Pum, Sabang, Pulau Weh, 3 Mei 2013


Menimbang Kopi

Aku si pengembara lelah
ransel lusuh penuh biji kopi
panen raya tahun lalu

Semua berebut menjadi paling pahit
apakah tubuhmu padat berair
apakah tubuhmu pekat derita

Tak perlu kaucicipi
hidup ditumbuk segenggam
hirup reguk aromanya
seduh roboh tubuhnya

Kau tak perlu mabuk serbuk kopi
tak perlu menukar berat timbangan
tak perlu menyembunyikan kebun kopi
tak perlu tergesa menimbang biji kopi
kecuali arah angin memihak kepadamu.

Takengon, 8 Mei 2013


Kertas Kopi

Anak-anak petani kopi
melipat kertas kopi
berupa buntalan bola.

Menendang halaman kosong
tak bergaris tak bergawang
merusak panen kebun kopi.

Kertas kopi
teronggok di amis gudang
melipat tubuhnya sendiri.

Ketika kubuka
anak-anak petani kopi
tertidur di dalamnya.

Hayam Wuruk Hotel, Padang, 3 Juni 2013


Ziarah Kopi

Beribu kebun kopi memaksa penyair
kerja rodi bagai sapi membuat puisi.
Di kedai kopi tikus rayap berkelahi
berebut memakan kertasnya.

Setiap penyair meminum kopi robusta
satu huruf di kata hilang.
Jika kopi arabika terlalu pahit
kalimat kekurangan kata.
Ketika membubuhi gula rendah kalori
titik dan koma salah ditempatkan.

Akhirnya penyair membakar kedai kopi.
Dia menguburnya di kebun kopi.
: aku menziarahinya

Lubuk Linggau, 8 Juni 2013


Gudang Kopi

Lampu di kota mati jika panen kopi tiba.
Aku takut bunyi aneh di kegelapan.
: Apakah itu serdadu?
Segera ajak aku menari balet.
Cangkir porselen membuatku jatuh cinta.

Pagar Alam, 11 Juni 2013


Orchad Road

Aku menggandengmu siang malam
menyusuri panas trotoar bermerek
kotak-kotak hasrat bernomor huruf
mengantarkan kita ke palsu peradaban
kau ingin meminum manis parfum
“Terlalu banyak gula,” kau meludah

Kau meminta mas kawin kepadaku
menyulap apartemen jadi kebun kopi
mengganti kucing dengan luwak
mengusir Starbucks ke negeri asal
melemparku ke kereta bawah tanah
“Tubuhmu penuh luka,” kau berteriak.

Aku ingin kau meminangku saat purnama
meniduriku di ranjang pengantin negeri awan
menyeduhkan kopi buat pelanggan kedai
milik kita di kampung halaman berdebu
tapi purnama kembali tak bercahaya
aku terkurung di etalase tanpa kaca
memasang beragam harga di tubuhku

Aku masih ingin terus di sini bersamamu
siang malam menyusuri trotoar menganga
menguburkan mimpi kita tentang kebun kopi
: aku mencari-cari pusaramu!

Singapura, 20 Maret 2012


Tentang Gol A Gong
Gol A Gong (dulu ditulis Gola Gong) menulis puisi, cerita pendek, 120 novel, esay dan scenario tv. Pada umur 11 tahun kehilangan tangan kirinya. Pernah bekerja sebagai wartawan di majalah HAI (1989-1990), penulis scenario tv di Indosiar (1995), senior kreatif di RCTI (1996-2008), asisten manager di Banten TV. Mendirikan komunitas literasi Rumah Dunia, sebuah pusat belajar jurnalistik, sastra, film, teater dan seni lukis pada tahun 1998 di Serang Banten. Kumpulan puisinya: Dunia Ikan (Gong Publising, Mei 2010), Membaca Diri (April, 2013) dan Air Mata Kopi.


Catatan Lain
Kumpulan Air Mata Kopi merupakan oleh-olehnya selama tur Sumatera pada 1 Mei hingga 23 Juni 2013. Sebelumnya diterbitkan di bawah bendera Gong Publising.
            Fikar W. Eda menulis: “Ketika modal besar mulai masuk dan merampas kebun petani, maka seketika itu, kopi menjadi asing di kebunnya sendiri. Para petani terjerembab sangkar ijon kontemporer yang telah memberangus kemerdekaan para petani.” Dikatakannya, bahwa perjalanan penyair Gol A Gong, tidak saja menghirup harum kopi, tapi juga harum luka, dari tiap napas petani dan juga kedai sepanjang Sumatra.
            Demikianlah, Fikar W. Eda, anak petani kopi di Gayo itu kemudian menutup pengantar yang hanya sejumlah 6 paragraf itu dengan sebuah puisi:

“aku menyaksikan
wajah gelap bapakku
pada kopi yang kalian seduh
dalam cangkir porselen”

1 komentar: