Laman

Tonggak

Selasa, 01 November 2016

M Aan Masyur: MELIHAT API BEKERJA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Melihat Api Bekerja
Penulis : M Aan Masyur
Cetakan : I, 2015
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 160 halaman (54 puisi)
ISBN : 978-602-03-1557-7
Ilustrator : emte
Desain sampul dan isi : emte
Pengantar : Sapardi Djoko Damono (Mendengarkan Larik-larik Aan Masyur)

Beberapa pilihan puisi M Aan Masyur dalam Melihat Api Bekerja

Sajak buat Seseorang
yang tak Punya Waktu
Membaca Sajak

Kata-kata bukan jembatan yang
bisa membuat sepatumu tidak
tersentuh lumpur. Kata-kata bukan
kendaraan yang pandai melayang
dan menghindarkanmu dari
kemacetan. Kata-kata tak ingin
jadi senjata untuk kaugunakan
membunuh atasanmu. Kata-kata
adalah awan yang mengamati
jendela kamarmu menjelang
matahari tenggelam. Pernahkah
kau membayangkan bagaimana
rasanya memiliki awan sebagai
hewan peliharaan? Ia lebih setia
dari kebiasaan buruk.

###



Menyaksikan Pagi dari Beranda

Langit menjatuhkan banyak
kata sifat. Tidak satu pun ingin
kutangkap dan kuingat. Kubiarkan
mereka bermain seperti anak-anak
kecil sebelum mengenal sekolah.
Mereka menyentuh pepohonan
dan membuatnya berwarna-
warni. Mereka memanjat dinding
dan jendela bercahaya. Mereka
mencelupkan jemari di kopi dan
mimpiku meluap jadi mata air di
halaman.

Orang-orang melintas membawa
kendaraan. Mereka menyalakan
radio dan tidak mendengarkan
apa-apa. Mereka pergi ke kantor
tanpa membawa kata kerja.
mereka tergesa, tapi berharap
tidak tiba tepat waktu.
Jalanan keruh sekali setelah pukul
tujuh pagi. Satu-satunya jalan keluar
adalah masuk. Tutup pintu. Biarkan
jalanan tumbuh dengan hal-hal
palsu.

Aku ingin mandi dan tidur
siang berlama-lama. Aku
mencintai kemalasanku dan
ingin melakukannya selalu. Pada
malam hari, aku ingin bangun dan
mengenang orang-orang yang
hilang.

Sudah tanggal berapa sekarang?


###


Masa Kecil Langit

Jika pada suatu sore kau
menemukan langit di tempat
tidurmu, jangan katakan apapun
tentang siapapun. Langit
jujur dan punya kemampuan
membayangkan dirimu sebagai
orang lain yang ia cintai atau
benci. Ia hanya menginginkanmu
menunggu. Ia akan pergi tanpa
kauminta.

Namun, pada penghabisan musim
hujan, langit menangis sepanjang
malam dan siang sperti kekasih
tidak bisa mengendalikan diri. Ia
sedang merindukan masa kecilnya.
Bening, penuh warna, dan tidak
memiliki prasangka.



Besok pagi, ketika kau bangun
dan menemukan langit di depan
jendelamu. Lupakan seluruh jadwal
kerja yang menguras jiwamu dan
jadilah bunga-bunga. Biarkan ia
mewarnaimu. Ajak ia menyusuri
jalan menuju masa kecilmu dan
biarkan ia pergi ketika kau sudah
sampai. Ia tidak tahu membuatmu
kehilangan.

Ia tidak bisa melupakan jalan
menuju tempat tidurmu.


###


Ketidakmampuan

Mereka yang asing dan tidak
mengenal namaku adalah
kekasihku—termasuk langit, bunga-
bunga, buku-buku tua, pagi, segelas
kopi, dan anak kecil.

Aku tidak ingin mencintai
pahlawan—mereka yang
pandai dan mampu mengubah
penderitaan orang lain
jadi senyuman. Aku tidak mau melihat
orang yang kucintai berubah jadi
patung di taman kota atau poster
di dinding sekolah dan diabaikan.

###


Mengurus Surat Keterangan Hilang

Ke kantor polisi—aku benci kantor
polisi—aku datang pagi-pagi. Minggu
lalu dompetku hilang dan harus
menjadi urusan negara. Aku tidak
bisa makan tanpa surat keterangan
hilang. Meski tabunganku kecil, bank
lebih percaya stempel polisi daripada
tanda tanganku atau nama gadis
ibuku.

Di kantor polisi, ada seorang ibu
menangis. Aku ingin bertanya
dia kehilangan apa, tapi polisi
melarangku mendekat. Bukan
urusanku, mereka bilang.

Alu pulang membawa surat
kehilangan dan senyum seorang
ibu yang belepotan air mata. Di
perempatan sebelum belok ke bank,
aku mengirim pesan pendek kepada
ibuku.

Aku baik-baik saja hari ini.

Tapi, aku takut menanyakan
kabarnya.

###


Menenangkan Rindu

Bumi tidak butuh banyak bulan.
Bulan sendiri, pandai, dan
kekanak-kanakan. Dia bisa jadi
pisang ambon, mangkuk pecah
ibumu, atau martabak utuh jika
kau lapar. Dia akan menertawai
kerakusanmu atau menjadi penuh
ketika kau kosong.

Biarkan bintang padam sebagian
dan langit tetaplah satu-satunya
yang tidak mudah kautebak. Langit
yang lapang dan dalam akan
berterima kasih kepada tubuhnya
karena kau punya mata dan
benak. Juga ungu tato yang kau
sembunyikan di balik malumu yang
pura-pura.

*
Langit tampak cantik karena mobil
yang kautumpangi bergerak cepat.
Jendela mobil mogok bukan
pasangan yang cocok buat kaki
langit. Langit pekerja keras. Dia
membutuhkan satu hari yang
cerah dan kekosonganmu yang
gerah untuk membuat matahari
sore seperti lukisan atau kota
kebakaran.
Warna yang sama bisa tampak
sunyi dan riang sekaligus. Langit
paham hal-hal semacam itu. Kata-
katamu bicara terlalu banyak
tapi tidak pernah cukup. Langit
selalu cukup dengan cuaca dan
pertanyaan-pertanyaan.

*
Jangan percaya pada kartupos
dan kamera seorang petualang.
Menyelamlah ke ingatannya dan
temukan senja selalu basah di
sana. Kau hanya boleh jatuh cinta
kepada ingatan yang menyerupai
langit: rentan dan tidak mudah
dikira.

Dia meninggalkanmu agar bisa
selau mengingatmu. Dia akan
pulang untuk membuktikan
mana yang lebih kuat, langit atau
matamu.


###


Pulang ke Dapur Ibu

Aku hidup di antara orang-orang yang memilih
melakukan usaha lebih keras untuk menyakiti orang
lain daripada menolong diri sendiri.

Aku ingin pulang ke dapur ibuku, melihatnya
sepanjang hari tidak bicara. Aku ingin menghirup
seluruh kebahagiannya—yang menebal jadi aroma
yang selalu membuat anak kecil dalam diriku
kelaparan.

Aku ingin hidup dan diam bersama ibuku. Aku akan
menyaksikan ia memetik sayur di kebun kecilnya di
halaman belakang untuk makan malam yang lengang.
Aku ingin membiarkannya tersenyum menatapku
makan tanpa bernapas.

Aku ingin melihat ibuku tetap muda dan mudah
tersenyum. Aku ingin menyimak seluruh kata
yang tidak ia ucapkan. Aku ingin hari-harinya sibuk
menebak siapa yang membuatku tiba-tiba suka
bernyanyi di kamar mandi.

###




Melihat Api Bekerja


Di kota ini ruang bermain
adalah sesuatu yang hilang
dan tak seorang pun berharap
menemukannya. Anak-anak tidak
butuh permainan. Mereka akan
memilih kegemaran masing-masing
setelah dewasa. Menjadi dewasa
bukan menunggu negara bangun.
Menjadi dewasa adalah menu
Favorit di restoran cepat saji.

Para tetangga lebih butuh pagar
tinggi daripada pendidikan. Sekolah
adalah cara yang baik untuk
istirahat berkelahi di rumah. Anak-
anak membeli banyak penghapus
dan sedikit buku. Terlalu banyak hal
yang mereka katakan dan gampang
jatuh cinta. Mereka menganggap
jatuh cinta sebagai kata kerja dan
ingin mengucapkannya sesering
mungkin. Mereka tidak tahu jatuh
cinta dan mencintai adalah dua
penderitaan yang berbeda.

Jalan-jalan dan rumah kian lebar.
Semakin banyak orang yang hidup
dalam kehilangan. Harapan adalah
kalimat larangan, sesuatu yang
dihapus para polisi setiap mereka
temukan di pintu-pintu toko.
Hidup tanpa curiga adalah hidup
yang terkutuk. Kawan adalah lawan
yang tersenyum kepadamu.

Selebihnya, tanpa mereka tahu,
sepasang kekasih diam-diam
ingin mengubah kota ini jadi
abu. Aku mencintaimu dan kau
mencintaiku—meskipun tidak
setiap waktu. Kita menghabiskan
tabungan pernikahan untuk beli
bensin.

Kita akan berciuman sambil
melihat api bekerja.

###


Menikmati Akhir Pekan

Aku benci berada di antara orang-
orang yang bahagia. Mereka bicara
tentang segala sesuatu, tapi kata-
kata mereka tidak mengatakan
apa-apa. Mereka tertawa dan
menipu diri sendiri menganggap
hidup mereka baik-baik saja.
Mereka berpesta dan membunuh
anak kecil dalam diri mereka.
Aku senang berada di antara
orang-orang yang patah hati.
Mereka tidak banyak bicara, jujur,
dan berbahaya. Mereka tahu apa
yang mereka cari. Mereka tahu
dari diri mereka ada yang telah
dicuri.


###


Kepada Kesedihan

Pada siang hari, aku tidak bisa
melihat kesedihan. Tapi, pada
malam hari, aku merasa kesedihan
selalu mampu menampakkan
diri dan membelai kepalaku—
membiarkanku tidur di
pangkuannya sebagai anak kecil.

Televisi telah mengubah pikiranku.
memejamkan mata berarti
menjadi politikus. Tidak ada yang
indah dalam hal-hal mudah. Dua
mataku akan berusaha selalu
terjaga. Aku memilih hidup sebagai
penjahat yang ceroboh—cuma
tahu melukai hidup sendiri.



Pada pagi hari, aku tahu ada
seseorang mengusir mimpi buruk
dari matamu dengan ciuman. Kau
terbit sebagai warna paling cerah
di taman.

“Jika kau tinggal mengucapkan
selamat tinggal, lakukan seperti
matahari tenggelam,” kataku
kepada diri sendiri.

Sampai ketemu besok pagi. Lagi.


###


Memimpikan Hari Libur

Bunga-bunga di beranda tertawa
melihat orang-orang melintas
membawa kendaraan berlibur
ke tempat ramai. Kemacetan,
supermarket, pelabuhan udara,
atau pantai. Hujan bergegas pulang
ke langit setelah bekerja keras
semalaman.

Di meja ada segelas buah-
buahan kedinginan menginginkan
cintamu keluar dari baju tidur.
Kau tenggelam di halaman koran
Minggu, membiarkan sejumlah
puisi berisi masa depan dan
masa lalu membaca matamu. Kau
mengenali puisi-puisi itu. Puisi ini
meniru mataku, katamu sembari
mengulang-ulang nama penulisnya.
Namaku.

Astaga! Kau mengagetkan pagi
seperti kota membangunkan
kesepian. Koran dan puisiku jatuh
menimpa dan menumpahkan
buah-buahan dari gelas yang telah
menempuh usia dan perjalanan
jauh demi menjilat lidahmu.

Aku bangun seperti hujan yang
pulang ke langit. Kepalaku tidak
berada di tempat yang tepat.
Aku berjalan ke kamar mandi
bersama potongan-potongan
mimpi. Pikiranku seperti lukisan
Frida Kahlo atau kisah-kisah Italo
Calvino. Aku memasukkan diriku
ke dalam hari libur dan harapan
bisa menemukan siapa namamu.

Sejak hari itu, aku tidak bisa
tidur lagi. Juga kau dan kesepian
barangkali.
###


Menyeberang Jembatan

Aku ingin mampu menceritakan
apa yang kurasakan ketika
berjalan sendirian di jembatan.
Ibuku penasaran kenapa aku
senang melakukannya. Dia tidak
mengerti waktu aku mengatakan:
aku memperoleh kebahagiaan
dari yang gentar gemetar di
diriku. Seperti jatuh cinta? Tidak,
Ibu. Dia diam dan aku merasa
kalah.

Perihal membosankan dan
percuma selalu lebih mampu
menemukan kata-kata untuk
mereka kenakan. Bagi yang
setengah-setengah, dan bagi yang
berdiri di tengah-tengah, kata-kata
semata jembatan yang seolah-olah
ada. Di diriku ada banyak perihal
yang terengah-engah tidak mampu
menyeberang ke jantung ibuku.
Mereka terpaksa menjadi rahasia
dan aku merasa bersalah.

*
Sejak kecil aku sering pergi
ke hutan. Aku membisikkan
pikiran dan perasaaanku yang
merahasiakan diri dari tinta kepada
pepohonan, sebelum mereka
ditebang dan berubah menjadi
pintu dan jendela, kursi dan meja,
atau buku-buku.
Setiap kali ibuku terpekur di
hadapan lemari, aku mungkin ada
di sana menemaninya. Ketika ibuku
berusaha membuat dirinya cantik
sekali lagi, rahasiaku barangkali
yang menggenggam cermin
untuknya. Jika ibuku tidur memeluk
diri sendiri, aku berharap ikut
menopang rindu dan tubuhnya
yang kesepian.

Dan andai dia menerima surat dari
suaminya, pikiranku sungguh ingin
bergetar di jari-jarinya. Perasaanku
sungguh ingin basah oleh air
matanya.

*
Ibuku masa lampau. Kenangan.
Dia selalu mampu mengecup
ingatanku, namun ingatanku kening
yang cuma mampu menunggu
dikecup. Kata-kataku selalu ingin
mampu menyentuh jantungnya,
namun mereka tidak punya jemari.

Puisi ini sama belaka. Sekumpulan
kata, batang-batang pohon mati,
yang bermimpi menjadi rumah
tanpa dinding. Semata memiliki
jendela, pintu, dan sesuatu yang
memeluki keduanya. Rumah yang
menunggu pertanyaan-pertanyaan
ibuku datang memberi penghuni.

###


Memastikan
Kematian

Seperti bulan, di dasar tiap kata,
kunikmati sepi dengan mengubah
benda-benda jadi bayangan.
Kuingin setiap cahaya tersenyum
melihatku sendiri. Kuingin tiada
apa pun mampu menampung dan
menjangkau kesedihanku.

Kejahatan ada di mana-mana.
Di kota-kota atau di kata-kata,
atau pada segala sesuatu yang
kausebut kita. Dalam bentuknya
yang paling sempurna, dia bernama
kebahagiaan.

Akan selalu kutemukan diriku
bersedih dan jatuh cinta kepada
laut yang memisahkan diri dari
puisi dan orang-orang kota yang
gemar berlibur. Aku mengajari
diriku berenang dan menjadi kuat.

*
Berkali-kali kauhadiri pemakaman
semata demi memastikan
kematianku.

*
Setelah mati, aku hidup sebagai
hewan peliharaan yang selalu
tak mau kausangkarkan atau
kebiasaan buruk yang tak mampu
kausingkirkan.

Sesekali aku jadi puisi cerewet
seperti ini untuk meyakinkanmu.
Kau selalu cantik bahkan saat
tidur di pelukan orang asing. Saat
bersedih. Saat jauh dari jangkauan
senyum siapa pun.

Di luar ingatanmu, semua orang
adalah orang asing.

Selalu ada puisi tentang kau. Telah
kuhapus selalu dan tentang di
kalimat sebelum ini. Kuingin tak ada
sesuatu yang butuh diseberangi di
antara kau dan puisi.

*
Kata-kata selalu bunuh diri dan
tumbuh sekali lagi jadi puisi.

Puisi membayangkan tidurmu
gelisah atau tanganmu teriris
saat memotong sayuran atau
kau bersedih kucingmu yang
mengenakan nama dewa mati
digerogoti virus atau anak tetangga
memecahkan kaca jendelamu
karena dia penasaran dan mau
atau kau menangis menyadari
senyummu selembar uang palsu.

Puisi bertamu ke dalam dirimu.
Dia datang dari hal-hal sederhana.
Dari bahaya. Dari pikiran-pikiran
yang menolak waspada. Dan kau
jatuh cinta.

###





Aku tidak percaya kepada orang-
orang yang senang memamerkan
kebahagian keluarga mereka.
Hiburan dan liburan. Pakaian
dan kota-kota asing. Senyuman,
pelukan, dan berlembar-lembar
foto keluarga. Mereka kaca buram
yang mudah pecah. Buah-buahan
yang tidak dikupas. Barang-barang
mewah yang takut ketinggian.
Ketika kesedihan menyentuh hidup
mereka, semesta adalah kesalahan.
Tidak akan kuceritakan derita siapa
pun kepada mereka.

Tidak ada yang mampu mereka
lakukan selain berpura-pura—
dan memberi hal-hal yang tidak
dibutuhkan. Kutipan-kutipan atau
kisah sedih tentang usaha melewati
kehidupan yang berbahaya.

Pameran
Foto Keluarga
Paling Bahagia

Alasan utama mereka bahagia
adalah tidak peduli. Mereka tidak
mau tahu jika kau masih punya
alasan lain.

Sudah lama kuhentikan
percakapan tentang negara dan
cinta dengan mereka. Bahkan
kepada saudara, mereka bicara
menggunakan klakson kendaraan.

Kuberitahu, saat kau menyusuri
jalanan mengenang teman-
temanmu yang pergi dan
tidak pernah pulang. Saat kau
menghindarkan teman-temanmu
yang masih hidup dari kejahatan-
kejahatan lain yang mengancam.
Mereka sibuk tersenyum di depan
kamera.

Mereka punya berlembar-lembar
foto keluarga yang penuh hal
tiruan baru.
###


Aku Menunggu di Kantukmu

Baik di dalam maupun di luar sajak
ini, kau adalah tragedi yang kubaca
berulang kali dari halaman terakhir
hingga kata pertama.

Sekarang – tidak mau kudengar
musim hujan kausebut puisi seperti
remaja patah hati – ingin kutulis di
keningmu sesuatu yang hangat dan
sudah lama kauingkari. Aku rindu
melihat tubuhmu jadi ruang pamer
benda-benda yang tidak bisa
disaksikan orang lain.

Aku mencintaimu seperti televisi
tua di gudang nenekmu yang
terbakar. Cuma satu kanal dan
tidak pakai remot kontrol.

Kausadari diam-diam. Kau tidak
pernah tampak cantik di internet
atau di jalan-jalan yang terbuat dari
iklan dan kemacetan dan korupsi.
Kau hanya bisa melakukannya di
kamar tidurmu atau di tidurmu
atau di mimpi-mimpimu tentang
harilalu. Ketika sendiri.
Kantuk yang kauabaikan;
(1) kelelahan oleh ulah tanggung
jawab yang pura-pura kautunaikan,
(2) kesedihan karena kau selalu
gagal jadi perayaan, (3) kesepian
yang tidak mampu disembuhkan
riuh dunia, (4) kecemasan yang
kaurahasiakan dengan senyum
lebih menyerupai mata pisau.

Berhentilah. Sejenak saja.

Di ujung sajak ini, kusiapkan
sebotol obat tidur dan segelas
kopi untuk kauberi pertanyaan.



Tentang M. Aan Mansyur
M. Aan Mansyur lahir di Bone, Sulawesi Selatan. Bekerja sebagai relawan di komunitas Ininnawa dan pustakawan di Katakerja, Makassar. Menulis sajak, prosa dan esai. Bukunya: Hujan Rintih-rintih (2005), Perempuan, Rumah Kenangan (2007), Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), Tokoh-tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012), Sudahkah Kau Memeluk Dirimu Hari Ini? (2012), Kukila (2012), dan Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia (2014). 


Catatan Lain
Ada ungkapan SDD di halaman 10 sebagai berikut: “Sastra baru bisa disebut ‘sastra’ kalau sudah disusun dalam aksara, ‘sastra’ adalah aksara. Ketika masih berujud bunyi tentunya yang sekarang kita sebut sastra tidak disebut ‘sastra’ sebab bunyi bukan aksara. Masing-masing berurusan dengan pancaindra yang berbeda: bunyi adalah urusan telinga, aksara berurusan dengan mata.//Sampai pada tahap tertentu dalam perkembangannya, sastra modern matian-matian berusaha meyakin-yakinkan dirinya bahwa berbeda dari hakikatnya yang sudah lampau, yakni bunyi. Sebagai benda visual, aksara terletak dalam suatu ruang; kalau tidak ada kata atau ada loncatan kata maka muncullah ruang kosong. Demikianlah maka larik dan bait diciptakan, demikianlah maka kita tiba-tiba ‘melihat’ bunyi yang meloncat-loncat atau tersusun rapi dalam larik dan bait. Aksara ternyata tidak pernah bisa mengubur bunyi: kita cenderung melisankan kembali apa yang sudah kita ubah menjadi ujud visual.”
              Berdampingan dengan biodata penyair, ada biodata illustrator, yaitu Muhammad Taufik (emte). Ya, buku “Melihat Api Bekerja” memang bukan cuma berisi puisi, tapi sekait sekelindan dengan ilustrasi-ilustrasi karya emte. Puisi dan ilustrasi tidak berdiri sendiri, tidak berdiri masing-masing, tapi menjadi satu-kesatuan yang saling memperkuat dan menguatkan. Kira-kira begitu.

8 komentar:

  1. ada berapa puisi dalam buku ini?

    BalasHapus
  2. Setelah dewasa
    Kita akan memilih kegemaran
    Masing-masing

    BalasHapus
  3. Arsip puisinya asyik. Terima kasih...

    BalasHapus
  4. Pertama kali saya membaca karyanya m aan mansyur itu di koran kompas. Dulu aku rajin beli koran untuk membaca puisi2 yang di muat.

    BalasHapus
  5. Ingin selalu membaca dan terus membaca setiap karya2x M.Aan Mansyur...sll terinspirasi dr karya2x

    BalasHapus