Laman

Tonggak

Minggu, 01 November 2015

Nirwan Dewanto: JANTUNG LEBAH RATU




Data buku kumpulan puisi

Judul: Jantung Lebah Ratu
Penulis: Nirwan Dewanto
 Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Cetakan : I, April 2008
Tebal : vi + 94 halaman (46 puisi)
ISBN : 978-979-22-3666-8
Tata letak dan desain : Sijo Sudarsono
Foto penulis : Adrian Mulya
Gambar halaman dalam bertolak dari G.E. Rumphius

Jantung Lebah Ratu terdiri dari tiga bagian, yaitu kantung kesatu: Biru Kidal (15 puisi), Kantung Kedua: Kuning Silam (15 puisi) dan Kantung Ketiga: Merah Suam (16 puisi)

Beberapa pilihan puisi Nirwan Dewanto dalam Jantung Lebah Ratu

Fajar di Galena

Malam menarik kafan untuk mayatnya sendiri, setelah betapa
renta ia berupaya menerangi sebatang jarum dalam mimpimu.
Berapa lama sudah kau terbangun? Seraya mencari sisa putih
mori ke arah rumpun kana, kau berkata kepada sebutir batu
gamping di jalan setapak itu, “Mereka mencintaimu, sebab kau
tak menderita insomnia.” Dengarlah, namaku matahari, aku
perawat kuburan di tepi Mississippi, maka aku tak akan ter-
kelabui oleh kata-katamu.

(2007)


Mawar Terjauh

Kau benih hujan pagi hari,
aku payung yang lama iri.
Kau airmata di ujung jari,
aku saputangan matahari.

Jika kau dalam gaun merah,
aku bekas tangan di perutmu.
Tapi kau juga genangan darah,
ketika aku urung mencintaimu.

Kau cermin terlalu menunggu,
aku wajah yang memurnikanmu.
Tumpahkanlah tilas semua dara,
sampai jantungmu serimbun bara.

Kau pemilik hujan sepenuh hari,
aku payung terlampau sembunyi.
Mari, lekaslah kelabui Januari,
sebab aku terkulai ke tepi nyanyi.

(2007)



Kain Sigli

Kain sigli, kain jahitan bundaku—
kukenakan jika aku pergi ke dunia.
Kain dengan raut laut dan benua—
milikmu jua jika kauingat namaku.

Kain sigli, kain yang meninggi segera
jika serdadu melintas di depan pintu.
Kain bundaku, kain yang bisa luka
jika kitabmu membeku di Meureudu.

Noda darah membuat kain Sigli dahaga?
Lalu kaucuci kainku dengan airmata?
Kain ini akan tumbuh jika aku mati—
Kain bundaku akan seluas negeri.

Tanamlah benang ke kain Sigli
demi baju pertama untuk anakmu.
Peliharalah tangan bunda kami
agar kain kami seterang jantungmu.

Kain yang memelukku sepanjang gempa—
kain yang sabar seperti kulit kapulaga—
kini hanya sebentar bernama, kain Sigli
akan kujahit berulang dari balik matahari.

(2005)


Ubur-ubur

Ia mata-mata, hanya terpindai di antara
nisan batukarang dan gaun ganggang.
Ia surai singa di belanga Cina, terpilin
oleh pecahan cermin. Ia jantung hati,
berdegup di antara pipi hiu dan
punggung perenang buta. Ia payung,
gemar melayang dengan lebat racun
ke arah pukulan dayung. Ia lonceng,
bergeletar menahan luas
laut dan liburan musim panas.
Ia gumpalan kanji, terurai ke pantai
mencari kaki perawan paling murni
dan janggut matahari. Ia cendawan,
termakan oleh telinganya sendiri.
Ia mahir kehilangan tanah air, karena
mata angin hanya tetirai airmata.
Ia topi palsu prajurit Pranggi, tetapi
mengumbai menjarum mengkhianati
mataku, di antara gerimis Mei
dan kitab biologi

Menghapus “seperti” berkali-kali
aku tampak membinasakan puisi,
membasuhkan cuka, cuma cuka
pada lembar nyeri gatal ini.

(2007)


Akuarium

Tepat tengah malam
mataku yang bersisik
mata yang aus oleh terang hari
terdampar ke tepian kaca –
Sirip atau sayapkah itu
yang menutup dasar jurang
agar kau tak bisa pulang?
Gelembung atau bintangkah itu
yang melarikan ufuk
sehingga langit begitu cemburu?
Karang atau jarimukah itu
yang berupaya merebut wajahku
yang tak tahu lagi ke mana berpaling?
Air terjun atau air matamukah itu
yang tak mau membedakan diri
di depan cermin yang pendusta?
Ganggang atau pakaiankah itu
yang mencari dada paling bernafsu
ketika aku urung telanjang?
Pasir garam atau pasir gulakah itu
yang memutar gasing ungu
agar laparku tersembuhkan?
Beting atau suluhkah itu
yang muncul di tengah samudera
ketika kau jemu mengembara?—
Sayangku, jangan berhenti dulu
meski pagi akan datang
membersihkan mataku
(atau mencuri mataku).
Biarkan mataku tetap
mata tengah malam
mata yang berenang-renang ke tepian
mata yang bersisik seperti sedia kala
mata yang girang kauperangkap
mata yang kehilangan ekor mata
membiarkan wujudmu
tak berjawab
nun di luar
sana.

(2005)


Daun Bianglala

Terbaring di telapak tanganku
selembar daun, daun biru
teramat biru, sebab terlalu lama
ia memandang angkasa –
ia ingin telanjang, sebab ia jemu
pada gaunnya yang itu-itu juga.
Tak mampu ia menjadi tua
meski oleh gerimis ia merebah
ke tanah: ia pun memerah
seperti parasmu, paras
yang tak tertangkap tanganku.
Maka, sekali tak berumah
ia tak akan lagi menyerah.
            Ungu, jika ia tidur.
            Putih, jika ia mimpi.
            Jingga, jika ia dahaga.
            Kuning, jika ia sembunyi.
Hitam, jika ia terbang.
Hijau yang menodai telapak tanganku
bukanlah darah daun
tetapi bayangannya, bayangan
yang tak dibawanya mengembara.
Jika aku menjulang di depan rumahmu
berakarkah aku
membawa hilang-daun ke pangkuanmu:
sebentang hijau, hijau raya?
Tapi tak ada daun mati, cintaku
sebab daun itu berdegup
seperti jantungmu, tapi degup
yang tak bisa lagi kudengar
ketika aku bangun, tersadar
di pangkal jalan
sebab kau telah telanjang—
luas, teramat luas, bersama daun
seperti daun
yang kini mungkin mengilap baja
nun di ujung jalan sana.
Dan aku yang harus menyimpan
gaunmu, gaun biru, teramat biru:
pohonkah namaku?

(2005)


Cumi-cumi
                                    --untuk Hiroshi Sekine

Seperti saputangan ia
yang terloyak di satu sudutnya
ketika terantuk gugus terumbu
saputangan tembus-cahaya
karena kenyang oleh airmata
kini mencari mata sejati
mata yang tak bertanya-tanya
ke mana rangka tubuhnya
ke mana merah dagingnya.
Sungguh, mata seperti itu
adalah mata penyelam ulung
yang juga tahu bahwa rerumbai
dari sudut yang terluka itu
berjumlah hanya sepuluh
seperti jemarinya sendiri
jemari yang pernah terasah
oleh duri bintang dan bulu bulan.
Kukira keduanya bertemu
di hamparan ganggang ketika
jemari penyelam itu berdarah
dan para seteru bergigi belati
memburu mereka ke dasar jurang.
Kukira keduanya berlomba
menuju garis penghabisan
tidak, mereka bersintuhan
bahkan berkelindan tanpa malu
sehingga dua puluh jemari itu
dua puluh rerumbai cabikan itu
menjadi selebat gelombang
sehingga tubuh si penyelam
menjadi sebening udara pagi
dan si saputangan bukan lagi
berenang, tetapi terbang
terbang tinggi mencari mata
mata yang masih juga berkaca-kaca
sebab tak kuasa membedakan malam
dari mangsi hitam seluas laut
yang menarik si penyelam dari maut.
Kukira seekor cumi-cumi
menjelma sehelai saputangan
karena ia selalu dahaga
akan matamu, airmatamu.

(2005)


Lebah Ratu

Ribuan peminang mengepung ia setiap waktu. Tak mampu
menyigi wajah mereka satu demi satu, ia bimbang apakah harus
memuaskan atau membunuh mereka. Bila ia merasa lapar,
mereka jatuh birahi kepadanya; bila ia menghalau mereka, justru
mereka kian terhisap olehnya.

Gaunnya yang tampak selalu meluas seperti telaga itu tak
pernah bisa menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan panggulnya
kian berulir dan berkilau-kilau. “Wahai junjungan, kami adalah
serdadu dan penari terpilih dari segala penjuru,” para peminang
itu berseru. Padahal mereka sekadar peminta-minta yang terlalu
angkuh untuk menadahkan tangan.

Di sekitarnya terdapat juga ribuan dayang yang selalu memaku
gaunnya ke arah matahari. Para peminang itu tak tahu. Bagi
mereka, dedayang itu seperti bayangan mereka belaka: ben-
tangan putih-kelabu yang membuat tubuh batusabak mereka
tak lagi terlalu hitam muram.

Ia selalu hendak melepaskan diri dari ruang segi enam yang
serupa dengan reruang di sekelilingnya. Tapi apa beda di sini
dan di sana, di dalam dan di luar? Ia merasa dedayang itu selalu
memasuki wujudnya. Ia percaya sudah bertahun-tahun ia men-
coba bertahan di singgasana kabut itu, meski tiba-tiba ia merasa
baru kemarin ia membinasakan ibunya (atau kembarannya, ia
tak yakin).

Berkatalah para dayang itu, “Engkau tak pernah membunuh,
wahai junjungan. Yang gugur adalah bayang-bayangmu sendiri,
yang mencoba lebih nyata ketimbang citramu. Bayang-bayang
yang hendak menaklukkan kami. Kaulah wujud yang meliputi
seluruh kami, bahkan seluruh seterumu. Kaulah yang terindah
sebab kaumuliakan kami.”

Bila ia berdandan, ia membakar gaunnya, agar para peminang
itu muak kepadanya. Tubuhnya ikut hangus, namun para
dayang itu tak henti menjilat-jilat kepalanya, berusaha mencekuh
jantungnya; mereka menebarkan getah emasnya ke seluruh
buana, sehingga lebih berlimpah lagi peminang yang datang,
yang baru saja selamat dari sergapan air bah darah.

“Masukkah. Lekaslah. Sebelum kalian habis terbakar,” ia berkata
kepada kaum jantan yang dahaga itu. Menghunus senjata atau
menari, para peminang itu tak yakin apakah mereka menatap
ke cermin atau memasuki farjinya yang bersinau-sinau. Di tero-
wongan hijau-biru, akhirnya mereka berkeping-keping terben-
tur  pada tiang api atau dinding pasir seraya menguar, “Kamilah
milikmu, wahai junjungan, sebab kami tak mampu mempeso-
namu atau membunuhmu.”

Ia pun tahu bahwa selama ini ia telah keliru. Ternyatalah mereka
bukan kekasihnya. Mereka cuma kantung mani yang mengorban-
kan diri (atau harus disesapnya terpaksa dan tergesa-gesa) agar
ia mampu menghadiahkan ribuan telur yang berisi gambaran
jantungnya, alih-alih jantungnya sendiri, kepada para dayang
yang gemar mengaji itu. Dan agar ia mulai belajar menghapus
wajahnya sendiri.

“Maafkan aku,” ia berkata kepada kaum jenazah yang teramat
lega itu. “Aku akan menyimpan kalian dalam museum sebab
kalian telah menari dan tikam-menikam demi aku. Akan kuingat
selalu bahwa setiap kali aku hendak mematikanmu, aku jatuh
birahi; bahwa setiap kali kalian memasuki aku, mendekatlah
aku kepada maut. Aku cemburu kepadamu, wahai pencinta buta,
maka akan kulahirkan lagi ribuan kau yang lain.”

Ia kecewa sebab tak tahu apakah satu atau seribu yang dalam
sekarat sungguh-sungguh memandang wajahnya. Tapi sejak itu
ia tahu ranahnya meluas dan meluas lagi. “Inilah koloni di mana
kami makan roti terbaik di dunia. Roti yang terasa seperti daging
matahari,” kata kaum serdadu yang tersisa, yang tak tahu lagi
bagaimana mengasah zakar dan menyaru sebagai penari.

Seperti telur-telur yang keras kepala itu, ada yang selalu menetes
dari dalam dirinya, seperti bayangannya sendiri, salinannya yang
sempurna, yang membesar terus oleh bening gaunnya, oleh
hujan mani para peminang berikutnya. Ia tak tahu apa bedanya
kuburan dan museum, sebab ia terlalu bahagia. Ia bimbang apa-
kah kakinya terbenam ke samudra tepung sari atau kaki langit
ketika ia telanjang sepenuhnya.

Tapi ia tahu bahwa ruangnya tak lagi segi enam. Para dayang
sepuh itu membangun ribuan ruang lain dari cermin yang lebih
cemerlang, sebab mereka tak mampu lagi membedakan ia
dengan tiruannya (atau pantulannya,  mereka tak yakin) yang
kian berlipat ganda. Sampai suatu hari para pedandan yang
mulai remaja itu bertarung satu sama lain, dan tiba-tiba ia ber-
ada di antara mereka, bertahan, sampai salah satu, yang bergaun
seluas telaga, yang berpanggul ulir, yang bertangan kidal seperti
ia, berseru kepadanya, “Aku akan membunuhmu, Ibu.”

Dan ia berkata, untuk terakhir kali, “Jantan atau betina, mereka
akan mengawetkanmu. Serdadu atau penari, mereka akan meng-
hisapmu. Dayang-dayang atau mata-mata, mereka akan membu-
takanmu. Roti atau koloni, itu akan menghapus namamu. Istana
atau museum atau mausoleum, semuanya telanjur segi enam.
Kau telah lama mengimpikan aku. Selamat datang, wahai
kembaran. Selamat jalan, wahai junjungan.”

(2007)


Boogie Woogie
                                    --untuk Umar Kayam

Di Broadway, hanya di Broadway
langit bisa menggirangkan diri
dengan merah, semu merah,
merah Mao, merah Marilyn Monroe,
meski di setiap sudut surai salju
mengintai hendak memberkati
ungu magnolia musim semi,
hitam legam seragam polisi,
kuning taksi dan sepatu Armani,
kuning kunang-kunang tak tahu diri.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
sungguh merah tak pernah sampai
ke surga, betapapun ia meninggi
melampaui puncak menara tertinggi,
menjinjing jantung paling murni,
jantung tercuci kuas Balladan Boccioni.
Di Broadway, hanya di Broadway
merah terkalung tenang ke leherku
(leher kadal gandrung Ragajampi)
sebelum memecah memanjang
seperti akanan, ketika gelombang
jingga memecah pasukan pemadam api,
kelabu membajak lidah para padri,
hijau terampas dari mata Lorca dan Marti.
Tapi di Broadway, hanya di Broadway
langit seperti berbentuk huruf Y
sebelum si lelaki rapi dari Amsterdam,
lelaki lencir kelam seperti daun pandan
(kuhapus namanya di sakuku: Mondriaan)
membentangkan putih, putih semata,
putih seluas sabana senjakala,
dan membariskan tujuh juta noktah
ke atasnya, tegak lurus silang-bersilang
seperti tujuh puluh salib tanpa pokok,
seperti simpang semua jalan New York,
noktah kuning kelabu biru merah,
kuning kunang-kunang tahu diri,
kelabu kaus kaki Januari,
biru dahi kereta bawah tanah,
merah tabah seperti duka nyonya
sebab terlalu lama ia bersandiwara
di Broadway, hanya di Broadway.

(2007)


Di Restoran Turki

Dengan tilas wangi seledri
tak mampu kutimbang lidahmu.
Tapi dengan anggur hampir basi
kuampuni piring kosongmu.

Dengan pisau berkilau terlalu
bernafsu kausaingi tungku.
Dari balik bajumu putih kafan
darah menetes ke kusam garam.

Milikku ternyata cuma serbuk lada
ketika kroncong tiba-tiba padam
dan kauhapus senarai menu.

Kautanya ke mana airmataku.
Ah, kulupa gerimis sudah berapa lama
sebab tanganmu seliat paha anak lembu.

(2006)


Semangka

Seperti kantung hijau berisi darah
berhenti percaya pada tanah,

seperti bawal betina tak bersarung
menggelincir ke ujung tanjung,

seperti periuk penuh kuah kari
penat sudah oleh bara api,

seperti kandungan delapan bulan
siap tersedak ke batang jantan,

(tak seperti jantung pisang raja,
meski rekah dalam hujan buta)—

begitulah lukisanmu jika kau dahaga
terayun antara putih dan jelaga,

memungut si buah dari dasar malam,
raut tanpa daging tempat terperam

sebaris benih seperti kuku harimau,
sedang lidahmu sekadar terpukau.

(2007)


Sarapan di Undak Sayan

Antara piring putih ini
dan cakram matahari
kukekalkan sepetak roti
dengan luka ujung jari.

Antara meja tohor ini
dan gerimis sore nanti
lap penuh bara birahi
menempel ke pucat pipi.

Antara kilau sungai itu
dan gelap geligi beku
seraya cemburu, kuburu

ke ujung garpu, rambutmu,
dan ke mata pisau, matamu.
Sebab lapar tak juga milikku.

(2006)


Blues

Seperti sekuntum mawar Alabama, aku tidur di bawah kelopak
matamu. Aku akan bangun bila sepucuk duri menyentuh bola
mataku. Di tengah mimpi, sang kilat menerobos pintu kamar.
“Di mana akarmu?” ia bertanya sambil melepas baju-hujannya.
“Di sini,” aku menunjuk jantungku. Lalu ia menyobek selimutku
yang merah secerlang darah. Ia pun terlelap di dalam sana.
Seperti benih mawar. Ah, betapa beraneka kelopak mata yang
melindungi kami. Jutaan kelopak api sampai kelopak es, yang
segera berguguran ke dasar tidur kami. Sampai mawar-halilintar
itu tumbuhsubur melebihi wajahku sendiri. Lihat, betapa
durinya melimpah ke luar mimpi, seperti hujan pagi. Tapi aku
segera terbangun, menguncup, menusuk bola matamu, sebelum
akhirnya terkubur di antara saputanganmu dan matahari.

(2007)


Mantra Bungsu
                        --untuk Felix Girindra Rangati Birkhazi

Kuhauskan diriku
agar kaumasuki aku.
Kuringankan jantungku
agar kaulayarkan aku.
Kutanahkan jasadku
agar kauhujani aku.
Kukeringkan mataku
dan kau airmataku.

Kau paras samudra
ke pulau mengejar daku.
Kau selubung gempa
ke pintu menghempas daku.
Kau pakaian angkasa
ke atap menghunus daku.
Kau seluas Kata
ke maut menawar daku.

Kian palung tubuhku
bercinta dengan arusmu.
Kian pukat urat darahku
berkelindan ke lubukmu.
Kian matahari mataku
terasuh oleh mata airmu.
Kian terpaling pulangmu—
lautmu lesap ke akarku.

(2005)


Anjing Kidal

Berapa lama sudah aku tak melihatmu, sayangku? Tapi aku masih
juga berkata, pergilah, pergilah. Rumah ini milikku sekarang.
Akan kurawat semua kitabmu, jam tanganmu, pisau cukurmu,
album potretmu, segenap gerabahmu. Pergilah. Nun di sana mere-
ka telah lama menunggumu. Para penyair, pegawai kotapraja,
perawat bayi, penjaga pintu kereta, penyigi gardu listrik, pemilik
restoran. Mereka mendengar lolongmu ketika seluruh kota hampir
saja terhapus oleh hujan berbilang malam. Bukankah kau pembuat
segala payung, perahu, dan perumpamaan? Ulurkan tanganmu
sebelum mereka seperti lenyap, sebelum kemarau datang menyer-
gap. Aku yakin kaubawa bubuk kopi dan sobekan gaunku agar
kelak kau mampu kembali. Dan mengasihiku lagi.

Sungguh kau tak akan percaya, cintaku. Tangan kananku ter-
tindih petunjuk jalan ataukah peti mati, aku tak tahu pasti. Aku
tetap berada di halaman yang itu-itu juga. Masih tercium olehku
bau rambutmu dan celah susumu sehingga aku tetap saja jatuh
birahi. Sambil menggambar wajahmu di hamparan pasir, tak
henti-henti aku minum dari bayang-bayangmu. Masih terpam-
pangkah hujan di dalam sana? (Ah, tamsil apa lagi yang kaubuat
untukku?) Itulah bayangan hujan yang membuatmu alpa bahwa
tahun sudah berganti. Dan kaucitrakan air bah nun di kota agar
rumahmu selalu terpacak jelita di puncak bukit karang di utara
pelabuhan udara seperti sekarang ini. Pakaianku melapuk dan
gugur pelan-pelan, kini aku bisa hidup seperti pokok tusam atau
kembang sepatu yang telah lama kautanam. Jika kaudengar bel
tukang pos di pagar, itu berarti aku tengah menulis puisi rahasia
untukmu.

Betapa jejakmu di sini kian kentara saja ketika aku tak menemu-
kan beritamu di koran pagi atau televisi. Percayalah, sayangku,
aku rajin belajar menari sebab aku tak mampu menghapus tilasmu.
Namun masih saja kucakari ranjang atau meja makan jika aku
gamang menirukan untaian gaya yang termaktub dalam aneka
kitabmu. Pun lidahku terjulur-julur jika aku memandang potret
dirimu di dinding merah padam itu. Terkadang rumah ini bergetar
hampir pecah oleh pesawat terbang yang merendah ke atap, tapi
dengan gemuruh itulah aku bisa sejenak percaya bahwa aku, seperti
juga kau, bisa juga dekat dengan maut dan kalibut.

Aneka kabilah yang lewat di depanku ganti-berganti berseru,
“Lihat, betapa mahir tangan kirinya. Bahkan wajah kekasih yang
dilukisnya adalah wajah kita juga.” Ada juga yang terkadang
memindahkan pal si mati yang telah mengimpitku, tapi aku tak
juga terguling ke bawah sana, ke kota yang hampir bahagia itu.
Tapi bila aku menggambar dengan kedua tanganku, mereka kira
aku menggali-gali ke dalam sana. “Ternyata ia paham juga arkeo-
logi. Lihat, ia mencari sisa hujan asam yang membawa kita ke
mari. Atau menyigi pecahan palu dan sabit yang telah memus-
nahkan moyang kita.” Mereka sungguh tak tahu, sayangku.
Kaukira mereka tertarik padaku? Tidak, tidak sama sekali. Hanya
kubuat mereka terpesona pada tanganku, lidahku, bayang-
bayangku, lukisanku. Agar mereka tak melihatmu. Dan kuberi
mereka cermin pasir sehingga mereka lupa memasuki rumahmu.
Sekali-sekala bentang kainmu menghalangi mereka memandang
ke arah jurang. “Sayang sekali tabir abu-abu sesempurna ini tak
bisa kami bawa ke kampung halaman,” seorang penyair-musafir
berkata.

Di bawah sana mereka kian mahir baris-berbaris. Sudahkah kau
selesai, sayangku? Dari gema yang jauh itu aku tahu mereka telah
menghapal namamu. Mereka ternyata tak tenggelam, bahkan kini
merekalah yang hendak mengaramkanmu. Meninggilah, mening-
gilah, sayangku. Aku tahu kini puisi ditulis dengna ludah, daftar
menu dengan darah, dan kitab undang-undang dengan ter murah.
Tolong bawakan daku gaung ting-ting palang pintu kereta api dan
sisa harum santan dari tong es puter supaya rumahku tak menjel-
ma museum. Lalu aku seperti mendengar lelangkah kaki mendekat
ke pintu. Seperti apakah rupamu jika kau sampai lagi ke mari?
Kini aku menjadi seperti bocah lagi: aku harus mengendus pa-
kaianmu dan membubuhkan lumut ke potret dirimu agar mampu
mengenalimu lagi, menangkapmu lagi.

Benar, mulai kuhancurkan sosok para peziarah itu dalam
lukisanku. Bukankah peti mati, kembang sepatu, dan bubuk kopi
harfiah belaka bagi mereka? Sungguh mereka tak tahu bahwa
semua jalan menuju rumahmu. Alas pasir ini terasa basah
sekarang (mungkin oleh air mataku, mungkin oleh hujan yang
tak dapat kukenal lagi). Nun di ujung sana kausebut berbilang-
bilang namaku sampai kau telanjang sepenuhnya. Di pintu
rumahmu masih terpacak payung, perahu, puing pesawat ter-
bang, dan kitab puisi, yang membuat maut takut mendekat
padamu. Percayalah, aku selalu menujumu, meski kau tak
kunjung melihatku. Menarilah selalu, cintaku, menarilah bahkan
di ranah yang tak kunjung ke mari, selama lolong panjangku
meningkahimu seperti bunyi jantung hati.

(2007)


Tukang Kebun

Kau memohon ampun pada tetes hujan
setelah menarik akar ke wajah serambi
sedang aku bersekutu dengan biji-bijian
untuk berani membuka mata matahari

(2006)


Tentang Nirwan Dewanto
Nirwan Dewanto lahir di Surabaya, menghabiskan masa kanak dan remaja di Banyuwangi dan Jember. Menamatkan studi di Jurusan Geologi Institut Teknologi Bandung. Tinggal di Jakarta, bekerja sebagai penyunting sastra dan penyelia kesenian. Juga menjaga lembar sastra Koran Tempo. Ikut mendirikan jurnal kebudayaan Kalam. Pada musim gugur 2007 ia berhimpun dengan International Writing Program di University of Iowa, AS, di mana ia merampungkan buku puisi ini.


Catatan Lain
Ada tiga nama yang ikut berkomentar di buku ini. Di lipatan sampul depan, ada komentar dari Enin Supriyanto. Dua komentar lainnya menghiasi sampul belakang ada Melani Budianta dan Ulil Abshar-Abdalla. Tak ada kata pengantar apapun. Kata Ulil: “Dalam himpunan puisi ini, saya bersentuhan bukan saja dengan seorang penyajak biasa, tapi juga pelukis, mungkin malah pematung, yang bekerja dengan kata dan tubuh sekaligus. Ia bukan sekadar mengatakan, tetapi juga melukis atau menatah benda-benda biasa, juga peristiwa, yang berserakan di sekitaran. Kerapkali malah ia tak melukis benda-benda dan peristiwa itu; mereka justru melukis dirinya sendiri via si penyajak.//Ia berikhtiar tak menjadi semacam pusat bagi benda-benda dan peristiwa yang ia lukis. Sebaliknya, ia membiarkan mereka mengalir lewat tubuhnya, menjadi sebentang sajak yang ia sebut sendiri mirip sebuah cangkang teruh yang putih dan kabur. Setiap sajak menantang saya terus membacanya lagi dan lagi; setiap kali senantiasa mengejutkan saya dengan penglihatan baru.”
            Oya, di bagian akhir buku ada 2 catatan. Catatan satu berisi penjelasan tentang beberapa sajak yang berhutang kutipan kepada teks lain. Empat sajak yang berhutang itu adalah sajak “Cumi-cumi”, “Burung Merak”, “Boogie Woogie” dan “Selendang Sutra”.
            Catatan dua lebih kepada sejarah publikasi puisi-puisi yang ada di kumpulan ini. kebanyakan pernah dimuat di Kompas, dalam rentang antara 27 Maret 2005 sampai 2 Maret 2008.
            Beberapa sajak yang dimuat di blog ini sebenarnya di bukunya memiliki tipografi rata kanan-kiri, seperti puisi “Lebah Ratu”, “Anjing Kidal”, “Blues” dan “Fajar di Galena”. Namun penulisan di sini hanya rata kiri saja, dengan pemenggalan yang tepat sama dengan di buku. Demikian.

1 komentar:

  1. Thanks mas, karya yang bagus sekali, menambah referensi menulis, hehe

    BalasHapus