Laman

Tonggak

Selasa, 14 Juni 2016

Diah Hadaning: PEREMPUAN YANG MENCARI




Data buku kumpulan puisi

Judul : 700 Puisi Pilihan, Perempuan yang Mencari
Penulis : Diah Hadaning
Cetakan : I, 2010
Penerbit : Yayasan Japek dan Pustaka Yashiba, Jakarta.
Tebal : 700 halaman (700 puisi)
ISBN : 978979178573
Prolog : Ahmadun Yosi Herfanda
Sumber pengambilan puisi : http://warungsastradiha.blogspot.co.id/

Beberapa pilihan puisi Diah Hadaning dalam Perempuan yang Mencari

Sebuah Tafsir
:Eza Thabry Husano

tafsir puisi senjamu
tertera dalam perjalanan musim
dan getar ilalang di hampir padang
tafsir sebuah kota yang rindu hujan
di senyap waktu
ketika cairan embun pelan kubasahi serat rambutmu
kau mulai menyusun tafsir-tafsir baru
sambil bertutur:
kuziarahi
kenikmatan cahaya lampu-lampu

sementara di bukit seberang
aku masih berdiri saat senja diam-diam lari
siapa tahu purnama enam belas
ombak Laut Jawa mengusung aksaramu
penuh tafsir kebijakan Banjar
ada aroma dan pendar cahaya
membuat langit Selatan hilang jelaga
dan semangat jiwa kembali getar
seiring terbitnya bintang Barat
pendarnya pulihkan penat

Bogor, Juli 2003


Tembang Kemarau Rakit-Rakit Sungai Balangan

menghilir hari-hari sepanjang sungai
menghilir perjalanan nasib di sisir pisang
susutnya sungai susutnya harap
mengendap-endap kemarau panjang
selalu berulang kembali tanpa keluh
pak Utuh tak pernah rapuh
menyusuri sungai balangan
dari halong menuju amuntai
rakit pisang milir-milir
diiringi angin kemarau semilir
menghilir hari-hari sepanjang sungai
antara halong sampai amuntai
anak musim dijaga musim
anak nasib dijaga nasib
pak tua ada di hulu
pak tua ada di hilir
pak tua ada di siang
pak tua ada di pagi
ditembangkan kemarau panjang
ditembangkan rakit-rakit mengambang
ditembangkan senyum isteri di sisir pisang
ditembangkan tanah merdeka tanah kelahiran

kekasih Allah orang-orang tak kenal lelah
diburu nasib tak kenal pasrah
kekasih Allah orang-orang sederhana
merdeka dan bencana dianyam sama-sama
tanpa dendam dan penyesalan
anak cucu dan kesetiaan memang ada di mana-mana
di sepanjang sungai
di bilah rakit
di pohon-pohon
di musim-musim
rakit-rakit milir tenang
pagi siang menawarkan keheningan

Jakarta, 1986



Nyanyian Pergulatan

bulan meleleh di langit
menebar warna-warna
adakah mimpimu itu bocah?
bulan meleleh atas kilau
sepatu di pangkuan
ramuan coklat hitam
adakah nyanyianmu itu bocah?

bulan meleleh dalam saku
basah uang recehan
tembus ke dada tembus ke rasa
meresap dalam gema di udara malam
dari nyanyiannya sederhana

jangan kata perjalanan ini menjemukan
bunga kanak penuh warna
bumi kanak penuh merjan
langit kanak penuh bulan
saku kanak penuh jajan
punggung kanak penuh keringat pergulatan

jangan kata perjalanan ini memuakkan
semua selalu kunyanyikan
aku bertutur aku pun berlalu
langkahku menyeret malam
bulan meleleh terhempas-hempas di jalan

Jakarta, Februari 1987


Padang Kembara Kehilangan Risik Angin

musim-musim tak lagi menghantar desau
letih sendiri bersabung dengan kemarau terlalu panjang
kau tak mungkin mencumbunya membuat menggeliat
lantas menghembus padang
bersama aroma kembang-kembang
karena aku tak ada di situ
angin yang bagai nyanyi bebukitan
angin yang bercerita tentang irama gamelan
angin yang selalu kau syairkan

padang kembaramu telah kehilangan semua itu
dan kau lantas bicara pada diri sendiri :
“akulah penghuni kerajaan sepi”

jangan bodoh dan merengek seperti anak bayi
di negeri ini yang kerdil akan menjadi rayap kuil
berdirilah dengan kaki yang terbuka
menghadap padang kembara
ceritakan pada dunia tentang derita manusia
dan hatimu yang penuh kharisma
kebangkitanmu untuk menaklukan bencana-bencana
jangan pedulikan padang kembara
yang kehilangan risik angin
jangan pedulikan di situ ada atau tidak diriku
kubur saja sepi-sepi dan segala tetek bengek nostalgia
di negeri ini ada kerja yang lebih berharga

Jakarta, 1979


Sebidang Tanah Luluh dalam Geguritan

sebidang tanah, daging bapakku
atasnya ngalir sungai airmata ibuku
udaranya, kesiur angin desah nafasku
berlaksa cacing munculkan kesuburan
para kerabat lalu bertanam
dan bertikai sepanjang waktu
daging cabik, bapa lubuk kediaman
sungai dangkal, ibu belik kearifan
nafas terengah, udara seguci tuba

sebidang tanah terus diperebutkan
bapa ibuku luluh oleh kemunafikan
lembah telanjang tanpa warna bunga
kasih Tuhan membuka seribu pintu
angkara kerabat nutup kembali pintu
sebidang tanah kini traumaku
mengoyak malam-malam heningku

lorong-lorong gelap cari cahaya sendiri
dalam hening dan laku hanya ada aksara
sebidang tanah purba akhirnya kumengerti
cangkuli dia dengan hati kasih sayang
cangkuli dia dengan hati lulur tembang
daging bapaku kan makin harum aroma
airmata ibuku kan makin bening kaca
anginnya kan makin ramah menyapa
bunga memusim mentari kemilau

Jakarta, Juli 1988


Balada Anak Perempuan Suto Kluthuk

anak perempuan Suta Kluthuk
anak musim yang tak minta dilahirkan
saat malam mengapung
dalam suara hantu wajah burung
pisau bambu kunyit empu
sayat plasenta ari-ari ya saudaranya
tangisnya menderu
keluh ibu tenggelam di pepau
dia anak zaman kembara jiwa
pembawa amanat penunggu gunung Utara

anak perempuan Suta Kluthuk
lama simpan luka dendam derita perang
timang ibu tak obati jiwa lapar
ibu bicara sendiri dengan bahasa tak dimengerti
genduk buatlah horizon runduk
dari suntingan priyayi berkuluk
ia meronta sembunyi di hutan obsesi
cintanya panduan tembang dan tari
siang malam digubahnya geguritan
angina utranya nafasku
air utara ya darahku
tanah utara ya dagingku
batu utara ya tulangku
bumi dan langit ibu bapakku
jangan coba membunuhku
kutuk pada ujung lidahku

(Bogor, Nopember 1996)


Mencari Ruh

mencari:
ruh laut pada ombak
ruh pada pasir
ruh musim pada bunga
ruh sungai pada lubuk
ruh langit pada bintang
ruh cakrawala pada pelangi
akhirnya merajah tanah
dari selangkah ke selangkah
sampai henti di Rumah Abadi

Bogor, Juli 2003


Dari Debu-Debu Revolusi

kendati kami telah jadi debu dan tanah
terdapat sepanjang pantai dan lembah
belum hirup hangat mentari kemerdekaan
belum reguk segar nikmat kebebasan
namun bukan berarti
segala yang pernah kami korbankan
buat perabuk ladang tempat kau bertanam
dan kukatakan sekarang
segala kami yang nyawanya masih gentayangan
sampai yang damai di sisi Tuhan
kami tak pernah relakan
bumi hangat
yang kami basuh dengan darah
rimba padat
yang kami dekap dengan cinta pasrah
kau buat padang penggembalaan
bagi domba-domba kelaparan
percuma kami jadi debu beterbangan
bila megahnya bangsa sekadar lagu pujaan
galaknya tekad sekadar kata pajangan
bukan untuk itu kami telah sedia mati
namun buat maniskan madu laut katulistiwa
tempat anak-anak masa depan
bebas berkubang sambil minum dan tertawa
tanpa cemas pada neraka dunia

Yogya, 1974


Ilusi

yang jatuh atas ranjangku lewat genting kaca
yang menyatu dalam bayang-bayang bulan
yang kutangkap dalam kidung di ujung senyap
dan membuat malam jadi penuh risik angin
dan membuat pohon-pohon mencari kepak kelelawar
dan membuat cemin ingin bersatu pada langit
begitu adanya
adalah sosok bayang-bayangmu
adalah illusiku
adalah warna jingga dan ungu

Yogya, 1978


Sajak 20 Butir Leunca Muda

kekasihku,
santunan segala cinta tak pernah berkecambah dalam
pusar Adam dan Hawa tak pernah ingkar setia
hari-hari selalu berpacu dengan umurmu
adakah kau tahu
berkali telah kusentuhkan bunga putih dan merah
di ujung matamu yang penat dan lelap
karena kau bermimpi
mengunyah dua puluh butir buah leunca muda
kau tak bisa tegar menjadi naga penyangga bumi
memberikan perkasamu untuk membongkar peranda ini
bila dalam gengganganmu yang kencang
tetap kau mimpikan dua puluh butir buah leunca muda
apa lagi bila kau pun mulai mencoba
menyeret hatimu yang luka bukan oleh
pertempuran lantaran membela bukit-bukit Sukarno
atau siksa bayi dan bocah Campuchea tinggal kerangka
kau coba melipurnya dengan menjenguk-jenguk
daerah warung bubur dan segala macam parloba
kekasihku,
lebih baik aku membunuhmu di Kaki Tuhan
sebelum kau menghancurkan diri sendiri
dan dunia kita dengan polahmu yang hina
atau kau buang itu dua puluh butir buah leunca muda
dan bangun pegang tanganku
menyusul barisan yang telah mulai berangkat pergi.

Jakarta, 1979


Sajak Ketut Tua, Pemahat Dusun yang Frustrasi

dia bernama Ketut
orang dusun panggil Ketut
Ketut tua sederhana
Ketut tua limbangan cinta

turunan ke tiga penghuni banjarnya
banjar tua dengan Ketut sama tua
banjar cinta dengan Ketut sama cinta
banjar setia dengan Ketut sama setia

sepanjang musim
ya sepanjang musim
Ketut memahat dengan rajin
bersahabat dengan miskin

Ketut tua telah memahat umurnya
roh moyang titisan ilhamnya
matahari langit Bali adalah semangatnya
tapi tahukah Ketut berhati sederhana
kini seni tak miliknya sendiri

jaman angker kakek moyang lama lewat
seni Bali telah dijejal rapi di toko suvenir peni
dan siap sangkut pergi
pengagum berkocek tebal manca negara

Ketut malang perlahan langitnya bergoyang
mereka tak lagi mencarinya di kampung tersembunyi
Ketut sepi memahatlah hati nurani
Diramaikan hentak kaki para cucu main sendiri

Ketut tua apa nian kau gumamkan?
kebijaksanaan baru?
ada itu disebut di koran koran
tapi langka di keseharian
Ketut tua termangu lama lama lama

Kampung hijau geresek kayu tawa para cucu
tiba tiba mengental dalam bayang
tiba tiba mengental dalam genang
kali kecil dusun bali di gigir pipi

Jakarta, Juni 1982


Jakarta 75

glamournya menyebar liar
sampai ke kota tua
mengejek kampung utara
aku ternganga
ketika satu saat
harus mengetuk pintunya
untuk bermukim

glamournya memilih-milih
tak sampai pada jalan nuju rumahku
aku bukan sahabat
akud atang tanpa diundang
salah diri terbongkok udang
nembang menatap awang-awang
Jakarta, bagaimana harus menyebutmu

rembulan di langitmu
terpotong puncak gedung
matahari di langitmu
terpotong siluet benang
impian di langitmu
membuatku jadi kepompong
akankah di sini lama aku

Jakarta, Juni 1975


Anak-Anak Air Api

anak siapa nyanyikan syair sumbang
membuat malu bintang-bintang
suaranya makin parau
anak siapa mencari perhatian
mengajak berpacu terbang
matanya merah nafasnya meradang
perdamaian itu
hari ini dalam liurku
sementara pemusik terus berdendang
dan bom imperialis berjatuhan

Jakarta, 1986


Abstraksi Jiwa lapar

laparku – bulan lapar cahaya
santri kecil pulang berisya
berikan binar matanya
laparku - matahari lapar sinar
gadis dusun di pancuran
berikan denyar jantungnya
laparku - bumi lapar kehijauan
penyair tua di pinggir kota
berikan semaian mimpinya
laparku - insan lapar kejujuran
rajawali di udara
berikan bulu dan sayapnya
namun laparku tak hilang jua
tak henti mencari dan nelangsa
karena temaha di jantung utara

1995


Ladrang Buram Solo Bengawan

sungai panjang kali bengawan
telah jadi kerut lelaki tua
perahu-perahu sarat tembang kehidupan
telah jadi sejarah terlipat dalam
kenangan anak-anak kota
tumbuh oleh kemas peradaban
tumbuh biakkan jasa dan dosa
orang-orang bersaksi trus berjalan
anak-anak hadir lupa kapan lahir
barangkali dewasa oleh asuhan angin
barangkali arif oleh balada tua
dan rembulan hilang dari bengawan
lelaki tua bicara ada kegetiran
: keluhkanlah lewat tembang
pahit manis kehidupan
limbah-limbah kini di bengawan
bocah-bocah kini tlah lupa kail mainan
menandak-nandak tanpa mengerti
irama baru menghentak negri
semusim ke semusim – ya dhenok
hijaukan saja jiwamu
jika tak bisa hijaukan bantaranmu

Bogor, April 1992


Terlahir Kembali

Aku pematung kehilangan pethel
tak bisa lagi membuat keindahan
awali pengembaraan panjang
mencari kayu buat hulu
mencari baja buat mata

Menyusuri abad-abad
bertanya kepada orang-orang
yang masih menyimpan kesucian
dalam rongga kehidupan
mereka selalu garis lingkaran
di udara yang bertuba

Abad-abad mengajari dengan sabar
aku mulai mengeja makna-makna
telah kutemukan ujung kidung
satukan bumi dan langit
dalam putik kalbu yang hanya satu

Menyusuri windu-windu
bertanya kepada para wiku
yang simpan kebeningan
harapan ada dalam dadamu sendiri
kenapa taki henti mencari
Sang Penentu hanya Gusti

Kintamani, 1998


Tentang Silungkang

Silungkang
rumah gadang
rumah tua pinggir jalan
warna hitam kecoklatan
simpan nyata
derita purba
anak keturunan

lagu itu
mengusik kalbu
jiko den kaka
si daun paku

Silungkang
alif ba ta mengambang
di celah kerudung alam
siapa berdoa siang-siang
di ujung salam sembahyang
siapa menerawang
di anjungan rumah gadang

Silungkang, Desember 1997


Balada Perempuan yang Terluka

mata lebar itu masih simpan
bayang dunia dan kelopak mawar
getar angin Islamabad
gerak langkah bersicepat
gema rebana kota tua

angin larkana menyapa perjalanan
sejarah senantiasa berubah
antara eligi dan extravaganza
lalu musim tak lagi sahabat
lidah dan pedang saling babat
kejujuran hanya milik malaikat
ketika langkah hanya sebatas pintu rumah
tembangkan lagu-lagu kerinduan anak manusia
antara perang dan damai
antara perundingan dan pengkhianatan
antara senyum dan cacian
kota raya ruhnya di jantung
nafasnya dalam getar kerudung

hari ini perempuan dua kali luka
mencari cakrawala di balik jendela
ada yang selalu tersisa
angka dalam gandum, katun, sulfur dan chromit
nada dalam blessed be the sacred land

Bogor, Nopember 1996


Honocoroku Rahayu Buat Ibu

Agung, Agung, Yang Maha Agung
Harum, Harum, Yang Maha Harum
Maha Agung dan Harum hanyalah ENGKAU

Ibu dan aku adalah coroko
coroko tanpa sowoto
karena kami saksi jaman
perubahan ke perubahan
alam yang beda makin kekalkan cinta
irama langkah masih senada
iramanya alam semesta
kini gejolak menghentak
rindu janji di siang retak
sambil anyam bayangmu ibu
doa-doa kulantunkan
bunga gurit dan kidung kuulang-ulang
ritus ke ritus dan ritualan
selalu kubatin namamu
yang menyahut gema kidungmu
merayapi tahun dan windu:
Sebutlah Allah Gustimu

Cimanggis, Desember 2004


Pesan Gaib bagi Perempuan Terluka

pesan-pesan gaib tersembunyi
dalam serat hujan, lelakiku
diam diam membuka maknanya sendiri
satu satu menyapa dengan bahasa gigil
perempuan terluka toreh pisau jiwa
tak henti kirim doa di setiap pusara
apakah makna geletar nadi
setiap hentak langkah ingat sumpah bagi
saat pergantian musim lepas kemarau
reranting bersaksi di sisa warna hijau

para penghuni alam halus
berbisik tulus
serat hujan dalam hati
diam-diam mereka hapus
dengan asap ratus
“bangunlah nini doa belum ditata
tenanglah nini tembang belum dilaras
heninglah nini kembang belum dironce
percayalah malam nanti purnama sempurna
saaat kaubaca syairan jawa
jangan lupa zikir kuna hanacaraka”

lereng Merapi, purnama 2007


Anak Ki Suta Kluthuk

Bayi merah itu menjadi bunga fajar
lahir seiring suara suluk
pirantinya pisau bambu dan kunyit empu
tangisnya keras pertanda tak takut cadas
setiap malam ibunya selalu berdoa:
Ya Gusti, berkahi si genduk ini
semoga kelak hidupnya berarti

Pesan purba dari sang ibu
tiba-tiba menyeruak di celah kalbu
ketika purnama di pucuk bambu:

Di dunia ini hanya ada dua rupa
satria yang harum budi
dan banas pati yang menyamar diri
tuk celakai anak manusia yang alpa
maka selalu waspada dalam melangkah
Biyung Agung kan memberi perlambang
Gusti Pangeran memberi jalan terang

Bogor, April 2004
Catatan:
suluk = tembang pembuka dalam wayang kulit
Biyung Agung= Ibu Agungnya perempuan Jepara, Ratu Kalinyamat.
Gusti Pangeran = Sebutan bagi Tuhan cara Jawa.


Mengenang Bapa

Tak harus menangisinya
jika bapa pergi ke lembah abadi
jika tak tahu di mana pusara
kirim saja bunga di bubungan atap
tabur saja bunga di jalan simpang empat
semua sampai Gusti itu Maha Kasih
perempuan sunyi mengenang sendiri

bulan Sura hadir kembali
sebentuk kotak ukir warisan nan tunggal
saatnya dibersihkan
diganti pula bunga isinya
tanda kasih dan setia
pada sang bapa pengukir jiwa
aku tak kan menangis lagi, bisik
perempuan itu menatap ukiran tua
karena masih kugenggam pesan itu
buktikan angan dan mimpimu
jangan henti di jalan berbatu
satu hari dunia dalam genggaman
senyum bapa membayang di udara
saat Sura hari pertama

Bogor, Maret 2004


Cakra Manggilingan

cakramanggilingan tak henti berputar
menandai perjalanan windu dan abad
seiring gema kidung
dari tanah utara penuh penjor
Sang kaliyuga masih cengkeram angkasa
orang-orang pesisir tak henti
tabur benih jagung
tabur benih ikan, nener dan udang
di tanah perdikan ini
musim sabar ditunggui

orang-orang sadar segala akan berubah
bagai cakramanggilingan
yang semula di bawah
bergerak ke atas
yang semula di atas
bergerak ke bawah
begitu selalu dari jaman ke jaman
yang tabur benih akan menuai
yang bertanam akan memetik
semuanya buah perilaku

Bogor, Januari 2004


Lelaki yang Simpan Denyut Nadi La Ede

mendesis-desis mantranya
menyusupi celah malam
sebelum akhirnya mengendap di lubuk jiwa
bumi dan langit tangkap getarnya
sebelum malam tuntas mengabarkan semuanya
kepada orang-orang dalam perjalanan
mencari karma sepanjang musim
mendesis-desis mantranya
sentuhi batas mimpi anak manusia
menebar aneka idiom kehidupan
lalu diam lama yang ada hanya serat cahaya
inodi mata*)
inodiooe
momawa, noghosa

embun turun dalam hening
ada yang menyapa ada yang disapa
alam semesta membatas keberadaan maya
selebar dada seluas tapak tangan
sirna kata sirna ejaan
dalam pendar cahaya
dalam kelopak nuansa

Taman Budaya Solo, Maret 2003
catatan *) = bhs Muna
aku mata
aku air
mengalir deras


Elegi si Atmo Klungsu

saat masa jaya dia pasang kata gundu
atau keneker dan dengan angkuh ia
tertawa perkenalkan diri pada siapa saja
lalu tiba zaman malaise, semua alami pailit
Atmo Gundu hidupnya tercelurit
orang-orang memanggilnya si Atmo Klungsu

Bogor, Oktober 2001


Angin-Angin Laut Irian

apa kabar lelakiku dari Sentani
Yan Yapo, Yan Yapo, kupanggil kau
lewat angin-angin laut Irian
benarkah kini kau semakin tua
tak kuat lagi menokok sagu
sambil menggendong anakmu
apa kabar perisai langit dari Sentani
bintang kejora pasang di sana
di bendera bikin masalah ternyata
berapa lama musim kita
dinodai mosaik utopia
gunung datar hutan gundul
debu menerpa Yamdena
kau tangisi saat purnama
kalam semesta tak lagi menyairkan
keindahan bumimu kau banggakan
padaku di tanah barat
duka itu terlalu berat
bagi jiwa sederhana
Yan Yapo, Yan Yapo, lelakiku dari Sentani
lalu kau marah pada angin
lalu kau nangis pada laut
Irian gemetar
kau terkapar

Bogor, Nopember 2000


Dongeng di antara Dongeng

Orang-orang yang telah bosan air mata
orang-orang yang telah bosan terluka
merindukan dongeng masa kecilnya
merindukan kata-kata menari
sambil mengusung makna
dan semua harap tak ada yang abu
dan semua mimpi tak ada yang duri
lamanya memintal nadi sendiri
sementara kerakusan dituankan

Telah dibiarkan berwindu-windu
susuri siang rayapi malam
dongeng angka-angka
dongeng cara-cara
menuai gerimis mencari padi
menuai dusta mencari doa
tak pernah lagi dinikmati
dongeng masa kecil itu
orang-orang membatukan hati

Bogor, September 2000


Tentang Diah Hadaning
(Saya mengambil biodata Diha di http://m2indonesia.com/tokoh/sastrawan/diah-hadaning.htm  diakses tanggal 9 juni 2016)

Diah Hadaning lahir di Jepara, Jawa Tengah, 4 Mei 1940. Berlatar belakang pendidikan PSA Semarang. Serius menulis sejak 1970-an. Puisinya yang pertamanya termuat di Harian Simfoni (1973). Sejak itu ia rajin berkarya, mulai dari Yogyakarta, Semarang, sampai akhirnya menjelajah kota Jakarta.
            Pernah bekerja di Perwakilan Departemen Sosial, Semarang. Menjadi guru di Sekolah Tuna Netra, Semarang. Menjadi redaktur mingguan Swadesi di Jakarta (1987-1998), namun koran itu berhenti terbit pada 1999. kemudian menjadi penulis dalam bahasa daerah (Jawa ) berupa gurit (puisi), cerkak (cerpen) dan naskah lakon tradisional.
            Pada tahun 1996 mendirikan Komunitas Sastra Indonesia. Ia juga membangun ’Warung Sastra Diha’, sebuah komunitas dialog jarak jauh yang melayani berbagai ‘urusan hidup‘ khususnya sastra. Warung tersebut masih tetap eksis sampai saat ini.
Kumpulan sajaknya antara lain : Surat dari Kota, Ballada Sebuah Nusa (1979), Kabut Abadi (bersama I Gusti Putu Bawa Samar Gantang, 1979), Jalur-Jalur Putih (1980), Pilar-Pilar (bersama Putu Arya Tirtawirya, 1981), Kristal-Kristal (bersama Dinullah Rayes, 1982), Nyanyian Granit-Granit (1983), Balada Sarinah (1985), Sang Matahari (1986) dan Nyanyian Hening Senja Kala (bersama Rita Oetoro, 1996), Gong Bolong (bersama para penyair Depok, 2008).
Telah menerbitkan sekitar 35 buah buku, 11 di antaranya merupakan antologi puisi tunggal, 3 buku manuskrip antologi puisi bertema reformasi, masing-masing berisi 50 pucuk sajak,  serta novel.
            Atas dedikasinya yang tinggi di bidang sastra, telah banyak penghargaan yang telah ia peroleh antara lain, Manuskrip Surat dari Kota yang memuat 100 puisi mendapatkan Hadiah Gapena dari negeri jiran Malaysia (1980). Puisinya tentang pelestarian hutan mendapatkan penghargaan dari Yayasan Ebony yang diketuai oleh Ibu Pertiwi Hasan (2003). Lembaga Pusat Pengkajian Sastra dan Budaya Jawa, di Solo, memberinya anugerah sebagai penyair yang melestarikan budaya Jawa, karena memang banyak puisinya yang berakar pada budaya Jawa.
            Pada 7 Juli 2010 silam, Diah Hadaning meluncurkan buku antologi puisinya ’700 Puisi Pilihan Perempuan yang Mencari’  terbitan Yayasan Japek dan Pustaka Yashiba. Buku ini berisikan puisi-puisinya yang telah dipublikasikan memalui media masa maupun diterbitkan dalam berbagai antologi, baik secara tunggal, duet maupun bersama penyair lain. Bersamaan dengan acara tersebut, digelar pula acara perayaan ulang tahunnya secara sederhana di PDS HB Jassin . Dalam acara tersebut, Diah Hadaning mendapat penghargaan Penulis Antologi tertebal pada usia tertua 700 halaman pada usia 70 tahun  dari Museum Rekor Indonesia.

 
Catatan Lain
Saya membaca prolog yang ditulis Ahmadun Yosi Herfanda di  http://sembahyangrumputan.blogspot.co.id/2011/04/700-puisi-dari-37-tahun-kepenyairan.html. Juga mengambil puisi-puisi di atas dari blog penyair Diah Hadaning. Dua puisi teratas saya pilih karena saya merasa punya ikatan khusus dengan 2 hal yang disebut dalam puisi itu. Eza Thabry Husano, orang tua yang menarik saya ke pusaran sastra kalsel melalui Kilang Sastra Batu Karaha-nya. Dan Sungai Balangan, karena di tepian sungai Balangan, ayah saya lahir dan dibesarkan. Saban tahun saya menziarahi sungai balangan, menjalin silaturrahmi dengan momen-momen yang saya pikir arkaik.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar