Laman

Tonggak

Minggu, 01 November 2015

Saini K.M.: NYANYIAN TANAH AIR




Data buku kumpulan puisi

Judul Buku: Nyanyian Tanah Air
Penulis: Saini K.M.
Cetakan: 1, 2000
Penerbit: Penerbit PT Grasindo, anggota Ikapi, Jakarta
Percetakan: Percetakan PT Gramedia, Jakarta
ISBN: 979-669-780-7
Tebal: viii + 136 halaman (100 puisi)
Penyunting Penyelia: Pamusuk Eneste
Penyunting Naskah: Johannes Djony Herfan
Desain Sampul: Antonius Kunta Rahardjo
Perwajahan Isi: Suwarto
Penutup: Agus R. Sarjono

Beberapa pilihan puisi karya Saini K.M. dalam Nyanyian Tanah Air

SAJAK BUAT ANAKKU

Sampai di manakah cinta Ayah dan Ibu, Anakku
kalau tidak hingga ke ujung-ujung jari?
Akan tinggal saja menggapai, melambai dari stasiun kecil.
Pelabuhan terpencil.

Kemudian engkau sendirilah Ayah dan Ibu
dari Nasibmu
Terimalah Bumi dan Langit, hujan terik
siang serta malam hari kalbumu.

Sekali kan tiba saat kau tegak sendiri
Berdirilah atas bahu, ya, pijaklah kepala kami
jangkau bintang-bintang yang dari abad ke abad
cuma dapat kami tengadahi!

1963



SURAT BERTANGGAL 17 AGUSTUS 1946

Kami sambut fajar kami dengan cara tersendiri:
Tenggorok perunggu serak memaki-maki angkasa hitam
yang gemetar atas bumi karat dan rongsokan
tempat tulang-tulang abad lampau rapuh oleh asin air mata.

Hari ini pemuda-pemuda mengganti hati mereka dengan baja
Agar bisa tidur berbantal batu dan berselimut angin
Sedang bagi gadis-gadis kami hadiahkan mawar api
Kembang di ujung senapan, bau mesiu alangkah wangi!

Dengar! Lidah-lidah api memanggil di malam sepi,
berdentam, berdesing!
Kami pun ke luar, membajak Tanah Air dengan sangkur
                                                                                   telanjang
Menyiramnya dengan darah, memupuknya dengan serpihan
                                                                                      daging,
karena langit hanya menghujankan api dan besi, api dan besi.

1965


KOTA KELAHIRAN

Menghimbau kotaku di dasar hijau lembahmu
Dinafasi angin di dua musim
Ketika fajar berlinang embun
Dan gugur bunga-bunga kemarau.

Berapa banyak di sana bulan jatuh ke kali
Terapung dalam alir rindu kita
Surat-surat terlambat atas rentangan rel kereta
Jendela yang senantiasa terbuka ke arah masa lalu.

Berapa banyak di sini hujan menguyupkan hatiku
Dan malam lewat atas pelupuk mata terbuka
Jalan panjang merangkai tahun ke tahun
Di likunya wajah-wajah berdesak menyuruki sepi.

1960


PRIANGAN

Di sini tinggal bangsa petani
Hati berakar di dalam bumi
Sedang kali kehidupan
Berhulu di kubur leluhur.

Di sini lahir bangsa musafir
Barkawan lembah gunungmu
Jalan kenangan bersilang
Menjangkau dusun dan kota.

Di sini hidup  bangsa penyair
Kekasih bulan purnama
Kecapi malam cendana berukir
Semerbak lagu Cianjuran.

1960


NYANYIAN TANAH AIR

Gunung-gunung perkasa, lembah-lembah yang akan tinggal
                                                                                 menganga
dalam hatiku. Tanah airku, saya mengembara dalam bus
dalam kereta api yang bernyanyi. Tak habis-habisnya hasrat
menyanjung dan memuja engkau dalam laguku.

Bumi yang tahan dalam derita, sukmamu tinggal terpendam
bawah puing-puing, bawah darah kering di luka,
pada denyut daging muda
Damaikan kiranya anak-anakmu yang dendam dan sakit hati,
ya Ibu yang parah dalam duka-kasihku!

Kutatap setiap mata di stasiun, pada jendela-jendela terbuka
kucari fajar semangat yang pijar bernyala-nyala
surya esok hari, matahari sawah dan sungai kami
di langit yang bebas terbuka, langit burung-burung merpati

1963


SISYPHUS

Sisyphus mendorong batu ke puncak gunung
dan batu kembali ke jurang menggelundung.
Bolak-balik beribu tahun: beribu tahun
kau mendaki dan tergelincir, jatuh dan bangun.

Jatuh dan bangkit di Babil, Sodom dan Gomorah
Auschwitz, Hiroshima-Nagasaki dan Vietnam.
Dan dari dasar derita, dengan nafas tersengal
kau berseru ke langit, “Apakah artinya ini?”

Langit menjawabmu dengan biru, dengan bisu.
Kau pun bangkit lagi; pucat, berdebu dan luka
kembali mendaki dan memandang Angkasa. Mungkin
itulah artinya: Payah dan luka kau tak tunduk.

1974


AHIM, PENGANGKUT SAMPAH

“Selamat pagi, Pak. Ngantor?” demikan sapanya
pagi itu, saat kemarau menggugurkan daun-daun mahoni
“Selamat pagi,”  jawab saya seperti saya juga pernah
menjawab tegur sapa kakeknya tiga puluh tahun yang lalu.

Generasi ketiga, bagai generasi daun-daun mahoni
akan jatuh ke bumi dengan cara yang sama;
jadi pupuk, hanya jadi pupuk semata. Demikian
bagimu Ahim tiada kemarin-tiada esok hari.

Tujuh belas tahun bangku sekolah, satu perpustakaan
mungkin dapat mengubahmu jadi manusia; dan kau
diterima sejarah. Namun kesempatan itu telah hilang
dalam hidupmu hari ini, bawah timbunan sampah ini.

1986


PAK GURU ACIL

Bagai pohon ranggas pada usia dua delapan
Guru Acil tegar berdiri di depan kelas.
Dengan sabuknya ia kendalikan perut lapar
yang sudah menggerutu pada pukul sebelas.

“Anak-anak, buka mata dan lihat dunia!” serunya
pada para siswa yang berjajar duduk
di kelas berlantai tanah dan beratap ijuk.
“Anak-anak, kuajar kalian menulis masa depanmu.”

Di sudut Indonesia yang tak terlukis dalam peta
Guru Acil membariskan siswanya menghadap matahari;
berjalan di tanah berbatu dan tersandung-sandung
bagai tentara ia nyanyikan “Halo-halo Bandung”.

1985


DEWI SARTIKA

Kuntum yang berkembang dalam sepi
Di pinggir jalan tempat sejarah lewat
Akankah ia hanya menyebar wangi
Pada angin lalu, pada masa lalu semata?

Tidak!

Gadis-gadis telah menyimpan benihnya
Menyemai dan menyiraminya dalam kalbu
Dan di bawah lengkung langit, di seberang fajar
Seribu, sejuta lagi akan kembali mekar.

1993


MARSINAH

Jangan lupakan saya, jangan disobek
lembar sejarah yang bersimbah darah.
Saya mati dan makin dalam terkubur waktu,
namun ingat. Saya tak pernah menyerah.

Tak pernah mengalah. Karena tanpa perlawanan
hidup tanpa martabat. Tanpa keadilan
adakah yang bernama kemerdekaan? Kemerdekaan,
wahai kata yang terhapus dari teks proklamasi.

Jangan lupakan saya: Marsinah. Jadikan saya
tumbal bagi putra-putrimu, saudari-saudarimu
bahkan ibu-kandungmu, agar tak lagi
mereka boleh disiksa, diperkosa, dan dibunuh.

1997


PARTHENON

Sia-sia. Betapapun mata khayal mencoba
membangun kembali kemegahan kuil dari puing-puing ini,
perang dan gempa bumi menetapkan
bahwa abad-pualam para dewa telah pergi.

Pergi. Segala mambang jelita dan pangeran cendekia,
dengan kapal penghabisan telah angkat sauh
dari Laut Aegea ke Negeri Kenangan. Tinggal kita
terpencar-pencar di pantai waktu.

Mengembara mencari dewata baru, namun tak mampu
mempersembahkan iman kanak-kanak yang murni; tak mampu
mendirikan Parthenon baru, karena menolak setiap pilar
setiap penopang lain, kecuali tangan dan kaki sendiri.

1968


BANDUNG

1
Ada seribu satu alasan untuk meninggalkan rumah
: Padang terbuka di kaki langit atau biru laut
Gelombang demi gelombang membuka cakrawala.
Lalu kau pun berkata: Alangkah pengapnya kota!

Saatnya tiba menghapus resah dan masa lalu
: Menghapus kota dari peta hidupmu. Saatnya tiba
Melupakan batas-batas dan jadi warga dunia!
Tak ada kota, katamu, bumilah tempat tinggalku.

Sampai di suatu saat, di suatu tempat di tanah asing
Seseorang menyebut nama itu, nama kota itu
Bagai ujung belati suatu tusukan menembus ulu hati
Kau pun mengaduh dan mengerti arti kata rindu.

2
Para pengembara berkata: Kita ini warga kemanusiaan
Mengapa kau mengurung dirimu dalam sebuah kota?
Negeri-negeri sudah kehilangan batasnya dan langit
Dibentangkan bagi semua sayap, bagi semua harap.

Di negeri asing pun hutannya hijau dan senyum gadis
Sama-sama kesumba. Bentang layar yang lebih lebar
Julang anjung yang lebih akbar! Dermaga berjuluran
Dari segala pelabuhan, menjanjikan petualangan.

Tinggalkan kota dan masa lalu! Kata mereka. Tetapi
Kemarin akan terbawa dalam esok hari dan kau
Tak mungkin melarikan diri dari dirimu sendiri
Dari kota yang jalannya uratmu, udaranya nafasmu.


PERCAKAPAN DUA ORANG IBU

Sekuntum bunga liar, bapaknya angin lalu,
kaupetik dengan durinya, dengan durinya
Siapa mengusap lukamu nanti, darahmu nanti?
(Kenangnan manis, Bu, ‘kan menawarkan sakitku.)

Anak yang jatuh cinta bagaikan batu
jatuh ke dasar kali, lupakanlah
sebab ia lupa akan dirinya. Ah kepala batu
betapa keras, betapa dalam tenggelam.

Ya, biarkanlah dia pergi, namun bukalah pintu
dan nyalakan lampu di jendela. Siapa tahu
ia datang di malam buta, melepas sepatu dan masa lalu
dan lahir kembali anak lelakimu untuk kedua kali.

1977


SONETA MERAH JAMBU

Dua impian melayang di udara
bersatu dan memberat, lalu jatuh
di atas bumi, jatuh dan buyar
di atas batu.

Dua titik embun bergayut
di kuntum bunga yang sama
di pagi hari dunia
sebelum panas matahari melerainya

Keluh-kesah hanya angin pagi.
Air mata hanyalah embun, dan hati
adalah kuncup bunga.

Sekali ia harus berkembang
Setelah hari menciuminya
Setelah kelopaknya terluka.

1974


SEBUAH WAJAH

datang ia bagai fajar
naik di puncak setiap bukit
barapa pun bibir bunga diciumnya
adalah ciuman pertama

lalaki semampai bintang di matanya
meletakkan cinta di ujung lidah
lelaki coklat seruling di lehernya
mereguki hidup dari piala dusta

pergi ia bagai fajar
turun di kaki setiap bukit
berapa pun janji diucapkannya
adalah janji yang pertama

1960


RUMAH CERMIN

Sebuah rumah cermin dan kita terperangkap di dalamnya
Sosok dan wajah pecah bertabur dalam bingkai
dan warna beribu kaca. Janganlah bertanya
karena kata-kata pun berubah arti, layu bagai bunga.

Layu dan pucat bagai bibirmu, pada suatu kali:
walau kini satu-satunya bentuk yang dapat kuhayati
dalam kemayaan semesta, antara mimpi dan kenyataan:
dua kerajaan yang sama-sama menolak kehadiran kita.

Cetak-biru kemanusiaan telah lama dimakan bubuk
bersama buku dongeng kanak-kanak. Beginilah kita sekarang
wajah yang berebut bentuk dengan bayang-bayangnya
dalam rumah cermin, tempat kita terperangkap di dalamnya.

1971


RINDU

Kata-kata bermimpi tentang diri mereka sendiri
dan jadi lebih cantik, lebih berwarna-warni.
Sementara kita kusut tergesa, diburu waktu
dalam udara bergolak, cemar dan kelabu.

Di kantor, kelas, atau kafetaria yang sesak
saya menghirup wangi kata-kata: Cuma sejenak.
O gunjing politik, kuliah slogan, dan lelucon cabul!
Betapa kata-kata terbunuh dan layu di daun telinga

Pada suatu kali mungkin kita lolos dari sini.
Berbaring di suatu tempat, tertawa dan bercinta;
di antara kata-kata yang asyik bermimpi
tentang diri sendiri, dan jadi serumpun bunga.

1989


Tentang Saini K. M.
Saini K.M. lahir di Sumedang, Jawa Barat, 16 Juni 1938. Menyelesikan pendidikan kesarjanaannya pada Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Keguruan Sastra dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Bandung.

Naskah-naskah dramanya yang mendapat Hadiah Dewan Kesenian Jakarta adalah Pangeran Sunten Jaya (1973), Ben Go Tun (1977), Serikat Kaca Mata Hitam (1979), dan Sang Prabu (1981). Naskah dramanya yang lain, yakni Kerajaan Burung (1980) dan Kalpataru (1981) mendapat Hadiah Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; sementara Sebuah Tumah di Argentina (1980) mendapat hadiah Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa DKI Jaya dan Ken Arok (1985) mendapat Hadiah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1991).

Naskah-naskahnya yang lain adalah Pengeran Geusan Ulun (1963), Siapa Bilang Saya Godot (1977), Restoran Anjing (1979), Panji Koming (1984), Syekh Siti Jenar (1986), Dunia Orang, Mati (1986), Madegel (1987), dan Orang Baru (1988).

Kumpulan esainya: Beberapa Gagasan Teater (1981), Dramawan dan Karyanya (1985) serta Teater Indonesia dan Masalahnya (1988).

Kumpulan puisinya: Nyanyian Tanah Air (1968), Rumah Cermin (edisi 1, 1979), Sepuluh Orang Utusan (1989), dan Rumah Cermin (edisi 2, 1996). Sajak-sajaknya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman.

Sempat mengasuh kolom “Pertemuan Kecil” di harian Pikiran Rakyat, sebuah kolom yang selain memuat puisi juga berisi bahasan mengenai puisi yang kerap dijadikan acuan banyak penyair muda. Kumpulan esai dan bahasannya dalam “Perteman Kecil” telah dibukukan dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993). Atas jasa-jasanya menumbuhkan dan menghidupkaan minat serta kreativitas kepenyairan di kalangan calon penyair dan penyair muda itu, ia mendapat “Anugerah Sasatra” dari Forum Sastra Bandung (1994).

Tahun 1995-1999 pendiri Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia, Bandung ini menjabat sebagai Direktur Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.


Catatan Lain
Tentang awal mula Saini dikenal dalam dunia sastra Indonesia, dalam penutupnya Agus R. Sarjono menulis begini:

“Saini K.M. memasuki khasanah sastra Indonesia melalui jalur yang relatif berbeda dengan para penyair terkemuka segenerasinya, yakni tidak melalui “pusat-pusat” yang lazim pada masa itu: TIM dan Majalah Sastra Horison. Bahkan, Saini K.M. jarang mengumumkan sajak-sajaknya melalui jalur media massa umum. Hanya sesekali, dan itu pun  di masa mudanya, Saini K.M. mengumumkan sajak-sajaknya pada sejumlah media seperti Siasat Baru, Budaya Jaya, Pustaka Budaya (Jakarta), Budaya, Basis (Yogyakarta), dan Gelora (Surabaya). Sajak-sajaknya, sebagian masih berupa manuskrip dan sebagian lagi terbit dalam bentuk buku.

“Nama Saini mulai dikenal luas lewat sajaknya “Nyanyian Tanah Air” yang kemudian bersama sejumlah sajak bertema “epos 66” dibukukan dengan judul yang sama. Setahu saya, hanya sekali saja Saini K.M. membacakan sajaknya di TIM, juga pada usia muda. ”

Kekhasan sajak dan cara pandang seorang Saini dijabarkan Agus pada paragraf berikut:

“Dari serangkaian konfrontasinya, Saini K.M. ternyata seorang penyair yang melihat segala permasalahan kehidupan dari jurusan nilai-nilai. Dengan begitu, ide (sebagai pengejawantahan nilai-nilai)  menempati posisi penting dalam sajak-sajaknya. Posisi ini membawa konsekuensi dan implikasi lain, yakni eksplorasi dan eksperimentasi teknis penulisan sajak jadinya bukan merupakan bidang yang dianggap kelewat penting. Tidak mengherankan jika seluruh sajak dalam kumpulan ini ditulis sepenuhnya dalam bentuk yang baku dan konvensional, sebuah pilihan yang tampaknya dengan sengaja diambil untuk “mengamankan” nilai-nilai dan/ atau ide-ide.

“Di sana ditunjukkan bahwa ide di mata Saini K. M. adalah wilayah signifikan bagi kemanusiaan. Dalam banyak sajaknya, ide mengambil wujud kata mimpi dengan segala variannya (impian, bermimpi, atau padanannya seperti angan, berangan, kadang juga merenung). Penggunaan kata mimpi, hadir dalam banyak sajak dengan banyak konteks  dan memiliki banyak makna.”

Buku ini terbagi atas delapan bagian, yaitu: Sajak buat Anak-Anak (7 puisi), Ada Sebuah Negeri (9 puisi), Bendera Darah dan Air Mata Kami (8 puisi), Para Utusan dan Nama-Nama (15 puisi), Langit Ungu Matahari Jingga (12 puisi), Bayang-Bayang yang Rindu (15 puisi), Lalu Kudengar Suara Itu (19 puisi), dan Bagi Sebuah Sajak (16 puisi). Untuk puisi Bandung terdiri atas tiga bagian sebenarnya, namun dihitung satu puisi. Sedangkan puisi Kepada Penyair Muda terdiri dari 10 bagian, tetapi dihitung 10 puisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar