Laman

Tonggak

Selasa, 01 September 2015

Irianto Ibrahim: BUTON, IBU DAN SEKANTONG LUKA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Buton, Ibu dan Sekantong Luka
Penulis : Irianto Ibrahim
Cetakan : I, Mei 2010
Penerbit : Framepublising, Bantul, Yogyakarta.
Tebal : 90 halaman (53 puisi)
ISBN : 978-979-16848-4-2
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Tata letak : Indrian Koto
Foto penyair : Arif Relano Oba
Desain cover : Nur Wahida Idris
Gambar cover : Indra Dodi, “Menanti Hujan Emas”
180 x 150 cm, acrylic on canvas, 2009
(Bakaba, Sakato Art Community, 2010)

Beberapa pilihan puisi Irianto Ibrahim dalam Buton, Ibu dan Sekantong Luka

Tentang Rumah Kecil dengan Jendela Bercat Biru

sebab rumah kecil berdinding kayu di tepi pantai itu
tak pernah benar-benar kau miliki

di sana, depan jendela bercat biru
aku selalu memandang keluasan horison
gambar masa kecilku yang terserak
tentang kesaksian palsu
kubuat dari pecahan hayalan
yang menjadikan kalian berjarak selamanya

tentang rumah kecil dengan jendela bercat biru
sudah kau abadikan dalam sebuah kartu pos
dan aku tak pernah benar-benar memilikinya
sebab butuh usia dewasa untuk memilah
: apakah ini kejujuran atau kenyataan

Kendari, 29 November 2008


Tentang Kunang-kunang

Ada kunang-kunang terbang di atas unggunan api
Di sela helai-helai azan
dan pekat warna serumpun daun.
Serimbun ide dan tawa, cerita lampau
para perantau.

Kita ada di pijar kunang-kunang itu.

Markas Pisang, 21 September 2008



Sekantong Luka dari Seorang Ibu
: kepada ibu ainun kasim

supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada
yang terhimpit ini:

dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis
atau sekedar tersedu. sebab baginya kaki-kaki kursi yang
diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah
benar-benar mengenal rasa sakit: oleh luka maupun oleh
kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki dirinya jadi
batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah
ini terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya
menyeberangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah,
namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat
memandunya berdoa.

di sebelah sana: di ujung pantai jauh, ia melihat kapal-
kapal mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia
ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat
yang tak sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya.
dadanya sesak. dada seorang ibu yang tak sanggup
memberi: dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya
mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang
menampung sunyi nyanyian mantra pada tetua adat.

di punggungnya, ribuan tanda tanya dipikulkan anak-
anaknya. tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang
dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam
perisai para tentara yagn disarungkan pada tangan
sebelah kiri, ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan
yang menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesegukan.
lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya.
darah yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah
dari lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah.
darah yang di kemudian hari akan ia larung ke laut banda.
laut yang akan menenggelamkan suaranya.

bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih:
mendefinisikan penistaan. ia seorang ibu yang tak
dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya.
yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari
kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di
wajah mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa
mendengar suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang
suami. pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan
pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari
kuburan itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang
pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah sang suami
yang sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila
mungkin kau bisa bercerita pada seorang lain, jangan
bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-
bunga di halaman rumahnya. sebab seusai sholat subuh,
saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istri mereka,
ia masih khusyu menciumi sobekan kafan yang tak sempat
ia balut pada tubuh suaminya.

Kendari, 2009


Buton 1969

begitu tahun-tahun menjadi sepi
dan malam bergegas menyibak riak waktu
kau tak usah mendesak laut menyurut
atau pohon-pohon mengemis angin
karena darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

mungkin kau butuh semacam nestapa
atau ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil bersiul menanti pisau waktu
yang berjubah hitam, persis nenek sihir

bukan tawar-menawar yang kau tunggu
karena gagak tak pernah lupa alamat malam
dari matanya yang menikam kelam
meski berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak hinggap di sana
tidak di deretan kata yang memuat namamu

pulanglah, kembali ke bilik langit
sambil bersiul sepanjang luka
sepanjang kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun cerita
seperti ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah

adalah peta yang sama kau jejaki
dari ujung nadi terjauh
tempat anjing-anjing kurus
dengan liur yang tak pernah kering
mendesakmu dengan seribu tuduhan
semacam gua yang ditolak para pertapa
kau khusyuk menulis nestapa
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

Buton, 2007


Jalan Pulang

mungkin aku butuh semacam kantong ajaib
yang membuatku tiba-tiba menjadi sajak
yang tidak pernah sungguh-sunggu mencintai
sampai baris terakhir

atau aku butuh semacam topi pesulap
yang membuatku lenyap seketika
kepergian yang tak pernah kembali
yang tak akan pernah datang lagi

mungkin masih ada jejak senyum
atau malam bisu di ranjang
karena alamat hari masih tersimpan di saku bajuku
di dada sebelah kiri
tempat jantungku biasa memanggilmu

aku tidak bicara pada kenangan
pada laut yang menjelma ombak dalam dirimu
atau lagu terakhir yang dinyanyikan para pemabuk

sudah lama tak kupikirkan rimbun mawar
atau kabut asap sepanjang penantian
sebab kenangan bukan jalan pulang untuk kembali
bukan isyarat hari yang mau berbagi

Kendari, 2007


Sungai Sajak
: Syaifuddin Gani

seluas apa sungai sajakmu
sedalam tatapan gerhana
atau setetes embun?

mungkin tajuk pinus itu
lebih tajam dari rindumu
bahkan lembah
tak terukur sebagai rahim

kau pun jadi setakzim ilalang
rebah dan tegak
di bilah-bilah subuh
yang masih kau ragukan
apakah iblis tak sungkan berkawan?

seluas apa sungai sajakmu
mungkin kau tak perlu
menunggu angin terluka
sebab gelombang lebih merdeka
dari laut yang menampungnya

kaulah sajak itu!

Kendari, 2008


Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana

pertama, karena
polisi penjaga lahan
bersiap menembak
kepala mereka
kalau wajan atau linggis
tak diserahkan bersama
sepuluh duapuluh kaca
plus pernyataan tak kembali
dengan gaya persis
pembacaan teks pancasila
setiap upacara senin pagi

kedua, karena
ada tiga ekor buaya
berwarna keemasan
ditemukan di bekas galian
lalu kejadian ini
dimaknai sebagai
larangan
dan kalau tak diindahkan
maka biji-biji emas
akan berubah menjadi
mulut buaya
yang akan mengoyak
tubuh mereka
sampai tak bersisa
dan sudah pasti
juga akan merontokkan
gigi semua pendulang

ketiga, karena
mereka diberi buku p4
kata pemberi buku:
tanah dan air
beserta isinya
dikuasai oleh negara

pendulang
pulang dengan
dada lapang

Kendari, Februari 2010


Malam Pengantin

begini dingin cuaca malam ini
di dalam kamar, masih ranjang yang dulu juga
ia duduk menghadap jendela
dengan gaun yang sudah lama ia tanggalkan

sebelum dini hari
ia menoleh pada meja rias,
sebelah kiri jendela
ia melihat senyumnya
masih ada lipstik dan perona pipi di kotak kayu
dekat tusuk konde yang dulu pernah ia kenakan,
juga peniti emas dan kalung gobang bergambar ratu

di tepi ranjang ia terduduk
kedua tangannya meremas seprei putih
wajahnya menunggu
kedua matanya hampa
dan dingin cuaca malam itu tiba-tiba berubah
ranting pohon akasia memukul-mukul kaca jendela
salak anjing jauh dan perih
namun pengantin laki-laki mungkin tak pernah tahu

malam itu
di dalam kamar pengantin
hanya dingin tubuhnya
yang sungguh-sungguh mengerti
mengapa senyum para pelayat
lebih kecut daripada kematian

Kendari, 2007


Mahakam

1/
bahkan kukira kau tak ingin
menjelaskan sedikit pun tentang kemarau
apalagi ketika tanah dan daun meretak
burung-burung merendah
kau malah bicara tentang bahasa angin
dan menafsir potongan senja

sebab Mahakam telah merekam
segala yang meriak dalam diriku
dan badai sudah menggenang dalam matamu
maka kumohon, jangan
pergi!

2/
berapa kali sudah
kau bersua sepi di sini
jalan-jalan lengang
dan suara-suara kau biarkan ebralalu
ada cerita dan nada perih
yang menganga
menunggumu di sini
di balik tirai
yang tak pernah mengenal kata
mati

3/
mengapa pada salak anjing kau titip perih
apakah kabut bagimu hanya bermakna duka
sementara embun telah kau lepuhkan
menjadi lidah-lidah api?

berkali-kali sudah aku bersua sepi di sini
menunggui malam yang selalu karam
menandai bandul waktu yang menggerutu
di antara sayup senyap percakapan bintang
dan desau nafas butir-butir angin
yang memanggilku kembali.
ayo pulang, katamu.

Samarinda, 2007


Suatu Ketika di Kamar Kontrakan

1/
ketika mengajakmu ke sana
berdiri di antara pohon-pohon
yang menjulang bagai hantu
aku melihat langit
sangat dekat dengan kita.
bintang-bintang dan bulan
seperti mengulur tangan.
dan saat-saat seperti itu,
aku ingin mengajakmu terbang
dan menghuni awan-awan.
tempat yang kelak akan kita sebut
sebagai rumah impian.

2/
aku juga ingin membicarakan laut
dan ikan-ikan. perahu atau para nelayan.
tapi mungkin kau hanya ingin kupeluk.
sebab suara orang-orang yang saling serang
di luar sana membuatmu menggigil ketakutan.
mereka yang bertengkar soal tanah.
yang berperang karena lahan,
dan kita tetap duduk di kamar kontrakan
yang mencekik setiap waktu
kita yang tak punya tanah
tak usah bikin sengketa.
kita yang tak punya lahan
tak perlu saling serang.
kaulah tanah bagiku,
akulah rumah bagimu.

Kendari, 2010


Kelak Kau Akan Mengerti

mengapa kepergian selalu lebih dingin dari puisi.
itulah sebabnya aku tak memberimu lambaian tangan
atau salam perpisahan. karena rumah dan
kenangan sama-sama telah usang.

Kendari, 2009


Perahu Kanak-kanak
: arif oba – Once Upon a Time in Saponda

bila laut atau matahari telah rampung menafsir gelisahmu,
masihkah juga kau berharap menyimpan impian dalam
lipatan baju, atau menyisipkannya di sela dinding jelaga?
begitu kata ibu saaat menggenggam tanganku meniti
sebatang kayu menyongsong sang ayah.

aku melihat ayah tersenyum. memandangnya dengan
mata kanak-kanakku sambil mengharapkan diriku menjadi
perahu dalam riak percakapan mereka. ayah menisik
jaring, ibu menyalakan tungku. aku tetap seperti semula,
membiarkan diriku menjadi perahu. perahu kanak-kanak.

begitu senja selesai, dan gemuruh ombak memanggilku
sebagai perahu, ayah telah terlelap seperti sedang
menyelami mimpi di kedalaman laut. namun ibu,
perempuan yang selalu berhasil menerjemahkan suara
karang dalam dadaku, masih terus menjahit saku bajuku
yang sobek dengan jarum tangannya yang berkarat.
sebab katanya, butir-butir pasir harus kusembunyikan
dalam sakuku sebelum ia terbang menjelma bintang di langit.

aku sangat bersungguh-sungguh menjadi perahu. sebab
kata ibu, perahulah hidup kami. dan setiap kutanya pada
ayah ke mana akan ia tambatkan perahu itu saat pulang
dari mata senja, ia dengan pelan membisikkan di telinga
mungilku, di hati ibumu, katanya.

Kendari, 6 Mei 2010


Di Kendari Teater Kota Lama

mereka hanya menyisakan potongan tiket dan bekas
jari-jarinya di lenganku
sepasang kursi dan daun pintu kembar yang dulu pernah
mencatat mimpi-mimpi kami
tak kutahu lagi ke mana pergi. yang ada tinggal
penggal-penggal cerita dari tiang-tiang jembatan
yang lebih kokoh dari tatapan.

dekat kendari teater kota lama, ada sebuah toko cina
yang menjual pentil sepeda,
di sana kami pernah membicarakan rencana
bulan madu sederhana
: menyewa perahu sampan dan berkeliling
teluk kendari sehari penuh
lalu mampir sejenak di gerobak kacang rebus
sambil mengupas-kupas harapan dari butir-butir asmara
yang disemai cuaca bulan purnama

biasanya, kami berpapasan dengan beberapa kuli
pelabuhan yang baru selesai mandi,
aroma minyak wangi yang menyengat dan darahku
yang kian mendesak. aku mengingat semuanya.
terbayang merah muda pada pipimu dan lengkung senyum
yang tak pernah bisa membuatku terlelap selepas jalan
menuju pulang.
tapi, lembar-lembar rambutmu belum selesai kuhitung
dengan nafasku. sebab tiket yang ada di tanganku kini,
tak dapat lagi kupakai untuk menonton film kesukaanmu.
kendari teater tak ada di sini, kecuali sebuah gardu
penyedia tiket penyeberangan.
jembatan yang menghubungkan adalah juga
yang memutuskan kenangan.

Kendari, 2009


Rumah Kecil di Pinggir Kali

dulu, pernah kubangun sebuah rumah kecil di pinggir kali
dengan pintu dan jendela yang sama-sama menghadap
ke selatan.
bila senja atau dini hari, aku mengharap burung-burung
beterbangan dari dahan akasia
yang kokoh berdiri tepat di belakang rumah kecil itu,
tempat biasa kusembunyikan sisa luka
yang masih segar darahnya.

kalau malam buta atau siang mengambang tepat di atas kepala
aku selalu bicara tentang remah-remah sepi
dan bekas luka yang fasih bercerita tentang nyeri
tentang nafas satu-satu yang sesak dalam dadaku
seperti ketika hanya kuingat kesanmu
tapi tak dapat kugerakkan bibirku.

dulu, pernah kubangun sebuah rumah kecil di pinggir kali
dengan pintu dan jendela yang sama-sama menghadap
ke selatan.

bila mengingatnya sekarang
serupa memenjarakan waktu dalam tabung
dengan darah luka yang selalu lebih sakit daripada khianat.

Kendari, 2009


Alamat Maut

kau pun tak akan melihat pantai itu dari jendela
meski dengan bibir bergetar
dengan mata nanar
terlalu singkat sebagai derita
namun, teramat panjang sebagai duka

ada nada pilu tersendat
dasar laut yang menandai maut
dan lambaian penghabisan yang luput dari ingatan
lebih dalam dari segala alasan

kata yang tak dapat dipadankan dengan kelam
dengan seribu malam yang mendekam
atau deras arus yang mengancam
pilu yang dalam dan suram

kau hanya dapat menabur bunga dari jendela
dan ombak akan terus menuju pantai
sementara di langit
awan kelabu bukan miliknya lagi

Buton, 2007


Perempuan Pemanggil Burung

ia membaca cuaca
– arah angin dan berita perang di koran pagi

burung-burung hitam hinggap di dahan
dan lengannya
ada bercak darah terserak
sisa daging terkoyak dan seutas benang terselip
pesan yang enggan terbaca
semacam rindu yang tak sempat diucapkan

dari gurun berdebu ia datang
dan berita tentang orang-orang yang berteriak kesakitan
tertera pada selonsong peluru di kaki sebelah kiri
persis surat raja-raja jaman dahulu

perempuan pemanggil burung berdiri di balik kabut
rambutnya hitam kelam
gaunnya putih bersayap
dan dari matanya
: matahari timbul tenggelam seperti dentum meriam

Kendari, 2009


Tentang Irianto Ibrahim
Irianto Ibrahim lahir di Gu-Buton, 21 Oktober 1978. Bergiat di Komunitas Arus Kendari, Sulawesi Tenggara. Penulis tetap pada rubrik “Catatan Lepas” di Tabloid Oase. Puisi dan cerpennya tersebar di berbagai media cetak dan kumpulan bersama. Buton, Ibu dan Sekantong Luka adalah buku puisi tunggalnya yang pertama.


Catatan Lain
Ada 6 paragraf catatan pengantar dari penerbit. Biasanya sih, ditulis oleh Raudal. Tapi sebelumnya, di halaman yang lebih awal, ada patahan-patahan komentar dari 6 orang, yaitu Syaifuddin Gani, Abd. Razak Abadi (Adhy Rical), Bode Riswandi, Y. Thendra BP, Acep Zamzam Noor dan Saut Situmorang. Syaifuddin Gani menyebut sajak Irianto Ibrahim sebagai sajak yang liris-romantik yang getir dan muram, pembacaan Thendra menghadirkan sajak Irianto sebagai sebuah narasi, dan Adhi Rical menulis ini: “Inilah penyair yang fasih memahami kampung kelahiran dan restu ibunya, maka kelak kau akan mengerti betapa seorang ibu melebihi sejuta puisi yang kau tulis.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar