Laman

Tonggak

Minggu, 02 Oktober 2016

S. Arimba: OBITUARI RINDU




Data buku kumpulan puisi

Judul : Obituari Rindu
Penulis : S. Arimba
Cetakan : I, 2013
Penerbit : Intan Cendekia, Yogyakarta
Tebal : xviii + 72 halaman (56 puisi)
ISBN : 978-979-9857-36-1
Kurator : Indrian Koto
Cover : Melia Tri Pamungkas
Ilustrasi isi : bag.1 Melia Tri Pamungkas, bag.2 : Widya Prana Rini
Pracetak : Anes Prabu Sadjarwo
Prolog : Prof. Dr. Faruk, S.U (Jerat Seorang Pencinta)

Obituari Rinduterdiri dari 2 bagian, yaituObituari(24 puisi), dan Rindu(32 puisi).

Beberapa pilihan puisi S. Arimbadalam Obituari Rindu

Tak Ada Lagi Sajak Cinta

Aku tak punya sajak indah untukmu kekasih, malam temaram
menggantikan senja yang ragu-ragu. Bahkan sudah sejak lama
ketika percakapan tak menghasilkan sesuatu kecuali tangismu.
Hidup yang begini saja, mendaur waktu, dan kekalahan-
kekalahan. Lalu apa yang ingin kau tangkap dari gelisah angin.
Beku dan dingin. Jemari yang lelah. Tembok-tembok
mengelupaskan debu. Sejarahnya sendiri. Tapi kau masih
meraba dada yang mungkin nyeri. Ah, bicaralah bicara. Lampu
kota yang malas akan menyeretmu pada kepastian. Yang tak
pernah berubah hanyalah cinta.
Tak ada yang tak pulang. Senja merapat.
Kian hangat.

2011


Surat Putih
– Iswara

(1)
Kukirimkan kabar dari tanahku
di bawah batu nisan yang terukir namamu
kekasih, aku merindu
seperti tanah retak di pelataran pada hujan
sebagaimana kuncup bunga pada matahari
aku menziarahimu kini

lalu saat gelap datang
aku menanti di langit malam
berharap engkau muncul di antara ribuan cahaya
seperti janjimu dulu
menyandingku saat sepi menyergap jiwa

seperti biasa angin membawa harum tubuh
mengabarkan engkau di sana memandang bintang
utara, seperti juga aku di sini

ribuan malam berlalu
dari atas atap rumahmu
kau kirim isyarat rindu


(2)
Engkaukah itu puisi senja yang melewati semburatnya,
saat hari telah lelah menyapa
dan terasa waktu menghampiri kita
menghadiahi harum kamboja.
aku memelukmu agar kau terjaga
dari mimpi panjang yang celaka

kitapun mati di antara kehidupan ini
hidup di sela kematian-kematian
mencipta senja yang bertuan

2006


Rahasia Dendam

Biar embun menjadi uap yang mengendap dalam mendung
dan turun padamu sebagai butir cinta dari langit. Tak perlu
kau sampaikan kabar air mata yang kini bahkan tak tersisa,
walau yang tersobek jadi perca kenangan atas luka. Di mana
letak sakitnya? Bukan sebab pertemuan atau perpisahan itu
sendiri bukan, atau hari-hari yang terjamah. Kau aku tahu itu
hanya soal ingatan, yang kita hidup padamkan. Maka andai
nyala, tidak sekadar menjadi pelita, tapi membakar diri dan
semua yang pernah singgah pada bibir mengembang,
bukankah kita lebih kehilangan. Siapa akan berlalu usai lunas
semua rindu. Barangkali pengembara. Kisah jalanan yang tak
perlu dituliskan. Agar tiada tercatat semua luka. Biarpun kau
remas jantungku, meski kuremas jantungmu tapi detak telah
menyatu. Benci dan rindu tiada seteru.

2013


Obituari

Yang tak bisa kita hentikan adalah waktu
yang tak bisa kita kejar adalah bayang
yang tak bisa kita raih adalah mimpi
sepi menyeret kita kembali
masa lalu yang berlarian dalam kejaban
kala kita duduk di sana
memandang luasnya kota
masih terasa harum rambutmu
menikam tepat jantungku

2009


Perempuan Itu

Bukan semata karena waktu, batu kikis di kolam-kolam
dia takkan mengabarkan bagaimana kelembutan
menyatu dengan lumut-lumut sebagai dzikir meruntuhkan
keangkuhan

karang-karang jadi pasir di pelabuhan
tempat sandar perahu datang dan pergi
dia takkan mengabarkan dengan siapa dia bercumbu
hingga laut jadi garam yang menyedapkan lidahmu

sawah-sawah yang rekah dipeluk matahari
jadi lumpur tempat menyemai harapan kembali
dia takkan mengabarkan kapan dia datang dan pergi
hidup adalah keringat yang menjadi sungai

: seharian aku memandangmu
bukan semata karena waktu

2006


Kekasih

Aku gelisah menantimu
mengapa engkau tak muncul di balik pintu
atau menyelinap dari jendela
menghapus jejak air di kaca
sehabis hujan semalam

tubuhku dingin dirayapi sepi
mengapa kau biarkan aku sendiri
tubuhku inginkan nyala
yang membakar jiwa membeku

pulanglah engkau kekasih
ke dalam rumah jiwaku yang kosong
pulanglah sebelum malam kedua tiba
pulanglah sebelum jalan sunyi kita masuki
menyapu kenangan yang pernah singgah
dan kau tak pernah tahu
aku selalu memaafkanmu

2009


Ujung Perjalanan

Kini usai perjalanan kita
setelah lama mengembara
dalam sepi dan diam
dalam rindu dan dendam
semua terkubur dalam kenangan
kau aku tak lebih sekadar bayangan

2008


Sajak Langit

(1)
Pada tapak aku kehilangan jejak
lukaku lukamu ke mana?
Mengapa tanya mengambang
di antara ranting dan rumputan
menyudutkan kita pada kenyataan
cinta bukan lagi kata bermawar

(2)
Pandanglah ke utara orang-orang sejenak terjaga
memandang Merapi menyala
dari bibir jembatan, dan kilau air memantulkan cahaya
mengingatkan betapa malam dan purnama
tak dapat ditiru
dan kita telah kembali menziarahi diri
mengenangkan segala yang berarti

(3)
Pada semburat langit tiada dapat kueja
selain nama dan sisa luka
maka di embun dan matahari mana lagi
bisa kutepati janji?

2006


Menuruti Nasehat Anes Prabu

Aku bukan samudra yang tak mendengarkan ikan, kerang,
karang, angin, dan perahu-perahu yang berlayar. Meski kau
hantu sekalipun, aku tetap mencintaimu.
Tapi tahulah aku asin, akan jadi garam, mungkin. Jangan
tenggelam kumohon. Kau boleh meregukku, meskipun tak
tuntas hausmu.
Kau boleh bawa tempurung-tempurung itu. Kau boleh
melempar segala yang tak kau rindu. Mungkin gelombang
akan pasang, dan bidukmu tergoncang. Tapi kau harus
tenang. Aku mencintaimu. Masih mencintaimu.

2012


Simulakra

Bagaimana aku harus meminta apa yang kau pinta, bahkan
aku tak dapat melepas apa yang kau lepas. Bagaimana dapat
kuberi yang tak kau ingin, bahkan rindu menjadi senyap.
Barangkali nasib kau serahkan. Sedang doa hanya ranting
yang patah, dan usaha adalah sia

2012


Kampung yang Tertinggal dalam Diri

Sejauh mana perjalanan dapat kau tempuh
demi mengecap rindu para perantau
barangkali kita memang tak hendak pulang
sebab kampung itu selalu kita bawa
tertinggal dalam diri

lalu apa yang ingin kau ucapkan tentang hari depan?

2012


Benarkah

Benarkah kau mutiara yang dilahirkan kerang-kerang
di cangkang yang dalam, tanpa gelombang
tanpa tangis tanpa senyum

benarkah kau janji yang tak pernah diucapkan
yang terpatri dalam butiran sumsum
putih tak tersentuh kata

benarkah kau yang jatuh di ujung daun
ketika matahari belum sempat merekah
ketika angin belum menyapa halaman pendapa

benarkah kau yang kukenal itu?

2013


Sebelum Kau Pahami

Sebelum kau pahami aku
pandanglah sepasang kupu yang berkejaran di halaman
usai gerimis bunga-bunga bermekaran
menebar cinta pada semesta
kau dan aku hadir dalam perjamuan itu

tak ada yang bisa kujanjikan saat hari senja
tiada kata dalam hari sepi yang kutempuhi
sanggupkah kau pahami aku yang luka ini?

2009


Tak Ada yang Kucari

Tak ada yang kucari di kedalaman hatimu selain cinta
sebab apa lagi yang dapat menawarkan rindu
selain pertemuan.
kaupun tahu pada cadas terjal aku mendaki
apa yang aku miliki selain rindu
menatap langit dan laut di matamu
saat terang menyapa kita di puncak pendakian

tak ada yang kucari di wajah angin tempatku berpijak
seluas taman yang kau tawarkan
semerbak kembang yang kau hadirkan
aku tak mampu berpaling meski seribu topeng kukenakan
aku tak mampu pergi walau seribu langkah kuayunkan
aku tak mampu terbang biar seribu sayap kukepakkan

daun dan embun juga telah bersaksi cintaku sebanyak
lukaku,
maka ijinkan aku sekali ini merengkuh di kedalamanmu
meski tahu
aku pasti tenggelam

2006


Mata Cahaya

Kutitipkan mataku di matamu untuk melihat dunia
dan meraba makna yang bukan sekadar warna,
bukan hanya kata yang tereja atau terlontar berdesing
di belantara sajak. Aku menitipkan padamu cahaya
yang mengisi retina yang datang dari perjalanan jauh.

Lalu hari-hari yang berlari kuabaikan dalam ruang semedi,
kugantungkan celurit keberanianku di dinding sepi.
Aku tidak ingin menjadi apapun lagi kecuali kesunyian itu
sendiri. Lihatlah aku dari jauh dengan mataku, pandanglah
sesukamu memandang hingga aku menghilang.
Kini ini bukan rindu, bukan siapa-siapa!

2010


Catatan Akhir

Tiada kepastian dapat terucap, di telapak takdir diri buih,
samudera pilihan lindap, jadi senyap. Ah, biarpun nasib coba
mengelak. Siapa angan, siapa ingin, siapa duka, siapa kau aku
yang memilih meronta. Sia tangis, sia luka, sia sepi, sia
tangan-tangan mengepal. Kemarin yang tak akan menjadi
hari ini atau esok, kemarin yang hanya kemarin, hari ini yang
hanya hari ini, esok yang barangkali. Tiada kepastian dapat
memilih, bayang-bayang semakin panjang, pagi dan petang
berakar pada remang, pada teka-teki, rahasia bersilang.
Dalam tarikan nafas tinggal harap, pada hembusan nafas
tinggal cemas.

Kata-kata dan kerja dilibas usia, stasiun yang tak berawal
akhir, dan tak ada yang pulang setelah pergi, dan selalu saja
tanya, benarkah ada dunia di seberang samudera. Tempat
segala letih berhenti, tempat segala tangis reda, tempat
setiap luka mengering. Semua kini hanya saksi atas
kedatangan dan kepergian. Sampai batas kelelahan. Pada
tanah yang merah, pada abu yang hanyut, pada kenangan
yang mengambang. Siapa kau aku sebelum sesudahnya. Di
mana kau aku pernah berada dan akan berada.
Tiada kepastian yang dapat terucap dalam genggaman waktu.
Perjalanan dimulai lagi!

2013


Tentang S. Arimba
Suharmono Arimba, lahir di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Dibesarkan dalam lingkungan keluarga perantau. Sejak 2001 tinggal dan memutuskan Yogyakarta sebagai kampung halaman kedua. Tahun 2004 mendirikan Lingkar Sastra Kreatif, 2009 mendirikan komunitas Gress bersama Anes Prabu dkk. Pendidikan terakhir, Paskasarjana Ilmu Sastra di Universitas Gadjah Mada. Pernah menjalani profesi sebagai wartawan, guru teater, editor jurnal Bulaksumur dan Jurnal Poetika . Mendirikan dan menjabat sebagai Direktur penerbit Gress Publising. Karya puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi puisi bersama. Obituari Rindu (2013) adalah kumpulan puisi tunggalnya yang pertama.


Catatan Lain
“Bila dilihat secara kronologis, “kata Faruk, “dalam puisi yang kemudian ini tampak pergeseran dalam tarik-menarik antara dunia pengalaman dengan dunia sistem. Kalau dalam puisi-puisi awal tampak puisi lebih berat ke dunia pengalaman, dalam puisi-puisi yang kemudian tekanan tampak lebih kuat ke dunia sistem, ke dalam konteks, interteks, legenda, wacana yang perlahan-lahan sekaligus meninggalkan lirisisme: cinta personal mulai berubah menjadi cinta kultural dengan jeratnya sendiri-sendiri.”
 Faruk sendiri menguraikan bahwa dunia pengalaman adalah dunia yang ada di sini dan kini, dunia momentum, tempat waktu berhenti. Karena itu, dunia tersebut bertentangan dengan hukum waktu yang tidak bisa dihentikan. Dunia pengalaman adalah juga dunia tindakan, proses seperti mengejar dan meraih yang bertentangan dengan hukum mengenai bayang yang tak bisa dikejar dan hukum mimpi yang jauh tinggi di sana. (lihat halaman xiii). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar