Laman

Tonggak

Senin, 04 April 2016

Imam Budiman, Muhammad Ansyar, Zian Armie Wahyufi: TERIAKAN BISU




Data buku kumpulan puisi

Judul : Teriakan Bisu
Penulis : Imam Budiman, Muhammad Ansyar, Zian Armie Wahyufi
Cetakan : I, Agustus 2011
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin.
Tebal : vi + 74 halaman (60 puisi, @ 20 puisi)
ISBN : 978-602-8414-08-1

Beberapa pilihan puisi Imam Budiman dalam Teriakan Bisu

Sajak Amtsilati

benarkan letak kopiahmu!
kantuk merayu, bawa ke belakang dengan seriak lumuran setinta
wudhu

seperti biasanya malam di sepertiga arah pendek jarum jam separuh
menengadah ke arah kiri
tepat detik terakhir angka enam terbalik
bersama menuju mushalla dengan sisa iringan tawa yang belum ter-
tuntaskan semenjak memijakkan
kaki ke luar asrama
ada yang menyembunyikan terompah kawannya
ada yang mengomel terkena jadwal mengambil segalon air panas di
dapur
malam-malam begini!
ada juga yang menyerapah sendiri dikarena kitab Ta’lim yang tak
kunjung temu
kegaduhan yang menguak; bercampur menjadi keributan yang
membuatku tersenyum lucu

benarkan letak kopiahmu!
kantuk merayu, bawa ke belakang dengan seriak lumuran setinta
wudhu

tersandar lelah berpencar ke pojokpojok sudut rumah Tuhan
saling bertatap hadapan; tak bercakap, menggerutu, bergurau sia,
apalagi bercerita ria dengan ceritacerita konyol murahan
kami riuh menyetorkan hapalan, kawan!
meluapkan segala ingatan sesuai kesepakatan perjanjian yang per-
nah diikrarkan dulu
sebelum dijamakkan dengan sebuah ruangan khusus
asrama amtsilati para santri sering menyebutnya…

harus berapa kali kukatakan?
benarkan letak kopiahmu, apa tak sadar sudah sembilan puluh dera-
jat termiring kiri?

maka, lepaskan segera jerat kantukmu!
kakak pengajar datang kakak pengajar datang
sebelum beliau mengajari kita pada bab ke lima sedangkan kau meno-
pang kantukmu
dengan berdiri di tempat

Setengah sadar, 30 April 2011



Pemberian

Mengakui ketidakberdayaanku menjadi penyair seumpamamu, kawan
Piring melamine orange – yang biasa kubawa ke ruang makan – kutulis
Kain sasirangan hitam terbeli di hiruk pikuk Batuah Martapura kutulis
Hadiahmu pun:
Peci hijau berbuntut tipis kutulis
Kemeja putih yang kautitipkan kutulis
Gantungan kunci “yaa tariim wahlahaa” kutulis
Jam beker senandung adzan kutulis
Peci putih berkilat sinar – ukuran yang kekecilan kutulis
Dua bungkus gado-gado rasa cinta (hah?)
Sebungkus kusantap lahap; sebungkus lainnya kuberikan teman-teman
Kekenyangan!
Surat besar-kecil pengap kusimpan rapi
Lihatlah! Mereka kini bersama hangat dalam kitab Assyifa
Ada lagi?
Sudah, jangan kirimi aku yang macam-macam
Berikan saja dengan kenanga pinggir sungai
Tentunya nyanyinya kan getarkan seiisi penghuni raga
Berikan saja padanya
Ya?

18 Juli 2011


Sajak Perpisahan

Banyak yang ingin kupahat
Di dinding batu
Di atas senja yang enggan menyapa
Tentang serantai kepedihan hati
Tiada tumpuan punggung
Tak rebah bahu
Tuk saling bersandar
Kita yang memilih untuk berbeda
Lalu, siapa yang akan kau tuju?

Tiadakah sadar?
Jika berlabuh pada mimpi
Akan membuatmu mengakui sesal
Mungkin tidak sekarang
Mungkin esok
Lusa
Besoknya besoknya besoknya

Atau entah kapan
Sampai akhirnya
Kau akan memuja elok
Pada robekan kalimat usangku
Kekasih…

16 Oktober 2010
(Banjarmasin Post, Minggu, 17 April 2011)


Irama Sempoa Malam

seperti sepi
merdu rembulan senandung sajakku
tak peduli ramai ocehan awanawan
bersembunyi dalam pekat
indah manisnya pudar

seperti sunyi juga seperti malam terhampar
semak tua nan berseri
tawa yang mengantuk
senyum tak mampu goreskan
memanjakan sedih
buat penyesalan semakin sesak
sudahlah, sudahi saja
detik jarum jam begitu ria ejek memaki
apa kau tidak malu?

adakah terlewatkan?
tentang sepetak riang yang terlupakan
tatkala tepinya kita yang lukiskan
cerah sewarna
kelap hijau rindu dedaunan
pun aroma sedap malam
rona lambainya lincah menari-nari
di sini, pada sebait syair malam

Desember 2010
(Media Kalimantan, Sabtu, 2 April 2011)


Serumpun Kerinduan

serumpun padi menuntun rindu
mengangguk senja pada ilalang
molek bintang tak terlampaui
senyum bidadari; sentuhan jemarinya
tetap tergantung dengan keindahan
dikarena langit tak lelah ungkapkan
meski sesekali mengeluh
mengusap peluhnya
membiaskan ke wajah pelangi
namun, setia bertopang di pundak
keluasaan

serumpun padi menuntun rindu
menunjuk tanya pada belalang
adakah yang mampu menjawab?
tak seorang pun!
jika jenuh ikut bernyanyi
sementara rindu kau tumpuk bersilang
pada balok-balok not yang kosong

serumpun padi menuntun rindu
sekalipun hati menyusun pilu
entahlah…

Naung kesunyian, 11-10-2010
(Media Kalimantan, Minggu, 27 Februari 2011)


Nyanyian Arti

terangkai rongsokan kata
pun terlupa sobekan kalimat
semu hening ketegangan waktu
namun, terus kata ungkap berucap
meski tinta tlah lelah mengalir
sejatilah tutur menemani
tatkala hati rona merajut semi…

terangkai rongsokan kata
pun terlupa sobekan kalimat
tanya tenggelam mendayung rindu
bukankah riang dhabit ceritera?
luapkan suka nan bersilih dahulu
beralih temu…

terangkai rongsokan kata
pun terlupa sobekan kalimat
hingga kini; mengapa henti?
rangkap meratap rundukkan sepi
jenuh mulai sigap hinggapi

dan masih diam tanpa arti
hingga surat keraguan menepi
sudahlah, laguku tak untuk kau senandungkan…

Malam sunyi,  18 Mei 2010
(Media Kalimantan, Minggu, 2 Januari 2011)
Nb. dhabit = kata yang saya garis bawahi ini mungkin maksudnya habis, mungkin juga tidak.


SMS

To : 140794231294
– Seperti biasa, malam berlalu dengan seenaknya –
Sungguh, aku tlah mencintaimu melebihi purnama yang kusebut
rembulan lima belas
Hanya itu.

Message delivered…


Bapak

Kuyakin air wajah bapak kan lebih purnama dari semburat cahaya
manapun!
andai petaka batin tak menimpa
tak terperikan sebelumnya
setahuku, kebahagiaan takkan terbeli sepeser, setumpuk intan per-
mata yang kau milik
dan ketika ia singgah dalam jangka waktu relatif singkat, sangat se-
bentar
dirinya pun terengguti ketidakadilan yang entah dengan siapa ku
harus menuduhnya

lalu biarkan bapak tersenyum dalam…

meski keinginan diri menolak keras dengan putusan cara membaha-
giakan bapak
: Ibu baru
huh, entah apa jadinya!
aku diam

keterpaksaan, Juli 2011
(Banjarmasin Post, Minggu, 31 Juli 2011)


Setaman Tasydid

kususunkan di lekuk segulir pepatah dhommah
terjerembab letih dalam lingkar peraknya
luruh memangku pertanwin kita di sana
pada fathah yang renggang menopang keatasnamaan kita memeluk
keretakan hidup
dikarena rapuh tegaknya bertahta meraung
sepertinya akan merajuk
sedangkan kau sibuk menanyakan segala sesuatunya
di tamanku; di taman tasydidtasydid

kini sebongkah jazam rintang menghadang
bagaimana dengan kau?
membuat tutur berpikir semakin sulit menjawab
hanya dalam kemenangan i’rab
padahal serafa’ kuasa teruntuh lantakan
menjepit diri; nafas yang tlah fasalkan
sampai di sini?
esok, sampai hari ini?
mungkin saja

tanpa ada mad yang hapus terintik berpatah-patah
dua jawab ujung kalimat
umpama kita dalam gurauan kecil
serobek roti kerinduan terbagi dua
rombongan teh manis pun nasyidkan berlagu ria
gemulai lantunkan fa’ilun mafa’ilun mendayu
tentu kau pun juga mengerti…
menarilah!
dalam euphoria keindahan yang mengatapi segala haru

kembali sunyi meremang tepi
gerik fi’ilnya selangkah mundur menjauh perlahan
jangan peduli!
bukankah tlah riang dzauq kita saling bercengkrama
hingga tiada yang rela mendukaNya?
jika tetap inginkan, baiklah
dan cukup akhiri teruntuk hari ini

Kabisat dua, 28 Februari 2011


Beberapa pilihan puisi Muhammad Ansyar dalam Teriakan Bisu

Sangat Berarti

Cahaya mati
Dalam dimensi lain

Gemuruh bersama bagai musim
Sesal ditelan ranting-ranting sepi
Membuat hatiku habis

Jejak-jejak mimpi kita
Semanis senyummu yang tak bisa pudar
Hatiku sakit mengenangnya!

Bayangmu tak ubahnya senja
Tebarkan beribu nuansa
Tak pernah habis menawan rasa

Remuk dada memanja pagi
Meski hujan telah reda sebelum dingin…

Memang bukan seperti mentari
Engkau hanya pelangi
Namun sangat berarti…

Penjara Suci, 12 April 2010


Berhenti Mencari Rindu

Aku tak pernah mencari
Dirimu dalam sudut mataku yang merah
Sebab kupastikan,
Kau takkan ada di sini
Untuk mengantar tidurku
Walau hanya suara

Aku tak pernah mencari
Dirimu dalam malam sunyi
Sebab aku tak ingin,
tidurmu terusik
Oleh rinduku yang mungkin tak menyentuh hatimu

Aku tak pernah mencari
Meski nuansa semakin pilu
Namun hatiku tak bisa diam dan terus gelisah
Mungkinkah kita hanya berdoa
Sedangkan jiwa telah lemah karena rindu

Penjara Suci, 22-09-2010


Mozaik Biru

Burung-burung berpencar
di langit biru rendah…
Takbir bergema
Darah berdendang
Diselingi belaian angin manja
Menghutang senada doa
Menjadi sayap malaikat
yang naungi dunia
yang jinakkan resah
Sungguh kan kubawa hati ini menujuMu
Mengadu kehabisan daya
Sebab dosa yang terpupuk telah baka
Terukir sesal lewat masa
Mengikis mozaik mengharu biru menjadi asa
“Allahu Akbar Wa Lillahilhamdu”

17 November 2010


Suara yang Tersesat

Sebagai ombak yang mengayun lanting
wujudmu terpencar menjadi riak dan hening
lingkup langkah-langkah yang terkulai
begitu diri berayun menyepi
terseret gelombang,
tersesat di antara buih yang letih

sebagai salah yang menanti duri
senyumnya melimpah damai
ulur tangan lembut di sisi menyambutku yang hempas tersingkir
dan pontang-panting dihajar badai
“dia yang menangis,
aku yang pergi”
dia yang menanti dalam bunyi danau yang kering
dia yang menanti di balik dermaga bisu yang berdesing
tegakah aku merusak senyumnya lagi?

sebagai bilik yang menampung duri
tak pernah terkiaskan dalam memori
antara kita yang bergelut di celah ini
ah, bukan kita, cuma aku di sini
menyendiri dalam getir

seperti metafor yang kau kias dengan sepi
begitulah mentari yang murung hari ini
seperti elegi yang ia lukis dengan tangis
begitulah awan yang kusam hari ini
dan hujan pun menghapus pagi dengan dingin
mengubah nuansa hari yang kita jalani
sungguh, semua tak akan sama lagi
di ruang ini bukan hanya kita,
ada mereka yang tak pernah mengerti

10-10-2011
(Media Kalimantan, Sabtu, 14 Mei 2011)


Sakura di Padang Pasir

kutatap pagi seperti senja semusim
hindari degup yang terucapkan
meradang bagai menelan pasir
tak bisa mengata apa-apa
hanya mengharap diri kembali
naas pergi dalam mimpi saja
sedangkan hati adalah sakura di padang pasir
“ternyata kau hanya keajaiban yang merayu”
tersesat terlalu jauh memasuki hidupmu
membuatku mengerti:
“tak ada seorang pun  yang akan membiarkanmu menangis”
senyummu yang damai
serta pandangan matamu yang teduh
adalah surga dari semua degup yang kugantung
lukisan abstrak di wajahmu itulah yang telah menimbun lukaku!
namun engkau
adalah obat dari luka itu sendiri
bagaimana aku bisa menjauh
sedangkan luka ini kian parah
lalu harus kuapakan ragu yang mendarah daging ini?
kumohon padaMu ya Rabb
jika rasa ini salah hapuskanlah
buat aku lupa
karena perasaan ini sangat menyakitkan
kumohon padaMu ya Rabb
jika rasa ini benar mudahkanlah
buat ia mengerti
karena aku mencintainya dengan sabar

2 Juni 2011


Jalan

Jalan menuju kesepian
Jalan menuju kesedihan
Jalan menuju kesengsaraan
Selalu terbentang di sana
Tempat biasa dirimu belajar berputus asa

Jalan menuju keramaian
Jalan menuju kesenangan
Jalan menuju ketentraman
Selalu terhalang di sana
Tempat biasa dirimu belajar berputus asa

Entah siapa dalang
dan ternyata kaulah wayang

Bodohnya;
Cepatlah bangun!
menjauh dari sana
Di depan, di depan ada nirwana

27-07- 2011


Puisi untuk Orangtuaku

Itulah ketakutanku Ayah, Ibu…
Yang datang bak gelombang besar
Yang alpa karena hasrat begitu nakal
Andai aku bisa jujur
Air mata tidak mungkin gugur
Namun di situlah tubuhku, begadang sepanjang malam
demi menyisipkan imaji dan rindu
Pada kebebasan yang tampak jauh
Pada keramaian yang tampak kabur
Malam ini, di awal Ramadhan tahun ini
Kutahtakan lagi nasehat-nasehatmu
Janganlah marah padaku Ayah, Ibu…
Karena hati anakmu ini begitu rapuh

31-07-2011


Ambigu

adakah mengerti bahasa rapuhmu kupu-kupu
walau dua bunga tak mampu mekar layu
biar saja bunglon asyik dengan samaran palsu
toh, tetap tampak beda wujud dengan kayu

adakah sadari bahasa rapuhmu kupu-kupu
walau menjadi wujud Ca-Nu
baik sebelum semua sayu
tetap saja jejak luka bagiku

kupu-kupu tetap rapuh
meski terbang tinggi kan jatuh

menjadi bunglon antara mata manusia
bagai kesan tak berguna

tetap saja bahasa rapuhmu kupu-kupu
tatap bunga-bunga layu

Binuang, 25 April 2011
(Media Kalimantan, Rabu, 18 Mei 2011)


Kau Memaksaku

kau memaksaku mengemas ilung
sampaikan pesan untukku
lewat mawar di belakang lantingmu
apakah belum terkena ombak?

kau memaksaku mengemas ilung
sematkan mimpi untukku
lewat lubang di jukungmu
masihkah karam pabila senja?

kau memaksaku mengemas ilung
bukan elang yang menatap pusara

01 Juni 2011


Beberapa pilihan puisi Zian Armie Wahyufi dalam Teriakan Bisu

Banjarbaru-Marabahan

Jalan pulang lebih panjang
Di sini musim tak mau berganti
Kami lahir, lalu mati
Sawah kami terbakar darah
Sawah kami tak juga berbuah

Jagaku tergopoh, ke hutan yang kosong
Ingin hujan lekas bertemu: aku rindu

Sepasang sepatu
Masih mengecap peluhku
Bagaimana dengan tanah dan lumpur yang menuakan kita?

Ada yang bergemeletuk
Ada langkah tersaruk
Lampu kota dinyalakan
Kugilas busuk di lembaran-lembaran koran
Aku keluar rumah
Ada pekat
Ada suara menyalak
Di lazuardi, batas kota semakin samar…

Mandastana, 17 Juli 2011
(Media Kalimantan, Sabtu, 23 Juli 2011)


Seorang Wanita

Ia datang kepadaku
menggebu-gebu
“Terbitkan puisi ini!”

Ia datang lagi kepadaku
menggerutu
“Puisiku telah dirampas!”

Ia terus datang kepadaku
mengacung sebilah mandau
“Puisi berarti darah!”

Ia tak pernah datang lagi
meninggal sepucuk surat
“Aku hanyalah puisi… hanya puisi…”

Mandastana, 31 Juli 2011
(Banjarmasin Post, 7 Agustus 2011)


Tentang Gelombang

Lalu tangis kita pecah
Pada laut, yang tertanam dalam pelarian kita
Sauh yang diangkat
Lengang panjang desir angin
Kita tercerabut, karena jatuh cinta terlalu cepat
Sekejap isapan sebatang rokok di siring sungai
Sungai itu kini bergelombang
Akan kau layari samudraku
Siang malam akan menjadi satu

Mandastana, 22 Mei 2011
(Radar Banjarmasin, Minggu, 10 Juli 2011)


Tentang

Ini tentang keakanan
Pada waktu yang entah kapan
Tentang dongeng kesetiaan
Pada cinta yang kau lupa telah dedahkan

12 Mei 2011
(Banjarmasin Post, 7 Agustus 2011)


Secangkir Teh di Malam yang Berkabung

Biar kupinjam lelah penatmu yang tergulir pada paragraf-paragraf
yang belum selesai
Tua menghitung waktu demi waktu berlumur teh
Karena giliranmu telah sampai di titik kulminasi paling rindu
Seperti kata dalam benakmu
Seperti bias senja, sebelum hujan satu persatu membasuh hatimu
Lantas, pertanyaan lama itu bisu kembali
Dan sungai menggiring senja ke muara
Kemudian, diam-diam aku melipat malam!

Mandastana, Februari 2011
(Media Kalimantan, Minggu, 3 April 2011)


Aku Ingin Tidur

Apa yang tertinggal darimu
selain jalan aspal yang semakin berpasir
serta atap kamarku yang bertambah bocor?
Sesudah isya ini
tak ingin lagi kubaca semua

Menghanyutkanmu dari mimpi
Telah membulat dalam dada
Menghentak kata yang merajam
Meski, pagi tadi wajahmu kembali menyeruak
Hingga perih
Belum juga membawa angin
Angin yang menyesak di sekujur tubuh
Angin yang melemparku sebelum aku shalat subuh!

Bernyanyilah…
Aku ingin tidur saja!

Mei 2009
(Literasi edisi II)


Setahun Setamat Pesantren

Memangnya masih penting aku menyimpan peci?
Lalu jas siapa puluhan juta ini?
Dan paha-paha menganga di TV dan jalan, bukan?
Serta pantat yang menyembul itu, kawankukah?

Ohoi… itukah eskapisme?
Sinetron-sinetron itu, iklan-iklan itu, Duta Mall itu?
Di mana aku?
Siapa aku?!

Mandastana, 24 Juli 2011
(Banjarmasin Post, 7 Agustus 2011)


Satu Senja di Tepian Barito

Bayang-bayang telah meregang
Menahan sesak sebelum malam
Ah, boleh aku bertanya?
Kala kulihat kebekuan luka
Masihkah kita mencicil duka?

Sungai Barito yang bisu
Yang menjingga serupa masa lalu
Sesal ditelan kenangan seperti jejak-jejak ilung
Aku menoreh harap, meski hati berwujud sendu

Sesal angin yang kuuntaikan dengan tasbih
Riak sungai merangkul jiwaku yang kecil
Ke mana kau pergi?
Aku menggigil dalam sunyi

19 Nov 09
(Radar Banjarmasin, Minggu, 20 Desember 2009)


Tet Tet Tet

Sejadi siang tanpa hujan
Keranda mayat nan elok melukis mantra
Siapa yang berlari di tengah sawah
Di reruntuhan langit
Rokok mengepul, anak-anak melompat ke sungai
tet tet tet…
oh, sms yang itu lagi
“pagi layu, purnama mati”

Juli 2010
(Media Kalimantan, Minggu, 3 April 2011)


Aku Adalah …

Aku adalah kata-kata yang takkan selesai
Aku adalah deretan kalimat yang bertaburan laksana debu
Aku adalah sebuah cerita, di mana kau bersembunyi di sana,
di sudut-sudut yang mengantar mimpimu
Aku hanyalah tulisan pada sehelai kertas buram
Aku cuma mencoba membuat jembatan,
dalam pikiran-pikiranmu yang tak pernah kumengerti

Kembang Habang, 13 Mei 2010
(Literasi edisi VI)


Tentang Imam Budiman
Imam Budiman lahir di Samarinda, 23 Desember 1994. Sewaktu kumpulan puisi ini terbit, masih mondok di Pondok Pesantren Al Falah Banjarbaru. Karya puisinya di muat di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin dan Media Kalimantan.

Tentang Muhammad Ansyar
Muhammad Ansyar lahir di Binuang, Kab. Tapin, 15 September 1994. Juga masih mondok di Pondok Pesantren Al Falah Banjarbaru. Karya puisinya di muat di Koran Media Kalimantan. Cerpennya turut dibukukan dalam antologi cerpen bersama Tembok Suci (Mingguraya Press, 2011).

Tentang Zian Armie Wahyufi
Zian Armie Wahyufi lahir di Rantau, Kab. Tapin, 25 Juni 1991. Sewaktu kumpulan puisi ini terbit, ia telah setahun meninggalkan Pondok Pesantren Al Falah Banjarbaru. Melanjutkan studi S1 Keperawatan di STIKES Muhammadiyah. Sewaktu mondok, mendirikan Forum Pena Pesantren bersama rekannya M. Noor. Karyanya pernah dimuat di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Media Kalimantan, Serambi Ummah. Memiliki blog http://zianxfly.wordpress.com


Catatan Lain
Ada “Sedikit Pengantar” yang ditulis oleh tiga “jomblo”—setidaknya itu istilah terkini dari pengertian yang positif dari kata jejaka atau bujangan— ini. Di tulisan sepanjang 1 halaman itu, terungkap bahwa buku ini merupakan kado dari ulang tahun Forum Pena Pesantren, yang berdiri 20 Agustus 2007. “Kami sadari, tidak ada yang istimewa dari karya-karya kami ini, namun inilah sudah yang bisa kami hasilkan sampai saat ini.” Nah lho. Kemudian di bagian akhir buku, muncul tulisan Zian dengan judul Empat Tahun Perjalananmu, Sebuah Teriakan Bisu. Tema tulisan itu tentu tentang pasang surut Forum Pena Pesantren. Teriakan Bisu merupakan buku kedua yang dihasilkan Forum Pena Pesantren, setelah Kumpulan Cerpen Tembok Suci (April, 2011). Sampul belakang memuat puisi Zian “Banjarbaru-Marabahan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar