Laman

Tonggak

Minggu, 01 November 2015

Budhi Wiryawan: SRIPAH





Data buku kumpulan puisi

Judul : Sripah
Penulis : Budhi Wiryawan
Cetakan : I, Oktober 2009
Penerbit : Berdikari Publising, Yogyakarta.
Tebal : 120 halaman (103 puisi)
ISBN : 978-602-95702-0-5
Editor : Tedi Kusyairi
Desain cover : Mahendradewa
Layout : Tedy Kusyairi, Mahendradewa
Prolog : Fajar Suharno, Harry Leo AER
Catatan Akhir : Latief Noor Rochmans

Beberapa pilihan puisi Budhi Wiryawan dalam Sripah

Srinalendra

maka selesailah tugasku mengantarkan surat
setelah kutemukan alamatmu di bibir sarang semut rangrang
di atas pohon yang lebat, jauh dari orbit terbang kunang-kunang

sejak bersembunyi di tempat yang tinggi itu, kau berdiam
memagut sepi, memunguti serpih jentik-jentik belalang,
sepimu menggoda, jauh di tepi bising keluh kesah,
orang-orang yang suka bernyanyi dan menutup jalan
sambil membawa spanduk berisi kecaman

sampai suatu saat tahun menua
jambangmu menjadi belukar
menutupi seluruh pipimu yang pucat
lalu laku yang kau susuri ke rumah pendeta
mentasbihkan dirimu dalam pemandian bulan

rindumu pada kesendirian adalah
lelah anak kuda di padang sabana

kau adalah lelaki yang tekun menunggu panggilan
yang akhirnya bersedia menghadapi kekalahan

2008



Srimpi

kakimu melayang di atas anyaman tali bambu
terbang jauh dalam bidikan teropong. kau mengelayut di
langit biru
warna yang kau sungging di belahan dada, menyembul di
jaritmu
betis-betis padi menguning, langkah kau hentak pelan, hilang
di kabut
korneaku, terasah di lingkar pendapa. aku mengagumimu
pada jiwa yang
ingin menunggu dalam lama arloji atau kesabaran yang
menjanjikan

kau burung tak bersangkar emas, tapi lautmu biru
menghanyutkan.
pupil mataku yang rabun tetap kuasa memandangimu dalam
takjub malam.

di penghujung setiap kau tinggalkan gores senyum, seperti
lipatan gunung yang dirimbuni hutan pinus. aku mencarimu
terus dalam dingin dan pekat
malam. tak jemu menunggumu di pringgitan, lepas penat
tanpa pengawalan

2008


Matinya Raja Ketoprak

jurit malam mengelilingi segi empat wilayah kampung
burung malam terpekur, lidah bulan menyala,
di pertengahan lakon, penonton histeris ketakutan
mereka menutupi satu matanya dengan sapu tangan
satu matanya lagi jatuh di tanah lapang poros tobong
layar diturunkan, lampu sorot menyala panas
gamelan redup, juru keprak patah tangannya.

orang tahu ia telah lama berkelana dari kota satu
ke kampung yang tak berpenghuni, makan asin garam
dan cukayang tidak lagi terasa getirnya
malam itu ia gagah dengan surjan keprabon
di mimpu pun ia sering menjadi raja sungguhan

sungguh pun dalam batin, ia menangis dalam tawa
semua lakon sudah habis dilahapnya, hingga suatu ketika
tak ada lagi peran untuk laki-laki ini
esoknya, bendera putih menancap di dada kanannya

2007


Slendro

temani aku menari di rumput basah, wahai kaki padi
salsa dalam hentak kaki kuda, gairah di pucuk cemara
yang limbung di pembaringan anak-anak sembrani
rindukan golek menak, saat pendapa seni tanpa wiyaga

ribuan tahun ketika bunyi dilantunkan di sayap mega
petir membagikan laras, menelusup di ladang-ladang petani
bunyi sunyi yang menguliti bulu lembut tangan kita
biarkan menari di atas bilah-bilah perunggu yang terkulai

jangan salahkan anak kita,
jika mereka berbagi peta
karena desir suaranya dihantam badai
akhirnya menepi di pantai tak berpenghuni

2008


Mesin Kupu-Kupu
(menyusuri lekuk penjahit kebaya di Pasar Bantul, 1990)

berlembar jarik, panjang tangannya menggamit
benang basah mencari jalan ke lubang kancing yang sempit
tangannya bergelombang urat kering, tak ada bau lotion
kecuali minyak pekat mengguyur sekujur badan

sejak pasar berarak bambu
dan los becek penuh lumpur, larut buih tembakau kedu
jari-jarinya lelah memutar bibir bulat mesin kupu-kupu
ia menyedu gunting dalam garis dan aksen yang lugu
dari kebaya hingga baju koko tanpa saku

cucu simbah lebih lekat dengan celana koboi
jagad sinjang telah digunting menjadi bikini
baju koko ustad hasan pun buatan konveksi
seonggok aurat telah tergadai di papan ini

riwayat kota tua adalah sejarah rumah-rumah mode
tak ada tawar menawar kecuali kekalahan atas beban-beban ide

2008


Tanpa Anak Kata

aku mencintaimu, karena kau anak kata
demikian rajin membangun kalimat, sehingga rumah kita penuh berkah
menghidupkan yang mati menjadi cahaya
memancarkan yang redup menjadi lentera

aku mencintaimu lebih dari sekedar anak kata
karena kuyakin tiap malam, malaikat meronda kemari

kutahu. jika setiap ketulusan harus dibuktikan dengan matahari
berapa panjang mistar mengitari lekuk tubuhku
selalu kubangunkan masa laluku yang membatu
agar berganti menjadi cahaya yang berbinar

aku mencintaimu, sudah barang tentu
mengalahkan seluruh pantul cermin
yang memaki-maki, mengejekku dengan giginya yang pongah

aku mencintaimu, dan sekali lagi mengharapkanmu
lalu menjauhi mimpi yang telah meracuni syaraf-syarafku

2007


Sripah

/1/
kau dekati cahaya, hijau menyobek alis putihmu
tulang kering, jahitan kerangka tua berbunyi
berlagu bersahut birama tapi bukan penembrana
gigimu hitam, sudah lapuk pula, perempuan menghindar

oi, angin tua lesat di atas buritan kapal
camar menepikan sehelai bibirnya, jatuh di pasir putih
kau menyedak pasir, menenggelamkan kerongkonganmu yang
kosong

oi, tali layar berderai, layang-layang putus siripnya
lagu di kedalaman laut nyaring kau dengarkan
maut, sebentar sudahi pertemuan.
burung-burung memanjatkan doa, awan begitu lantang

sakaratul menyobek angkasa kampung tua
perahu-perahu berbaris, menunduk memberikan salam
tidurlah wahai penggalan pantai, seribu tahun tidurmu

/2/
rindu-rindu ikan, telah diobati dengan kenduri petang
dan anak-anak tanpa baju mengambil sesajen
rindu-rindu yang dihindari para tetua, menyedu kopi
dalam lamunan malam, takut ditinggal sendirian

merawat para renta, mengembalikan asupan dongeng
tangan anak-anak tak berbaju basah, kitari tempayan
berebut mengendus air, tangannya dipautkan dengan bibir
perahu

perempuan-perempuan berendam di dapur
gulai ingkung ayam, menyebar di mulut ikan

susah dan sedih yang dibangun oleh gelombang
tak cukup untuk membayar kabarmu yang kusam

/3/
airmata yang direndam di kuali larutan kapur
memutihkan giginya, tubuh lindung menggeliat
minta asupan kemenyan dan bunga mawar

di tampah warna bulir beras menguning,
lendir di bibir ikan tumpah di anglo merah
ruwat atas segala jasad, menepi di kediaman angin

: dilarung di manapun ombak tetap menerima
jawaban atas ruh yang berkhidmat di gumuk-gumuk pasir

/4/
oi, sudah tinggi matahari mendirikan pagar
berlindung ikan-ikan kecil, tubuhnya tak terbaca
oleh pukat, dan semilir angin mengangkat pembaringan
menidurkan para bujang yang takut menyentuh gincu

lalu perkampungan ikan membayar utangnya pada
tetua, leluhur pantai yang tak disebut lagi dalam syair
remang-remang, yang keluar anak-anak tak berbaju lapang

oi, jangan tinggalkan garis gerimis ini, para tetua marah
disambarnya puluhan genting tanah, dan rumah bergerak
pohon pisang menunduk seperti unta, tak ada lagi buah ranum
kecuali upacara pemaafan, mengambil alih hati yang berutang

: pekat menyayat langit hitam mendung menggantung kuat
rahasia yang ditiriskan di tampah-tampah luas, menguap bau asin

2008
* sripah = kematian


Gemulai Perempuan Pundong

siku bagian dalam tangannya lancip
menyerupai segi tiga sama kaki
kakinya berisi seperti bulir padi,
dadanya yang tegak berpeluh dengan daki yang melunturi
adonan donat tanah liat, meliuk bak penari srimpi,
jadilah vas bunga yang melankoli,
mau dipajang di tempat manapun, ia tak peduli

perempuan bergingsul tajam itu,
sesekali suka menyanyi, meski hanya hafal tembang loro
bronto,
ia memang lagi jatuh cinta pada lelaki kota
yang memesan buah tangannya,
tapi ia ragu, sejatikah cinta seseorang
juragan mlegedu itu dengan gadis ndeso seperti dirinya?

adonan donat yang lengket di tangannya
menangis karena lama dibiarkan
teronggok di sudut jogan,
ia melamun, pandangannya menumpuk di larik-larik
vas bunga yang ayu tapi tak berparfum itu

perempuan itu kemudian menepi,
sepenggal baris tembang lirih berdengung
/ora kaya wong kang lagi wuyung/
menguap dibawa burung prenjak
ia terkulai di samping jambangan,
wajahnya pucat seperti kapas,
perempuan itu pingsan,
sejak pagi perutnya baru terisi air kendi


Jatuh

tubuhku mematung, suara lindap jatuh dari atap
kakiku terpancung, suara lindap jatuh dari plafon
tanganku buntung, suara lindap jatuh dari sirap
telingaku lepas, suara lindap jatuh dari pohon
jantungku bocor, suara lindap jatuh dari gunung
mulutku busuk, suara lindap jatuh dari tangga
mataku rabun, suara lindap jatuh dari loteng
alisku tercabut, suara lindap jatuh dari meja

tubuhku dan seluruh jasadku berada di bawah
ketinggian-Mu yang bersahaja

2008


Kaki Bunda

tempat yang keramat bersembunyi luka
adalah kaki bunda yang berongga goa
bertahun kerikil menusuk sembilu di hatinya
dari sarapan yang terlanjur siang
dan hari-hari yang dikejar-kejar jajan lauk
menutupi vena merontokkan ruas jari kaki
hidup seperti ditimbun badan gunung yang tebal
tempat yang lenggang bersembunyi duka
adalah rambut bunda yang merenda warna
bersemayam sejuta nikmat dalam kilatan masa
meski tak ada baju yang sempurna
melilit pinggang hingga bahunya yang membatu
menyulam rintihan menjadi kesanggupan
untuk menaklukkan karang menghalau rintang

2007


Message from God

//aku menciptakan kegelisahan agar engkau merenungi
setiap hembusan oksigen menjadi berkah yang
membasahi
taman bunga dan kemudian kau selipkan di setiap
hembusan karbondioksida,
jadilah engkau bersuku-suku dan saling membutuhkan
di antara kalian agar jangan saling bermusuh-musuhan//

2007


Hujan Sajakmu Biru

hujan sajakmu biru berselimut kristal menyala
di antara langit dan kelam cahaya, kau maknakan
batas perjalanan yang goyah dengan tongkat bersayap
lautan sajakmu bermandikan kilat biru menyala

lantai pesolatan yang kau bangun dari embun
menetes di lingkar leher, kening yang menyala cahaya
memompa kumparan doa menjadi trafo penggerak
yang memutar di sekeliling batas yang tak lagi koyak

hujan sajakmu biru berputar-putar di kamar tidur malaikat

2007


Kutembus Misterimu

dari dalam hujan aku curi suara hening
yang bersarang di dalam membran,
engkaukah wajah yang hening dan beku itu?

di atas hujan aku curi suara senyap
yang berlindung di balik atap
engkaukah wajah yang hening, kontemplatip itu?

lapisan sel yang kubuka dengan lazuardi
adalah kau juga yang membalikkan telapak merah
rajah yang digambari garis lurus beraturan
engkaukah yang menyimpan puluhan lembar fosil
misteri dari ruang keniscayaan

Bantul, 2007


Kerongkongan Api

arak yang kau tenggak di telak keringmu
katamu energi pembangkit rindu
yang kian lama lupakan kesepakatan
antara kau dan tubuh-tubuhmu yang berlayar di tepian

katamu surga adalah hedonisme yang tertunda
tidak lebih dari panggung sandiwara yang menganga
ada saat tertawa yang dikepung kesenyapan
di gelap kamarmu yang ditumbuhi dahan dan jati hutan

sejak kau mulai mengingkari hakekat cinta
segala hidup yang kau mau adalah permainan
cakrawala yang ditinggalkan fatamorgana
berakhir di gelas sunyi kerongkongan

2008


Srimartani

rindu sawah ladang di awal pesta wiwitan, rindu bunga karuk
dan rimbunan kapuk randu yang terbangkan sisa pakan anak
prenjak,
rindunya baju pagi, menerawang mantel musim tua, adalah
kangen anak kambing
yang menetek belanga coklat, mengitari pematang liat, bak
opera di panggung dewi sri

air terjun bukit duri, dan pinggang bukit gamping,
menenggelamkan hati perih pedih
kala perawan tak cukup usia menarikan srimpi dalam kilatan
lampu yang membakar pipi merahnya.
hinggaplah kumbang yang selekasnya tertidur di pucuk duri

surga ada di ladang singkong, penggembala memainkan
cemeti dengan lepas
tanpa kendali pusaran angin, yang melempar batang lengan
mereka ke tepian sungai.
berhentilah menunggu puso, kabar dari atap, panen
menyembulkan asap

2008


Penggali Kubur

hari ini cangkul-cangkulmu menari
lusa kau menatapnya di atas gelap
di muka persembunyianmu,
di dalam lorong mimpi-mimpi panjangmu

2008


Di Jalan Keabadian
(untuk mas Hadjid)

di batas jalan tiada bertepi engkau menidurkan bulan
pada persimpangan abadi yang disapu mendung sore
kelabu
di kain putih tak bermotif itu engkau tinggalkan senyum
pada 12 pagina yang tak sempat lagi kau baca
di ruang perpustakaan Tuhan

engkau tak lagi ada di persimpangan
tapi di jalan pasti yang menebarkan kehangatan
dari ribuan hari yang tak lagi diburu oleh deadline
di antara tumpukan ribuan rim kertas putih,
mesin tik, dan ratusan kertas karbon
yang tiada lagi terbaca titik dan komanya

(di meja sebelah
arie, niesby, linggar, minuk
membawakanmu sajian terakhir gudeg Yu Siyem)

Depok, Desember 2007


Penopeng Krebet

sejak menjadi kapur, tanah liat itu menyingkir
menenggelamkan hutan jambu yang berarak
dan di saat metamorfosis terakhir itu pula, mereka
meradang
lengan puluhan lelaki dewasa berubah menjadi batu,
berkubik bongkahan kayu diubahnya menjadi wajah-wajah
mereka
yang pasrah, yang ngungun,
namun wajah-wajah itu menyimpan lava yang menyala

para penopeng krebet itu lahir
dari fragmen di persimpangan mataram-mangir
kaki-kaki mereka berjalan di atas pusaran jaman
hingga tertambat di kumparan kerak peradaban

para penopeng krebet itu berlari
mengejar wajah-wajah mereka yang terpahat
di bilahan warna-warni kehidupan baru
ruang hampa udara, yang terasa asing dan
membingungkan

(wajah-wajah mereka terpasang di etalase
yang tersembunyi di balik kerumunan pasar)


Titian Alit

adakalanya aku enggan meneriakkan keletihan
atas kedunguan yang berkobar-kobar di bilik otakku
adakalanya angin mematikan api yang kupiara
di gelap kamar kepompong

adakalanya mata melayang disambut taring elang
rindu yang retak anak-anak bercelana monyet
menipiskan kulit ariku, kelak tinggal gajih menganga

seluruh yang berkemampuan padang, ada pada
jendela bulan yang membacakan dongeng
untuk anak-anak yang lapar kasih sayang
haus buku bacaan yang kering kerontang

membaca titian bambu yang kau pasang
di pinggir jurang dangkal, janganlah oleng
menggapai tiang pohon aren, jalan lewat
anak-anak kita sekolah ke kota

2008


Tentang Budhi Wiryawan
Budhi Wirwawan lahir di Bantul, 8 Februari 1964. Pernah menjadi mahasiswa di Fakultas Tambang UPN Veteran Yogyakarta, Teknik Geologi STTNAS dan IESP Universitas Terbuka. Pernah berkhidmat di Teater Laskar, Sanggar Kereta, Paguyuban Teater Bantul, Masyarakat Seni Bantul dan Komunitas Seni Bantul. Karir jurnalistik, menjadi koresponden SKH Kedaulatan Rakyat (1982), SKM Minggu Pagi (1989-1995), dan 4 tahun bergabung di jaringan radio lokal pendidikan untuk demokrasi UNISCO di Radio Persatuan Bantul. Puisinya tersebar di berbagai media cetak dan antologi puisi bersama. Sejak 2003 hingga buku ini terbit (2009), bekerja sebagai komisioner KPU Kabupaten Bantul.


Catatan Lain
Ada empat foto berikut komentarnya di sampul belakang buku. Pertama dari penyairnya sendiri, yang mengutarakan bahwa membukukan “Sripah” merupakan niat dan obsesi ybs untuk mendokumentasikan perjalanan kesastraannya yang relatif minim itu. Kemudian ada Penggiat Sastra & Teater, Budayawan, Fajar Suharno; Ketua Komunitas Seni Bantul dan Sanggar Kereta, Bardikari Jatmiko; dan Redaktur Pelaksana Minggu Pagi, Latief Noor Rochmans.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar