Laman

Tonggak

Selasa, 14 Juni 2016

Sitor Situmorang: SITOR SITUMORANG, KUMPULAN SAJAK 1980-2005




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sitor Situmorang, Kumpulan Sajak 1980-2005
Penulis : Sitor Situmorang
Cetakan : I, Januari 2006
Penerbit : Komunitas Bambu, Depok.
Tebal : xviii + 480 halaman (228 puisi)
ISBN : 979-3731-10-0
Editor : J.J. Rizal
Desain sampul : Agus Wiyono
Desain isi : Risdianto & Tjalie
Foto sampul : Sitor Situmorang (1978) karya Gunawan Mohamad
Sketsa isi : Sitor Situmorang
Sketsa wajah Sitor Situmorang karya Affandi tahun 1977
Pengantar : E. Ulrich Kratz

Beberapa pilihan puisi Sitor Situmorang dalam Sitor Situmorang, Kumpulan Sajak 1980-2005

Tatahan Pesan Bunda

Bila nanti ajalku tiba
kubur abuku di tanah Toba
di tanah danau perkasa
terbujur di samping Bunda

Bila ajalku nanti tiba
bongkah batu alam letakkan
pengganti nisan di pusara
tanpa ukiran tanpa hiasan

kecuali pesan mahasuci
restu Ibunda ditatah di batu:
Si Anak Hilang telah kembali!
Kujemput di pangkuanku!

Paris, April 1998


Balada Laut Tidore

                                                            Girl, girl alone!
                                                            Why do you wander!
                                                            (Ho Chih-Mo, Chairil Anwar)

Laut seperti peta lama sekaligus baru:
Lihat bangkai kapal Jepang di karang situ
dan pohon di atasnya – Betapa rimbun.
Beringin – kata orang setempat.

Waktu perang lalu, 194~, ke sini
tentara Jepang mengangkut 300 gadis-gadis
                                                            dari Minahasa
keperluan serdadu-serdadunya yang kesepian.
Muncul sebuah pesawat Amerika, lalu menukik,

saat kapal hampir berlabuh di Teluk.
Bomnya tepat jatuh di atas palka –
jadi kuburan bersama untuk awak kapal
dan 300 gadis remaja.

Untuk serdadu-serdadu Amerika yang tewas
di Arlington ada tugu megah bangsanya.
Di Tokyo terdapat kuil Jasukuni Jinja
persemayaman roh Prajurit Tak Dikenal.

300 gadis-gadis Minahasa di sini
bakal dikenang sebagai apa?

Hei, dara manis yang kini sendiri
di pantai Halmahera dan sedih. Adakah kau roh
            tak berkawan?
Pulanglah, Sayang! Jangan terlalu nanap
            memandang pelangi.

Cahaya rindu mereka, adalah cahaya rinduku
            pula,

kisah baratayudha yang berkepanjangan.



Ziarah di Makam Allama Mohammad Iqbal
Lahore, Oktober 1991
           
Bangkitlah, bangunlah dari lelapnya kaumku yang papa
                ……………………………………………………………………………………..
                Jiwaku harubiru seperti angin di ladang musim bunga
                                                                                                Iqbal

Hai, Sufi yang manunggal
di ketinggianmu kekal! Dengarlah
masa kini menuntut lagi kesaksian!

Di langit Pakistan biru cerah
kudengar gema bening puisi
dalam kaligrafi imanmu
tertatah di pualam putih tirus.

Sejak  tirakatmu di Masjid Biru Samarkand,
di cemerlangnya Alhambra, Granada-Spanyol,
kuikuti kembara jiwamu
sampai kini di bayang kubah Masjid Babshahi,
sisa kejayaan Mogal –
di sini di depan nisanmu,

di negeri merdeka
buah hatimu.

Penziarah muda dari desa
di sampingku berdoa. Khusuknya
mengajak aku
sujud di hadapan wajahmu.

Tergugah keyakinan semula:
Tuhanmu, Iqbal, Tuhanku pula,
paling akrab dengan mereka yang menderita,

Yang satu itu juga,
di dalam dan di atas sejarah,

Penggerak cinta insani, Amalmu,
bertahta dalam kerinduanmu,
sesah bertiup di gubuk-gubuk petani
sepanjang tebing Sungai Ravi Lahore hari ini,

bergumul siang dan mlam, mandi lumpur, menghirup
debu,
ingin memberi arti pada harapanmu semula,
di bayang puing makam-istana Jahangir –
dan istana-istana orang-orang kuasa baru,

terus memikul beban kemiskinan, penghisapan,
manipulasi haknya tak putus-putus
tak ada akhir

mengalir terus airmata derita
seperti arus sungai Ravi
menyanyikan tuntutan kesaksianmu
di langit Pakistan merdeka.

1991


Affandi penghuni rumah pohon

                                                                                    Untuk puteriku Ratna

Andaikata
bisa berjabat tangan
menyalami para empu
perancang Candi Prambanan pencipta Lara Jonggrang
yang namanya tak tercatat
bisa bercakap-cakap seniman desa
pemahat patung kayu di Pulau Kei
andaikata –
bisa kenal seniman yang meniupkan nafas Ken Dedes
ke dalam batu gunung.

Affandi! Ini sekadar
Berandai-andai, menyatakan hormat
Kepada semua karya batin kekal
yang terus hadir seperti kenangan padamu
yang selalu dapat kujumpai
di suasana sehari-hari Yogya
tergurat pada wajahmu
di balik kepulan asap cangklongmu –

jawaban (atas tanya tak terucap):
Tebing-tebing sungai Gajah Wong
sebaik pilihan tempat kerja
dan bersamadi
sampai di akhir hayat,

berdiam di rumah pohon
perwujudan khayal masa kanak
berlindung di bawah atap “daun pisang”
dalam buaian balok-balok jati
penyangga langit, karya Tjokot
putera tradisi utama Bali.

Wajah di balik citra lukisan,
percikan nyala warna alam Nusantara
bara cinta delapan matahari
pada penghuni tebing-tebing
jagad raya petani Gajah Wong

tempatmu setiap kali kudatangi
tempatmu kusalami
di antara batu-batu
muntahan lahar Merapi.

1992


Mendaki Merapi Menatap Borobudur
(Dialog Senja)

di tebing lembah
kupandang senja
kawah Merapi

bagian dari ziarah
sufi tanpa tarekat

bebas rindu
dalam merindu

bebas waktu
dan tempat

luruh dalam desah angin gunung

terapung
di awan
pulang bersama burung-burung
menuju hutan-hutan

masuk bayangan
dalam keleluasaan dan
kedalaman

percakapan tanpa kata-kata

terbalut angin
dan kebisuan

semesta batin


Balada Kartu Pos untuk Rendra dan Lorca dari Ladang Andalusia

di jalan dusun antara Sevilla dan Kordoba
aku ragu tujuan. Seekor keledai dan penunggangnya
lewat, pasti tujuan –

apa lagi hendak dikatakan
lagi-lagi yang diimpikan, saudaraku,
siang begini matahari terlalu terik
antara Sevilla dan Kordoba.
Namun ia bersiul:
Hal matahari terpelanting
jatuh di ubun-ubun dan bukit.

Ia menyanyi tanpa suara,
hal jeruk Malaga, pohon zaitun
dan Granada dikatakannya
bertirai salju –
mengajak aku ke sana –

keledai itu dan tuannya lewat
menembus ladang kembang
masuk di sela-sela gunung batu
– mengajak aku ke sana –
lalu musimnya, ya, musimku pun bangkit
meruah tersembur
di padang cahaya –
aku diajaknya ke sana –

Negeri kembali dihias istana
air mancur Alhambra
kubah masjid Kordoba,
ya, Kordoba –
namun ke Granada juga
aku diajaknya –

Langit bening
tak ada rahasia masa depan
tak terpikir simpanan Spanyol masa lalu
jembatan Rumawi, benteng Arab
menjemur rahasia kehadiranku
dan rahasia tujuan
keledai bersama tuannya –
namun ke sana aku diajaknya –

Aku Zigana – di tempatku berbaring
di bayang pohon gabus
berkencang dengan birahi
– namun aku diajaknya –
ketika lonceng bergema
di bukit-bukit batu Lorca
dari arah Granada datangnya
dari arah Granada –
tanpa jelas beritanya:
Siapa yang dikatakan mati?
namun ke sana, ke sana juga
aku diajaknya –
di jalan antara Sevilla dan Kordoba
ketika aku ragu
mencari tahu ke mana pergi
keledai dan tuannya…
dan arti kehidupan Zigana
yang tersimpan dalam lagu-lagu
penyair kesayangan

Saudaraku,
pasti, pastilah Ia tadi lewat!
Kuingat wajah kekalNya
kukenal pandang keledaiNya

Ke mana pun Ia pergi
ke Granada aku diajakNya!


Sajak, Pembaca dan Penyair

Pembaca yang tercinta,
jangan bertanya
                              lahirnya sajak,
jwabnya pulang maklum
                                    pada dirinya,
apabila ia berkata sesuatu padamu
                        seperti padaku juga,
sebagai karya kita bersama,
tapi yang selanjutnya
    menjalani hidupnya sendiri
jadi akar dan roh bahasa umat manusia,
berkebangsaan, namun di atas bangsa.

Sajak bagi penyair, sama seperti anak
bukanlah milik Ibu yang melahirkannya –
(kata penyair Kahlil Gibran)

Sebelum lahir
ia Janin,
terbalut dalam Rahim Kehidupan,
terbungkus alam semesta
yang fana dan yang baka

dibenihi oleh kerinduan rohani
si penyair dan tuan sendiri,
pembaca yang budiman,

melolong dalam Kesepian
terkurung dalam Waktu dan Ruang,

bergema sebagai kata
tanpa aksara
terlukis sebagai aksara
tanpa kata
di bentangan langit jiwa
mata batin Manusia,
padat isyarat,
akar bahasa purba
manusia pertama.

Namun, pembaca yang budiman, lagi arif,
aku yang diminta memberi jawab,
aku terbanting kembali ke pangkal Tanya,
suara Sepi yang menyiksa atau
Citra yang membebaskan,
bila berhasil disajakkan,

sedang aku belum mampu menjawab
sedang aku hanya berkias-kias
– seperti pembaca lihat –
belum menjawab, bahkan mustahil!

Maafkan! Silakan kembali membaca
kalau perlu berulang-ulang – karena
sajak yang sebenarnya Sajak,
sekalipun memakai kata-kata sederhana,
sehingga terasa bisa ditulis
oleh siapa saja –
adalah
Puisi paling lugu
paling sederhana

paling jelas arti –
walau bukan untuk nalar biasa, boleh didekati
dengan telaah (karena bisa membantu)
asal terbatas kerangka dan kulitnya
karena intinya adalah urusan
tuan pembaca,
yang sambil membaca
membuatnya sempurna.

Namun, agar percakapan
jangan sampai berakhir buntu,
izinkan kutambahkan catatan:

Pada saat sajak lahir
seperti pada saat bayi keluar dari rahim Ibunya
(walau pengalaman Ibu-ibu, dengan derita
serta bahagianya, bagi kita tak terduga)

Saat itu, tapi terlebih
pada detik-detik yang mendahuluinya
penyair orang yang paling malang,
sekaligus paling bahagia,
pribadi utuh sekaligus
sekedar wahana
wadah
untuk Manusia tanpa Nama,
mengambang di atas danau batin
seperti janin dalam air rahim

siap menangkap bunyi,
tanpa kuping
siap menangkap isyarat,
tanpa mata

terbalut dalam zarrah dan gelombang

bergema samar

di balik gelak tawa
dan air mata manusia

seperti desah laut
di kulit Tiram.


Pantun Berkait 1993
untuk cl. s

Rambutmu riam di gunung
Rinduku lumut di laut
Oleh pandang hati terbingung
Oleh senyumnya hati terpaut

Rambutku riam di gunung
Rindumu lumut di laut
Dalam pelukmu diri terkurung
Pandang beradu dihadang maut

Rambutmu riam di gunung
Rinduku lumut di laut
Di alismu ombak menggulung
Terumbu karang badan menyambut

Rambutku riam di gunung
Rindumu lumut di laut
Dalam ragu inginmu terselubung
Enggan berpisah enggan berpaut


Bicara tentang Buruh
Bicara tentang Marsinah

Bicara tentang buruh
kita mengenang Marsinah:
Mengenang keteladannya
mengabdi Kemudian berkorban nyawa

Marsinah kita kenang
sebaik murid hal ajaran
azas perikemanusiaan keadilan
harkat serta martabat buruh

jadi sokoguru masyarakat berdemokrasi
dalam wujud Negara R.I.~45
poros semangat berdikari sekalian pelopor
barisan pendukung emansipasi peradaban

maju sebagai pelaku dan teladan gerakan
pembaharuan masyarakat meninggalkan kekolotan
menggalang setiakawan dengan segenap
pejuang demokrasi di seantero bumi

siap menghadapi tantangan perjuangan
mengakhiri sistem dan kekuasaan
yang masih belum sedia melepaskan prinsip:
penghisapan manusia atas manusia!


Mengenang Pantai Meulaboh Dilanda Tsunami

Seperti ledakan bencana alam purba
Tsunami itu tak disangka bangkit mengguncang
Seantero air samudra raya jadi luapan mahadasyhat
Menyebar dari sebuah titik
Di dasar laut sebelah barat
Pesisir ujung utara Sumatra

Mendengar dan melihat gambar beritanya
Bagaimana sisik laut itu bangkit menerpa
Seluruh garis pantai Meulaboh

Nama Meulaboh di kalbu terdalam
Membangkit kenangan masa kanakku
Saat-saat aku dihidupi angin lautnya
Dibesarkan dalam nyanyian dan setiakawan
dibuai irama kehidupan
Desa-desa nelayannya

Kini luluhlantak berserakan sejauh mata memandang
Tinggal reruntuhan rumah batang nyiur patah berserakan
Serupa mimpi manusia damai di tengah alamraya
Kini yatim dan piatu kehilangan para kekasih ditelan
Air bah seperti di hari kiamat

Di jagat kenanganku
Pernah ramai gelak bercengkerama dengan sesama
Dan setia bergaul dengan irama angin Samudera
Kini sepi

Selang gelora Tsunami…
Di dalam pelukan alamraya Nusantara
Dan Samudera nelayannya

7 Januari 2005
Apeldoorn, Nederland


Piramida Cheops
Lembah Nil

Ingin mengukur jarak pada batas gurun
aku berdiri di bukit-bukit sebelah barat
Pagi bersandar pada bayang piramida
Sejenih angin gurun kesadaran bangun

Jarak yang dilalui sejarah dalam waktu
tertanda sungai mengalir di lembah hijau
Burung beterbangan menuruti arus musim
Di utara masih salju. Pelancong berlalu.

Atas pengetahuan ini tersusun sejarah-punya makna:
Ayam berkokok pagi-pagi di zaman Firaun
masih membangunkan petani setiap subuh
Tinggal satu rahasia: Apa yang berubah?

Sinar pagi mendaki garis rusuk piramida
Di relungnya terdalam bertahta Mati

1989


Tari Sembah
(Pagelaran Tari Pakarena di Balla Lampoa, Istana Raja Goa, Sulawesi Selatan)

Diiringi suara serunai dan
genderang tabuhan dua kendang besar
sosok perempuan penari tua muncul
dalam temaram panggung –

tari pakarena akan mulai –
halus dan lamban – dalam irama
bahasa tari purba mencari hubungan
dengan dunia atas dewa-dewa

seperti perahu di atas gelora samudra
tubuh sang penari mengalun tenang, –
didukung tabuhan seperti di medan perang
            gerak tubuhnya memancarkan roh upacara.

penghayatan ulang karya-karya gaib sejarah
para dewa dan para leluhur di dunia sana
Sesuai alur puisi naskah La Galigo

tubuh penari menjelma jadi perahu rohani,
melintasi bentangan angkasa demi angkasa,
jadi tumpangan kita sebagai pelaut-pelaut
samudra batin,

berlayar mencapai pantai hikmah
berhadapan muka dengan muka
dengan wajah asal-muasal semesta alam
menyampaikan sembah tarian bumi.

Goa, April 2002


Riak Syair Perahu

1
Merihnyakah yang kukecup?

saat remangnya fajar
masih berbantal rambutnya
dalam dekapan

saat wajahnya kutatap
uap tidurnya kuhirup
bersama mantra alisnya

terseret gelora pasang
hempasan samudra rindu
dalam irama syair
Hamzah Fansuri

2
satu
dalam dua
dua
dalam satu tubuh

rasuk-merasuki
dalam nafas
padu dalam pandang
baur dalam jamah

sentuhan
segenap indera
mayapada

dalam timangan
semesta betinaku

21 April 2004


Chartres Revisited

Adakah cahaya mistik kaca berwarna jendelanya
akan bersinar tercurah kembali dalam matabatin
seperti dulu 45 tahun lalu?

Ketika bersama kekasihku berdua ziarah ke mari?
Ia telah lama tiada, mati, akupun sudah uzur
menderita katarak mata rongrongan usia tua.

Kumasuki ruang katedral remang-ramang
(sehari sesudah Perayaan Kebangkitan Kristus)
terlebih buram akibat mata rabun.

Bahana musik organ menyambut
berbaur bau kemenyan dibakar
dan cahaya ratusan lilin.

Perayaan komuni sedang dipersiapkan
Kuresapkan kekhidmatan peziarah
di antara turis mancanegara

Suara organ lenyap mendadak
Aku pun menengadah, mengangkat pandang,
tertadah ke bubungan atap katedral
berharap memandang keajaiban cahaya
warna-warni gambar kisah injil,
tercurah, bakal melimpahruah dalam mata.

Yang nampak keburaman semata,
sejuta pecahan cahaya silau di selaput mata!
‘Kulupa menderita katarak usia tua!

Kepalaku kutundukkan menatap
membiasakan pandang pada cahaya lilin.
Kubeli satu. Kunyalakan

atas nama kekasihku yang sudah mati
dan keyakinannya sebagai pemeluk teguh,
atas nama kepasrahan usia tua

sejenak bahagia mengenang
cahaya melimpahruah, pernah tercurah
pada selaput mataku

kini tersimpan
dalam matabatin terdalam
bersama sinar wajah pemeluk teguh,

kekasih yang sudah lama mati.


Di Lembah Swat
(Pakistan Utara)

berpedoman peta hati
kukunjungi stupa-stupa,
puing-puing istana dan biara

di lereng dan puncak
bukit-bukit lembah Swat

Kuamati wajah Sakyamuni
terpahat di karang
lereng terjal

di bawah sebuah gua pertapa.

Sehari dua jadi musafir
di zaman Asoka –

Tiba di pinggir sungai
mengalir lambat dan bening
aku berhenti

memandang di dasarnya
sekawanan ikan-ikan kecil

tak bergerak

disihir suara alam

membahana sepi.


Tanah Air dalam Lukisan
mengenang Sudjana Kerton

Ia melukis gunung
   sawah ladang hutan
      dan kehidupan tanah
                        kelahirannya

dilukisnya dari kenangan
   dalam kenangan dalam warna
      dan irama denyut jantungnya

dilukisnya jadi ungkapan
   sukaduka manusia dalam rona
      cahaya serta bayangan hari siang
                        dan malam purnama

bergetar sepanjang perjalanan
            merantau dari benua ke benua
            sebelum akhirnya pulang dan istirahat

di lereng kejayaan alam tercipta
            menyatu kekal dalam harumnya
               angin pegunungan Priangan

yang berhembus dalam
            hati si pengamat dari roh
               lukisan-lukisan yang
                                    diwariskannya

pada keturunan

6 April 2004


Pusuk Buhit
(Simbol dan Arti)

Menyambut kelahiran Batusuga
(10 Januari 1996 Klinik Henri Mondor Creteil, Paris)

Pusuk Buhit! Gunung segala gunung!
Kekallah kau, simbol bagiku, arti –
Batas Alam Jagadraya, dalam hati-Mu
Tersimpan langitmu dan bumiku
hidupku sepanjang lembah kehidupan
sedalam arti kematian, kemenangan
maupun kekalahan

Kekallah, kekal selamanya, Pusuk Buhit!
seperti birunya Laut L’Estaque*
dalam tangan pelukis Cezanne
seperti aku kini dan sejak semula Asal
dalam Kau, Pohon Jagadraya
di Bumi Leluhur! Simbol dan Arti,
Tangisku, Tawa dan derita Manusia
serta Kesetiaan
padamu – apabila, di manapun –
lagu terakhir akan kupendam
    nanti!

----
*L’Estaque: nama lukisan Cezanne, sebuah pemandangan laut


Pandang Setua Bumi

Di garis-garis pinggangnya
talut-talut rinduku menyelinap

di sembul-sembul pinggulnya
masa depan terbentang

di tubir-tubir pusarnya
masalalu diam

bertambah dalam tak terduga
di lubuk pandangnya

setua bumi


Sandi Digital

Suaranya bening
gairah rindu

membaca sajak
lewat telpon

pesan lugu
sekaligus tertutup

dalam sandi semiotika
melulurkan batas

antara Penanda
dan yang Ditandai

hanyut banjir
matabahasa tanpa kata

ingin berita
sepatah

sepatah kata saja


Perjalanan Malam
Sajak Rue de la Huchette

Untuk Radar Panca Dahana

Di jalan pendek lagi sempit ini
kutahu masih ada teater kecil tua
Theatre de la Huchette yang serba mini,
simpanan suasana abad tengah juga.

Di ujung sananya ada pula
Toko buku Shakespeare, persinggahan dulu,
pusat loak sastra dunia di usia menggebu,
khayal muda boheme serba bebas dan bahagia.

Dunia abad tengah mahasiswa Paris.
Quartier Latin seniman abad sembilan belas jaya,
di pinggir Montparnasse St. Germain des Prés,
menjelang akhir abad 20 pula.

Saat diri adalah Van Gogh, Gauguin, Picasso,
sekalian Rimbaud, Lautrec, Baudelaire, Ionesco,
ya, terlebih Shakespeare, si-pujangga Inggeris

– gaung suaranya – sambil mimpi:
The World is a Stage dan Diri
sekalian penonton, tapi terlebih pelaku memerlang,

di panggung percintaan sehari-hari,
di jantung Paris abadi – panggung musimsemi –
tidur di siang – berangkat petang.


Eksil

Di makam Budiman Sudharsono
di pinggiran kota Paris
untuk Farida dan Pierre

Di alam kata-kata tak terucap
kami menjeput tanah
kami menghirup air purba

negeri kelahiran

Kami berkumpul
berdatangan dari diaspora Eropa
bersatu di tanah
dan air kenangan

Kesempatan bertemu lagi
mengantar seorang teman

Kami kuburkan di tanah orang

Merayakan setiakawan
persahabatan
kekal karena
dan dalam

matinya

menyatu dengan
cinta dan rindu

tanah airnya.

Nusantara abadi!

Februari 1999


Peta Perjalanan

Di hadapanku pantai Adriatik
pelabuhan Dubrovnik
Di seberang sana jazirah
Italia tujuanku besok

Ingin nyeberang seketika
tapi lebih tak tertembus
daripada hadangan laut di hadapan
menghadang tembok kubu
sistem bermusuhan
hasil sejarah pikiran
benua Eropa yang satu

Di hadapanku peninggalan tua
dan kenyataan hari ini.
bertemu di seberang negeri
aku melintasi batas-batas ragam ideologi
melampiaskan petualangan mimpi
dengan paspor republikku
terpukau keragaman bahasa
dalam kesatuan ruang dan waktu
yang meliputi benua
sampai ke perbatasan Asia.

Dari Moskwa aku terbang ke Yugoslavia
besok akan ke Italia dengan kereta
ambil jalan melingkar melalui Slovenia.

Hormat kepada peradaban
yang menata jaringan angkasa
melilit bola bumi
dengan jadwal pasti!
salam kepada penjelajah
yang jejaknya kutelusur
di gaung perunggu langkahku
hari ini,
di atas tembok kuno
menghirup udara pagi
menatap legiun Romawi
di atas armada mendekati pantai,

sedang di bawah langit sebelah kiriku
kutahu Laut Aegea,
Yunani yang masih terencana
ya, Athena abad mendatang
di gugusan pulau dongeng purba.

Di kaki langit sebelah kananku
Venezia –
walau ingin ke sana tak sampai
kali ini
karena aku masih harus singgah
di daratan berbukit Perancis
di alur lembah sungai-sungai Jerman
melalui puncak salju Swiss
turut garis petualangan Hannibal
mencari tahu
asal-usul keresahanku
di jantung sejarah Eropa
yang bahasa dan budinya
berdegup dalam nadiku
dan kebebasan cintanya
mengendap dalam diriku.

Di hadapan laut Adriatik
pelabuhan Dubrovnik.
Di seberang sananya – di hatiku
terhampar peta Eropa
zaman klasik
hingga duniaku hari ini

saat aku datang dan segera pula pergi
datang lalu pergi
seperti legiun Romawi dulu
seperti saksi semua imperium
silih berganti
di layar khayal pencarian kekal
di akrab batu-batu alam

Eropa yang kudatangi lalu kutinggalkan
di pinggang landai perempuan-perempuan
berjemur telanjang
seeprti Yunani
berserakan di pantai matahari

musim petualangan baru,
manusia pendatang di pantai Eropa
bangkit dari masa lalu Asia
serta hutan Afrika
dan gurun pasir Arabia

menggauli perbauran warna
serta impian
dalam adonan
pelukan mesra
masa lalu dan masa datang

di wajah remaja Eropa
yang merindukan negeri jauh
sepeninggalku.

1977


Lukisan dalam Lukisan
untuk Srihadi dan Farida

Lukisan ini

sejeput sajen kembang
di daun pisang
terapung
di pantai pasir
samudra sepi

dua perahu tak jauh
di sebelahnya tergolek
(pantai kosong manusia
namun
penuh gema jejak)

Kehadirannya
terapung di irama bacaan mantra
di arus samadi
sungai Gangga batin

mengalir
di hati pengamat
lagu dirinya
terdalam …..

28.07.01


Lagu Lautan Nusantara
(berita ziarah, Agustus 1999, di pinggir Danau Toba,
di tengah kemelut sejarah bangsa)

kepada Gus Dur, pewaris
tugas mahabesar

di lembah menghadap teluk ini
berulang kali kita masih
akan datang –
juga berharap pulang
bila umur panjang

kini aku ziarah
masuk alam suratan takdir
di bayangan gunung-gunung berapi
yang membentengi dataran tinggi,
danau-danau dan tanah datar
pesisir tanahair

datang untuk sujud
berulang mendengar kissah-kissah
di desir sawah ladang dan
gelora sungai-sungainya

menyusu
pada sejarah Ibu Pertiwi
pilihan dan karunia
dari antara alam enam benua
– Nusantara kita!
– Kini dalam bahaya!

Kancah nasib-peruntungan
keturunan demi keturunan
dititipi panggilan hidup
dalam gema nyanyian
peredaran bulan dan matahari
Terbentuknya negara-negara
pada 17 Agustus 1945!

pemikul tugas pencipta
pewaris nilai peradaban baru
berinti cinta tanah air tunggal!
pusaka kelahiran di setiap dusun
dari Sabang sampai Merauke
di lembah di pegunungan
sepanjang setiap sungai
sekujur pantai seluruh Nusantara

dalam ayunan irama pasangsurut
samudra sejarah
demi hukum ber-Tanah Air
demi karunia Maha Pencipta!

Sepanjang masa!


Kesadaran Berkonstitusi

Kepada Bung Karno dan Bung Hatta

Sadar berkonstitusi – padamu berarti –
sadar bersejarah sadar berbangsa –
dari amal dan ajaranmu –
berarti: sadar beralam lingkungan

tempaan setiakawan paguyuban
beralam nusantara-bahari
nelayan buruh tani pedesaan
sadar berpaguyuban bertanah air

manusia Indonesia rindu pembaharuan
keadilan kemakmuran, membanting tulang,
demi kemakmuran keadilan –
dwi-tunggal pembangunan sejati

berdasarkan konstitusi-hati konstitusi kemerdekaan
tersurat di proklamasi tergurat pengurbanan
darah tenaga pikiran usia
pejuang demokrasi menguasai ilmu
sebenar ilmu

amanat puluhan juta manusia Indonesia
pemrakarsa modernisasi sejati, yakni

merdeka lahir-batin: Induk segala ilmu
menegakkan kearifan kebebasan berkarya

membongkar manipulasi rohani dan ekonomi
oleh penjajahan lama penjajahan baru
penjegal gagasan 45
bertopeng ilmu


Nyekar di Pusara Bung Karno

Untuk Rachmawati
dan Isti

“Ziarah ini tak ada akhir”
kudengar bisikan Sukma
hafal kata-katanya dan duka
kedalaman suara cinta tanah air.

“kembang-kembang bertebaran di atas Pusara”
pesan wajah Isti yang duduk
di samping Rachma.
Itu pun kudengar, sekalipun tak diucapkan,
Ibarat Zikir tanpa akhir.

Satu tujuan datang di Blitar,
menuruti suruhan nurani untuk nyekar,
menyertai doa khusuk para kiai tercinta
dan air mata setiap patriot tanpa nama.

Hikmah dan maknanya kuresapkan
si tawar si dingin, dalam kembara berkelanjutan,
dalam ziarah, menyelami nikmat kemerdekaan
dalam amal Bung Karno untuk kita sekalian.

Blitar, 21-6-1993


Tentang Sitor Situmorang
Sitor Situmorang lahir 2 Oktober 1924 di Harianboho, satu desa di kaki gunung Pusuk Buhit. Buku puisinya antara lain: Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Peta Perjalanan (1977), Angin Danau (1982), The Rites of the Bali Aga (2001, kumpulan puisi yang ditulis langsung dalam bahasa Inggris), dan Biksu tak Berjubah (2004, usia 80 tahun). Kumpulan cerpennya: Pertempuran dan Salju di Paris (1956), Danau Toba (1981), Salj di Paris (1994), Kisah Surat dari Legian (2001). Juga menulis cerita film, Darah dan Doa (1950), novelet, cerita anak, dan autobiografi, Sitor Situmorang Seorang Sastrawan ’45 Penyair Danau Toba (1981).


Catatan Lain
Pada identitas buku, tertulis jumlah halaman sebagai berikut: xxxix + 518, 14 x 21 cm. Namun jika dicek ke dalam buku, halaman romawi hanya sampai xviii dan halaman latin hanya 480 saja. Saya pikir, selisih ini terjadi karena identitas ini mengambil dari buku sebelumnya atawa katakanlah buku 1-nya. 
Dari total 480 halaman, puisi hanya sampai halaman 335. Selanjutnya ada ‘sumber’, yaitu sumber pengambilan puisi (hlm 337-374), Indeks judul (375-385), Versi-versi berlainan sajak-sajak Sitor Situmorang 1948-2005 (hlm 387-467), biodata penyair (hlm 469-473), biodata J.J. Rizal (hlm 473), daftar buku-buku. 
            Berikut disajikan beberapa puisi yang memiliki versi-versi berlainan:

Pamflet
buat Henk Ngantung

Kaulah teman yang paling dekat
Karena itu aku musuhmu
Andaikan jurusan ada empat
Demikianlah diriku di dirimu

Kaulah teman yang paling dekat
Karena itu aku musuhmu

(versi Map PDS HB Jassin 7 Agustus 1953)


Pamflet
buat Henk Ngantung

Kaulah teman yang paling dekat
Karena itu aku musuhmu
Andaikan jurusan ada empat
Demikianlah diriku di dirimu

Kalau hati mendekap segala
Bukan untuk lunaskan hutang
Hanya karena tugas bernama manusia
Sungguh dalam dan terlalu lapang

(versi Zenith, No. 9, Thn. III, September 1953. Hlm. 357)


Ompu Raja Bunbunan
Urat Bona Pasogit

sebatang beringin, tempat leluhur
di bayangnya bermusyawarah hal hidup
dan hal baka
sebuah mata air dari batu karang
sumber pelepas dahaga 7 keturunan
kali 7 keturunan, aku pun lahir
sebuah rumah asal disebut parsantian
perlambang jagat tiga tingkat
bumi atas bumi tengah bumi bawah
dari halamannya sejemput tanah keramat
kutiup nafas
bakal alas jasad bakaku tegak
di atas segala bumi leluhur
Ompu Raja Bunbunan
pengawal adat lembaga di Tanah Urat

(versi Map SS PDS HB Jassin)


Urat Bona Ni Pasogit

Sebatang beringin, tempat leluhur
di bayangnya bermusyawarah hal hidup
dan hal baka

Sebuah sumberair dari batu karang
sumber pelepas dahaga 7 keturunan
kali 7 keturunan, aku pun lahir

Sebuah rumah asal disebut Ruma Parsantian
perlambang jagat 3 tingkat:

Bumi Atas
Bumi Tengah
Bumi Bawah

dari halamannya Leluhur mengambil
sejemput tanah keramat bakal alas
jasad baka keturunan di mana pun berkubur kelak,

berpadu dengan Bumi Leluhur
Ompu Tuan Situmorang,
pendiri Adat Lembaga,
di Tanah Urat
Ulos Na So Ra Buruk
pemberian Yang Mahakuasa

kepada 7 cabang keturunannya

1994
(versi dokumentasi J.J. Rizal)


Dukaku Abadi
(sebuah ziarah)

Sejuta surat
sejuta rayu
tak kuasa lagi

menguak diammu

Diam-mu
lidah api
di alam baka

Di bibir-mu
(kini terkatup dan selamanya)

cinta luput
menitipkan
hati-mu remuk

di rahim
dukaku abadi.

Tanah Kusir,
13 Januari 1995,
Hari ulangtahun Maria

(versi dokumentasi J.J. Rizal)


Di Makam E.M.

Sejuta surat
sejuta rayu
tak kuasa lagi

menguak diammu

Diam-mu
lidah api
di alam baka

Di bibir-mu
(kini terkatup
dan selamanya)

cinta
menitipkan
di hati remuk

di rahim
dukaku abadi.

Tanah Kusir, 13 Januari 1995
(versi Paris la nuit, Komunitas Bambu, 2002. Hlm. 202)

1 komentar: