Laman

Tonggak

Sabtu, 01 Juli 2017

Sitok Srengenge: KELENJAR BEKISAR JANTAN DAN STANZA HIJAU MUDA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Kelenjar Bekisar Jantan dan Stanza Hijau Muda
Penulis : Sitok Srengenge
Penerbit : KATAKITA, Yogyakarta.
Cetakan : I, 2013
Tebal : 164 halaman (67 puisi)
ISBN : 978-979-3778-71-6
Desain grafis : Sitok Srengenge
Visualisasi dan Tata Letak : Cyprianus Jaya Napiun
Pembaca Teks : Farah Maulida
Foto cover : Ukiran blawong atau wayang blabag (anonim)
Juru foto : Dwi Oblo

Kelenjar Bekisar Jantan dan Stanza Hijau Muda diurai berdasar tahun penciptaan, yaitu 1991 (11 puisi), 1990 (10 puisi), 1989 (15 puisi), 1988 (10 puisi), 1987 (10 puisi), dan 1986 (11 puisi).

Beberapa pilihan puisi Sitok Srengenge dalam Kelenjar Bekisar Jantan dan Stanza Hijau Muda

SENANDIKA KATA

Di taman kata berjumpa kita
Huruf-huruf yang mendamba dieja sebagai cinta

Memburu arti
Menyatu dan menyatakan diri

Kita hanya lelambang bunyi
Mewakili yang tersembunyi

Menjelma kata tanpa kelamin
Titah tuhan yang tertahan, meskipun serba mungkin

Terlontar dari jiwa, terlempar dari rahasia
Segala yang gaib teruar lewat tanda

Kita hanya kurir penyampai pesan
Hidup cuma mampir dan terabaikan

Kita bermimpi merengkuh cinta
Terikut juga benci dan dusta

Tak ada yang lebih membuatku bahagia
Selain kau dan aku tercipta dari huruf-huruf yang sama

1991



BANDUNG BONDOWOSO

Jonggrang! Kijang buruanku
aku tatah seribu batu
kurang satu
Jadilah kamu!

Dusta dalam cinta menjelma Bhatari Durga
beranak seribu arca
Lembu Andini
terkuras air susunya

Jonggrang!
Tanah dan rumputan mengerang
kokok ayam jantan
sapi dan babi terperanjat di kandang
Bhatari Durga beranak seribu arca
menduduki tahta para raja

Aku melihat malam
setelah matahari benam
Aku melihat siang
sebelum matahari di permukaan

1989


BELAJAR DARI OMBAK

Dengan ombak laut selalu berkata-kata
tapi tak terungkap yang terpendam di dalamnya
– biarlah aku belajar menyimpan rahasia

Aku tahu
dua hal kaupunyai atas diriku:
cinta dan kegetiran

Ombak menggapai
lalu cerai dari pantai
Seperti setia dan dusta
bagian dari upaya menafsir cinta

Bebutir pasir
remah yang dilepih laut
Seperti nasib getir
musti diubah sebelum akut

Jika ada bunga
dihempas badai tak pudar aromanya
– izinkan aku belajar setia

1989


GADIS HIJAU

                Terilhami puisi “Arbole, Arbole” Federico Garcia Lorca

Hijau kebun hijau membentang
biru langit biru mengambang

Gadis hijau bertudung caping gunung
memetik daun teh seujung demi seujung

Angin putih berhembus dari bukit berkabut
ingin melepas letih mengelus payudara kerucut

Seorang pelancong memotretnya berkali-kali
terpana pada rekah bunga di bawah terik mentari

Ia bujuk si gadis hidup bersama di kota
bidadari manis patutnya bahagia di surga

Si gadis memberi senyum dan kerling burung gelatik
pipi ranum jemari tak henti sepetik demi sepetik

Seorang prajurit yang bebas tugas
menghentikan langkah yang semula gegas

Ia pinang si peri berparas teduh menjadi istri
akan diajak ke negeri-negeri jauh dilindungi sampai mati

Si gadis menggeleng santun hati teguh burung pungguk
jemarinya terus tekun sepucuk demi sepucuk

Diasuh kebun hijau membentang
di bawah langit biru mengambang

Bunga liar pun mengerti
getar cinta yang sejati

1986


AMOR FATI

Kerasukan kau, aku menjadi orang paling sinting
Kau sembunyi di benak, tapi lagakmu selalu tampak
Kata “mustahil” kauhapus dari kamus

Kaucuci mataku demi bening memandang dunia
menemu yang mulia di balik yang hina dan cela
Tuhan menganugerahi kita segala yang jelita

Langit tanpa mendung memancarkan cahayamu
Hujan tanpa taifun merinai rutin sekali seminggu
Bunga-bunga tanpa duri bermekaran di mimpiku

Udara yang kuhirup beraroma wangi
Bergairah aku memelukmu lekat sekali
Sampai hatiku bisa bercakap dengan hatimu

Dahagaku terpuaskan oleh air murni sumurmu
Aku tak perlu cari makan, kau membuatku kenyang
Aku tak takut miskin, kau menjadikanku orang terkaya

Dibanding dengan cintamu, emas tak berharga
Bagiku kau lebih dari cukup, aku tak butuh lainnya
Masa depan yang tak redup menghampiriku sukarela

Kita ciptakan surga sendiri tanpa pohon kuldi
Tubuh kita punya buah yang kapan pun siap dikunyah
Tak perlu iblis yang menyamar, kita sudah saling tergetar

Di surga itu kau rumah yang senantiasa terbuka
Bahagia menerima hilir-mudik cintaku
Tanpa perlu mengetuk pintu

Kita bercinta melampaui keindahan puisi
Tak ada kata lebih bermakna dibanding
Kita yang menyatu dalam hening

1987


METAMORFOSIS

Terimalah terima kasih si buah mengkal
tercerabut dari asal direnggut angin sakal
menggelepar di padang liar begini jauh
terdampar di haribaanmu teduh

Debu kelabu memulas polos parasku
udara bertuba mencemari murni darahku
cericau corong suara memekakkan kupingku
cahaya lelampu menyilaukan pandangku

Kini luruh seluruh
daki dukaku terbasuh
jernih air pancuran
kasih keibuan

Aku lahir kembali
tumbuh sebagai pohon baru
sepenuh hati ingin berarti
agar tak sia-sia cintamu

1986


KISAH CINTA, KUPU DAN BUNGA

Pernah aku bertanya kepada guru
tentang hubungan bunga dengan kupu
aku ingin tahu makna samar
yang pernah kudengar
dalam  sebuah lagu yang mendayu

Guru mengurai proses reproduksi
dari daya rangsang bau wangi
sampai pertautan putik dan benang sari

Sepulang  sekolah rasa penasaran
tambah mengganjal di ceruk celah pikiran

Malam hari aku mimpi:
seekor ulat daun tertegun
saat tanpa sengaja berkaca pada embun
Memandangi bayangannya sendiri ia merasa geli, malu
lalu mengurung diri dalam kepompong waktu

Suatu siang, kala lewat jalan setapak di tengah padang
kudapati ulat yang di dalam mimpi
telah menjelma kupu bersayap warna-warni
pohon yang dulu dirambatinya pun telah berbunga
“Keduanya tentu sudah pangling”, pikirku
tapi kupu dan bunga itu justru saling dekat
saling rapat, saling cumbu
Dan bagai tersengat aku pun teringat
seseorang yang amat memikat
beberapa tahun lalu

Angin yang lewat tak membisikkan sesuatu
begitu pula waktu
Tapi diam-diam aku mencatat di dalam kalbu
“Biar mereka simpan rapat-rapat,
akhirnya aku tahu,
rahasia yang indah itu.”

1988


ANTISTROPHE: RINDU

Bukan, Cintaku, rindu tak berwarna mazarin
Ia mirip apa pun yang dulu kita suka dan kini kita ingin

Rindu adalah bunglon gaib yang mahir berubah rupa
Kita tak pernah mampu melihat wujud aslinya

Bukan, Cintaku, rindu tak berhuni di dalam hati
Ia makin terasa justru ketika hati kita hampa

Rindu selalu berpura-pura sakit setelah perpisahan
Hingga kita perlu mengobatinya dengan pertemuan

Ia perasaan yang mencintai kita dengan cara menipu
Seolah dirinya mengada dari rentang ruang-waktu

Padahal ketika kita tak berjarak rindu tetap tak sirna
Ah, betapa mulia, ia siksa kita agar tak saling lupa

1991


DI DALAM CINTA

Terbawa ombak aku sampai ke mari
kenangan masa kecilku berloncatan di batu-batu
dalam dirimu kutemu mainanku yang dulu

Kekasihku
bagaimana mesti kuyakinkan padamu
di dalam cinta tak ada kematian
di dalam cinta tak ada kemerdekaan
di dalam cinta: gairah hidup merentak rintangan

Kenapa mesti ragu, kekasihku
kalender di dinding tak menghitung usiamu
arah yang kautempuh tak menanyakan silsilahmu
Kenapa sangsi pada nurani
sebagai bayi kita tak lahir dari birahi

Kita telah diajar mengenal alam dan tuhan
fasih membedakan langu selasih dan harum mawar
Engkau pun tahu, kekasihku
cinta kasih adalah amanat yang tak bisa ditawar

Biar buih kembali surut ke laut
pasir di pantai tak akan merana
Jika api kasih telah menyulut
jangan kau abai pada hangatnya

1989


HALTE PERBURUAN

Hujan melindap
mobil tak lagi berpacu menderu
Kamu jadi Godot di rabuku

Tentamen apa lagi ini?
Setelah malam begitu panjang
jarum jam kembali melemparku
pada awal perburuan

O, betapa kegelisahan jadi kemustian cinta

Jika geletar laut cakrawala tak tersapa
aku nelayan penebar jala
sekaligus ikan yang meronta di dalamnya

1989


HULAHOP BIANGLALA

Malam bersayap dalam tidur yang lelap
benih kesadaran yang miskram di waktu siang
kembali mengembang menjadi impian
Sebuah telaga mengkristal jadi selapis kaca
memantulkan bayangan jiwa kita
yang bercengkerama di angkasa

Kau dan aku, bagai ratu dan raja
bertahta di kerajaan cinta
Rangkaian daun nangka menghiasi rambutmu
jalinan jerami menjadi gaun malammu
Aku berbusana daunan pisang kering
mahkotaku dari sumping bambu kuning
Empat puluh dayang peri hutan
duduk bersila bentuk lingkaran
dan di tengah mereka kita mainkan
hulahop bianglala

Di langit rembulan dan gemintang berpesta
malaikat dan setan jabat tangan
meneguk nira, mabuk bersama
Selaksa kunang-kunang mengerjap
mengusir gelap
Empat puluh dayang peri hutan
berdoa melafalkan mantera pepujian
ketika kita singkap kelambu peraduan
untuk senggama – upacara bagi Yang Mahacinta

Kekasihku, saat kaurengkuh aku ke dekapan
sungguh, aku bayi terbuai dalam ayunan
Dan pada saat seperti itu
bunga dari berjenis tumbuhan
mengawinkan putik dan benang sari demi buahan
Sedang di kali, di rawa-rawa, juga di lauatan
ikan-ikan berbiak di semak ganggang

Ya, Kekasihku
melalui alam raya
Tuhan memberkati cinta kita

1991


MALAM PERBURUAN

Dari Yogya aku meradang ke Semarang
membawa perih garam dari luka lautan
Berkendara kereta seribu kuda
aku buru kamu ke pasar-pasar
dari Bringharjo singgah di Johar
hingga hasrat hambar di air tawar
Jejakmu belum juga teraba
bedah sudah segala tapal dan pelana

Gelombang angin laut selatan
membuka katup mata hati berkabut
menyaksikan cinta diobral di loakan

“Jangan main tawar sembarangan
bagi kami kepuasan cuma uang!”

Seribu kuda yang kukendarai mati
dirajam birahi sendiri

“Cinta yang kami punya
cuma untuk kekasih kami yang perkasa
Sedang para lelaki yang berdatangan
cukup kami beri kepalsuan!”

Beranjak dari reruntuk kereta
meloncati bangkai seribu kuda
aku berlari mengejar bayangan
Kau lenyap dilepih kenangan

1987


KAU + AKU = CINTA

Disepuh cahaya matahari
daun yang gugur jadi humus jadi remah
bau asam menguap ke angkasa

Diasuh kasih bumi
rindu yang gugur jadi pupus jadi gairah
bau dendam menguap ke kepala

Disemangati matahari
cinta kita subur
tumbuh di bumi yang setia

Kita bebaskan cinta menggambari lepa pepohon
dengan rumah-rumah tanpa penghuni
dan selagi aku menulisi dedaun
bukan dengan legenda atau puisi
melainkan sekadar riwayat lelaron
diam-diam kauseka sebongkah batu loncatan
dari kuning kenangan

Tak ada yang lebih indah
ketika aku dan kau telah jadi kita

Nyatanya sering kali luput kupahami
luas langit di dalam dan si luar diri
sebagai kitab yang siap dibuka
dan dibaca

Pada sangkaku langit itu biru
meski hakikatnya tak berwarna
pernah kucoba maknai namaku
meski mustahil tanpa kusebut namamu juga

Aku angin
setia dan dustaku bergantung irama musim
Siapa pun boleh menghirup
asal jangan harap menahanku sesuntuk hidup
Cuma kepadamu aku tak mampu menipu
barangkali lantaran aku mencintaimu

Kita tak pernah pasti kapan lakon ini mulai dan berhenti
kita hanya hayati segala yang tiba-tiba terjadi
Seperti kalau kita berjamahan
ada peluh merintis, juga cahaya cinta:
menjelma pelangi melingkari diri kita
dan kita cuma terkesima

Lalu terlena
tubuh habis tenaga
terpuruk pada gurat usia
di kulit, menegaskan fana

Ada saat-saat terasa berat di hati
ketika segala yang kita miliki mesti direla pergi:
teman sepermainan di masa kanak, sederet pacar ketika remaja
keluarga, dan handaitaulan—mereka tak lebih dari sahabat setia
di dalam lelangkah letih kelana kekal ini
: sangkan paran dumadi

Pada saatnya meski kita tinggalkan
atau mereka meninggalkan kita

Sejenak akan jadi kenangan
selanjutnya saling lupa

Kita pun tahu
cinta tak mampu menggagalkan keniscayaan itu

Seluruh laku sepanjang usia, tak lebih dari
sekadar upaya menggarit tanda hari lahir dan mati
sembari menjaring percik cahaya
bagi jiwa yang jelaga

Selebihnya: lengang
kita kembali terbuang ke kembara panjang

Dunia kita adalah keterkucilan kita
dan cinta, yang tak selamanya memberi bahagia
bukan belati untuk menikam sirna nestapa

Ia benang yang menghubungkan kita dengan sebab
jalan yang membawa diri ke hakikat sepi
tapi tak membebaskan jiwa dari sekap
labirin sempit dan sumpek ini

Ya, aku ada dalam keterasinganmu
Aku mencintaimu
tapi cinta terlalu suci sebagai dalih
sebab ia tanpa pamrih

Aku angin
bebas merasuki siapa pun yang kuingin
Aku menghampiri ke setiap bibir
bergeser ke leher,
melata di dada
berkisar seputar pusar
bermain di kelung kelamin
Aku mencintai siapa pun
Aku milik tak seorang pun

Di dalam semesta cinta tak ada seteru:
nafas nafsu dan kuasa kasih menyatu
Laku kita adalah upaya mewujudkan cinta
namun tak akan sampai kepada cinta
jika dari nafsu memulainya

Meski cinta memanggil siapa saja
bertandang ke hati yang terbuka
dengan lirih getaran
tak terhindarkan

Seperti setiap kali ia memanggilku
dalam gusar nalar dan naluriku
Aku bagai mendengar suara ibu
mungkin suaramu

Cinta menjadikan kau istimewa di antara manusia berjuta
lantaran situasi yang dihayati hati muskil terurai kata
Seperti: ketika kupetik sekuntum bunga liar ini
bunga serupa matahari dan mekar di tepi kali
Biar kuselipkan di pangkal kucir rambutmu
oleh teduh cintaku semoga ia tak lekas layu

Sepasang kembang di rambut kusut
disergap angin kalut dari laut
Aroma cinta memburai
semayam di jiwa damai

Syaraf-syarafku bergetar
dirasuki bau wangi
Menggelisahkan sekali
Ada yang meriuh di dada ini
Ada yang liar di hati
O, pesona surgawi
tak terjangkau jasmani
Cuma tertandingi oleh mati

Seperti puisi
tak sampai
tak usai

1991


BELAJAR TERBANG

Demi memahamimu, aku belajar membaca
Aksara demi aksara, bahkan yang tak terwakili tanda baca
Benak punya kehendak, pandang matamu seperti langkah
Setapak demi setapak, kian cepat, sampai jauh, paling jauh

Lambat-laun sayap tumbuh di dua pangkal lenganku
Kepak demi kepak kutinggalkan tempatku berpijak
Kucipta jarak demi memandang yang tampak dan tak
Melayang, membumbung, sampai tinggi, paling tinggi

Kata-kata telah memberiku sepasang sayap
Burung mengingatkan betapapun aku butuh hinggap
Kupu mencibir ketinggianku tak seberarti bunga dan madu

Kusadari kutuk keterkucilanku
Aku mendarat, menemukanmu
Hantu kekal dalam kalbu

1986


KAWIN KAKAWIN

1
Aku kini sebidang kebun
Pohonku bercabang berdaun rimbun
di bawahnya meliuk kali kecil berkilauan
airnya bening memantulkan cahaya bulan

Aku kini pohon bercabang berbunga wangi
di pundakku seekor burung mungil bernyanyi
suaranya bergaung ke langit meliukkan bianglala
menyatukan sepasang hati laksana simpul cinta

Aku kini burung yang membangun sarang
menguntai serpih zaman meronce harapan
kurelakan cemas dan sepi melenggang pergi
sejak kita bersanding sebagai kanan dan kiri


2

Kita kini sepasang hati yang ditangkup nasib
dan cinta adalah penyihir sakti bertongkat ajaib
mengubah kamar sempit-pengap menjadi surga
lantai yang dingin menjelma kasur bertabur bunga

Kita kini bukan lagi anak-anak kemarin
karena aksara telah bersijalin jadi kakawin
terbebas kita dari gelimang gulita gua
karena telah kita temu cahaya cinta

Kita kini adam dan hawa di rimba purba
pemetik delima berbiji seratus batu permata
asam di bukit garam di laut pun bersenyawa
menegaskan kehadiran kita sebagai manusia

1987


Tentang Sitok Srengenge
Sitok Srengenge adalah penyair, novelis, esais. Kumpulan puisinya Persetubuhan Liar, Kelenjar Bekisar Jantan, Anak Jadah, Nonsens, dan On Nothing. Novelnya Menggarami Burung Terbang dan Trilogi Kutil. Kumpulan esainya Cinta di Negeri Seribu Satu Tiran Kecil.


Catatan Lain
Joko Pinurbo memberi prolog Puisi-puisi Cinta yang Membahagiakan (hlm. 7-20), bertanda Yogyakarta, 31 Oktober 2000. Afrizal Malna kebagian epilog Prosedur-prosedur Individuasi Cinta dalam Puisi Sitok Srengenge (hlm. 147-162), bertanda Bekasi, 5 Desember 1991. Di halaman 3-5, beberapa orang memberi komentar (beberapa komentar merupakan kutipan), yaitu Agus R. Sarjono, Angela Carnicella, Arwinto Syamsunu Aji, Emha Ainun Nadjib, En Jabos Eresta, Isbedy Stiawan ZS, M. Farid, Mustofa W. Hasyim.
            Jokpin membuka prolognya dengan paragraf ini: “Tahun 1992, lewat Penerbit Condet (Jakarta), penyair Sitok Srengenge mempublikasikan kumpulan puisi pertamanya: Persetubuhan Liar. Dua tahun kemudian si Persetubuhan Liar diterbitkan-ulang oleh Bentang Budaya (Yogyakarta). Menurut sang penyairnya sendiri, dalam dua terbitan tersebut telah terjadi berbagai bentuk kekeliruan, atau sebutlah ‘salah cetak’. Mulai dari ‘salah cetak’ kecil-kecilan (sekedar ‘salah ketik’, misalnya) sampai ‘salah cetak’ besar-besaran (seperti rusaknya tipografi dan ‘hilang’-nya bait).” 
            Pada Afrizal, saya cuma mengingat dengan baik kutipan berikut: “Dalam beberapa sajak Sitok: Chairil Anwar, Renda, juga Amir Hamzah, memiliki kenangan yang tidak bisa dilupakan, bahwa Sitok banyak berhutang budi pada ketiga penyair ini.” (hlm 154-154).
            Halaman persembahan buku menyebut satu nama: Untuk Farah Maulida. Juga ada keterangan  di halaman informasi buku. Begini bunyinya: “Antologi Kelenjar Bekisar Jantan dan Stanza Hijau Muda ini adalah metamorfosa dari Persetubuhan Liar dan Kelenjar Bekisar Jantan, ditambah sejumlah puisi-puisi sezaman; terbit bersama dua antologi lain: Gembala Waktu dan Madah Pereda Rindu dan Anak Badai dan Amsal Puisi Banal sebagai paket Tripitakata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar