Laman

Tonggak

Jumat, 02 September 2016

Mudji Sutrisno: REKAH LEMBAH



Data buku kumpulan puisi

Judul : Rekah Lembah
Penulis : Mudji Sutrisno
Cetakan : I, November 2007
Penerbit : Hujan Kabisat, Jakarta
Tebal : vi + 122 halaman (56 puisi)
ISBN : 978-979-17061-0-0
Penata lay out : In Bene
Design cover dan foto : Henry Sudewo

Rekah Lembah terdiri dari 6 bagian, yaitu Yogyakarta (8 puisi), Ibu (2 puisi), Roma (8 puisi), Hening (7 halaman), Gerhana (21 puisi), dan Rekah Lembah (10 puisi).

Beberapa pilihan puisi Mudji Sutrisno dalam Rekah Lembah

Di Depan Kematian

di depan kematian
kita diajak berhenti sejenak
menekuri hidup yang diselesaikan
mengingati jalanan musafir kita

lalu sapaMu menepuk bahu
pelan menyadarkan
hidup berasal dari Mu
berada di tanganMu
Sang Maha Seniman

moga kami ziarahi oksigen hidup
dalam hela hela
nafasMu
Sang Maha Cinta!

Mei 2007



Ais

adalah jarak
makna
menghayati

ketiga kata
sia?
isa?
dan ais?

bila meruang:
hidup adalah sia-sia
hayat di jalani isa

anak semuda itu
meng-ais ais
demi hidup

di reruntuhan sampah
dalam
ikhtiar melawan
rerintihan?

Bantar Gebang 2003-2006
(catatan saya: pada baris ‘hayat di jalani isa’, saya pikir, memberi 2 kemungkinan tafsir,
yaitu ‘hayat di jalan isa’ atau ‘hayat dijalani isa’)


Hidup yang Melupa

hidup ini
merangkai rajut rajut ingat
memburai pasir pasir lupa

bila kau nelayan
sia sia mentautnya
dengan cabik layar
bidukmu salah jalan

bila kau peladang
lupa lupamu mencangkul
jasad jasad saudaramu sendiri

ingatmu singkat
tanah mestinya rahim
padi padi
ubi ubi
hingga anak anakmu sehat tumbuh

lupa panjang bekumu
mengairi merah darah
pematangnya
hingga amis dengki meraja
sementara wangi tanah tak singgah
di nafasmu
apalagi di hatimu

hidup ini menapaki lupa sesaat ingat sudah lama membatu nisan


Belajar

yang mengasyikan diharap menggembirakan
yang menggembirakan diharap menyembuhkan
yang menyembuhkan moga menghidupkan
karena memberi makna pada kata
sama
memberi ruh pada huruf aksara
sama
memberi nyala baru
bila lilin setengah padam   diterpa alam
    setengah pejam     dilarut malam

moga yang berbahasa lilin
belajar menghangati yang beku
menerangi yang pekat
dalam saling membagi nyala
bila di tengah jalan padam
saling menuntasi hilang hilang diri

ketika rebutan diri
dihayati
tanpa hati

moga yang berbahasa malam
belajar pada purnama bulan
agar tak keliru bayang
dikira pedang
hingga menetes darah
di sawah saudaramu
di kawah saudarimu!

4 agustus 2006


Doa (2)

andai kata serangkai ini
dimaknai arti

andai ucap sederet ini
dihidupi

andai diam hening ini
diseberangkan perlahan
menuju samadhi

doamu jadi nafas sehari hari
lakumu jadi sentuh sapa terpilih
dalamNya
dariNya
atasNya!

1 agustus 2006


Gerhana (1)

gerhana september ini
mentaut cium
bumi
bulan
di ranjang mentari
dalam hangat alam
dalam dekap semesta

kala alam bergerhana,
berkelindan
pagut memagut
di puncak
pucuk tepian
hidup
dan kematian,

alam manusia
meradang
gerhana sukma
gerhana hampa makna
gerhana budaya

2006


Lingkar Pudar

kita hanyalah pencatat
tapak sejarah kecil
dalam
mosaik mungil
jalan peradaban!

kita hanyalah sepelempar kerikil
yang jatuh ke tenang danau
berpendar
mencipta
lingkar kecil kecil pula!

namun lingkar membesar
menggoncang
mengerikan
kala
sejuta kerikil
memendar
bangunkan
kebekuan
kemapanan malas kita!

2005


Wanita Jompo di Musim Dingin di Roma

ada perempuan jompo
termenung di depan rumah

wajah sayu,
sorot matanya redup
sendiri ia melamun tanpa siapa-siapa

aku teringat pada ibu-ibu jompo di tanah air

tak pernah mereka termenung sendirian,
pasti ada satu dua cucu
menemani dan
bermain dekatnya
sebelum kota merampasnya

sorot mata kaca-kaca itu
mengangguk padaku
seakan sebuah alamat
salam untukku


Surat

sudahkah kau seberangkan
wewangi semboja
heharum kuncup bunga talok
ke rerintihan jasad

pantai selatan
di celah
reruntuhan?

bukan dalam ombak kata janji berjanji
bukan dalam kibar kibar bendera diri

namun bisik hati luruh luruhmu
mengukuh utuh retak retak ruhmu

teguhi lagi ayun cangkulmu
sentuhi liat rajut tembikarmu
hayati sulam

gores garis lentik batik jarimu
hingga samadimu menyatu mata candi

30 juli 2006


Getsemani

saat ini
adalah
saat saat sunyi namun suci

bila dihayati
dalam prihatin hati

hingga sunyi jadi sepi
hingga sepi jadi suci

dalam hening
dalam hati

2003


Alam

setahun ini
kutatapi ganti hari pagi
tak satu pun nuansa
sama

356 hari petang
kujelang rembang
tiap kali tak berulang

alam mengajari keunikan
beda cercah
ragam semburat
tak pernah
serupa
tak pernah senada

Tuhan semesta
menghadiahi
raya warna
mengajari indah dalam beda
mengapa
mau
paksa tunggal makna?

Mei 2006


su-NYA

tak ada bayang tanpa terang
bayang mengikuti terang
tak mungkin sebaliknya!
Tak ada terang mengikuti bayang

sementara hidup
mengajar
bayangmu sepanjang badanmu
tak lebih
tak kurang:
“suchness”
ungkap guru Zen Budhis
“as it is”
sebagaimana adanya
tak lebih tak kurang
hening sepanjang sunyi yang direnungi
renung dalam hening
menjadi sunya

sunyi sedalam Dia
sepanjang Dia
sunyi dalamNya: su-NYA

setiap sunyi ada dalam NYA!

4 agustus 2006


Rekah Lembah

bentuk belah
bermahkota lembah
mengundang pembuah
merekah

menanti sabar
dalam rahim rumah
siap
dihantar
menyongsong matahari cerah

apakah tanah kau cangkul
dengan tari penghidup?

ataukah cangkul
kau ganti lembing dan pedang
hingga
rahim semula penghidup, kini berdarah-darah
dalam tari perang?

bentuk celah lembah pembuah
rekah rekahmu mengucur darah
meladang
menjawab
menyaji pilihan: mati atau hidup?

2006


Iman

betlehem cuma desa mungil
tak terpandang,
dan di sana
sebuah pijar lilin kecil menyala
di tengah
banyak listrik gemerlap

di sana
sebuah kerlip kunang
merekah
menyibak pelan
tapi pasti
malam pekat

keberanian untuk mau percaya
dalam yang kecil
pada yang tak kentara
pada lambatnya jalan cinta
ketabahan dan kesabaran

itulah keberanian menghayati
natal Betlehem
hingga Paskah Golgota

aku masih mau percaya
bahwa kerlip kunang cinta
lebih kuat
dari sejuta ledakan
bom teror kebencian!

Desember 1984



Pada awalnya, adalah…

1          pada awalnya adalah sunyi
ia diresap-resapi,
dirasa-rasakan,
dihayati
menjadi hening
dalam berkahNya
ia menjadi su-Nya
sunyi dalam Nya

2          pada mulanya adalah sunyi,
ia dibaca dengan hati,
diikhtiarkan,
diwajahi dalam suara
dilembutkan,
dikeraskan,
dilagukan menjadi nyanyi
ditangkap gelombangnya
dalam nada
jadilah melodi

3          pada awalnya adalah nada
ia digeletarkan dalam genta
mengundang manusia datang
berdendang dalam gerak tangan
berderak dalam gerak kaki
menghentak
berirama
serentak
hentak
menghentak mengikuti nada
menggelegar
memintah
gunung ke lapang,
berderap
membahanakan,
keriangan rusa segerombolan
kawanan demi kawanan
lalu nada genta menjadi tifa
selang seling pekik riang
lolong sakit perih
teriak nyaring membelah gunung
sebagian balik dalam gaung
dicoba kata-kata
dalam mantra
melintasi lembah
dalam genderang
tari perang

4          pada awalnya adalah sunyi
ia dihayati dalam diam
menjadi hening,
dicoba ungkap dalam gerak
perlahan tangan jemari
luruh
membahasakan
irama sunya
melodi hening
menjadi tarian
hidup yang berdoa

5          pada mulanya adalah sunyi
ketika manusia belajar mengucapkannya
ia menjadi kata
disusun dengan logika menjadi bahasa
namun
manusia kembali sunyi
ketika terlalu berbahasa budi
ia mencari bahasa ucap hati
semula masih prosa
lalu
muncul puisi
sebagian hati terucapkan
namun sunyi kembali padanya
manusia mencoba menggambar
dengan garis,
jadilah ia sketsa
dari sunyi
ditarik garis dengan hati
dalam hening senyap apa adanya
terus dilukis sketsa
maka jadilah sketsa hening kehidupan

6          dari sketsa sahaja
bila bernada ia menjadi suara
bila bermelodi ia menjadi musik
bila bergerak berirama
lahirlah tari
lahir drama
lahir bahasa-bahasa syukur
perayaan kehidupan
yang mengarus
mengalir darinya
bagai
oasis-oasis peradaban
yang mau membasuh
luka-luka darah
genderang perang
didandani lagi
jadi tifa-tifa tari
perawat kehidupan
lantaran menyadari
manusia lahir
dari rahim kehidupan para ibu
dan bukan
diasalkan
dari pedang
genderang
perang

dari sunyi,
menjadi hening,
dalam bening
bermuara oasis keindahan hidup
dalam kata berprosa
dalam kata berbisik puisi
menjadi tarikan garis hati
mewujud dalam sketsa
demi sketsa
terajut sketsa kehidupan!

Galeri Nasional 21 Januari 2007
disela-sela pameran


Mudji Sutrisno
Mudji Sutrisno lahir di Surakarta, 53 tahun lalu (nb. buku dicetak November 2007, jadi  kemungkinan lahir tahun 1954). Lulus dari seminari Mertoyudan tahun 1977, Sekolah Tinggi Driyarkara, 1977. Mendapatkan gelar MA dan PhD dari Universitas Gregoriana, Roma, Italia, 1986. Saat ini tinggal di Jakarta dan menjadi dosen, telah menulis sekitar 20 buku terkait estetika, filsafat, sastra, dan kebudayaan.


Catatan Lain
Saya mau mengutip kata pengantar yang ditulis penyair di halaman iii dan iv, yang dijuduli Mencoba Berbahasa Kidung: “Dalam debat pembentukan masyarakat oleh kuatnya bahasa kekuasaan ekonomis, kapital dan bahasa wewenang politik, maka yang muncul adalah bahasa-bahasa pertikaian kritik dan anti kritik. Ditambah lagi semarak bahasa lantang kekuatan kekerasan menyebabkan diam dirinya bahasa hati merenung dan berkidung....//Maka ziarah puisi yang bersenandung serta laku hidup yang mau selalu bernyanyi, memuliakan dan memperjuangkan harapan akan ibu pertiwi yang lebih saling sapa memanusia dan saling merengkuh dalam kemanusiaan yang utuh semogalah menjadi nyanyi rekah lembah yang menautkan paradoks-paradoks kita sesaudara sebangsa untuk menapaki jalan sunyi puisi yang sekaligus merupakan jalan tantangan musik peradaban!”    
Bukan cuma puisi yang hadir, ada 52 sketsa yang disebar secara acak di dalam buku itu. Dan beli buku ini, dapat bonus CD Musikalisasi Puisi. Ada banyak nama yang disebut dalam produksi Hujan Kabisat ini, saya hanya ingin menyebut producer (In Bene) dan Music Director (Ighnatius Ai Soedjadi) saja. Ada 12 lagu, yaitu Bayang; Sunyi; Jejak; Menengok Ibu Sepuh; Di Depan Kematian; Beriman; Doa; Bila; Redup Gempa; Tragedi Bumi; Gerhana dan Rekah Lembah. Kira-kira demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar