Laman

Tonggak

Minggu, 03 Juli 2016

Yopi Setia Umbara: MENGUKUR JALAN, MENGULUR WAKTU




Data buku kumpulan puisi

Judul : Mengukur Jalan, Mengulur Waktu
Penulis : Yopi Setia Umbara
Cetakan : Desember, 2015
Penerbit : Gambang Buku Budaya, Yogyakarta
Tebal : viii + 61 halaman (56 puisi)
ISBN : 978-602-72761-6-1
Desain sampul : Damar N. Sosodoro
Desain isi : Mawaidi D. Mas
Sumber foto sampul : “The main street of Oradour-sur Glane” karya Dennis Nilsson

Beberapa pilihan puisi Yopi Setia Umbara dalam Mengukur Jalan, Mengulur Waktu

Dalam Hujan

dari langit
sajak-sajak turun
sebagai juru selamat
bagi setiap kesunyian

2012


Mengukur Jalan, Mengulur Waktu

denganmu mengukur jalan
di antara gedung-gedung besar
di kota yang tercipta dari gairah

celah sempit dilalui banyak orang
dan kendaraan semua bergerak
beradu cepat entah ke mana

seperti kita yang masih tak jelas
bergegas hendak pulang
tak tahu ke mana

perjalanan hanya mengulur waktu
mencipta kesedihan demi kesedihan
sempurna sebagai nisan ingatan

mungkin petualangan belum usai
namun di sepanjang jalan
aku mencium aroma kematian

2008



Di Teluk Batukaras

di sunyi teluk batukaras
aku duduk memeluk lutut
menahan dahsyat arus rindu
yang terus bergetar
pada hamparan pasir
juga batu-batu karang
seperti hempasan gelombang

perlahan pasang laut petang
menerjang sebagai kau
berhembus sekencang angin            
meruntuhkan keheningan
dan meluruhkan daun-daun
menyerahkan segalanya
hanya kepadamu

2012


Artifisial

mungkin langit hari ini
hanya seluas monitor komputer
atau layar handphone
yang seolah-olah jendela

melihat riuhnya dunia
seperti puas hanya dari permukaan
di dalam kamar
seakan semesta akan terbentang

diam-diam kita lebih takjub
lebih mengagumi diri
yang memantul sebagai bayangan
nyaris sempurna jelmaan khayalan

bagai karakter hologram
seketika mewujud lalu pecah
menjadi riak-riak cahaya

2010


Pertapa Gunung Lagadar

tebing-tebing batu adalah pertapa
senantiasa tetap tenang terjaga
meski eskavator terus menderap
lalu perlahan-lahan mengeruknya

tak ada yang mampu mengganggu
keteguhan semedi dalam mereka
walau mesin-mesin pengangkut
hilir mudik menggotong tubuhnya

2012


Pagi di Jakarta

orang-orang bergegas
lebih laju daripada kereta rel listrik
lebih tergesa daripada metromini

seolah-olah tak ada waktu lagi
sekadar menghirup udara pagi
apalagi menulis sebuah puisi

semua orang bergerak
berjejal memenuhi jalan raya
menjadi mesin peradaban jakarta

2012


Senja di Tanjung Palette

di ujung senja bercampur gerimis
jejak-jejak waktu terus berderak
sepanjang jembatan kayu renta

angin utara menjadikannya hujan
gelombang laut semakin kencang
buih-buihnya menerjang karang

sunyi tanjung mendekap jantung
mencatat kekosongan tebing jiwa
menyiratkan segala tentang maut

2013


Pagi, Gerimis, dan Kenangan

pagi
adalah mula bagi segala cinta

gerimis
menjadi kata-kata para pecinta

kenangan
merawat kita yang mudah lupa

2013


Lagu untuk Zul

ketika maut tiba, kawan
maka sajak melagukan hidup
seperti selembar kafan
membungkus setiap keriangan

jiwa yang senantiasa abadi
membebaskan tubuhnya
kembali ke pelukan tanah
paling murni dan hangat

setiap pesan terakhirnya
tak pernah meminta jawaban
jika kita masih punya cinta
ia pasti ada dalam diri

2014


Di Lembah Lembang

akar rumput liar tumbuh menjalar
seolah mengajarkan kesabaran
pada tanah lembah yang tabah

hembus angin dan desis tonggeret
mengisi udara penuh ketulusan
sedari pagi hingga petang hari

kala petang diam-diam jadi malam
derik jangkrik dalam liang gelap
setiap menjaga dingin kesunyian

2012


Kepada Waktu

di segala jalan
menumpuk ribuan lembar daun
jatuh dari pohon-pohon cuaca
sepanjang musim rusuh
berebut kata-kata paling singkat
menuntas batas antara kesadaran
dan kesederhanaan

burung masih beterbangan
melintas langit
tempat tinggal tambah sesak
bayangannya memanjang
menjelma sebagai dasamuka

bila tiba malam
bayangan itu menelan kita
tak sisa sedikit pun
lalu kita meraba-raba
di mana ruang paling pantas
untuk sembunyi dari hasrat hidup
yang terus memburu

2008


Malam Berjalan Tanpamu

melewatkan malam-malam lengang
dalam merenungi jalan yang kutempuh
tanpamu terasa lebih sepi
hanya sepatu setia menjaga langkah waktu

sementara angin begitu rajin
menyisir rambut di semua bagian tubuh
lalu menusuk ke balik kulit yang rapuh
terhadap setiap perubahan cuaca

sampai menggigil hati dan jiwa
di tangan kupegang kuat-kuat selembar kertas
berisi sajak yang menjadi peta
sajak yang semacam nyawa itu

menggelepar-gelepar dalam genggaman
mungkin ikut merasakan
betapa tersengal-sengalnya nafas
yang masih setia menuntun hidup

melintasi remang lampu jalanan
pohon-pohon pinus yang kehilangan aroma
rumah-rumah besar berpagar keangkuhan
juga bau bangkai tikus di got yang menyiksa

di sepanjang tanah malam dulu kita sering berjalan
menyusuri keheningan demi keheningan
namun langit kali ini teramat sunyi
dan aku seakan tak bergerak ke mana pun

hanya mengulang-ulang langkah
pada jalan yang telah jutaan kali kupijak itu
ternyata tanpamu aku semakin tak tentu arah
hingga setiap pulangku tak lebih dari singgah

2008


Di Bukit Jayagiri

hujan tak juga reda
jajaran pohon cemara
tegar terbungkus kabut

pada dedaunan
juga tanah basah
hanya aroma hujan

debar di balik dada
menggemakan namamu
pada bumi yang dipijak

2012


Aku Bergegas Menujumu

pada jalan menujumu
aku bergegas layaknya sungai
yang dipaksa cuaca sampai ke laut
lalu merangkak ke langit
dan sebagai hujan harus kembali
basah di bumi

garis-garis pada tanah kering
seperti wajahmu yang terus tua, kekasihku
adalah ilustrasi jutaan tahun bumi berputar
juga kubur-kubur itu tempat maut kita

kemarau turun dari pohon-pohon dewasa
bagai daun-daun lelah
barangkali mereka semacam kita
terkadang butuh waktu istirahat

kupungut satu daun paling regas
kusimpan dalam saku untuk kuberikan padamu
sebagai bukti bahwa begitu panjang jalan
yang harus kutempuh
untuk sampai padamu, kekasihku

pada jalan menujumu
bukit-bukit mulai dikikis
tidak ditanami lagi tumbuhan
melainkan ditumbuhi tangga-tangga tinggi
menjulang ke langit
melebihi menara-menara sunyi rumah tuhan

di bawah terik matahari
di dalam lembab
udara menghembuskan nafas
seperti manusia yang udzur
begitulah langkahku, kekasihku
tapi yakinlah dan tunggulah setia
karena aku bergegas menujumu

2007


Ode untuk Stasiun Kereta Kelas Tiga

stasiun itu nampak ramai, widzar
meski bau pesing dan tampak makin sibuk
mengatur keberangkatan juga kedatangan
penumpang-penumpang gelisah
mungkin belum selesai menuntaskan perjalanan
barangkali mereka hendak pergi atau pulang
atau sekedar pelancong kelas tiga yang selalu riang
menggendong tas punggung dan kamera murahan
peta kota-kota lusuh yang ingin mereka singgahi
setelah kereta sampai di suatu tempat paling sunyi
bagi kita yang tak pernah merasa puas bertualang

2010


Seperti Kesunyian
: El Gabo

seperti kesunyian
menjelma macondo yang malang
roh jahat dan bayang ketakutan
menyerupai ujung bedil
mengarah pada kepala kerdil

bumi adalah anak yatim
terus diserbu pengungsi
dengan perut lapar tanpa harapan
tank-tank pembunuh bagai badai
mengintai bangsa manusia

bocah yang tak mengerti
kenapa dunia diciptakan
dari jutaan selongsong peluru
tak pernah bisa bertanya
selain mengisap ingusnya sendiri

2014


Tentang Yopi Setia Umbara
Yopi Setia Umbara lahir di Bandung, 30 maret 1984. Alumni Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pendiri Jalan Teater dan buruan.co. Puisinya tergabung dalam al. Herbarium (2007), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Tanah Pilih (2008), Di Atas Viaduct (2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (2009), Berjalan ke Utara (2009), Percakapan Lingua Franca (2010), dll.


Catatan lain
Salah satu buku yang tanpa pengantar, juga tanpa testimoni teman. Di sampul belakang ada dua petikan sajak, yaitu “Dalam Hujan” dan “Aku Bergegas Menujumu”. Kalau kita buka halaman 20, maka judul yang tertulis adalah “Mengukur Jalan, Mengukur Waktu”. Dan judul tersebut bertentangan dengan daftar isi buku, dan tentu saja judul buku ini. Selain itu, di dalam puisi juga tak ditemukan kata “mengukur waktu”, yang ada hanya “mengulur waktu”. Jadi, besar kemungkinan itu salah ketik. Sehingga puisi yang tampil di sini adalah “Mengukur Jalan, Mengulur Waktu”

4 komentar:

  1. Salam,

    Terima kasih atas apresiasinya. Betul sekali mengenai judul sajak "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" ada salah ketik. Catatan di atas sangat tepat.

    Terima kasih
    YSU

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kami ini, para penikmat puisi, macam si kesunyian saja, dimana sajak-sajak turun sebagai juru selamat (meminjam sajak Dalam Hujan). Jadi, mestinya kamilah yang berterima kasih atas sajak-sajak yang ditidak-keberatani untuk dibagikan. Terima kasih. Salam puisi :)

      Hapus
    2. Kereen abiisss sukses teruss jadi pujangga melegenda seprti pendahulu
      Mantap ditunggu ngopi lembangnya

      Hapus
  2. terima kasih bang sudah berkenan membuat sekaligus menghadirkan karya-karya ini, saya tunggu karya berikutnya, semoga selalu sukses dan bersemangat dalam berkarya

    BalasHapus