Laman

Tonggak

Selasa, 01 September 2015

Linus Suryadi AG: KEMBANG TUNJUNG




Data buku kumpulan puisi

Judul: Kembang Tunjung
Penulis: Linus Suryadi AG
Pengantar: Faruk HT (Kembang Tunjung: Suara dari Pinggiran)
Cetakan: 1, 1988
Penerbit: NUSA INDAH, Ende
Percetakan: ARNOLDUS
NI: 891407
Tebal: 112 halaman (50 puisi)

Beberapa pilihan puisi karya Linus Suryadi AG dalam Kembang Tunjung:

KEMBANG TUNJUNG

Kembang Tunjung
Di lembah Dagi
Mengorak Agung
Di jagad sunyi

Dan bulan purnama
Di langit tinggi
Tanpa suara
Menyapa bumi

Tidakkah waktu
Mengalir tenang
Lebur di kalbu
Di larut malam?

Pikiran jalang
-- Angan-angan
Mengendap diam
Tak lagi bertualang

Purnama kembang
Tunjung Bulan
Saling pandang
Di satu alam!



AIR KAMANDANU

Galilah aku
Galilah aku
Sedalam
Engkau mampu

Cangkullah aku
Cangkullah aku
Hingga muncul
Air Kamandanu

Tetes bimbang
Rasa matang
Padat damai
O, buah kasih sayang!

Ambillah aku
Ambillah aku
Sejumput
Engkau mau

Bawalah aku
Bawalah aku
Sampai tiba
Di batas waktu


SABTU LEGI 30 APRIL 1983

Tubuh terbujur tenang
Mata tertutup rapat
Tangan ngapu rancang
Diam, muka pun pucat

Tiada gelagat sadar
Tiada isyarat gerak
Daya hidup pun pudar
2  jagad hilang jarak

“Aku berlutut, sayang
Di pusat ubun-ubunmu
Kenapa kantuk datang
Menyedotku, menyedotku?”

Asal bumi balik bumi
Asal Bayang balik Bayang
Bagaikan tatit kumedhap -- lap --
Atman oncat dari badan

---------------------------------------------
oncat:  meninggalkan seketika


SUMBER

Apakah
Perlindungan
Datang
Tak diundang

Batin
Pasrah
Rela
Tengadah

Pusat
Daya
Hidup
Mengalir

Wahyu
Hadir
Turun
Berdesir

Sabda
Tuhan
Mukjizat
Pun  bergulir?


SYDNEY

1
Kuinjakkan kaki
Pertama kali
Di benua Selatan
Kenapa heran?

Di kota Sydney
Pagi dan sore
Orang mengayun
Kaki bersantai

Kecuali tamu
Tinggal landas
Ah, siapa kamu?
Yang bergegas

Ketepatan waktu
Janji setia
Warga baru
Benua lama

Kalaupun diam
Mencari suara
Bising kehidupan
Di luar kota

2
Di jembatan beton
Teluk Sydney
Di sambungan kota
Baru dan lama

Ada rumah-rumah
Mendaki tebing
Ada riak-riak
Biru air bening

Dan Ferry-Ferry
Silih berganti
Para penumpang
Nyebrang dan kembali

Laju di perairan
Keliling bergalau
Hei! Ada rumah kerang
Raksasa putih kemilau!

Nun di tengah
Kokoh berdiri
Bekas benteng
Penjara yang sunyi

3
Kulepas pandang
Ke padang luas
Pintu gerbang
Benua Bebas?

Gedung-gedung
Di downtown
Bagaikan rayap
Berumah susun

Pada skala
Setitik embun
Satu: barapa
Kau pun maklum?

Ah, pohonan saja
Pembatas mata
Ada sayup-sayup
Terdengar gema:

“Orang buangan
Dilanda angin
Kaum gelandangan
Bangsa Aborigin!?”


TENGAH MALAM

Tanpa angin
Habis hujan
Malam dingin
Masuk ruang

Kita catat
Pidato & sambutan
Riuh-rendah
Jaman pembangunan

Kegelisahan
Yang bangkit
Menjelma roman
Menahan sakit

Timbul  --
Tenggelam
Jiwa-jiwa
Gentayangan

Rep sidhem:
Jagad diam
Tanpa gerak
Ini jam 12 malam


EQUILIBRIUM

Antara dua benua
Dan dua lautan
Batin kita pun terdera
Oleh angin taufan


BOROBUDUR

1
Di Borobudur
Hampir tak percaya
Arca-arca Buddha
Tanpa kepala

Tinggal gembung
Di tempatnya
Diam terkungkung
Jagad yang tua

Kau menebak
Penuh murka:
Ini seloka
Atau realita?

Kulihat saja
Pedagang Jawa
Kaum turis
Berpariwisata

Warung dan restaurant
Sedia pula
Hotel dan pasar
Di bawahnya

2
Pegunungan
Di selatan
Raksasa pulas
Sepanjang zaman

Apa pula
Kau jaga
Bila napsu
Menghanyutkan raga?

Jiwa lena
Dalam alpa
Nglumpruk
Di pusarannya!

Arus hidup
Tambah deras
Kita pun kuyup
Bisakah bebas?

Mana raga
Mana jiwa
Sukma terlindas
Di jalan-jalan raya

3
Bukan samadi
Atau tafakur
Di lembah Dagi
Kita ngluyur

Ke mana kau
Akan mencari
Dalam risau
Di terik hari

Tatkala rindang
Pohon Boddhi
Rebah & tumbang
Tak ada ganti

Tidakkah tinggal
Di dalam diri
Di luar khayal
Sebuah candi

Kembang Tunjung
Mekar sekali
Harum dan ranum
Suatu pagi?

4
Ada versi lain
Kecuali pusat
Perbelanjaan
Barang kerajinan

Ada arti lain
Kecuali hakikat
Bangunan suci
Yang diperdagangkan

Tempat samadi,
Ritus kerajaan,
Kraton sejati,
Ataukah makam?

Warisan ganti
Ajang penghiburan
Padamlah api
Korban pencucian

Ada tak terpaut
Dalam timbangan
Kecuali perut
Penghasil income

5
Jamur & waktu
Bagai benalu
Tumbuh subur
Menggerogoti batu

Kepalamu
Hatimu
Sikapmu
Pandanganmu

Yang kaku
Terlepa semen
Beton bertulang
Tidakkah kau tahu?

Coba tunjukkan
Pohon bujursangkar
Daun trapesium
Bunga limasan

Kecuali bundar
Lonjong panjang
Luwes & lentur
Warna bergantian

Benjolan-benjolan
Kepribadian


MANDI

Bukan mandi
Ramai-ramai
Di pantai
Laut Tasman

Berjemur diri
Santai-santai
Di pasir
Tengkurap-telentang

Dalam lepotan
Daki & debu
Batin lelah
Oleh beban perjalanan

Maukah mandi
Berduaan
Denganku
Polos & telanjang?

Mari mandi
Copot pakaian
Membasuh diri
Dalam pengakuan!


JEMBATAN

Di bawah jembatan
Tak bernama
Kita pun berpegang
Irama jiwa

Mengalir air
Mengalir darah
Lembah pasir
Banjir. Basah

O, siapakah
Yang betah
Hidup jauh
Lama pisah?

Mengusut sumber
Tanpa kata
Diri lumer
Dalam arusnya

Di celah semak
Padang gerumbul
Kita sibak
Wajah terpantul


DON KISOT

1
Clurit & klewang
Jubah kebesaran
Sepatu jengki
Ia onggokkan

Di pohon Nyamplung
Si hewan jalang
Kuda kepang
Ia tambatkan

Sebab apakah
Suka nantang
Banyak gugat
Oleh rasa berang?

Pada keadilan
Kemelaratan
Dan kerakusan
Gepeng pun kelelahan

Jatuh tertidur
Di tanah lapang
Babak-belur. Berliur
Ingusnya berleleran

2
Dalam kerumunan
Penonton pangling
Heran. Lalu paham
Lalu bergunjing:

+  “Pahlawan kita
     Sedang ngaso
     Kehabisan daya
     Hatinya loyo”

-   “Bisakah tidur
  Berbantal sepi
     Mimpinya lebur
     Di embun pagi?”

+  “Mari kita beri
     Sekedar hiburan
     Dan Fatima nari
     Kembang Jaipongan!”


Mereka pun goyang
Diiringi kendang
Hei! Siapa telanjang
Mabok pengharapan!?

3
Musuh citraan
Angan sendiri
Ribut bergantungan
Membakar hati

Hidup terancam   
Oleh bayangan
Pikiran-pikiran
Sungsang palang

Ah, Don Kisot
Masihkah tahan
Angin pun gengsot
Menertawakan!

Mandang diri
Kurus kering
Menjotos hari
Malam bertebing

Waktu bangun
Ia pun asing
Nanti dunia
Berobah lain?

4
Sudah pergi
Hantu hitam
Berombongan
Dari jagad angan-angan

Sarang seram
Penuh jaring
Daya ingatan
Pun tergiling

Ada lagikah
Kamu lawan
Hukum Alam
Tak terlawan?

Di jalan-jalan
Lobang-lobang
Menunggu setia
Penuh kesabaran

Ah, Don Kisot
Selamat malam
Esok pagi ada
Matahari kehilangan


HADIAH
Pantai Lovina

Wanita muda itu
asing sendirian
Lenggang-lenggung
kehabisan uang

Dua rombongan
ombak datang
Silih berganti
mengulurkan tangan

Siapa terpana
dalam pelukan
Mandi cahaya
mentari dan bulan?

Di pasir
totok kerang
Dihempas air
sebagai hadiah alam

Ia pungut
sambil bergumam
Jongkok berlutut
di pantai lengang

           1984.


SELENDANG

Kau sampirkan selendang
ke samping kiri pundakmu
Kau sampirkan menyilang
lipatan dukacita hidupmu

Di balik lipatan selendang
rindu belaian pun tersimpan
Citra harap menjelma roman
Wara Sembadra dari Widarakandang

Lalu kau pergi kondangan
angin menolak ilusi guram
Ah, kau sampirkan pundak
selendang cintamu yang legan

                       1984


Tentang Linus Suryadi AG
Lahir di Kadisobo, Yogyakarta, 3 Maret 1951. Pernah mengikuti kuliah di ABA dan di IKIB Sanata Dharma Jurusan Bahasa Inggris, tapi tak selesai. Mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, USA.
Menulis puisi dan esai sejak 1970. Beberapa daripadanya telah dibukukan dan diterjemahkan ke bahasa asing.  Pernah menerima hadiah dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 1984, menjadi anggota Dewan Kesenian Yogyakarta sejak 1986. Sering menjadi juri lomba puisi, menyelenggarakan program baca atau menulis puisi, dan sempat membaca puisi di beberapa kota dan perguruan tinggi, baik di Indonesia maupun di luar negeri .  


Catatan Lain
Seperti yang bisa dibaca di atas, puisi-puisi Linus tersebut sepertinya mendapat pengaruh kuat dari syair-syair lama (dilihat dari jumlah suku kata, jumlah larik dalam satu bait dan penggunaan rima, meski tak semua bait menggunakan rima dan tak semua suku kata per larik jumlahnya sama). O iya, ada yang membuat saya tertarik dengan paragraf awal pada pembuka buku ini. Dalam paragraf itu Faruk berkata begini:

PENYAIR

Dia serahkan irama hidup antar desa dan kotanya
Selama menyebrangi arus deras sungai ke hilir
Selama jiwa di dalamnya membuka isarat rahasia
Bahwa penyair berdiri dan bersaksi di pinggir

1987

“Sajak Linus yang berasal dari kumpulan Rumah Panggung di atas saya kira merupakan satu-satunya sajak Indonesia yang merumuskan dengan tepat posisi penyair dalam masyarakat untuk abad ini. Sekitaar 10 tahun yang lalu Rendra telah pula melakukan hal serupa. Akan tetapi, perumusan itu terlalu berorientasi pada literatur 1), tidak berdasarkan pada kecenderungan posisi penyair yang senyatanya ada dan terjadi. Penyair dalam masa sekarang ini sama sekali berbeda dengan para empu yang hidup dalam masyarkat Indonesia pada abad-abad yang lalu. Penyair sekarang sungguh-sungguh merupakan suku terpencil dalam masyarakatnya, kelompok marginal, yang menatap kehidupan dari pinggiran.”

Sajak Penyair sendiri tidak termasuk dalam isi buku ini (kecuali di pengantar tadi), tapi cukup menarik bagi saya. Rupanya antara penyair satu dengan penyair lain memiliki pandangan berbeda tentang seorang penyair. Sebagai penyair, Rendra membayangkan dirinya adalah orang terpandang, namun Linus membayangkan bahwa penyair adalah suku terpencil, golongan pinggiran.

Di cover belakang masih tertempel barcode harga buku, yaitu Rp 5.700,-. Juga ada fotonya Linus, yang kalau saya perhatikan wajahnya mirip ayah saya, hehehe (^ ^). Sedangkan lembar terakhir buku diisi dengan iklan buku-buku puisi terbitan Nusa Indah.

------------------------------------------------------------------------------------------------
1) Rendra, dalam “Pidato Penerimaan Penghargaan dari Akademi Jakarta” (1983) membayangkan posisinya sebagai empu dari kerajaan-kerajaan lama. Empu dahulu mempunyai posisi sosial yang jelas dalam masyarakat, sedangkan penyair sekarang tidak demikian.
(AHMAD FAUZY)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar