Laman

Tonggak

Selasa, 04 Agustus 2015

M. Faizi: SAREYANG




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sareyang, Lirik Penunggu Kesunyian
Penulis : M. Faizi
Cetakan : I, 2005
Penerbit : PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.
Pemasaran : PT Kiblat Buku Utama
Tebal : 160 halaman (79 puisi)
ISBN : 979-419-332-1
Gambar jidlid : Muhammad-Affan

Beberapa pilihan “puisi” M. Faizi dalam Sareyang

LIRIK SAREYANG

Akulah Sareyang.
Akulah anak kecil dekil yang berjalan sendiri di pinggiran
sejarah. Tak ada orang yang menghiraukanku, kecuali dengan
sebelah mata memandang.
“Untuk apa berteriak bagi kebenaran, Sareyang?”
Tapi, aku tak mau diam. Walau telinga tersumbat, biarpun
mata tersilap, aku akan tetap berdiri, sekalipun hanya seorang
diri di hadapan kebisingan dunia, walaupun serak suaraku,
hanya gumam, bahkan mungkin cuma bisikan yang lenyap
terbawa angin.
Akulah Sareyang.
Sebuah tanju bagi gerhana sepanjang waktu.
Air merta jiwa bagi kemarau seabad lama.
Melalui malam dan sunyi, yang menjadi guru dalam
mengajarkan cahaya dan kebisingan, aku menyeberangi kosmis,
mencari percik api bernyala matahari.
“Di mana akan kautemukan itu, Sareyang?”
Dengan mata menerawang, meradai dan menghilau atas
kekalahan, lindap di bawah bayang-bayang ilmu pengetahuan,
aku mencari nyanyian di antara deru bising kehidupan.
“Tetapi, masihkah para wali membisik, Sareyang?”
Dengan mata nyalang, aku menatap langit, membaca
catatan masa silam; sejarah menyajikan tamsil dan teladan,
namun mulut masih cedal. Walau hati merangkum rahasia
semesta raya, bahkan hingga ke sebalik fisika, tapi kekuatan
sepasang mata cuma mampu menangkap gemerlap mayapada.
            Akulah Sareyang.
            Sebuah lagu bagi hiruk pikuk sepanjang waktu.
            Cerita pelipur lara bagi kemelut sepanjang masa.

***
Aku melambung lepas, menembus atmosfer, melampaui
batas dunia, lalu melepaskan diri dari hukum bumi, tetapi
pada akhirnya hinggap kembali di dasar hati. Memanjatkan
doa untuk orang tua, para guru, kawan-kawan, serta mereka
yang mungkin telah terlupa; selamatkan kami dan anak cucu
kami dari kemarau panjang di dalam dada; kemarau di luar
musim, kemarau di dalam batin.
Berjalan tertatih menghitung langkah.
Hati merintih pikiran membuncah.
Manusia sepercik cahaya dari surga. Tersesat di Kota Benda
yang gulita. Diberikan untuknya pelita. Namun, ia terpasah
senantiasa. Diberikan untuknya air, dan ia tak habis-habis
dahaga.
            Sareyang.
            Sebuah tanju bagi gerhana sepanjang waktu.
            Air merta jiwa bagi kemarau seabad lama.



LIRIK SANTRI

Aku adalah seorang santri. Pesantrenku alam raya, kiaiku
hati nurani, dan kitab kajianku tutur panjang para wali.
Aku adalah seorang santri: seorang tawanan di penjara
dunia.  Akan tetapi, semangatku tak bisa dibendung, seperti
angin mencari arah, menelusup melampaui sekat, berkisar,
bertiup, melesat.
            Aku adalah seorang santri. Pesantrenku adalah sebuah
gudang besar di mana tersimpan berbagai macam pusaka,
sebuah rumah besar dengan banyak pintu yang selalu terbuka.
Tetapi, setelah sekian lama aku pergi meninggalkannya, kini
aku melihat, dari kejauhan jarak di peta, tapi sejengkal jarak di
dada, diriku tak ubahnya seorang nelayan yang telah menepi,
meninggalkan lautan di mana mutiara, ikan-ikan, dan selaksa
misteri Tuhan tersimpan. Aku merasa, seolah diri seorang
perantau,pergi mencari sesuatu, meninggalkan sesuatu yang
membuatku akan kembali kelak.
            Aku adalah seorang santri: seorang musafir di negeri badai,
seorang miskin di kota benda. Orang-orang melihatku kasihan
karena tak punya, walaupun sebenarnya aku kaya, sebab
hartaku tabah dan derana.
Aku adalah seorang santri dari sebuah kampung bernama
kesederhanaan; tempat aku bertolak dan rumah untuk kembali.


KEMELUT MANUSIA

            Pergilah manusia itu ke hutan kemelut. Katanya hendak 
mencari, sayang ia tidak pernah menemukan. Tetapi, boleh
jadi ia memang hanya cukup puas dengan mencari dan tidak
perlu menemukan apa pun.
            Pada suatu waktu, sampailah ia di suatu belantara. Ia
merasakan semuanya. Rumput yang dipijaknya: keraguan.
Pohon-pohon yang mengepungnya: pertanyaan. Semak belukar
yang ada di kanan-kirinya: persoalan. Ia bingung. Sendirian.
Tak ada teman. Hutan benar-benar menakutkan.
            Pergilah manusia itu mencari, tapi sayang, ia tetap tidak
menemukan. Dan sayang seribu sayang, ia tak cukup bekal.
Karena jalan masih panjang, sedangkan tenaga sudah habis
terbuang, maka dia pun pulang.
            Sesampainya di suatu tempat, di mana dari sana dulu ia
berangkat, ia bingung dan merasa tersesat. Mungkin karena
pertanyaan-pertanyaan dan keraguan-keraguan masih
menghimpitnya dalam ketidakmengertian. Maka, ia mencoba
menangis ketika yang lain tertawa, mencoba jaga ketika yang
lain pejam mata, mencoba selalu meragukan ketika yang lain
telah memastikan. Dia tetap mencari ketika yang lain
menemukan.
            Manusia itu, ia yang penuh kemelut, memutuskan untuk
samadi, mengasingkan diri dari dunia. Ia bertapa, memilih
diam daripada bicara. Bertahun-tahun lamanya, ia tetap tidak
menemukan apa-apa.
            Di suatu malam, tiba-tiba ia marasakan panas melurub
sekujur badan. Kemudian, suatu pertanyaan muncul di ruang
terluas dalam benak kepalanya: di manakah letak kebenaran?
Kapankah aku akan menemukan? Ataukah selama ini aku
tengah menghindarinya setelah sejak lama hidup
berdampingan?
            Akhirnya, manusia itu mencapai sebuah padang sabana.
Ia melihat hamparan permadani hijau rerumputan, kupu-kupu,
bunga-bunga. Dia takjub, heran, tetapi entah pada apa.
            Ia meraba dada, bertanya.
            Ia mengerutkan kening, berpikir.
            Adakah aku telah menemukan sesuatu? Jangan, berhenti
berarti mati. Satu-satunya jalan bertahan hidup adalah terus
mencari.
            Manusia pencari menangis. Ia, manusia seorang diri itu,
akhirnya pergi meninggalkan tempatnya semula. Katanya
hendak menjauhi kemelut dalam dadanya untuk menemukan
sesuatu yang tak terlihat mata, sesuatu yang tak  terdengar
telinga, sesuatu yang tak pernah terlintas di hati manusia, hingga
ia menemukan hal itu dan tak pernah lagi meragukannya.
            Maka, manusia itu, dia yang penuh kemelut, melalui hari,
menembus bulan, melampaui tahun, terus berjalan. Hingga
pada suatu masa, berjumpalah ia dengan seorang tua.
Rambutnya putih merata. Matanya sayu, namun tetap cerah
memancarkan sinar wibawa.
            Inikah akhir dan sebuah pencarian? Manusia pencari itu
lalu berkenalan. Kemudian, keduanya lama sekali berbincang-
bincang.
            Selang beberapa lama, mereka memutuskan untuk berpisah.
Keduanya berjalan berbeda arah.
            Manusia itu, setelah bermungkin kalau saja orang yang
baru saja diajaknya bicara itu adalah Khidir, ia membayangkan
dirinya Musa: orang yang telah lama mencari, setelah
menemukan, lepas kembali. Maka, dia pun duduk termangu
di bawah naungan. Membayangkan sesuatu yang tak tergapai.
Memikirkan pertanyaan yang tak terjawab, demi mencari
kebenaran untuk mengobati laparnya yang tak tertakar;
keraguan.
            Hingga pada akhirnya, manusia itu, ia yang penuh kemelut,
masuk kembali ke hutan kemelut, keluar ke padang kemelut,
lalu mati membawa kemelut.


KEBAHAGIAAN

 ‘’Aku hanya seorang miskin papa.
Kesabaran adalah satu-satunya kekayaan yang kupunya.
Aku hanya seorang miskin papa.
Tabah menyambut derita adalah harta yang paling
berharga….’’

***
Pada awalnya, aku hidup kaya raya. Harta melimpah, benda
meruah. Lalu, datanglah orang-orang mengambil kekayaanku
secara paksa. Mereka merampas rempah-rempah, palawija,
minyak, dan emas permata. Lama kemudian, mereka pergi.
Tapi,  gantinya justru saudara sendiri. Mereka mengambil
kekayaan alam untuk pribadi. Aku cuma melihat dan tak
berbuat apa-apa karena ketika itu aku masih kecil. Dan setelah
aku dewasa, ketika aku menerti tamak dan loba, harta benda,
kaya raya, kini tak ada lagi tersisa apa pun selain kemiskinan
berkepanjangan. Hutang menumpuk tidak terbayar.
            Pada akhirnya, aku tahu. Kemiskinan adalah guru yang
baik. Ia mengajariku cara menghargai dan menghormati sesama.
Karena kekayaan cenderung menganggap yang lebih miskin
adalah yang menghormati dan diperintah. Sementara yang kaya
adalah yang disanjung dan berpolah. Kemiskinan mengajariku
menggapai kebahagiaan dengan merasa cukup dalam
kekurangan. Ia mengajariku menikmati penderitaan dalam
mengarungi hidup dengan hati yang tenteram.
            Pada dasarnya, manusia dengan segala yang dimilikinya,
sama-sama mendambakan kebahagiaan. Seorang hartawan,
mendapatkan kebahagiaan dari kekayaannya yang melimpah.
Demikian pula, seorang miskin mendapatkan kebahagiaannya
dari bersabar dan tabah. Sesungguhnya, kebahagiaan bukan
milik kekayaan ataupun kemiskinan. Kebahagiaan hanyalah
milik hati yang tenteram.


LIRIK KEMATIAN

Aku terbaring. Dada sesak. Panas sekujur tubuh. Dalam
Ketakutan yang maha, bagai seorang calon tamu malaikat di
dalam kubur, kurasakan kulit pori-pori mengisut. Mata kuyu
menunggu maut.
Aku bangkit dari pembaringan. Melawan daya yang tak
ada, melawan takut yang membayangkan. Tak akan pasrah kepada
nasib. Tak akan menyerah kepada sakit. Aku tak mau mati.
Aku mau tidur dan bangun ketika tak ada lagi penyakit di
muka bumi.
Aku tak mau mati!
Ilmu pengetahuan melahirkan berbagai teori, obat, dan
penemuan-penemuan di bidang kedokteran yang begitu
cemerlang. Dan dengan kecerdasannya, manusia punya alasan
untuk hidup abadi dan menolak untuk mati.
Lalu, muncul tanya dalam hati.
Gejala apakah ini? Bagaimana sebenarnya tugas utama ilmu
pengetahuan menyelesaikan permasalahan? Bagaimana tugas
filsafat mencari persoalan secara mengakar? Adakah agama
sudah mempersiapkan jawaban?
Manusia takut mati karena daya pikat dunia. Pesonanya
sungguh luar biasa. Hari-hari yang penuh gemerlap, suka-cita,
kesenangan, dan gelak tawa. Itulah dunia: rumah paling mewah
tempat segala kenikmatan dapat dijumpa. Berhambur dan
berdansalah di halamannya. Karena bila ajal tiba, segala impian
dan kesenangan akan menjadi percuma.
Setelah lama merenung, aku kembali bertanya, bukankah
kematian diciptakan Tuhan untuk membatasi kemampuan ilmu
pengetahuan? Bukankah kematian diciptakan Tuhan untuk
membatasi nalar karena ia berada di luar batas capai akal?
Dalam renung panjang, tafakur mendalam, bertanya-jawab
dengan diri, tentang jiwa abadi, tentang alam semesta, tentang
nyawa, hidup di dunia, alam baka, surga dan neraka, aku
menemukan kepastian
‘’Aku selalu siap pulang kembali ke tanah. Dunia ini hanya
tempat sekejab singgah. Tempat melepas suntuk dan sekadar
lelah’’
Kini, aku tahu, bahwa kematian diciptakan Tuhan untuk
menjelaskan pada manusia, agar dengan akalnya ia berpikir
dan dengan hatinya ia merasa, bahwa ada suatu keabadian
yang lebih indah daripada kehidupan.


LIRIK POHON TUA

Sebatang pohon tua, tumbuh dalam tahun berpuluh-puluh,
di setiap halaman rumah kita. Akarnya menyelusup ke lapisan
bumi, menembus ke sela-sela batu. Sementara pucuk dalam
tiap dahannya,menjulur ke segala penjuru. Pohon tua, buahnya
lebat dan runduk. Dengan kebesarannya, ia menciptakan
naungan yang luas, menutupi pohon-pohon kecil serta
rerumputan yang tumbuh di bawah bayangannya.
Aku hanyalah sejumput rumput, sesemak belukar, atau
pepohonan kecil yang hidup di bawah naungannya. Entah
sampai kapan waktu akan memindahkanku ke tempat lain
agar dapat langsung merasakan sentuhan sinar matahari. Itulah
awal yang menentukan; mampukah aku menghunjamkan
akarku sendiri mencari makan, menembus lapisan tanah dan
menjulurkan daun-daunku menyambut angin, atau mati karena
tak mampu bertahan?
Kelak, engkau juga akan manjadi sebatang pohon tua, bila
tidak lebih dulu disapu topan, atau dicerabut banjir, dan tidak
pula musnah oleh satu musim yang berkuasa berkepanjangan.
            Suatu saat nanti, bila Tuhan sudi, aku juga akan tumbuh
hingga menjadi sebatang pohon tua. Ia yang dengan
kematangan usianya, tahu betul bagaimana menjaga saripati
tanah guna mematangkan buah lalu menjatuhkannya. Ia yang
karena kebesaran batangnya, tampak gagah dan perkasa.
Meskipun setiap hari, ulat dan usia, terus menggerogotinya.
             Pada suatu saat, akan tiba masanya. Kita semua akan
menjadi sebatang pohon tua. Lalu, ia pun berpikir, alangkah
indah jika tumbang kelak, pohon-pohon kecil lainnya akan
bertukar cerita, “Dulu, di sini pernah menjulang sebatang pohon
besar yang wibawa. Mengasuh kami dengan cinta, menjaga
kami dari malapetaka. “Akan tetapi, pohon-pohon kecil di
sekitarnya terkadang juga bersedih jika mereka juga harus
tumbuh, berdahan, berbuah, berbunga, sama dengannya.
            Sejatinya, kita memang tidak tahu, seperti apakah pohon
terbaik itu? Pohon tua kaya batin dan pengalaman. Pohon
kecil penuh semangat dan keberanian. Namun, pada prinsipnya
semua pepohonan sama-sama berbatang kayu. Yang membeda-
kan hanyalah kepadatan dan kehalusan seratnya.


LIRIK PENGEMIS LOBA

Berbarel-barel air telah kukuras dari sumurmu, tapi engkau
tak surut juga. Aku menimbamu lebih banyak lagi, dan engkau
makin melimpah saja. Berton-ton ikan telah kujaring di lautmu.
Engkau memberiku banyak kakap maupun teri. Maka, kutebar
pukat agar semua ikan kudapat.
Dulu, engkau pernah memberiku sebuah batu permata.
Aku memintamu intan maka engkau pun memberiku berlian.
Dulu, engkau pernah memberiku sabatang lilin. Aku
memintamu tanju dan engkau pun memberiku lampu merkuri.
Aku meminta, engkau memberiku berlipat ganda.
Aku adalah seorang pengemis yang rakus, tamak, dan loba.
            Lalu, engkau memberiku fatwa. Berlarik-larik lirik, tentang
Keteduhan dan ketenteraman batin, tentang hakikat diri sebagai
manusia. Engkau pun memberiku petuah dan sabda berbunga-
bunga, kata-kata penuh madu, tentang kesucian dan kemurnian
jiwa, narasi panjang tentang jalan yangmembentang menuju
surga, tapi aku enggan mendengar, meski sepatah saja.
            Beginikah diriku, atau memang begitukah manusia; sang
pengemis yang rakus, tamak, dan loba?


LIRIK BENDA

Mengapa engkau begitu dahsyat memikat?
            Apakah rahasiamu hingga tampak penuh pesona?
            Mengapa daya gaibmu luar biasa hebat?
            Apakah rahasiamu hingga ajaib melebihi kemala?
            Benda-benda mengepungku dalam sebuah ruang fana,
tempat nasib diperjudikan dan aku selalu menjadi pecundang.
Mempertaruhkan harga diri; dijual murah, tapi siapa pembeli?
            Mata jadi kabur, takut jadi berani.
            Hati jadi lamur, malu jadi nyali.
            Oh Benda, rahasia apakah yang kausimpan sebenarnya?

***
            Dalam serba kesementaraan ini, benda-benda abadi.
Kemilaunya melampaui ratna mutu manikam. Pesonanya
menyihir  setiap mata memandang. Benda-benda mendekam
dalam setiap sudut hidup, dalam arus menuju maut.
            Benda membujuk, manusia terpedaya, lalu tertawan jadi
budaknya.
            Pernah di suatu waktu, aku, salah satu pemujanya, dengan
ragu campur malu bertanya, “Benda, engkau dipuja-puja
manusia hingga mereka menceburkan diri ke dalam lumpur
dunia. Apakah sihir dan teluh kaupunya, atau apa pun
guna-guna?”
            Benda-benda di sekelilingku menjawab,
            “Duhai manusia,
            Aku tak punya sihir ataupun pemikat,kecuali bagi mereka
yang lebih suka melihat dengan mata membelalak tapi hati
terpejam, bagi yang memilih kekenyangan karena takut lapar,
bagi yang kuat namun tak tabah, bagi yang berani sekalipun
salah.
            Jangan salahkan aku dicipta.
            Jangan hina aku kauanggap.
            Jangan agung aku kaujunjung.
            Miliki aku dan jadilah engkau tuan. Jangan jadikan aku
berhala dan engkau menghamba. Demikianlah manusia, punya
nafsu, punya ambisi, punya cinta dalam kesementaraan hidup
di dunia. Tak salah menjadi pemilik benda. Tak keliru
menyimpan harta. Yang celaka hanyalah orang-orang yang
alpa.”


LIRIK ANGIN

Pergilah angin ke arahnya
Angin bertiup mambawa tenaga
Kincir berputar, turbin berjalan
Ombak bergulung, layar mengembang.
Tahukah engkau, di mana angin bersembunyi ketika
malam?
Adakah engkau tahu, dari manakah ia berasal, ketika pelan
berhembus atau murka menjelma badai? Bukankah dalam
kelembutan dan keganasannya terdapat sebuah kekuatan yang
maha?
Angin menghempas wajahku. Aku meraba, mencari tahu
 apa pesannya, mencari arti ke mana arahnya
Aku berpikir melalui badai dan semilir. Maka, kutemukan
jawaban ketika ia mendorong, menggerakkan segala yang ada
di hadapannya
Gerak berlawan diam.
Gerak adalah nilai hidup
Dan diam adalah unsur maut.


1887

Nenekku pernah bercerita tentang asal-muasal tanah tempat
aku dilahirkan. Aku merasa perlu mencatatnya dalam tulisan
untuk mereka yang kelak hidup setelah masaku, agar supaya
mereka tahu kisah tanah ini bermula.
Inilah cerita tentang tanah nenek-moyang mereka:
“Alkisah, waktu itu tahun 1887, datanglah seorang pejalan
dari jauh menuju tempat ini, tempat yang dia pilih sebagai
ujung perjalanan. Di sini pulalah ia menetap hingga melepaskan
nafas penghabisan.
Di tempati ini, sang pejalan itu, membangun sebuah tempat
tinggal. Awalnya sebuah istal, di atas sebidang tanah kering
berbatu-batu. Tanahnya berkapur dan kurang subur. Ia mulai
merambah semak belukar kemudian membikin sebuah langgar.
Manusia itu, dengan kesabaran sebagai sumber tenaga yang
dipancarkannya, menciptakan kaki yang kuat untuk
mencengkeram agar tak goyah. Tangannya membuka dekapan
ke segala penjuru, menyambut siapa pun tamu. Pejalan itu
kemudian mendirikan sebuah rumah kecil tempat belajar dan
berjuang. Dan di tempat ini, ia mencurahkan segala
kemampuannya demi pengabdian.
Tahun demi tahun, semakin banyak murid yang datang.
Tempat ini pun kian semarak. Ramai orang berdatangan untuk
belajar. Waktu itu, suasana masih genting karena perang, maka
tempat ini pun juga berfungsi sebagai markas para pejuang
melawan kolonial.”
***
Aku, di penghujung abad, memasuki dunia luas teknologi
dan informasi, di hadapan geriap merkuri dan seliweran pulsa
di pesawat telepon, dunia lain yang maha luas; cyberspace,
juga sebuah perkampungan raksasa: website, memandang
sebidang tanah yang dulu hanyalah kandang kuda dan kini
telah tiada. Sekarang, ia hanyalah sebidang tanah yang
menumpuk di dalam dada. Aku membaca ulang ingatanku
pada entah berapa tahun lalu, ketika jiwaku masih tak dapat
jasad dan rohku masih dalam iradat.
Aku, di sebidang tanah, pada tahun 1887, di tempat itu
ketika udara bersih dan jantung sehat berdenyut, saat dunia
sunyi dan hati bebas berkhalwat, memandang masa kini dalam
tertegun; antara takjub, tadabur, dan tasyakur. Aku saksikan
kecemerlangan perubahan, musim demi musim, tahun demi
tahun. Dari ruang yang sama, dalam jarak waktu berbeda, aku
memandang masa kini, di mana jasad dan diri berada.
Kini aku melihat.
Dari sebidang tanah yang telah berhimpit gedung, berdesak
bangunan dan berjejer rumah, aku melihat sebidang tanah yang
berada jauh di masa lalu, di tahun 1887. Hingga kini, ia masih
teronggok dalam ingatan sebagaimana kuwarisi dari kabar dan
tutur lisan.
Kini, di sebidang tanah yang kupijak, aku tak menemukan
apa-apa lagi. Di antara bangunan megah, di antara batu-batuan
berkapur dan rumah-rumah besar, di antara pepohonan rimbun
dan di antara sebuah pekuburan yang telah berselimut lumut,
dengan makam tanpa tulisan, yang dalam kebekuan dan ribuan
teladan yang dikandungnya selalu bercerita tentang seorang
pejuang, yang tabah tapi gagah, kini aku telah menemukan
sesuatu yang lain.
Di sini, di tempat ini, tak kutemukan apa pun, melainkan
makna terdalam bagi sebuah perjuangan, makna hakiki dari
sebuah kesabaran dan saripati dari arti segala bentuk ketulusan.


PESAN SEBELUM BERJALAN

Ketika Sareyang hendak pergi bertualang, sang ayah
memberinya pesan sebagai bekal di perjalanan.
“Anakku, di perjalanan nanti engkau akan menjumpai
kerikil yang lebih tajam daripada pedang. Engkau juga akan
menemukan semak yang lebih menyesatkan daripada rimba.
Di perjalanan itu engkau juga akan tiba di sebuah kota dengan
penduduk yang bila tidak mencibir, mereka tidak akan peduli
padamu sedikit pun.”
Tanpa menunggu puteranya bertanya, sang ayah menerus
kan pesannya, “Anakku, dalam diri manusia ada sebuah racun
yang lebih jahat ketimbang bisa, lebih getir daripada empedu,
lebih anyir daripada darah. Tapi, tak banyak orang yang sadar
bahwa racun itu selalu ada, bahkan membiarkan racun itu
menggerogoti dirinya tanpa sepengetahuannya. Itulah iri dengki.
Ia tidak seperti mengumpat, mengutuk, dan mencaci. Karena
ia tidak butuh lidah untuk menyakiti lawan bicara, tapi punya
banyak mulut di hati untuk membenamkanmu dalam celaka.”
“Anakku, ketahuilah! Racun tersebut dapat membuatmu
terkulai sebelum mencapai cita-cita. Dengki adalah duri yang
tidak mencucuk tangan saat kaupegang, tidak menusuk kaki
saat kauinjak, namun ia akan membuat hatimu berdarah tanpa
disadari.”


PUNCAK

Mungkin engkau pernah mendengar kisah tentang
pendakian Edmund Hillary dan Tenzing Norgay yang pertama
kali mencapai puncak Himalaya. Aku juga pernah mendengar
cerita tentang Neil Armstrong. Kabarnya, dialah manusia
pertama yang menginjakkan kaki di bulan. Mereka sama-sama
telah tiba di puncak yang berbeda dalam ketinggian, tetapi
sama dalam kemauan.
Manusia selalu ingin mencapai suatu puncak tertinggi di
dalam hidupnya. Masing-masing  mereka memiliki puncak bagi
ketinggian maksud dan keinginannya. Bagi pedagang, puncak
adalah keuntungan dan kekayaan. Bagi seniman, puncak adalah
karya besar. Bagi ilmuwan, puncak adalah penemuan. Dan
bagi politikus, puncak adalah pemecahan.
Namun, mereka semua dapat menjadi pencinta; ia yang
tak memiliki puncak bagi keinginannya. Karena seorang
pencinta yang telah mencapai puncak akan hambar hidupnya.
Sebab itu, ia harus terus mendaki tanpa mengenal henti.
Manusia mendambakan kebenaran dengan semangat dan
cinta pada suatu alam yang mana ia akan mencapai suatu
puncak yang menjadi akhir dari segala keinginan. Untuk itu,
mereka harus terus mendaki. Dan pendakian itu cukup
banyak menguras tenaga dan pikiran. Mereka akan terus
berjuang menuju titik akhir yang tidak mereka ketahui kapan,
di mana.
Setelah napas terengah, daya habis sama sekali, bekulah
darah. Pada akhirnya, sampailah mereka di puncak pendakian.
Puncak itu adalah mati.


LIRIK PEKERJA KERAS

Aku melihat peluh yang mengucur dari pori-pori tukang
bangunan, para pemecah batu, kuli pelabuhan, abang-abang
becak di terik siang, saat panas memuncak, merembes di
punggung dan keletihan tergurat tegas wajahnya.
Aku melihat para nelayan di pekat malam, di tengah laut
tanpa takut, menggigil menantang dingin. Juga para pekerja
kasar yang lembur semalam. Tak peduli dingin mencekam,
demi upah untuk makan.
Mari rasakan beban yang membelenggu para penyair,
pengarang, dan pemikir. Mereka menangkap ilham, memeras
pikiran, mengolah gagasan untuk menyampaikan pesan. Mereka
membawa beban berjibun, memang tidak disunggi ataupun
dipanggul, tapi dalam pikiran merenung. Mereka bertugas berat,
memang tanpa peluh merengat, namun dalam pikiran terkuras.
Alangkah mulia para pekerja keras!
Betapa peluh, dingin, dan beban pikiran itu akan begitu
nikmat sekalipun terasa letih dan penat. Betapa mulia para
pekerja keras. Karena itu, aku akan menjadi pesuruh yang gesit,
tukang yang giat, pelayan yang lincah, nelayan yang tabah,
dan penulis yang gigih. Aku akan melunaskan semua permin-
taan jiwa agar bekerja keras membanting raga, menguras tenaga
dan pikiran. Karena aku percaya pada pesan seorang imam:
“Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup itu ada padanya.”
Hidup menganugerahkan setarik napas, sekejap jaga, dan
segenggam tenaga untuk bekerja. Betapa rugi bila semua
kesementaraan itu lepas saat mata terpejam, padahal ia adalah
waktu yang begitu lama. Hidup memberikan udara segar, tapi
aku tak sempat menghirupnya lepas karena tak tahu bahwa
selebihnya adalah sesak dan pengap. Ia juga memberi daya
dan tenaga yang terbuang percuma tanpa karya apa-apa. Hidup
memberi peristiwa dan realita untuk diolah lalu dituliskan
dengan kata terpilih dan bahasa terbaik, tapi apa daya, aku
tak punya apa-apa.
Benar, semuanya berlangsung sebentar dan serba sementara.
Yang tersisa hanyalah kerja dan karya. Manusia hidup terbuai
mimpi, mengumbar nafsu hingga esok ketika masa tua
menjelang dan ajal mengintai, barulah menyesal.
Kerja keras adalah cara manusia untuk lebih bisa mengerti
makna kelezatan hidup sejati, di sini, atau nanti setelah mati.


LIRIK KEADILAN

Bila keadilan adalah sebuah ruang, apakah itu surga?
Bila ia adalah suatu gambaran, apakah itu fatamorgana?
Jika demikian, alangkah kasihan apabila penduduk dunia
adalah tuna netra yang mencari cahaya?
Manusia adalah ciptaan teragung. Dengan jiwa ia bijaksana.
Dengan pikiran ia pintar. Manusia punya hati: tungku api
kehidupannya. Namun, jika manusia benar-benar mahluk
berbudi, kenapa penindasan masih ada di muka bumi? Ataukah
karena ia tak mampu menyerap hikmah, membikin silap saat
dilihat, hingga berbalik dan membuat arah jalan terpasah?
Barangkali, keadilan seperti gambar di balik kaca. Jelas
terlihat, namun dicapai tak dapat. Tampaknya dekat, namun
terhalang sekat.
Keadilan adalah sepercik cahaya dari api kebenaran. Ia
memancarkan sinarnya. Menembus segala arah, semua sisi,
dan menjadi mercusuar bagi semua pelaut kehidupan.
Sesungguhnya, tak ada air dan angin apa pun yang mampu
memadamkan api kebenaran.
Keadilan senantiasa memancarkan cahaya, tapi manusia
tersilau bila memandangnya, karena mereka selalu
menggunakan mata indera biasa. Setelah itu, keadilan pun
tampak kecil , mengerdip, bahkan hampir tak mampu dilihatnya.
Keadilan adalah suatu alam di mana penindasan dan
kelaliman tak ada lagi. Dan untuk mencapai keadilan hakiki
manusia harus berjuang menghapuskan tirani. Maka para
pelawan tiran, adalah insan mulia karena merekalah yang
merambah jalan ke arahnya
Keadilan adalah keadaan terindah dalam kehidupan
manusia. Ia memang terlalu jauh ditempuh, terlalu besar
direngkuh. Namun, dengan menjulurkan tangan untuk
menggapai, sekalipun kaki tak berpijak tanah dan tangan tetap
mengambang, seseorang tengah berada di depan pintu gerbang
keadilan.


AKU MENGADU PADA-MU

Gusti, engkau satu-satunya tempat aku mengadu
Kadang aku ingin mengaku sungai yang bila mengalir,
Engkaulah lautnya. Dengan begitu, aku dengan-Mu bisa
menyatu. Tapi, betapa aku malu bila air hanya menyatu dengan
yang senyawa. Mungkinkah ia menyatu pada unsur berlainan?
Dan kalau dua unsur itu, Engkau dan aku, adalah serupa,
haruskah unsur yang satu menyembah unsur yang lainnya?
Gusti, Engkau tempat aku mengadukan segalanya. Namun,
kadang terlintas di benakku nafsu dukana. Lalu, aku bertanya,
apakah sebenarnya yang senantiasa terlintas di hati para nabi,
wali, sufi? Apakah sebenarnya yang membuat tenteram hati
mereka? Kadang aku hendak mengaku pecinta-Mu sejati
dengan kepasrahan diri tak terperi. Sementara sedetik
kemudian, begitu kata terakhir dari tasbihku selesai, nafsu
mengumbar dan tampaklah diriku seperti binatang jalang.
Aku telah mengadu pada-Mu dan engkau lebih dulu
menjawab untukku. Cukup bagiku bertakwa untuk mengaku
seorang pecinta. Karena seorang pencinta bukanlah
pengumbar kata belaka, melainkan hamba yang sujud pada-Mu.
Khusyuk bila berdoa
Ikhlas bila berkarya.


LIRIK PALESTINA

Palestina!
Wahai bunda bagi bermilyar manusia. Gerangan apakah
yang membuat air matamu berlinang tak selesai-selesai? Duka
maha laksana apa kautanggung sehingga tangismu bagaikan
drama tanpa penghujung; lakon panjang anak-anak menyandang
senjata, bermain bersama martir, sementara para ibu menjadi
janda di waktu muda, atau mati sebelum melihat anaknya
dewasa, para pejuang yang gagah karena cinta tanah air,
meskipun lemah karena hidupnya semakin rengkah?
            Ke manakah anak cucumu jauh melanglang? Adakah para
Yahudi itu tahu bahwa tanahmu selalu gembur karena basah
oleh air mata, sementara engkau, ibu pertiwi
yang menghidupinya, tersengal bila melenguh, tersendat saat
bernapas, menahan sesak, memikul tragedi abadi semenjak
awal mula drama kehidupan dimulai? Adakah para Kristiani
itu membesuk engkau terbaring, terbujur, terlentang menahan
sakit, mungkinkah mereka akan melupakanmu; tempat yang
sangat mereka agungkan itu? Mungkinkah kaum Muslimin
melupakanmu; tanah penuh sejarah tempat tonggak perjuangan
ditancapkan?
            Apakah mungkin derita ini adalah hikmah mulia yang
terselubung kasat mata? Namun, mengapa mereka bertikai,
ataukah hal itu merupakan wujud rasa cinta pada bundanya
sebagai pembelaan?
            Hingga sekarang, kecuali lirik ini, aku tak punya sapu tangan
bagi air matamu yang tak habis berlinang.
            Palestina!
            Duhai bunda bagi bermilyar manusia. Apa kabar Yerusalem,
yang kian tua oleh usia, tapi selalu muda untuk dicinta? Para
nabi yang pernah singgah disini, kalau saja sekarang mereka
ada, sanggupkah tidak menangis ketika melihat kota-kotamu
porak-poranda, bergelimang darah, bermandikan peluru,
sementara di lain tempat, anak-anakmu hidup mewah dan
pesta pora? Dan apakah pernah terbayang oleh nenek
moyangmu para Punisia, bahwa bumi yang dulu mereka
temukan itu bakal menjadi sebuah tanah subur bagi tumbuhnya
pertikaian? Apakah mereka pernah menduga kalau tanah yang
mereka puja selalu menangis tak ada habis-habisnya?
            Palestina!
            Sampai saat ini aku tak tahu, apakah dunia cukup kaya
menyediakan air mata untuk menangis atas drama lukamu
yang tak terhingga? Sampai saat ini aku tak tahu, dengan doa
apa aku memohon kesejahteraan untukmu. Atau karena aku
memang tak tahu, jangan-jangan pada kesedihanmu itulah
terletak kebahagiaan semesta, dan di lukamu itulah, dunia
mencurahkan isi hatinya yang kancap oleh air mata?
Hingga sekarang, kecuali lirik ini, aku tak punya sapu tangan
bagi air matamu yang tak habis berlinang. Sampai saat ini aku
tak punya cerita untuk melipur lara ataupun kata-kata yang
tepat untuk mengucapkan belasungkawa
Dunia, mari hentikan drama Palestina. Turunkan layar dan
akhiri pertunjukan. Cukup pedih mata menangis. Cukup perih
hati teriris.
Berakhirlah penderitaanmu, Palestina.
Damai dan sejahtera bagimu.
Amin.


Tentang M. Faizi
M. Faizi lahir di Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, 27 Juli 1975. Menempuh pendidikan hingga jenjang lanjutan pertama (madrasah tsanawiyah) di lingkungan pondok pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk. Dilanjukan ke Madrasatul Qur’an, Jombang, Nurul Jadid, Probolinggo, IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kumpulan puisinya 18+ (Diva Press, 2003). Kini bermukim di lingkungan pondok pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk.


Catatan Lain
Ada empat nama yang menghiasi sampul belakang buku, yaitu KHA Mustofa Bisri, D. Zawawi Imron, Abidah El Khalieqy dan Jamal D. Rahman. Kata D. Zawawi Imron: “Prosa lirik Sareyang menggambarkan vitalitas hidup seorang penyair. Pernyataan-pernyataan filosofis yang puitis menunjukkan bahwa penulisnya begitu akrab dengan kehidupan sehingga banyak ditemukan sejenis aforisma dalam buku ini. Menghadapi karya seperti ini, pembaca dituntut cerdas agar bisa menangkap hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.”
            Oya, satu lagi yang unik alias jarang saya temukan, biodata ada di halaman pertama, begitu membuka sampul depan. Dan juga ada sari kata, semacam kamus berjumlah 9 halaman, untuk menerang-jelaskan kata-kata yang dipandang perlu untuk dijelaskan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar