Laman

Tonggak

Jumat, 02 Oktober 2015

Hari Leo AER: MENGGAMBAR ANGIN




Data buku kumpulan puisi


Judul : Menggambar Angin
Penulis : Hari Leo AER
Cetakan : II, 2011 (cet. I. 2010)
Penerbit : Gress Publishing, Yogyakarta.
Tebal : x + 80 halaman (70 puisi)
ISBN : 978-602-96829-4-6
Pracetak : Anes P.S, Siswanto
Desain sampul : S. Arimba, Sukandar
Pengantar : Suminto A. Sayuti

Beberapa pilihan puisi Hari Leo AER dalam Menggambar Angin

: Kenduri Minta Hujan

Swara Cipta
Rasa Urip
Allah…

Aku batu
diam di tanah kering
jiwa hening
pintu hati terbuka
angin barat angin timur
angin utara angin selatan
menyatulah dalam satu lingkaran nafas
jadilah mendung di atasku

Swara Cipta
Rasa Urip
Allah…

Aku batu
diam di tanah kering
mengetuk bumi bisu
menyapa api padam
lahir gemuruh di setiap jengkal tanah
orang orang menangis cemas
wajahnya tergambar di buku langit
airmata meleleh
jadilah mendung di atasku

Swara Cipta
Rasa Urip
Allah…

Angin bergeraklah bersama reranting dan pohon pohon
menuju satu arah di mana mendung menghitung waktu
jadilah hujan di sekitarku
Aku batu diam di tanah kering
jiwa hening mengalir dalam musim…

Yogya, 2003


: Perjalanan Diam

Berjalan jauh menuju rumah luas maha dalam
sungai dan gunung bertapa dalam diri
sembilan lubang terjaga
jiwa hening arungi semesta
aku menghadap Mu

Perjalanan diam
laparku lapar
dahagaku dahaga
lebur jadi satu
di muara kasih Mu
yang dingin dan tenang

1994



Gerbong 2 Lodaya

di atas gerbong
kucium kamu

ada keayuan abadi
dalam tangismu
meleleh bersama airmata

Yogya, 2009


Menggambar Angin

:  Kugambar angin di punggung mu
   yang luka karena musim
   hingga jauh malam

   Bulan jatuh di pohon mangga
   ada cinta di kasur tua
   kenapa kau enggan
   memungutnya?

2008


Jakarta-Jakarta Anakku Jakarta
bagi Deo Meidian

Jangan pandang aku lama-lama Anakku
sorot matamu tajam bagai mata
pedang

Jangan tikam aku wahai

mari kita buka malam dengan dongeng
biar mama siapkan susu
dan benahi kelambu

Jangan dekap aku lama-lama Anakku
Tanganmu keras bagai tembok kota

Tidurlah dalam gemuruh mesin
simpan amarah

Detak jantung ini sebagai isyarat
cinta kasih yang amat dalam

Jogja, 1995


: Pintu Mati
Suwarna Pragolapati

Ia ingin pulang
tapi ia sendiri lupa di mana pernah tinggal
jalan jalan yang pernah dilewati
tidak lagi janjikan kapan bakal sampai dan kembali
yang ia ingat hanyalah sungai kecil dengan air bening
membelah jalan menuju pintu mati
itu saja belum cukup bagi dirinya untuk arah pedoman
ia mati dalam kehidupan
tapi ia tetap hidup dalam kematian

Batu batu adalah singgasana keramat
dinding dinding adalah batas pandang
ia tinggalkan rumah menuju taman bunga
sebelum ia sampai pada tempat yang dikehendaki

Ia ingin pulang
tetapi ia merasa bodoh dalam pijakan
tidak ada lagi matahari yang memancarkan cahaya jingga
bagi hidup dan alam keterasingan
lalu iapun pilih diam
menimbang ada dalam ketiadaan

Ia ingin pulang
entah sampai kapan?

1994


: Nyanyian Cinta

Kamulah kupu kupu emas terbang di kamarku
saat langit teduh bulan pancarkan sinar

Kamulah laut di jiwaku
yang menenggelamkan perahu cintaku
saat ombak menguburnya dalam dalam

Kamulah rimba belantara sunyi
yang menyesatkan jejak langkahku
saat pengembaraan terhenti
karena arah bersilang susah dijamah hati
Kita ada di lingkaran semu
merajut angin di antara angan
merajut angan di antara ingin

Perkenankan aku menjadi debu
atau keringat di keningmu

Kamulah api di rumahku
menyebar kehangatan sepanjang waktu
Kamulah kata kata di ucapku
tumpah dalam janji
kamu air di gelasku
kuminum saat dahaga tiba
mengalir dalam diri
aku suka

1989


: Lagu Malam Malam

Di saat seperti ini
kupanggil kau
menjadi istriku
untuk mengasuh rembulan yang papa

1989


: Masjid IV

Rapikan rukuh dan mukenamu kekasih
Mari kita raba bersama dinding kiblat yang pekat
Adakah kau lihat cahaya biru bergerak menuju pintu hati?

Rapikan sujud dan rakaatmu kekasih
Mari kita tangkap bersama isi ruang
Adakah kau dengar suara lirih di nurani?

Rapikan mata dan hatimu kekasih
Biar tangan ini terbuka
Menadah harap dalam janji
(Tuhan kami ada dalam malamMu)

1987


: Penari Gambyong

Lenggak melenggok
lunglai gemulai
lendang disibak
benang langit bergetar
merajut matahari di dadanya

Lenggak melenggok
lunglai gemulai
penari gambyong tengadah
bibirnya merekah basah
cahaya biru di mata perdu
mengalir ke sudut ruang
menangkap gema menghentak kakinya

Lenggak melenggok
lunglai gemulai
penari gambyong mendekap hati
lelaki baya bidikkan anak panah di jantungnya
laik penari gambyong melompat
lendang merah disibak
penari gambyong bersimpu
wajah sembunyi di antara garang mata lelaki

1987


: Waktu

Kemarin
sudah aku pulangkan jiwa di ragaku
sementara engkau masih saja memburu
setiap gerak dan langkahku
seperti hendak merobek hari hariku yang
belum sempat aku tulisi
dengan perbuatan dan tingkah lakuku
sendiri
Kemarin
sudah aku tawarkan padamu
diam atau terus berjalankah aku hari ini
melacak jejak moyangku di rimba hingga aku
bisa menemu surga yang katanya
memang ada
sementara di otakku engkau tak bicara
apa apa

sebab waktu aku terbaring
sebab waktu aku janjikan mati
sebab waktu aku memburu
sebab waktu aku diburu
oleh rasa ingin
oleh rasa sangsi
oleh sikap pasrah
oleh berjuta kekalahan
oleh bayang bayangku sendiri
yang selalu saja timbul tenggelam
di air laut bergelombang
Kemarin
aku biarkan engkau ada di dadaku
mencari kebenaran bicara
mencari keadilan bertindak
mencari langkah yang bijak dari jiwaku
padahal aku pernah katakan padamu
keadilan dan kebenaran rasanya tidak
pernah ada pada kita
Waktu
di mataku engkau hantu di hatiku engkau rindu
di tanganku engkau kerja di pisauku engkau luka
di rambutku engkau tua di jantungku engkau usia
di ucapku engkau janji di nafasku engkau mati

1985


Intermezzo

: isteri
adalah kembang yang mekar di dasar hati
dia minta disiram
dijaga
dan dipagari

: isteri
adalah ladang yang subur di dasar jiwa
dia bisa ditaburi benih
dan ditanami sebatang kayu
: isteri
adalah sebatang rokok
yang menyala di dingin malam
dia sanggup menghangatkan mulut
penghisap
nya
: isteri
adalah buah geranat
yang siap meledak setiap saat

Sby 1985


: Sajak Ibu Kepada Anaknya

Bagai petir menangislah wahai
Agar langit terbelah dan pintu surga
Terbuka bagi jalanmu

Tertawalah bagai gelora samudera wahai
Agar ombak menggelegar dan air pun pasang
Sementara aku belum bisa menangis
Untuk kamu

Bagai senandung rumput-rumput hutan
Bernyanyilah wahai
Agar Tuhan mendengar keingkaranku atas kamu

Bagai letusan meriam menjeritlah wahai
Agar semua dengar kemudian tersentak
Karena tahu bahwa aku ini ibumu
Bagai gunung diam tegarlah wahai
Agar kebisuan akan tetap terjaga
Dan mereka tidak bakal tahu
Kita ini siapa

Bagai sederet pohon jati
Angkat tanganmu tinggi-tinggi wahai
Agar Tuhan mengerti akan keterpisahan kita
Untuk kemudian mempertemukannya kembali

Lakukan
Manis…

1990


: Air Mata Darah Air Mata Cinta

Air mata darah sejuta mata anak-anak lapar
Adalah air mata cinta anak-anak bangsa
Yang berlari di tepi tembok-tembok sejarah
Sambil mengucapkan salam pada dunia
Tentang nurani dan jiwa yang terluka
Sementara di pinggir-pinggir jalan
Para badut menjajakan bangkai tikus
Yang dibungkus kain sutra bagai tumbal
Kebohongan atas bumi yang merdeka
Air mata darah air mata cinta sejuta mayat
Yang diam tertimbun tanah menyebarkan bau
wangi
Dan orang-orang menghirupnya
Menjadi kenangan masa silam
Atas perang dan pemberontakan

Air mata darah air mata cinta
Meleleh mengaliri sungai-sungai menuju muara
Di laut anak-anak berenang mencari butiran emas
yang tersisa

1997


: Nyanyian Hati

Kuhirup sudah anginMu menjadi nafas
kuminum sudah airMu menjadi keringat
kutangkap sudah cahayaMu menjadi roh

Kuperdengarkan nyanyian ini kepadamu
saat langit sepi

1997


: Kesaksian I

Kau tiada ada
di antara yang ada
dalam ada

Kau ada di tiada
di antara yang ada
dalam tiada

Kau tiada pernah ada
di antara yang ada
namun kau ada

Kau seribu teka
kau seribu teki
yang selalu ada
dalam teka teki

1984


: Suara di Balik Gema

Tidak perlu aku bersumpah atas angin
Tidak perlu aku berjanji atas bumi
Sebab di mana aku berpijak
Di situ juga jantungku berdegub
Jiwaku menyuarakan cinta
Kakiku menapak cinta
Mataku memandang cinta
Tanganku mengepal cinta
Mulutku berkata cinta

Tidak harus aku menangis atas siang
Tidak harus aku meronta atas malam
Sebab di mana aku berpijak
Di situ juga jantungku berdegub
Jiwaku menyatakan berani
Kakiku melangkah berani
Mataku memandang berani
Jariku menuding berani
Mulutku berkata berani

Sebab dunia adalah bola aku ada di dalamnya
Sebab dunia adalah tanah aku tinggal di atasnya
Sampai waktu itu tiba akupun akan hancur
Bersama dunia bagai debu dari asal kembali
Ke asal ketiadaan

1985


Tentang Hari Leo AER
Hari Leo AER lahir di Yogyakarta, 3 Agustus 1960. Selain menulis puisi juga menulis naskah drama panggung dan televisi. Pernah menjadi konduktor Konser Puisi Indonesia 1996 di Purna Budaya, Taman Budaya Yogyakarta. Juga mengelola SPS (Studio Pertunjukan Sastra) yang konsen pada pengembangan sastra pertunjukan. Puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama.


Catatan Lain
Prof. Suminto A. Suyuti memberi pengantar sepanjang 4 halaman, dan dijudulinya “Dokumentasi Puisi: Awal Menorehkan Biografi Diri”. Paragraf pertama sudah mempertanyakan pemilihan label dokumentasi ketimbang antologi. Istilah dokumentasi dikatakan lebih berkecenderungan pada persoalan proses koleksi, sedangkan istilah antologi lebih mengisyaratkan proses seleksi. Begitu. Tulisan kemudian lebih banyak menyorot tentang penyair dan kepenyairan. Jadi, tak membahas puisi secara langsung, dalam arti, tak satu pun puisi yang dikutip untuk menunjang tulisan ini. Oya, biodata pengarang ada di sampul belakang, sedang fotonya ada di halaman belakang, satu halaman penuh. Hitam putih.  Yang unik juga Daftar Isi-nya. Selain memuat judul, juga ditulis tahun penciptaan di dalam tanda kurung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar