Laman

Tonggak

Minggu, 01 November 2015

Johannes Sugianto: DI LENGKUNG ALIS MATAMU




Data buku kumpulan puisi

Judul: Di Lengkung Alis Matamu
Penulis: Johannes Sugianto
 Penerbit: AKAR Indonesia, Yogyakarta.
Bekerjasama dengan www.blue4gie.com
Cetakan : I, November 2006
Tebal : viii + 110 halaman (86 puisi)
ISBN : 979-99839-3-2
Penyunting : Raudal Tanjung Banua
Supervisi : Joni Ariadinata
Desain cover & isi, pracetak : Aida Idris
Ilustrasi cover : diolah dari lukisan Galam Zulkifli (2006)
Ilustrasi isi : Pakcik Ahmad, Kucluk, Dedi Tri Riyadi
Prolog : Joko Pinurbo

Beberapa pilihan puisi Johannes Sugianto dalam Di Lengkung Alis Matamu

Di Lengkung Alis Matamu

di lengkung alis matamu
kusandarkan harapku
usai perjalanan yang tertatih
dan kudapatkan keteduhan
ya, di lengkung alis matamu

katakan padaku
di mana hendak kutaruh rinduku
jika engkau pergi

di lengkung alis matamu
kuselami sayang yang tak terkata
inilah kiranya, dermaga hatiku
tempat melabuhkan rindu.

jakarta, juli 06


Telah

telah tergurat
kata-kata

telah berkarat
derita

getir hati
teriris perih

di jiwa mati

cinere, agustus 06



Jika Engkau Tiba (Elegi Daun)

gugur daun kehidupan
jatuh ke celah jiwa
detak jantungku akankah menghangatkannya

daun bukan selembar
kasih seribu nama
di tengah pergulatan perih
hanya titian jiwa yang satu

jika engkau tiba
di titian itu
selipkan salah satu lagi daunmu
biar berpasang dalam ruang jiwaku
tak lagi sendiri bersenandung rindu
meneteskan kata dalam puisi
yang selalu kularungkan
padamu

lbbulus, agustus 06


Peri Tidur

peri tidur
hadir dalam mimpi
memberi warna
juga pertanda

engkau, kekasihku
bukan sekedar mimpi
dan bisik lirih
tapi menjadi jiwa
bagi semua puisi

datanglah, wanitaku
dalam semua mimpi
dan puisi

lbbulus, juli 06


Bulan

bulan yang hadir usai hujan mencumbu tanah
adalah gemerlap cahaya hidupmu
jika sesekali menjadi pendar
itu pula cermin perjalananmu

‘Ini bayangku, mana bayangmu,’ begitu kita
saat kanak-kanak bermain di bawah
pohon rindang yang ke mana setelah ditebang

bulan yang tak peduli kita pandir atau pandai
adalah lampu yang tak perlu diganti
karena kitalah yang akan berganti jadi
gelap atau terang

Lebakbulus, mei 06


Puisi Bagimu

sajak-sajak tergeletak di meja
terisak tanpa kata

jakarta, juli 06


Wanita/1

tak ada yang lebih tabah
ketika wanita bertaruh nyawa
lalu tersenyum, juga tertawa
saat buah hati menyapa dunia

tak ada yang lebih indah
ketika wanita menyusui anaknya
bukan cuma dahaga yang sirna
tapi kehidupan diberinya

bayi lelap dalam buaian
bayi lelap dalam impian
bayi lelap dalam kelembutan

tak ada yang lebih indah
ketika ibu menimang kita
biar hanya di ayunan kain sederhana
dalam dendang lagu jawa
tanpa perlu mengerti apa maknanya
hanya nada yang bisa kita rasa

lebakbulus, maret 06


Rumahku

rumah dengan tembok tiga warna
penuh jendela dan cahaya
pulanglah aku
bawa segala luka lama dan baru

di sini resah ditenangkan
usai melewati berlusin kekalahan
berlusin kelelahan
kutemui kedamaianku
dalam pelukan gadis kecilku
dan tawanya yang membelah kebisuan

segelas air dingin
hilangkan resah, enyahkan gelisah
kuatkan langkah
untuk esok yang tak tahu seperti apa

(untuk ines dan sintha)
jkt, 15 03 06


Kadang

kadang, dalam diammu yang harus kuartikan
tersimpan rahasiamu terdalam
baru terkuak saat saling diam
dalam perbedaan dan kesalahpahaman
bahkan kian merindukan
menatap cermin aku tersadar
begitu jauh langkah yang telah kau tebar
buatku, buat kita, meski ada saatnya engkau ragu

kadang, dalam diamku yang sendiri
segunduk bahagia padamu, kekasih
bahagia akan pengorbananmu
bahagia kau labuhkan cinta padaku
bertumpuk harapan kurajut
ingin kusampaikan tapi aku takut
bukankah akan menambah bebanmu
juga dapat menyurutkan langkahmu
jangan ragu melangkah meski berliku
bergandeng kita menatap senja
meski belum tahu apa warnanya

kuharap engkau tahu
dukamu adalah dukaku
saat ada ragu katakanlah
saat ada duka bersandarlah
padaku

lbbulus, juli 06


Cintamu Jadi Bayang

arakan awan hitam
iringi jiwa kelam
menatap tanpa bicara
semua sia-sia
air mata percuma

sapa tinggal tegur saja
luka tetap nganga
diamlah di sini
rokok yang tinggal sebatang
dan cintamu jadi bayang

tak menengok sekejap
berlalu tanpa ucap
begini sajakah
akhir semua cerita

hingga tak sempat
kau lihat
tetes darah
di jiwaku yang lelah

lbsiang, okt 06


Dalam Sakit

dalam sakit terbaring saja
sajakmu tiba menjengukku

kata-kata yang sama
tak pernah bosan dibaca
sebab kujujuran dan ketulusan
alangkah sederhana

lbbulus, juli 06


Anggita

tidurlah
dalam lelap
berselimutkan dedaunan
dan kelamnya malam

letih aku
bukan karena membopongmu
dari rumah kita
ke rumahku
yang baru dan sunyi
tapi karena tangis tak bisa henti

tidurlah
kuselimuti kamu
dengan kasih sayang
kangen dan dukaku

lbbulus, juni 06


Asbak

kudengar berisik punting rokok berbicara
di asbak bulat menghitam tersundut api
aku diam tak berkata
hatiku sunyi tak bertepi

jakarta, mei 06


Terima Kasih

duka yang terkelupas
kasih yang terucap lepas
dan rindu yang tak pernah tuntas

kamulah keindahan itu
membuatku tertawan
pesonamu
tak terlawan

: terima kasih untuk segala
yang tak terucapkan

priok, juli 06


Simpang

dua simpang jalan
jemput sore
hanya sunyi
dan gemerisik dedaunan

bukan enggan
ayunkan langkah
meski letih
bawa segala perih

dan saat memilih
tahulah aku akan segala
yang akan pergi
dan beralih

tpsiang, nov 06


Teras
: pakcik ahmad

teras
kata seorang teman yang penyair
adalah tempat menghisap rokok
menyapa malam

dari teras
langit diam menantang
kita berkaca
seberapa luas kita memandang
seberapa keras kita berjuang
seberapa tegar kita menghadang

teras
begitu katanya lagi
sambil menyambar gelas kopi
tak ubahnya telaga sunyi
kita berbicara dengan diri sendiri
entah merenungi hari demi hari
entah menyesali kepedihan hati

dari teras
kita juga menggali  diri sendiri
bahwa tak ada arti merajut mimpi
jika tak mau menguak seribu misteri
jika tak sudi membentur besi

lbbulus, maret 06


Matamukah yang Mengerjap

matamukah yang mengerjap
saat bintang tak lagi berkedip
dalam malam sendiri di teras
rindu tak pernah tandas
ingin kulihat lagi
embun rindu di situ
lalu berbisik
tentang cinta tak bernama

matamukah yang mengerjap
hatiku ingin menyentuhnya
seperti jemari di rambutmu
yang wanginya enggan pergi
dari nafasku
dari nafasmu

jika diammu saja terkirim
bisa apa dalam rinai gerimis
jika itu senyum manis
tak kan kurasakan perih
dan miris

priok, juli 06


Tentang Johannes Sugianto
Johannes Sugianto lahir di Bojonegoro dan besar di Malang. Mulai menulis saat hijrah ke Jakarta dan menjadi wartawan, namun menulis puisi dilakukan setelah lama berhenti sebagai wartawan. Puisinya tersebar di berbagai milis cyber dan antologi puisi bersama. Saat ini bekerja sebagai Public Relations sebuah perusahaan di Jakarta.


Catatan Lain
Ada empat nama di sampul belakang buku yang ikut memberi komentar, yaitu Hasan Aspahani, Gratiasusti Chananya Rompas, TS Pinang dan Damhuri Muhammad. Kata Gratiasusti Chananya Rompas, si pendiri Komunitas Puisi Bunga Matahari, begini: “Lewat puisi, Johannes mencerna keseharian hidup yang jauh dari kesan menyenangkan. Ia mengurai kembali pengalaman dan pandangannya terhadap orang-orang terdekatnya, negaranya, kepercayaannya, juga dirinya sendiri. Tema yang diangkatnya seringkali pedih namun tak mendayu. Ia bertutur dengan majas yang bersahaja, mudah dimengerti, sehingga tak melulu diajaknya malara, tapi diantar melihat serta merasakan keindahan di balik kegetiran. Realis, tanpa kehilangan romantisme, jujur tetapi tetap cantik, pahit sekaligus menyemangati. Jika bukan sebuah ode untuk hidup, kumpulan puisi ini adalah keberhasilan mengubah kesulitan menjadi ladang inspirasi.”
            Kata Jokpin di bagian pengantar (ditulis di Yogyakarta, 6 November 2006), kadang tidak semua kita berniat menjadi penyair, ada yang cuma mau curhat dan membuang sebel lewat puisi. Dan begini Jokpin menutup pengantarnya: “Selamat malam, Yo. Selamat datang di dunia penulisan sastra. Kalaupun tidak berniat menjadi seorang petarung atau petualang, kau dapat menjadi seorang pencinta yang keras kepala.” Ya, seorang pencinta yang keras kepala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar