Laman

Tonggak

Minggu, 01 November 2015

Jeihan: MATA mBeling




Data buku kumpulan puisi

Judul: Mata mBeling
Penulis: Jeihan
Penerbit: YPRSI (Yayasan Pengembangan Rupa Seni Indonesia, Bandung)
 bekerjasama dengan PT Grasindo, Jakarta
Percetakan: PT Gramedia, Jakarta
Cetakan: 1, Oktober 2000
ISBN: 979-669-941-9
Tebal: 148 halaman (40 puisi + 1 puisi tanpa keterangan di halaman 1)
Editor: H. Atasi Amin
Penaggungjawab Produksi: Azasi Adi
Perwajahan: Bramantyo
Sketsa pada sampul depan dan di dalam buku: Jeihan
Puisi pada sampul belakang: “Jeihan”, karya Taufik Ismail
Prolog: Soni Farid Maulana (Jeihan, Puisi mBeling, dan Sastra Indonesia)
Epilog: Jakob Sumardjo (Antara Main-main dan Sungguh-sungguh)

Beberapa pilihan puisi karya Jeihan dalam Mata mBeling:

ABAD DUA PULUH

X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
X X

kita mau ke mana?

1975


PANGGILAN

NARKO
TIKNO
NARKOTIK
NO!

1974


MALAM

langit malam
bumi malam
laut malam

tiba-tiba
terbakar
leleh!

1972


KEJADIAN

di dalam saku baju seseorang yang mati bunuh diri
ditemukan secarik kertas bertuliskan:

            bayang-bayangku
                                      makin memanjang
                            menarikku ke belakang
                                          tumbang!

rupanya si mati itu penyair yang cair jadi syair

1974


KEMBALI

dari gumpalan tanah
jadi gumpalan darah
jadi gumpalan nanah
dari tanah ke tanah                                                     

1974


HAL, 2

O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
O O O O O O O O O
S. O. S.
O 2
!

1975


KITA KITA

laut adalah kehidupan
perahu adalah kita

kita perlu tahu gelombang
                        pasang surut
kita perlu tahu keseimbangan
                       agar selamat

1997


SALAM

Haiku
Hai kita

1973


MATA 

seorang dokter mata menguji penglihatan seorang pasien
dan berkata, baca ini:
 
      Z  A  M  A  N     K   I  T  A

si pasien kemudian membacanya:

      Z  A  M  A  N     G  I  L  A

maka sang dokter memberi ia kacamata super jengkol

1974


(Sajak tanpa judul dan tanpa tahun yang ditemukan di halaman 1)

matahari
menari hari
matahari
mencari diri
sendiri


ANAK KEPADA IBUNYA











                                                                                                           ma


                                                                                                                  mam!

1998


BANDUNG

dung
dung
dung

gunung gunung
kampung kampung
gedung gedung

dung
dung
dung

mesjid agung
gedung merdeka
cicadas (tempatku)

dung
dung
dung

hari terang
bunga kembang
burung terbang
degung (kusuka)

dung
dung
dung

bangun
bandung!

1981


Tentang Jeihan Sukmantoro
Selain dikenal sebagai pelukis papan atas, juga merupakan salah seorang pelopor sekaligus konseptor gerakan Puisi mBeling yang cukup populer pada awal tahun 1970-an. Ia lahir di Solo pada 26 September 1938. Sejumlah puisinya pernah dipublikasikan di majalah Aktuil dan Pop serta beberapa media lainnya. Selain itu termuat juga dalam sebuah esai Mengintip Puisi Indonesia Kontemporer, karya Sumardi yang termuat dalam antologi Festival Desember 1975 (Dewan Kesenian Jakarta, 1976), Senandung Bandung (Swawedar 69 Bandung, 1981), Malam Seribu Bulan (Forum Sastra Bandung, 1992), dan Orba (Forum Sastra Bandung, 1994).


Catatan Lain
Jika dibandingkan dengan lembaran-lembaran yang berisikan prolog + epilog, maka lembaran-lembaran yang memuat puisi bisa dibilang lebih tipis. Padahal puisi-puisi dalam antologi ini dibuat sejak tahun 1969 sampai 1999. Tak sedikit puisi-puisi mini yang terdapat di kumpulan ini. Namun, puisi-puisi dalam kumpulan ini bisa dibilang “matang” meski puisinya banyak yang pendek. Sedikit penjelasan, mari kita cermati kembali puisi berikut:


ANAK KEPADA IBUNYA











                                                                                                           ma


                                                                                                                  mam!

1998

Dalam epilognya, Jakob mengatakan bahwa permainan kata dalam puisi ini (yang jika digabungkan menjadi mamam alias makan) telah memasuki makna esensi. Sudah sangat serius. Sajak singkat tersebut dapat punya  makna banyak. Secara harfiah adalah seorang anak yang minta makan kepada ibunya. Secara nilai dapat digambarkan sikap ketergantungan dengan pihak lain. Di sini tersirat makna ketidakdewasaaan atau ketidakmandirian seseorang.

Selain itu, makna lebih mendalam dapat ditangkap juga dari penempatan puisi di setiap halaman (ada yang di tengah, di pojok kiri atas, di pojok kiri bawah dan sebagainya). Perhatikan penjelasan Jakob yang lain:

“Judulnya ditempelkan di tengah-tengah halaman, sedangkan potongan kata-kata diletakkan jauh di pojok bawah. Ini ikut mengisi makna sajak itu sendiri. Ibu sebagai pusat kehidupan manusia, ia adalah sumber kehidupan, kedudukan sentral. Sedang kata ma mam diletakkan jauh dari pusat, bukan persis di bawahnya yang dapat punya arti hubungan hierarkis patrilinial, tetapi di pojok bawah kanan, yang punya makna hubungan dinamis. Mengapa begitu jauh? Karena adanya jarak potensi diri, ibu yang dewasa, anak yang balita. Dari kelemahannya, si balita berucap: Ma, mam. Dalam huruf italik yang lemah dan lembut. Kedengarannya sayup-sayup. Sedang judul dengan kata Ibu dicetak tebal dan tegas, lambang kekuatan, kedewasaan, melindungi, melayani.”

Salah satu hal yang turut diamini dari penyair ini ialah pernyataan yang menyindir penyair serius yang terlalu menjunjung tinggi nilai-nilai perpuisian, seperti para penyair mbeling pada umumnya. Perhatikan sajak Kejadian, di sana Jeihan berpendapat orang yang meletakkan kepenyairan di atas segala nilai hidup lebih baik “bunuh diri saja”. Baginya puisi hanya bermain-main. Bisa ditinggalkan sewaktu-waktu kalau sudah bosan bermain. Puisi tak usah dibela sampai mati. Berpuisi ibarat orang main gapleh. Jangan terlalu serius. Penyair hanya langkah awal untuk menjadi pemikir.

Pernyataan tadi menarik menurut saya, karena selain terasa seperti sindiran dan nasihat, juga terasa seperti kredo Jeihan ketika berpuisi (^ ^) Barangkali yang “sewaktu-waktu” itu juga penyebab sedikitnya puisi di buku ini (menurut saya...). Tapi jika sekiranya buku ini tidak dilengkapi dengan pembahasan (puisi di buku ini dibahas dalam prolog dan epilog yang panjang), barangkali para pembaca akan dibuat bingung oleh pertanyaan “maknanya apa?”.

Di cover belakang buku ini diisi dengan puisi Taufik Ismail yang berjudul Jeihan, berikut puisinya:


jeihan

yang kau sampaikan renung
yang kutanyakan
mata.

yang kau gali tembus
yang tiba padaku
rongga.

yang kau apungkan siapa
yang kutimbang
warna.

yang kau gariskan bayang
yang kutanyakan, masih saja
mata.


Sarasota, Florida, Ahad 2 Agustus 1992, 22:16.


(AHMAD FAUZY)

4 komentar: