Laman

Tonggak

Jumat, 01 Januari 2016

Andi Gunawan: Hap!




Data buku kumpulan puisi

Judul : Hap!
Penulis : Andi Gunawan
Cetakan : I, Mei 2014
Penerbit : PlotPoint Publising (Kelompok Penerbit Bentang Pustaka), Jakarta
Tebal : xii + 92 halaman (69 puisi)
ISBN : 978-602-9481-65-5
Ilustrasi dan perancang sampul : Prasajadi
Pemeriksa aksara : Veronica Latifiane
Penata aksara : Septian Hadi
Penyunting dan Prolog : M Aan Mansyur

Hap! terdiri dari tiga bagian, yaitu Hap! (37 puisi), Kepada Air Susu Ibu (14 puisi) dan Ia tak Pernah Bepergian (18 puisi)

Beberapa pilihan puisi Andi Gunawan dalam Hap!

Tiga Sebab

Tiga stasiun lagi dan aku tak akan sampai ke mana-mana
sebab kepalamu menggeleng lebih cepat dibanding laju kereta

sebab ada yang luput pada setiap lambaian tangan
cara-cara merelakan dan isi cangkir yang harus dikosongkan

sebab seperti mereka yang diasingkan ke pulau-pulau jauh,
tak semua cinta betul-betul ingin pulang. Sungguh.

2013


Ganjil

Tuliskanlah namaMu
di sini

2013


Hap!

Kau patahkan hatiku berkali-kali
dan aku tak mengapa.

Hatiku ekor cicak.

2013



Pelajaran yang Tak Pernah Kuselesaikan

Karena kau tak selalu muncul di dalam mimpiku yang jarang,
setiap malam aku berangkat tidur lebih lama daripada orang-orang:
mendatangkanmu ke dalam kepala bersama
sepasang cangkir kopi hitam-masam
semasam airmata meluncur tanpa aba-aba
menghadirkan hangat yang asing di kedua pipiku.

Lalu cangkir ketiga adalah pertanda
bahwa sepasang sebelumnya tak pernah cukup
untuk mendatangkanmu, sebab mengingatmu selalu sama
– tak pernah jadi sederhana.

Dan ibuku masih tak bosan mengajariku hal
yang menurutnya paling sederhana di dunia:
“Jika cinta begitu rumit, ubahlah ia
menjadi perkara yang kauikhlaskan.”

Mendengar pesan ibuku, kedua lenganku yang lapang
tiba-tiba ingin sekali memeluk dirinya sendiri
sementara lengan lain memilih tanggal
dari pelukan yang menggantung di daun pintu.

Berkatalah aku kepada ibu,
“Kapal terakhir telah berlabuh ke dadanya
– bukan aku, dan pintu ini tak bisa menutup sendiri.”

2012


Pulang 2

1
Malam masih muda dan aku berjalan
sesekali melompati becek sisa hujan
menentang angin pembawa kabar-kabar buruk.

2
Peta dan senyuman
terlipat rapi di sela buku harian,
di dalam ransel lapuk

3
Ada yang lebih jahat dibanding cuaca:
tik-tok arloji dan isi kepala.

2013


Tentang Tubuh yang Tabah

Lengan-lengan yang melepaskan diri dari pelukan
sedang belajar saling merelakan,
seperti embun meninggalkan dedaunan.

Barangkali begitulah cinta diciptakan sebagai penguji
sebab bahagia, sayang, ialah sebuah kepulangan. Maka,
pergilah tanpa keraguan. Berkelanalah ke tempat-tempat
yang jarang terbuka: bibir, lengan, dan dada.
Lalu kirimkan kepadaku sebuah kartu pos
dan puisi – tentang bagaimana memeluk jarak
dan sendiri.

2012


Pancaroba

1
Kenangan, seperti halnya tembakau kemasan, nikmat yang perlahan
melukai. Ia juga tamu yang bisa kapan saja mengetuk pintu –
membukanya atau berpura-pura tidur sepenuhnya milik penghuni
rumah

Aku telah dengan sadar membuka pintu membiarkan dingin masa
depan mengubahku jadi bocah, menamparku dengan omelan-omelan
mirip ibu.

2
Sebab dadamu danau dan kau sibuk bermain di tepi, asin air
mata menderas asing, lebih asing dari hari pertama sekolah dan
mengenakan seragam kaku.

3
Maka buatlah rumah berpagar tak terlalu tinggi biar bocah dalam
diriku bisa melompat pulang setelah lelah bermain-main dengan
cuaca.

2012


Aku Tak Pergi ke Taman Kanak-kanak

Sebelum bertetangga dekat dengan takut, aku berjalan tak peduli alas
ke mana saja ke tempat-tempat yang disebut bahaya bagi sebaya;
main petak umpet melawan perut

Sebelum tahu usia ialah angka yang dapat dihitung, sebelum
mengenal pagar dan paku, tak ada aku menyimpan rencana dalam
kantung-kantung hitam di bawah mataku.

Sebelum hangat tercipta oleh sentuhan oleh doa-doa yang berjatuhan,
tanganku bepergian sendiri, berlari-lari manakala hujan berhenti
lantaran lelah sendiri

Aku ingin kembali ke taman itu. Aku ingin dipotret bersama Ibu
tanpa bingung memikirkan pigura, dinding, dan paku.

2011


Sungguh Aku Tak Peduli

Siapa yang engkau rindukan
lagu-lagu yang selesai, melodi sumbang,
atau kemerduan bising di dalam kepala.

Aku hanya ingin berdendang di atas panggungmu
yang ramai dengan ingatan: bukan aku.

Siapa yang engkau cintai
temaram kemarin, sangsi-sangsi hari ini,
atau ketidakpastian di punggung esok.

Aku hanya ingin berbaik sangka,
ingin engkau berbaik-baik saja, di sana.

2012


Mantra

Jika kebodohan dapat membuatku
jatuh berkali-kali ke lenganmu,
aku akan memilih
jadi tua dan dungu

2012


Dua Stoples Kenangan

Senin yang dingin membuatku malas mencuci muka. Sebuah ingatan
terpaksa tinggal lebih lama. Ingatan tentang Senin yang luka oleh aku
yang muda dan terburu-buru.

Tidak lama kau menjadi kupu-kupu di rumahku sebelum
berterbangan di bukit luas bernama masa lalu. Di sana, kau sibuk
mengitari bayang-bayang yang lebih gelap dari padam lampu. Menari
di atas danau kenangan yang lebih keruh dari keluh janda-janda kota.

Saat sedang lelah di pucuk rendah pinus aku berhasil memeluk dan
membawamu pulang. Pelukan yang asing dan asin sebab kau tak
berhenti menangis sepanjang jalan ke rumahku. Rumah bercat putih
pudar membosankan berbau apak.

Jendela-jendala berkarat dan segala pintu kututup rapat sebab aku
enggan menaruhmu dalam stoples kaca. Satu-satunya stoples bekas
isi nastar pemberian seorang yang dulu mengaku kekasihku. Seorang
yang dibawa pergi kupu-kupu dari taman bunga yang tak pernah
kukunjungi.

Sejak hari itu kau selalu beterbangan di dalam rumahku. Menyinggahi
apa saja. Pigura-pigura berdebu bergambar senyum yang telah
dimakamkan. Ranjang berlubang mahasepi. Juga gelas piring sendok
yang selalu kucuci sendiri setelah menu-menu hambar tertelan. Aku
berpikir kau telah mengenalku dengan sangat baik dari setiap sisi
rumahku yang kausinggahi.

Lalu Senin malam yang lapar dan pasar kerlap-kerlip di pusat kota
menggodaku. Setelah mengunci pintu aku berlari menuju ramai pasar
malam. Tak kutemukan apa-apa di sana selain kesunyian yang lain
dan stoples baru berwarna biru tembus pandang untukmu.

Aku pulang memandang cat putih semakin pudar dan rumah
diserang hawa dingin mahadahasyat. Aku lupa menutup jendela dan
dua stoples tak cukup menampung air mata.

2012


Kangen

Cangkir pertama ialah pertanda
ia bukan yang terakhir
sebab mengingatMu mirip takdir
tak pernah sederhana

2012


Perjamuan Akhir Pekan

Ayo kita bernyanyi
di atas dudukan besi, tentang mimpi
sedangkal kaki. Sabtu malam: kau dengan teh tawarmu,
aku setia pada kopi.

Ayo kita berbicara,
di taman dekat bunga-bunga, tentang ia
yang bernama-nama. Minggu: kau pulang dari gereja,
aku rampung dhuha.

2011


Setengah Lusin Sajak yang Lebih Pendek Dibanding Ingatanmu tentang Aku

1
Selain matahari,
ada yang menyala pagi ini:
korek api dan sebatang sepi.

2
Kaulah embun itu
jatuh pasrah di tandus dadaku
– basah sebentar saja

3
Pada tempat yang tak tetap: dada, jalan-jalan,
dan sepanjang ingatan – rindu menetap.

4
Mengapa kau tak pernah jadi puisi?
Yang bisa kubaca berulangkali
sebelum memutuskan pergi.

5
Seperti halnya kau,
aku tak pernah selesai membaca koran.
Di sana, ada yang lebih buruk dari berita: kita.

6
Aku ingin berubah saja,
mungkin menjadi angin,
terhindar dari ingin yang tak perlu.

2013


Manusia

Ceritakanlah kepadaku dunia:
hunian saling bentur kepala,
apa yang sebenarnya sedang kaujaga?

Ceritakanlah kepadaku dunia:
cermin polemik cantik
apa yang sebenarnya sedang kaulirik?

Ceritakanlah kepadaku dunia:
norma berjenis kelamin,
apa yang sebenarnya sedang kaupilin?

Ceritakanlah kepadaku dunia:
mesin pencipta nama,
apa yang sebenarnya sedang kautata?

Ceritakanlah kepadaku dunia:
lapang peta penuh alamat,
siapa yang sebenarnya sedang tersesat?

2011


Dua Peristiwa

1
Kau melompat, tiba-tiba,
ke dalam cangkirku.
Menumpahkan kopi, juga masa lalu.

2
Siang ini matahari padam di mataku,
yang menerbitkan kesedihan begitu terik
—menjauhkan kenangan dari api.

2012


Tentang Andi Gunawan
Andi Gunawan berkenalan dengan puisi saat sekolah menengah pertama melalui puisi-puisi Subagyo Sastrowardoyo. Ia sempat mengeyam studi Komunikasi Massa di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta, namun tak lulus. Puisi-puisi yang termuat dalam buku ini ditulisnya di sela-sela lelah dan kebosanan bekerja sebagai wartawan dan kesulitan menjadi komedian. Sebagian lainnya ditulis dalam keadaan krisis identitas, juga krisis masa depan. Demikian kira-kira yang dikatakan dalam Tentang Penulis. Tak ada keterangan di mana dan kapan penulis lahir. Puisi-puisi Andi Gunawan antara lain terdapat dalam antologi puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2012), Elegi Anjing (2012) dan Merentang Pelukan (2012).


Catatan Lain
M. Aan Mansyur menulis pengantar sebanyak dua seperempat halaman. Berniat, tidak hendak mengacaukan pembacaan pembaca atas sajak-sajak di buku ini dengan terus mengoceh. Dikatakan Aan, bahwa Andi Gunawan senang membunyi-sembunyi-kan perasaan dan pikirannya melalui sajak-sajak pendek, dan tidak begitu senang menceritakan perasaan dan pikirannya melalui sajak-sajak panjang.
            Halaman persembahan hanya berisi dua kata: Untuk Sum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar