Laman

Tonggak

Minggu, 01 November 2015

Nurhayat Arif Permana: STANZA LARA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Stanza Lara
Penulis : Nurhayat Arif Permana
Cetakan : I, 2011
Penerbit : Ladang Pustaka, Yogyakarta.
Tebal : 72 halaman (38 puisi)
ISBN : 978-602-96792-6-7
Penyunting : Sunlie Thomas Alexander
Gambar cover : Mayek No
Desain cover : Terusantua Art Studio

Beberapa pilihan puisi Nurhayat Arif Permana dalam Stanza Lara

Aku Ingin

Aku ingin berteriak, kau bilang aku gila
Aku ingin menangis, kau kata aku cengeng
Aku ingin berlari, kau tuduh aku pengecut
Aku ingin diam dalam keheningan suasana
Kau sebut aku romantis melankolis

Habis,
Apakah dunia sudah demikian sempit?
Hanya untuk menerjemahkan satu persoalan hati
Selalu kau anggap bernuansa politis!

Bangka, 2000


Penunggu Embun

sudah dapat dia lihat kembali embun itu
meneteskan serbuk sarinya ke setiap helai daun
pada kelopakkelopak mahligai bunga dinihari

telah mampu dia rasakan tetesan itu
ngaliri darahnya nyemburatkan renjana
bagi ghirah yang bergolak nyambut cahya
berkilauan dari ufuk nun jauh di timur

dara jelita bermahkota tiara
harum tubuhmu sebarkan aroma
dada berlekuk bagai ngarai
tempat mengalir sungaisungai

: dia lelaki penunggu embun
semalam dipanahnya rembulan pecah itu

Pancoran, 09/05/2011



Stanza Air Mata

yang berurai mengalir merayap itu
adalah tetesmu nyimpan naluri embun
hening dalam pupusnya padang semesta
nembang amarah sunyi
diamlah diam langit kelabuku
tak cukup sedih batas senja
mari menembus lambung waktu
sepanjang warna, sepanjang air mata

Palembang, 1997


Sore Hari Berjalan Menuju Laut

sore hari berjalan menuju laut
kau pandang matahari agak condong
kemerahan kilaunya
kau bernyanyi sepanjang pantai
menyepak reranting yang dilemparkan ombak
lalu berseru ketika kau lihat
kepiting kecil menjepit jempol kakimu
“aduh, mengapakah kau tak belajar bersama pepokok kelapa itu?
mereka tak saling menyakiti walau mengambil peran yang sama
bagi ombak.”

sore hari kau berjalan menuju laut
angin menyisir rambutmu dan
kau duduk di antara bebatuan besar,
sambil melempar-lemparkan kerikil ke tengah laut
lidah ombak menjilati kedua kakimu
buihnya membuncah membasahimu
kau terpekik ketika tercium bau bangkai
seekor ikan terlempar dari laut
kau tahu dia kalah.

sepertimu juga.

Manna, 01/1996


Stanza Lara

jiwa terbang
lelaki malang di persimpangan
airmata menghapus jejaknya
dengan sayap separuh patah
sendiri tanpa kemudi tanpa kendali
mengarungi hari mengurung sunyi
dupadupa setanggi ditiupkan lagi
azimat kesumat beraroma kesturi

05/05/2011


Diorama Solitude

I am a lonely man
Who travel all around – Elvis

ada yang menggumam di sela telinga saat sore menjelang.
sekawanan belibis bergerombol pulang ke sarang
aku terpana mematung memandang
seekor capung melintas melenggang

ada yang melafalkan kata kala malam mulai turun pelahan
serumpun ilalang saling menggesekkan dahan
aku terpaku di bawah kerudung bayang bulan
seekor burung hantu menyalip kunang-kunang

Ada yang berbisik. Adakah yang berbisik?
antara embun dan ricik air sore tadi
seekor merpati inggap di bahu
mengabarkan sesuatu

uh
begitu banyak peristiwa
yang mesti engkau sampaikan
sementara aku sedang bermesra-mesra
dengan ketiadaan

12/1997


Ada yang Tak Kunjung Usai

ada yang tak kunjung usai kau ceritakan
bagaimana pasir menyerap buih yang dipendarkan ombak
dengan tabah dan amat ikhlas
lalu membiarkan matahari mengeringkannya seperti sediakala

ada yang tak kunjung usai kau kabarkan
bagaimana pepokok kelapa diempas-tarik ombak
lalu dijulurkan ke tepi dengan hati-hati
dengan bahasa mereka yang purba
tanpa rasa marah, tanpa rasa dendam

mereka adalah sekawanan yang diciptakan
untuk tak saling membenci
mengerti cara memberi, mengerti cara menerima
lalu angin mengasuh mereka dan mengabarkan padamu,
katanya:
            “buanglah sejenak buku-bukumu itu, ada yang harus kau
            baca tanpa membuat sakit punggungmu dan perih matamu.
            mereka tak kunjung usai kau ceritakan
karna darahmu telah melaut, menjadi pasir dan buih
menjadi ombak dan pepokok kelapa.”

Manna, 01/1996


Membaca Masa Lalu

“Aku sudah melepaskanmu, dayang,”
katanya ketika membaca Skenario tebal
sehabis merapikan Nostradamus.
Tampaknya dia kehabisan daya setelah
bergumul dengan sejumlah kesengsaraan.
Hari ini adalah hari menjelajah kembali
jalanan kemarin. Ada yang ingin diubahnya
malam berkabut penuh angin serta pikiran
amat lelah.

Engkau barangkali juga berkemas membuang
serpihan demi serpihan kegelissahan dan
akal sehat. Pantai ataukah daun-daun cemara
itukah yang tengah mengusik masa lalunya.
“aku telah berganti rupa sejak kubaca
kembali sajak-sajak dari rahimmu,”
dia meyakinkan jemarinya yang terus-menerus
gemetar bila membayangkan helai rambut
berjatuhan.

            “Masa lalu itu,” barangkali
            Nostradamus yang membisikinya,
            “apakah senantiasaberulang
            dan menciptakan ketakutan baru?”

Palembang, 11/2001


Lost in You

Maaf aku sering tak mengangkat teleponMu

07/04/2011


Lost in Word

Kemana larinya ceritacerita itu
Seperti labirin kehilangan waktu
Bibir terkatup dengan lidah mengeluh

06/04/2011


Cangkang
; isteriku

coba kerjapkan mata
terbuka kehidupan purba
lahirkan kodrat

ayo julurkan tangan
meretas liat-rekat gumpalan keniscayaan
jaga kodrat

: dunia luar memang gamang
dan mengkhawatirkan, sayang
tetapi tetas itulah yang
sempurnakan kodrat.

Palembang, 12/2001


Sindrom Si Pahit Lidah

mari merapal kembali
mantera sakti sang serunting
kita kutuk sumpahi
para bergundal berdasi

ing ang pangeran akulah pangeran pati
biso tedong biso si pahit lidah
fuah…!

biar semua lidah menjadi kelu
biar semua kepala menjadi batu

aku sudah tak ingat benar
terakhir kau bersumpah
tapi sekali ini saja
muncullah di muka arena
biar paham dengan tabiat
juraimu di masa kau tiada
lalu tak siapa saja dapat
memberi sanksi serta sapa

ayo kita sambat tanpa ampun
tenung dahsyat sang Sukemilung

hoi…para begundal tak tahu diri
dengarlah dengar sumpah ini

ing ang pangeran akulah pangeran pati
biso tedong biso si pahit lidah
fuah…!

tapi lidah mereka lebih pahit dari liurmu
meludah kemana suka menjilat tak bermalu
sampaikanlah pada si Mata Empat
mereka ini suka berempat mata
kasak kusuk di bawah meja
saling tusuk dalam kelambu

Puyang Tuan Raja
jikakalau tak jua engkau merajah
azimat purba kisah dalam legenda
maka katakata mu hanya pahit di bibir saja

fuah…
fuah…
mereka tambah merajalela

pancoran, 16/02/2011


Percakapan dengan Dapunta Hyang

“Aku pernah membaca kisahmu, Sang Jyesta,” kataku ketika kita
bertemu suatu waktu.
Kau mengangguk-angguk. Janggut dan misaim panjang sampai
ke dagu. Sementara beberapa anak rambutmu terbang lepas dari
gelung tebal dan kaku.
“Apa yang kau tau tentang aku,”tanyamu.
“Bahwa kau seorang ksatria, membawa puluhan ribu prajurit
meneluri sungai yang panjang dan berliku. Pulang dengan
kemenangan dan membangun kota di sini, di tempat aku berdiri.”
Kau membuang wajah. Dari sisi wajahmu yang tertimpa matahari,
kulihat kusam kulitmu dengan parutan bekas jerawat serta beberapa
sayatan kecil bekas luka.
Tubuhmu sedang, dengan beberapa gelambir lemak di bawah
perutmu yang terbuka.
“Usiaku tidak muda lagi,”katamu. “Bertahun-tahun kuhabiskan
hidupku untuk berperang. Setelah itu, para raja dan tetua di tanah
dwipa ini menginginkan aku membangun wanua.
Tanah ini tidaklah terlalu subur, tetapi aku meski menuntaskan
pranidha. Ini bagian dari muditaku pada sang Budha.”
“Apa yang kau inginkan setelah kota ini berdiri,”tanyaku.
Kau tersenyum kecil, lalu terkekeh-kekeh.
“Tidak ada. Peradaban manusia semakin lama semakin beragam.
Dan manusia jelas akan semakin pintar. Jumlah rakyatku saat ini
paling ratusan ribu, namun akan berkembang biak dengan jumlah
yang tak pernah kubayangkan. Aku dibesarkan oleh peperangan
dan itu tak akan pernah berhenti.”
“Kota yang kau bangun nanti tentu akan hancur kembali.”
“Ya. Cucu atau cicitku nanti membangunnya kembali, tetapi tetap
akan hancur kembali.”
Wajah Sang Jayanasa terlihat murung. Kau menarik tanganku lalu
dengan pelan kau menuntunku berdiri di sisi sungai.
“Lihatlah, kelak sungai ini akan menyempit dan kalian akan
kehilangan jejakku. Apa yang nanti dibicarakan cucu-cucuku
tentang kehadiranku, hanyalah sepenggal cerita tentang perang.
Aku Sang Dapunta, dicatat sebagai raja yang haus peperangan.”
“Apakah tak ada pesan penting yang nanti kau tinggalkan untuk
kami.”
“Tak ada gunanya. Toh, nanti juga tak banyak cucu-cucuku yang
bakal mengenaliku. Kalaupun kubangun wanua di sini, itu hanya
untuk penanda bagi kalian bahwa aku pernah mencatatkan noktah
pada sebuah prasasti sekadar untuk dikenang. Sekadar untuk
dikenang, cucuku.”
Sang Dapunta masih berdiri, terus berdiri. Suteranya yang putih
kekuningan melambai dipagut angin.

Palembang, 16/06/2009


Lost in Paradise

1
ada yang pernah hilang begitu saja tatkala mimpiku berkabar:
semalam, katanya, aku menjumpaimu tidur dengan kecemasan
ruhmu mengambang lewati jendela itu dan aku gagal
menangkapnya
matamu ngungun terpejam tetapi jemarimu terusmenerus
gemetaran

aku tidak tidur semalaman, kataku, aku menunggu bintang itu
jatuh
kau tidak pernah membayangkan ada bintang emas yang
menungguku
--dibalik rerumputan ilalang dimana kami menembang sepanjang
siang
jiwaku lelah ragaku capai menggapai, namun nafasku berat
memburu

: sesuatu pasti akan tiba memanah dengan lembing matanya
kedip yang mengikutimu sepanjang tidurku yang lena

sintraman jaya, 04/04/2011

2
kita ingat nirwana di senja itu ketika langit
pelanpelan menurunkan tirainya
kugenggam jemarimu dalam gemetar tiada terhingga
debur gelombang membasahi seluruh rambutku

angit bersiut tiada lembut menampar dadadada kalah
: aku kehilangan segalanya, rupa dan keniscayaan

“kau telah membunuh semuanya…” katamu.

sepatuku koyak moyak ditarik ombak

tak ada
yang bisa dipertahankan lagi kini
semua ini sudah usai

“biarkan aku menebusnya sampai buana menutup
jendela.”

sintraman jaya, 05/04/2011


Kisah Sepatu Larsa

sepatu-sepatu larsa
di negara yang merdeka*

Inilah aku
sepasang sepatu larsa yang lelah
sepuluh hari berdiri menjagamu, mahasiswa
ketika kaki para tentara gemetaran
lantaran lapar dan mata ngantuk
ya sudah
dor dor dor

Inilah aku
sepasang sepatu larsa yang bingung
sepuluh hari berdiri menjagamu, mahasiswa
ketika tangan para tentara merinding
lantaran gemas dan marah
tapi kamu terus mengolok-olok
ya sudah
dor dor dor

Inilah aku
sepasang sepatu larsa yang kehilangan kendali
sepuluh hari berdiri menjagamu, mahasiswa
ketika para tentara menjadi kalap
lantaran keringat dan air mata bersatu
tapi kamu terus memburuku dengan kata-kata
ya sudah
dor dor dor

bukan karna yang merah
bukan karna yang putih
kuberdiri di sini
bernyanyi berdoa
bagai tahun-tahun lalu
rindu kabar keluarga
saudara

Maafkan aku saudaraku
mahasiswa, wartawan, massa
yang telah menerima kesewenanganku
ketika aku naik ke kepalamu
dan peluru meluncur dari dalam laras

Aku hanyalah sepasang larsa
sepuluh hari aku menjagamu.

Jakarta, 05/1998
*syair lagu Leo Kristie


Dongeng Malam
: bi

kisahmu bagai mimpi lama dulu
loronglorong labirin panjang berliku
gelap suram seolah tiada berulu

puyang tue atau siapakah itu kiranya
yang nyebar buhulbuhul nestapa
hingga kau terlempar ke lembah
paling purba peradaban manusia

hujan berkabut di malam buta itu
sendiri ku diguyur tanya dan rasa takut

: bang
dongengmu sama sekali tak meninabobokanku!

Pagaralam,07/2009


Tentang Nurhayat Arif Permana
Nurhayat Arif Permana lahir di Palembang, 23 Oktober 1969. Menyukai sastra sejak SMP. Menulis puisi, cerpen dan esai, yang dimuat di berbagai media massa. Kumpulan puisinya Stanza Air Mata (2003) dan Stanza Lara (2011)


Catatan Lain
Kumpulan ini, selain juga diantar oleh 2 halaman tulisan dari penulisnya sendiri, juga diantar oleh komentar-komentar dari Isbedy Stiwan ZS, Dimas Arika Mihardja, Hanna Fransisca (ada di sampul belakang) dan Linda Christanty (ada di lipatan sampul depan). Kata Linda Christanty : Sajak-sajak lirik Nurhayat hilir-mudik antara masa lalu dan masa kini; keinginan mengekalkan kenangan sekaligus keengganan kembali pada yang lampau. Tapi saat berharga memang sebentar. Seperti aku lirik melihat embun yang meneteskan serbuk sarinya ke setiap helai daun (“Penunggu Embun”).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar