Laman

Tonggak

Selasa, 02 Februari 2016

M. Nahdiansyah Abdi: CEGUKAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Cegukan (sepilihan sajak cinta)
Penulis : M. Nahdiansyah Abdi
Cetakan : I, 22 Januari 2016
Penerbit : Kepadapuisi Publising, Banjarbaru.
Tebal : 50 halaman (44 puisi)
Format buku : pdf
Desain gambar sampul : www.freepik.com
Sumber download : https://drive.google.com

Beberapa pilihan puisi M. Nahdiansyah Abdi dalam Cegukan

Pertanyaan

Ajukan seribu pertanyaan berbeda
Kuhanya miliki satu jawaban
Kuakui ini agak konyol
Tapi ini kekonyolan yang membahagiakan

Banyak pertanyaan tak terjawab
Terkurung dalam kerumitan filsafat
Menjadi teka-teki abadi
dalam tempurung ilmu-ilmu pasti

Tanyakan pada orang dungu ini:

Apapun pertanyaannya
Jawabannya hanya Cinta


Genangan

Di atas bukit, dalam temaram cahaya
sepotong rotiku mengering

Cinta tak akan mampu mengejar
dan menghunuskan belatinya ke lambungku

Tidak sebatang pohon nampak
Tapi burung-burung itu berkhotbah

Gerimis tipis
Langit tak tertembus

Hanya telah kuteguk racun
yang dititipkan Gila pada logika

Hanya telah kuteguk cinta
yang dititipkan Luka pada cahaya


Cinta & Propaganda

Ia telah berteriak demikian keras
menjadikan puisi seteguh intimidasi

Garis wajahnya leluasa
membentuk gugusan kasih dan murka

Aku bocah celaka, murtad dari
nujum kata

Aku mengosongkan gelas dan mengisinya dengan
detik-detik yang berguguran dari arlojiku

: Pikiran tak terkalahkan Tuan Kasmaran
menerangi setiap fase dari hidup yang revolusioner!*

------------
* diolah dari sebuah slogan



Sebab

Dengan punggung melengkung yang menahan
deraan ribuan puisi cinta

Dengan sisa nyala mata dan jari-jari gemetaran
Wahai, kekasih yang beranjak tua

adakah puisi mencampakkanmu?

Engkau hidup dalam angan-anganku
sebagai makhluk abadi yang menyihir
mata mudaku; menjadi selamanya buta

Aku mati-matian mempertahankan akalku
agar tetap waras. Namun tenyata,
kewarasan ada dalam cinta. Lain tidak.


Labirin

Aku mengira ini hanya bayangan
lampu berkedip yang memanjat
cahya matamu

buah-buahan yang manis
yang tersembunyi di dasar talam

betis tersingkap
di istana sulaiman

aku ketiduran di singgasana
keropos paling menjemukan: akalku sayang!

Terimalah jenazahku, Tuan
terombang-ambing dalam cuaca buruk kehidupan

Terimalah hayatku, Tuhan
tersesat di labirin cinta tanpa kesudahan


Hal Rindu

seperti pejam yang tak hendak terbuka lagi
begitu pun rindu
ia telah merenggut terlalu banyak, telah
begitu sewenang-wenang
menyita seluruh sisa nafasmu
dan memasang garis polisi: Dilarang melintas!


Cinta Dosis Tinggi

Aku menyintaimu dengan dosis
            yang tak dianjurkan

Jika suatu saat engkau “diambil”, simfoniku
akan terpana sejenak untuk kemudian

menemukan diri di samudera nada yang baru,
keluasan yang sungguh sebiru hatimu

Aku jatuh gila menghayati rute ini
dan akan semakin menggila sekalipun
            sekawanan titik bermaksud mengakhiri puisi ini


Sajak Post-Gatholoco

seorang kekosongan mengutak-atik
kata demi menemukan makna
ia harimau dalam belantara simbol

aku berada di luar rantai makanannya
menunggang udara masuk ke nafasnya
aku bayangan yang muncul di bibir danau

lalu seorang yang lain
menyamar sebagai idiot
yang membuat kesal seluruh puisi

telah membangkai teka-tekimu, manis
menurut dan takluklah
hidup mungkin cibiran yang berbalik arah

kekuasaan mencengkeram hingga sumsum
menangiskan aku
menangiskan Aku


Pengertian Kecil Tentang Cinta

Mereka pikir sajak cinta adalah soal kesenangan
Mereka pikir cinta adalah sekumpulan kata-kata
tak terkendali yang keluar dari mulut si pemabuk
Mereka pikirkan cinta sebagai langit yang terang benderang,
kicau-kicau burung, kebun bunga yang terawat baik

Cinta menghuni mimpi yang kau kenal dan yang tidak
Cinta meratapi rumah-rumah yang tawar dan yang bukan

Cinta, kerumitannya seperti:

ucapan terima kasih
yang tak terdengar telinga

dag dig dug jantung
merembesi udara

migrasi burung-burung tangkaran
dengan formasi terbang yang tak lazim

soal-soal kehilangan
dan pawai-pawai yang hidup dalam kenangan

Tak akan muluk-muluk, cinta semacam habitat
yang menyangga keberadaan kita
dulu, kini dan selamanya…


Nalar Cinta

Sebagaimana kekuasaan memiliki nalarnya sendiri
pun demikian dengan cinta

ia memiliki kelembutan
dan kekejaman yang tak masuk akal

sesekali ia membiarkan orang
mengatasnamakannya

namun tak segan-segan juga
memporakporandakan kebohongannya

cinta suntuk menulis puisi
namun juga terlihat
di tengah-tengah peradaban tinja

maka berbaiatlah
dan hidupmu akan terkepung oleh cinta!


Lengkap

Terang masih terlipat dalam kelopak matamu saat
ciuman riangku bersidetak bersama putih kematianku

Aku telah mencemaskan banyak hal dan aku ingin
tidur di palung luka, hampir-hampir

menyerupai semua kebebalan yang pernah
berteduh di dunia. Aku mutiara cacat dalam

cangkang durjana. Masihkan anggur merindukan
lambungku? Masihkah televisi menyalakan aku?

Jauh malam, lumba-lumba murung dalam jiwaku
melukis laut yang patah: ia telah memanfaatkan

sejumlah warna yang akhirnya menyesal pernah
menjadi dirinya yang sekarang


Nekat

Langit mungil yang bergantungan pada
tiap tetes air hujan, memekarkan kita

menjadi sepasang gelap-terang
menguncupkan kalian menjadi

semesta kesepian!

Gesekan ricik air menggotong 7 lautan
senantiasa

memperkarakan kerinduan
yang berkecambah ke segala jurusan

diam-diam kita nikmati kegaduhan manusia:
hasratnya, gejolak darahnya, penyesalan-penyesalannya

kita menulis ulang sejumlah ingatan,
sejumlah lupa dan kekekalan

lalu dengan murung menawarkannya
kepada pelacur-pelacur yang tercampak di jalan


Terlewat

Seruling kesepian berbunyi sepanjang malam
Burung-burung hening mengepak ke tik-tok jam

Sehelai demi sehelai rambutku akan bersimpuh
di kening salju

Dan di pusat nafasku, sehengal demi sehengal
asmaku akan membelatungi kekaisaran waktu

Aku bersandar di pohon kekasih,
sebatang pohon dengan takdir: terbakar

Di sini nanti seorang pelarian
menemukan tangannya seolah bercahaya
dan tongkat gembala di genggamannya
dapat merayap
seperti sejadi-jadinya ular

Aku menunggu
dan memelihara debar

Namun aku terbangun
ketika segalanya telah berlalu


Lengang

luas langit luas cinta
berlapis-lapis kangen
tersedak sepanjang ketika
memikirkanmu yang memikirkanku

bahasa jutaan warna
aku terpukau dalam keasingannya
tersedak sepanjang ketika
neraka dan surga lebur karena asmara

serpihan aku
masuk ke seribu daging
terbata aku mengeja kata
melulu memanggilmu belaka


Airmata Keabadian

Kami menyebutnya: airmata keabadian
Kekasihku, pipimu kelewat kelam
Segenggam salju yang kepadanya
dihembuskan ruh selaksa burung
Cinta merangkak mengitari keputusasaan
memungut pecahan waktu dengan mulutnya

Kekasihku, inikah surga kecil dengan gemerisik
khuldi merah bermekaran?
Kita belum lagi berpandangan, namun terasa
getaran daging dari kekosongan
Rindu dan impian hanyut
ke muara antah berantah

Waktu telah lengang
Telah kudus pengkhianatan
Aku berdiri bimbang


Cinta & Kebenaran

kamu bisa memonopoli kebenaran
dengan uang, senjata atau lidah yang pandai
kebenaranmu mungkin bisa bertahan
beratus-ratus tahun lamanya
dielu-elukan oleh banyak manusia dan
direproduksi dengan efektif oleh mesin-mesin propaganda

kebenaranku barangkali tak banyak gunanya
kebenaran yang tumbuh terengah-engah dari cinta

aku terbiasa melihat hari-hari tanpa harapan
aku terbiasa menatap hari tanpa cahaya
kukatakan, mereka agak senewen setiap kali disebut
            nama cinta

lupakan saja, toh ini hanya puisi bualan
di hadapan kebenaranmu yang perkasa


Cinta & Kemiskinan

mungkin cinta
seagung perasan jeruk
yang melewati kerongkonganmu

biar kuperjelas
ia adalah kekupu
yang kepayahan
menuntaskan metamorfosa

rasa sakit
yang berhamburan
dari rasa takut

keheningan nampak terpusat
aku akan membiasakan diri

cinta, bicaralah padaku
perihal
persalinan paling meditatif ini
bicaralah padaku

jangan biarkan aku mengalami kebingungan musa
seperti saat menghadapi khidir


Terbuka

Cintaku yang fana, wahai cintaku yang fana
Pelayan ceroboh yang menumpahkan supnya ke
            pangkuanmu

Keajaiban berkembang berlipat-lipat
Tanpa pamrih menanggungkan dukaku

Firdaus kelabu
yang bercabang ke mana-mana

Sungai tak berujung
yang sekali berujung

berujung pada pengertian
akan mata yang tak tertaklukkan

Seluruh kebutaanku kini dapat kutanggungkan
Bunyinya semirip hu

Dan itu secara harfiah berarti
“Aku terbuka lebar!”


Tak Tertolong

Kadang kita minta tolong
            pada orang yang salah
Misalkan kita berkata: “Tolong cintai saya!”

Demikianlah kita menjadi tak tertolong
oleh siapa pun
Tidak juga oleh belas kasih diri sendiri

Kita hanya menghafal lirik lagu
yang dilantunkan kesedihan

Pohon terbakar
yang tak menyisakan nubuat

Sepasang sepatu
yang terbawa ke tempat tidur

Kadang kita minta tolong
pada puisi yang salah
Misalkan kita berkata: “Tolong hanyutkan saya!”


Apakah Aku Mengenalmu?

Kadang aku merasa waktuku tak banyak
terperangkap antara ingin dan tak ingin
membagi kesunyianku

Tahu-tahu aku telah menempuh jalan lain

Merasa rindu tak akan segesit dulu
ketika lamat-lamat kau hadir di ujung jalan

Aku telah menjadi orang yang tak kau kenal
Terseret pejalan lain

Tapi, apakah aku mengenalmu?

Aku hanya pejalan
Tunduk
Dan mengorek-ngorek pada imperium lupa
Hal ikhwal kita
Sambil sesekali kulirik bayang-bayangmu
Dengan atau tanpa membetulkan
letak kacamata


Di Stasiun

Kereta melaju
engkau menjauh
tapi tertangkap
rel berhamburan
jantungku ikut
Kesepian menendang hujan
orang-orang melintas
tidak kembali
sekalipun dalam ingatan
stasiun, hantu, cinta
saling menyinggahi
pluit, lambaian, gegas kaki
seperti ingin menyesali


Selebihnya Kau Tahu dan Gemetar Merasakan

Seperih jemari tersayat pisau sewaktu mengupas buahan
Senikmat darah meleleh tanpa terasa saat mata
terpaku melewati lusinan abad
Apa kabar koki yang disalib?
Apa kabar ayah yang buta yang terus menangisi?
Apa kabar perigi tempat seorang anak pernah merintih?
Bukankah gelap tempat bintang menganyam sarang
dan cinta tak sepenuhnya untuk penyesalan


Binatang Cinta

Binatang cinta
Ia berjalan, tidur dan melestarikan diri di
bumi kecil yang merupakan kandangnya
Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil,
menghabiskan makanan, bergosip ria, merayakan
hal-hal remeh sekedar memelihara ketakjuban
Binatang cinta, dari yang jenaka hingga yang berangasan,
selalu pernah bermimpi dapat menerobos kandang
pergi dari dirinya untuk menjumpai yang entah
pergi dari mimpinya untuk menemui yang lian

Di sini hanya bayang-bayang, yang kadang
lindap, kadang berpendaran
Sebenarnyalah ini kandang terbuka, dan binatang cinta
punya garis tangan sebagai penjelajah
untuk menemukan benua baru di belakang kematian


Meleset

Aku tidur sebagai cinta dan terjaga sebagai rindu
rambutku tumbuh lebat melampaui keakanan
Kubiarkan tak terawat seluruh penyesalanku
setelah segala yang masuk akal menderaku

Tak pernah dapat kulafazkan namamu
Aku memanggilmu dengan nama yang selalu meleset
Celakanya, ini selalu menjadi pembuka
dari kitab guyonan kaum pemuja rahasia

Aku belum lupa cara bahagia
selaik Kun, lalu tiba-tiba hampa


Terusir

Kata cinta: Kamu orang terusir!

Saya bilang: apa boleh buat
akan saja jalani hukuman ini

Kata cinta: Kamu orang terusir!

Dan di sini
Saya selalu ingin dekat
dengan pepohon

Hei, di mana ujungnya sungai ini?

Kata cinta: kamu orang terusir!

Teraba rusuk, patahan Alif
kupandang langit: Aneh, masih

kuperkarakan keadilan
di hadapanmu, sang maha kepayang


Di Tepi Gua

Di tepi gua
Di tepi pelupuk mata yang berair
Sekuntum bunga liar menjelma sabda
yang tak terucapkan ketika menggigil
yang mekar tergesa demi mendapatkan satu pelukan
Namun aku tersesat
Aku menderita karena sekonyong-konyong terserap
oleh bintang agung dalam mimpiku
cahayanya merontokkan lautan
dan sekujur bibirku berjaga-jaga
dari seluruh igauan kekal tentangmu

Aku meluapkan kegembiraan yang bebal
secara nyata
Dalam bayangan pemain kecapi tak dikenal
yang tersungkur di rawa dangkal


Mata Tertutup yang Mengangankanmu

Mata tertutup yang mengangankanmu
Sebidang hening padang rumputan
mengirim lemah sinyal gelombang
makhluk-makhluk berdimensi lain, dari masa lalu,
berlarian
mereka tumbuh ke belakang, mencipratkan
kekosongan
anjing gila dari rasa cintaku

Mata tertutup yang mengangankanmu
Sebidang padang rumput hening
Hembusan nafas malaikat yang lembut
Sebuah lorong dalam tanah
Sebuket langit
dan mantra tertahan dari kasmaran


Tiba-tiba

1
cinta berlutut di perbatasan harapan dan prasangka
kita meniupkan ruh baru seperti tanpa sengaja
lalu Kata
dan tiba-tiba aku ada di luar

lalu sesuatu yang lain
yang bukan aku, mendesak ingin dikenal
lalu Nama
dan tiba-tiba aku ada di dalam

2
aku memiliki ingatan yang buruk dan tatapan
yang agung
kuhancurkan jendela demi menyeret masuk
sepasang sepi: sepiku dan sepinya
hanya nasib baik yang meredakan amarahku
dan serenggut rindu
lalu Rahasia
dan perlahan-lahan puisi ini Tiada


Tutupan

Sang Maha Penyair dalam diri
yang merelakan kebaikannya untuk diakui
yang meminjamkan hatinya bagi sebait puisi

sempurnalah bayangan cinta
telah jinak ia dalam sangkar-sangkar bahasa
dan kini mengendap terbang
menyerbuki kehilangan demi kehilangan

pemilik rindu dan cemasku
kulemparkan mereka dengan bahagia

aku kembali
tanpa satu pun atribut

Kau bertanya:
siapa datang kepada siapa?

tersipu Aku, balik bertanya:
ah, siapa bertanya kepada siapa?


Kelilipan

aku kelilipan
aku mengucek apapun yang tersirat
dari semua kehilangan
sesekali menunggu cemas reda
di suatu tempat yang terlihat dari semua sisi
oleh semua rindu
akulah kerindangan
yang dimaksud hati yang rimbun adalah hatiku
aku batu seluas pelukanmu
luarnya hitam, dalamnya ragu
Kupikirkan sejurus hujan
menyala seperti mimpiku
tak tahunya itu kamu!

kamu: sebuah pesan rahasia
sekumpulan insting, seperahan bahasa


Dongeng

Aku masuk ke sebuah dongeng dan menghuni
sebidang kolam

Aku hidup bersama kejanggalan cerita dan
si pengarang pikun yang berulang menanyakan:
“Apakah tanda tanganku sudah dibubuhkan?”

Tentu saja belum
Kabut terlalu berlapis dan selalu melarikan
tanda tangannya ke negeri kesedihan

Aku berudu di musim kemarau
menunggu kecupan tak bertanggung jawab
dari putri yang ditidurkan

“Gerahkan di luar sana?” tanyaku iseng suatu kali

“Itu pertanyaan menjijikkan,” jawab pengarang ketus,

Kita hidup dengan kenyataan pahit masing-masing
Kita menangis dan berharap dapat terbebaskan
Itulah sialnya, di atas pengarang masih ada Pengarang


Meditasi Palestina

Suara teredam yang muncul dari gambar
anak yang main ceburan darahnya sendiri
riang gembira memasuki ruang meditasimu
Tubuh telah tercerai, ruhnya utuh mengecup kita

Wahai pemilik dawai emosi kami
musik apalagi yang kausuguhkan kali ini?

cinta tumpah ruah
dari hatimu
dari hati kami

tangan kami mengepal
kemarahan kami mengental
dan cinta kami menyeberangi segalanya

Jangan merasa lebih berdaya dari puisi
yang deras bercucuran bagai doa
dari seorang kekasih


Malu

sebuah bisikan lembut
menghampiri fakir
di pekat kesunyian

sebuah bisikan lembut
yang keras seperti tamparan

fakir terjengkang duduk, lemas dan takut
fakir teramat kotor dan merasa
selama ini hanya terkelabui
kosong angan-angan belaka

: “Cintakah kau namai
Aku sakit tidak kau kunjungi
Aku lapar tidak kau kenyangi
Aku lemah tidak kau lindungi
Aku tertindas tidak kau bela-i
Aku miskin tidak kau kasihi
Aku dingin tidak kau selimuti
Aku merintih tidak kau dengari
Cintakah itu kau namai?”

Di mana sebenarnya kau tinggal, Kekasih?

Di sini, di depan matamu
Di dalam realitasmu sendiri


Ketika Dunia Tinggal Cerita

Ketika dunia tinggal cerita
Kusuluh obor, obor yang entah menyala

Ketika dunia tinggal cerita
Kususur sungai, sungai yang entah berujung di mana

Ketika dunia tinggal cerita
Kupejam mata, mata yang mengucurkan doa

Ketika dunia tinggal cerita
Kuseka cinta, cinta yang barangkali meng-ada

Ketika dunia tinggal cerita
Kuseru rindu, rindu yang amat sahaja:

dari pelukanMu, kembali jatuh ke pelukanMu


Cinta & Kelas Sosial

Kusendok kuah sup basi
dalam kerja 25 jam
Orang kaya pergi bersenang-senang
membayar orang menulis puisi berisi ejekan
Jam berdenyut di jantung waktu
Perpindahan hari ditandai hujan
Festival menyala di jalan-jalan
menertawakan kemarahan

Kenapa ada cinta yang urung menjelma tamasya,
yang bukan percik-percik ekstase kaum mistika,
tidak dijual dalam novel dan sajak cinta,
tidak dilirik industri perfilman, tidak
sebelah matapun
Ia hanya bunker terakhir
yang digempur rupa-rupa kekalahan

Dalam rasa kantuk yang berat
kerjaku semakin padas
kuserahkan ragaku sepenuhnya
pada kedalaman kelelahan
Sedang janin-janin masa depan
menggeliat di tanganku
mewarisi kekalahanku


Ode Kepada Orang Biasa

Aku terkagum-kagum dengan orang biasa
mereka sulit diingat karena
ciri-ciri mereka terlalu umum
mereka hidup untuk dilupakan
sedang kerjanya sekedar ikut-ikutan

Jika pemimpinnya orang baik
mereka baik
Jika pemimpinnya penjahat
mereka tertular jahat

Dalam kurve normal, orang biasa menempati
wilayah yang paling luas
Hobinya bergerombol, agak sok tahu, tapi
sebenarnya penakut,
akalnya petasan, tergantung siapa yang menyulut

Aku terkagum-kagum dengan orang biasa
kuburan mereka tanpa peziarah
nama mereka tidak dielu-elukan
mereka tak punya tempat dalam buku sejarah

Lihat nisan-nisan dan nama-nama tanpa makna itu
Bahkan setelah mati pun mereka masih ikut-ikutan
Mereka hanya si tukang copy-paste
Namun kepada merekalah ode ini kupersembahkan


Cinta & Radikalisme

mereka pahlawan
bagi ideologinya

kita semua pahlawan
bagi ideologi yang keras kepala kita yakini

martir-martir berjatuhan
sebagian kita kenang, sebagian kita lupakan

garis demarkasi telah ditetapkan
bagi dunia yang tertata,
bagi dunia yang bisa seenaknya

memelihara disharmoni, di luar sana
untuk mempertahankan harmoni, di dalam sini

persis cara kita
merawat lupa dari kenangan
atau
menjaga “jaga” dari tidur-tiduran

“darah kembali,” bisik malaikat
di teratak tinggi

hembusan wahyu
melompat dari bentang alam
masuk ke benda-benda rekaan

aku memungut remah cinta
dari roti besar kebencian
mengemis dari puisi ke puisi

keadilan telah membangun rumah utopianya
kehampaan menghancurkan garis cakrawala
dan kerinduan, bolak-balik menyarangkan kita
keluar dari makna “sekedar” manusia

aku berbicara dengan kakiku sendiri
yang telah menampakkan tanda-tanda keriput dan
kelumpuhan: lakukanlah!

Pada kenyataannya ini bukan tentang jalan
tapi tentang “terperosok” ke dalam Pikiran Asali


Iqro

betapa kelam sebuah tatapan
betapa panjang kematian
begitu pendek puisi

sebuah rengekan yang kurindu
lamat-lamat tentang rayuan
sebentar-sebentar kata-kata pengusiran:
perpisahan  yang menyesakkan

sebuah bukit batu
di mana aku tak ingin beranjak

betapa lelah perjalanan
betapa tidur kurindukan

telentang memandang langit malam
jagat raya kemahku

aku telah belajar melupakan
firdaus dalam ingatan
sebuah usaha sia-sia yang cukup berarti

pohon, bukit, dan kini gua
aku terpejam menahan bentakan


Cinta Lagi

Puisi lagi
Cinta lagi

Apa kabar kematian?

Sebuah jejak
saling bersilangan
saling bunuh
saling berpelukan

di dinding rumah
di batang pohon
di atas ayunan

pada daun yang jatuh telungkup
kuhitung denyut rinduku
yang kini
telah tak
berkesudahan

Puisi lagi
Cinta lagi
Kekekalan lagi


Lepas

cinta artinya melepas
ego sehingga
kebahagiaan yang lebih besar
bermukim di hati dunia

kita telah menyaksikan
hati yang rela
yang terpancar dari senyum dan
air muka

tapi bukankah pecinta
telah menjelma manusia
dengan kegelisahan abadi?

surga-surga kecil yang tak lagi memadai
ribuan pertanyaan dengan tanda tanya besar
kegilaan penderitaan yang tak tertanggungkan

dalam maha-sakit kusaksikan kewan melesat
dari tubuh jelataku
pergi ke dunia liar-tak dikenal yang didambanya


Mantra

bunyi dan kata telah bersekongkol untuk
            menduduki emosi kita
sebuah rencana kup telah dimatangkan

kita duduk cengengesan di taman bahasa
menunggu penyamaran ular, seakan pasti

kita telah menjahit daun
untuk aurat di bawah sana

slama menunggu
kita ditemani televisi

dan tertidur
ngorok sekali

3 milenium berlalu
almarhum televisi masih di situ

rupanya ‘ular sawah’ sudah datang; tak bisa lama-lama
ia cuma menitipkan puisi, secarik

pendek pesan: baca 3 x sehari
dan tunggulah keracunan




Kenapa

Kenapa cinta dan menangis begitu dekat?
Kenapa?

Kenapa sakit rindu demikian berat?
Kenapa?

Kenapa ‘tatapanmu’ demikian melumpuhkan?
Kenapa aku seperti hewan malang
            yang diam-terpaku di hadapan pemangsanya?

Apakah puisi bisa dilanda kasmaran
saat ia gemetar kubacakan?

Dan apakah aku di dirimu
selalu mengeluhkan tentang keberadaanku


Cinta dan Kematian

Cinta dan kematian telah demikian
akrab. Dalam diriku tidur sepagutan
(mereka) sama-sama terdampar
di halaman mimpi yang esa

Di lautan, pohon-pohon khayali tumbuh berbilang
akar-akarnya mencengkeram perahu merayu gelombang

mataku berbinar memandang ketiadaan
apakah Asmara bersedia disalahkan?

Aku makan satu meja dengan seribu kesedihan
memikirkan dengan rendah hati satu kebahagiaan

Kemejaku tidak sepenuhnya rapi terkancing
Aku bergegas pergi ke pestaMu: suatu

tempat di mana cinta dan kematian
tak dapat dibedakan


Cegukan

Aku hanya ingin berhenti berandai-andai
Menatap kekosongan yang terus meluas

Merasakan denyut langit saat tertunduk
Begitu tak terhindarkan dari ingatan kepadamu

Hembusan nafasku menjalar hingga ke dalam puisi
Nampak meragukan

Cinta, apakah itu semacam cegukan?


Tentang M. Nahdiansyah Abdi
Orang ini lahir di Barabai, 29 Juni 1979. Kumpulan puisinya yang pernah terbit: Jejak-jejak Angin (2007, bersama Hajriansyah), Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air (2008), Pewaris Tunggal Istana Pasir (2009), Buku Harian Pejalan Tidur (2010), dan Nun, Kota (di) Tanah Rawa (2014, bersama Sandi Firly dan Hajriansyah). Cegukan (2016) merupakan e-booknya yang kedua setelah dari edan, oleh edan, untuk Eden (2015).


Catatan Lain
Saya mengerjakan kumpulan puisi ini untuk menandai 10 tahun usia pernikahan kami. Ebook kali ini, untuk format pdf-nya juga disertakan scan tulisan tangan. Tidak melulu sama persis dengan hasil ketikan, kadang ada yang berubah, yang dicorat-coret, yang bolak-balik diganti kata-katanya. Awalnya mau 22 puisi saja, biar sama dengan 22 Januari-nya. Tapi ternyata stoknya rada berlebih. Ya tak apalah. Terima Kasih Tuhan, atas selesainya pekerjaan ini, itu imbalan yang lebih dari cukup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar