Laman

Tonggak

Rabu, 02 Agustus 2017

Soni Farid Maulana: PARA PENZIARAH


Data Buku Kumpulan Puisi:

Judul: Para Penziarah
Penulis: Soni Farid Maulana
Cetakan: I, 1987
Penerbit: Angkasa, Bandung
Tebal: x + 74 halaman (59 puisi)
ISBN:  979-404-187-4
Rencana kulit: Joko Kurnain
Sketsa: Acep Zamzam Noor

Para Penziarah terdiri dari tiga bagian: Sebuah Album (26 puisi), Para Penziarah (21 puisi), dan Krematorium Matahari (12 puisi).

Beberapa pilihan puisi Soni Farid Maulana dalam Para Penziarah

ODE BANGKAI ANJING

Merasakan sunyi (anyir darah menguap dari tubuhmu)
Matahari menyala. Musik pengantar ke kubur
Hanyalah dengung lalat. O, jangan harap orang mengaji
Mereka lupa padamu
Dengan perkasa kau menangkap maling. Mungkin di tempat lain
Orang akan membuat patungmu!  ̶  Kuhikmati deritamu.

Hidup menempuh tebing. Menghancurkan tebing
(Di lamping) cengkrik bernyanyi. Kau berhadapan dengan Amarah
Dengan angan-angan. Dibangun: tulang dan tulang
(Masih tersisa sedikit sumsum) menggairahkan nafsu!

Aku tak tahu. Di manakah kehadiranmu dihormati orang?
Tembok yang kokoh. Pagar besi menusuk langit
Rumah-rumah tak menjawabku. Aku sampaikan salam atas bunga
Ingin copot dari tangkainya. Meneduhi tubuhmu
Dari sengatan waktu. Dari sengatan waktu!

1984


PROSA CINTA

         ̶– Nina Dianawati

Aku mendengarkan percakapan burung-burung
Di dahan hatimu. Embun yang bening dalam sebuah pagi
Mengabarkan dunia yang tak ada padaku
Setelah kerling matamu menyungkup langit jiwaku. Ah, matahari
Yang berkobar. Waktu yang melenggang lewat. Senja yang padat
Oleh guguran daun. Malam. Bintang-bintang. Suara-suara alam
Mengalir dalam keheningan semestaku. Mengaji kehadiranmu.
Setiap saat menyanyikan gairah kehidupan.
Tapi pada hening mata ular, cintaku. Kenangan menjulang!

1984



LIRIK DARI JAKARTA

Mereka akan masuk
Ke dalam pikiranmu. O, anak-anak
Yang lapar
Berbaris dalam irama Diam.

Kenyataan hanya kelu
Dan tangis darah. Zaman yang berpupur
Hanya keasingan yang abadi

Ke dalam comberan, ke dalam comberanlah
Kalian dapat menghilangkan
Dahaga hidupmu
Karena hotel-hotel menolak adamu!

1983


DI RUANGAN MUSEUM

Biarlah patung-patung itu mengekalkan sunyi
Aku ulangi:  ̶– jangan kauusik dengan jerit
Ataupun dengan erangan
Setelah kautahu apa makna kengerian!

1984


RITUS MAWAR, 2

Gairah cintaku berkobar padaMu
Dalam satu tarikan dzikir, seribu matahari
Kuputar sekehendak ruhaniku. Jiwa ceria, menari
Bersama seribu burung. O,
Seribu mata air mendadak ngalir
Membasahi tanah-tanah yang kering. Menumbuhkan
Seribu mawarku. Seribu rahasia cintaku padaMu
Ditasbihkan angin dan kediaman batu-batu dasar kali!

1985


RITUS MAWAR, 3

Seperti minyak zaitun jiwaku
Sekali Kaubakar dengan apiMu
Menyala. Kekal, tanpa ruang dan waktu yang fana!

1985


PARA PENZIARAH

1
Kutemukan semesta dalam geliat butir pasir
Jarum jam di tangan menjahit kenangan
Dan kini anyir darah itupun tercium kembali
Setelah hotel-hotel hanya semata kata
Tak pernah kaumengerti apa maknanya!

2
Ia berdoa di pinggir mesjid
Beribu angin menyampaikan keluhnya
Terasa bumi pedih (dalam tangis ular)

Terkubur timbunan sampah!

1984


SELEMBAR DAUN

         ̶– Wing Kardjo

Selembar daun, gugur
Tanah menanti. Isyaratnya
Menyimpan hakekat
(Fossil sari gairah)

Dan kini  ̶– kau pun berontak
Saat jiwa didera sunyi
Walau dengan hati lega
Kita telan arti tua

Gugur. Selembar daun gugur
Kesunyian kabut pun bergetar
Akrab menjemput!

1982


AU REVOIR

Angin mengalir
Lewat kisi jendela
Membaringkan dingin yang letih
Di tubuhku. Lalu bau vicks. Hangat tangan dara
Bibir padat merekah  ̶– mengekalkan birahi
Menggulirkan malam lebih bermakna!

“Adakah kaudengar, sebuah musik
Mengalun dari tik-tok jam?” (Suara cengkrik
Begitu nyaring dalam pendengaran) “Jam berapa?”
Bisikmu. Sunyi. (Lalu hujan  menggeliat di tangkai
Daun) Menangisi kemarau yang akan segera berlabuh
Di bunga kecubung! “Jam berapa?” bisikmu.

1983 ̶–1984


ELEGI, XII

Senja menggeliat dalam derai hujan
Tapi matahari yang berlayar di langit jauh
Jadi lain warnanya dalam gerak batinku!

Dan kini, di sini  ̶– kita dengar batu-batu
Bergeser di dasar sungai

Sunyi berselimutkan rumputan
(Mungkin sebuah kenang dikekalkan)
Saat tiang listrik dipukul orang
Mengusik salak anjing!

Dan jauh di hulu, seribu pedang ajal
Berpacu ke leherku (bulan  ̶– mengkhianati kelelawar)
Semilir angin melayarkan kubur-kubur!

Sayap cengkrik menjelma pisau
Mengerat nadiku
Terekam mataku tak berkedip (Kilat bersambaran)

1985


SAJAK BATIN

Jurang-jurang batin kaucipta dari pertengkaran
Tengadah dan meludah. Matahari menyala
Begitu terik membakar kehidupan

Kau yang ditekuk tanda tanya. Buku demi buku
Merabunkan mata. Selebihnya rumus-rumus tak terbaca

Pahamkanlah makna batu bagi sebuah rumah

Bagi hidup segalanya harus dirapihkan
Pikiran dijernihkan dikekalkan lewat peradaban

Pahamkanlah makna genting bagi sebuah rumah

Bagi pertempuran alangkah kaudamba cinta
Membaca isyarat membaca mekanisme zaman
Kaubangun dunia kejaran ruhani!

1984


SEBUAH PERJALANAN

         ̶  Beni Setia

Aku tak tahu. Mengapa bioskop memutarkan
Kebosanan? Kupu-kupu terbang menembus malam
Mengabarkan losmen, mengabarkan bunuh diri!

Di beranda. Gerimis pun begitu tipis
Memperjelas pendengaran terpelihara salak anjing
Bertasbih pada sunyi  (angin mencumbu guguran daun)

Dan dibangun atas nama harapan. Jalan-jalan
Mengalirkan darah. Mengalirkan airmata
Kesepian dan keasingan nama-nama tetap menjulang

Kita hampir jauh berjalan. Membaca semesta

Merasakan rumput memperdengarkan getarnya
Menahan kengerian ajal. Diam-diam kita tertarik
Pada batu. Diam-diam kita ingin jadi batu. Jadi batu

Jiwa terpusat padaNya. Kata-kata tersebar
Di semesta terbuka  ̶  jadi tembang kehidupan!  ̶ 

1985


TANCAP KAYON

Malam tanpa bintang
Mengeraskan  bau kayu cendana
Terbakar oleh api batinku
Pada kelir ruhani
Berkelebatan wajah-wajah yang getir

Lihatlah kasihku
Pohon yang tumbuh dalam gunungan
Ular. Harimau. Kehidupan yang tak pernah
Kita pikirkan
Mengekalkan luka purba
Pertarungan hidup dan mati

Rasakanlah, rasakanlah jarak dan rahasia
Tak terjejaki. Terluap dari tanahNya
Terhembus angin dari aliran nafasNya

Sampai ketinggian subuh
Menjejakkan kayon pada tubuhku
Maut pun menghilir
Mencari muara di sungai kepalaku

Kesirnaanku
Atas senyumNya yang sederhana!

1984


LA CONDITION HUMAINE

Karena jiwaku matahari
Dan jiwamu kelelawar
Bagaimana mungkin kelelawar
Sejenak saja
Berkesempatan melihat matahari!

Karena jiwaku tercelup embun pagi
Dan jiwamu tercelup lemak babi
Bagaimana mungkin jiwamu
Mencapai keheningan jiwaku
Berdzikir dengan kediaman batu-batu

Kota menelan kehadiranmu
Menghadiahkan kengerian tanpa ampun
Karenanya kau bunga terserak di keranjang sampah
Bagaimana mungkin jiwamu mengharum di bumi
Berulatkan dendam dan dengki
Terpenjarakan nafsu-nafsu badani

Karena jiwaku kemurnian teratai
Kenyataan hidup terbaca di hati sanubari
Pertarungan berlepotkan darah
Pertarungan yang terus terloncengi kematian
Menembus keheningan kabut pagi
Sebelah timur keheninganku
Dekat batu-batu yang terus berdzikr padaNya,

Guguran daun bersintuhan di semesta terbuka!

1985


AMSAL TANAH KUBUR

Penyair! Matahari berkobar
Menerangi seribu burung yang terbang
Dari pohon benakku. Setelah batu-batu mengekalkan cinta
Mampu memecahkan kepalaku yang dikonfrontasi
Oleh perhitungan matematis. Perkalian, pertambahan dan pengurangan
Kekallah ketidaktahuanku
Akan rahasia tersimpan di balik cadarNya
Bila aku terus mabuk, mengikut arus kota
Tenggelam dalam buaian musik dan minum bukan dari piala
Kesejatian hidup! O, lembah yang hijau
Bergoyang dalam mataku. Dikandungnya rumput-rumputku. Pohon-pohonku,
Berbuah. Kelezatan yang tersimpan di dalamnya matang oleh pengetahuan
Sejati. Mampu meniadakan radang otakku dan rasa dahagaku yang fana,
Dikandungnya segala jenis anginku. Segala aliran sungaiku
Segala jenis satwaku. Bergerak dengan kelembutan hingga keganasan
Yang mengerikan. Di mana setiap gigi taringnya berkilat oleh nafsuku,
Dikandungnya segala jenis unsur bumiku. Dengan segala pengetahuanku
yang fana   ̶  menjelma mobil!  ̶  berseliweran di setiap benuaku!
Menjelma tv mengabarkan pembunuhan kekasihku. O, kelaparan
Menjelma senjata   ̶  mendzikirkan ajal duniaku!  ̶  terkotak-kotaklah
Manusia dalam rangkaian zamanku
Terus mengusir kemiskinan dirampok habis-habisan kekayaan. Penyair!
Aku tersedu tak habis ajal menjemput tak habis tangan menulis.

1984


RITUS JALAN RAYA

Waktu bagai embun (bagai curahan air hujan) bergulir
Di tangkai daun,
Adakah kaudengar seekor burung bernyanyi di ranting hatiku?
Suaranya alangkah parau. Menggetarkan dinding kota
Mengiring matahari condong ke barat.  Meratapi anak-anak
Berderet sepanjang kaca etalase toko elektronika. Saat mereka
Menepuk-tangani fantasi-fantasi Amerika
Lewat rol film pada video cassette. Setelah terlebih dahulu
Mereka berpose dengan belencong yang padam di tangan. Dengan
Kelir sanubari tergulung di jalan ruhani  ̶  hingga gunungan
Hanya kekal dalam kenangan. Setelah mereka tasbihkan makna baru
Tanpa sepenuhnya mereka pahami di dunia mana berada!

O, bau kehidupan mengeras terbakar matahari
Peradaban demi peradaban bagai bayang-bayang berkelebat
Menyeret nilai demi nilai (menyengat bagai kelabang)
Hingga seekor burung yang bernyanyi di ranting hatiku
Membisikkan sunyi pada tembok beton dan baja
(Sebelum daun-daun sempat gugur) Dan kota hanyalah penjara
Berlantaikan keasingan. Kengerian demi kengerian
Dikekalkan bahasa dan tindakan  ̶  tanpa ampun!  ̶
Sebagaimana tembang yang disuarakan nenek moyang,
Tinggal album tua! O, seribu anjing yang bertasbih di hadapanku
Menghendaki pertunjukan ini terus berlangsung
Setelah seribu toko serentak menawarkan harga kosmetik baru
Tapi bau amunisi menghendaki jantungku  ̶
Mewarnai upacara pemakaman yang berlangsung secara gaib!

Tinggal debur jam. Menggema ke semesta perenungan. Mengekalkan
Sunyi Ilahi! O, hening cintamu semekar mawar
Tapi udara terus bergolak dalam tungku perapian
Tapi laut masih juga biru dan seribu hiu mengangakan rahangnya
Dan kesetiaan rumputan masih menghidupkan kambing
Di pelataran real-estate. Lalu dunia berputar dalam tanganku
Terluka oleh rangkaian zaman edan! Tanpa kompromi!

1985


Tentang Penulis
Soni dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 19 Februari 1962. Setamatnya SLA (SMA Pancasila-Tasikmalaya) melanjutkan kuliahnya ke ASTI Bandung, mengambil jurusan teater. Dalam dunia teater, di Tasikmalaya pernah aktif di sanggar EPOS. Sedangkan di Bandung, Soni lebih aktif dalam dunia sastra, baik bersama KPB ataupun Kelompok Sepuluh. Adapun dalam dunia teater, Soni lebih cenderung sebagai pengamat saja. Ini bukan berarti menghindarkan diri dari dunia akting.
Kumpulan sajaknya yang pernah terbit, al: Bunga Kecubung (1984), Dunia Tanpa Peta (1985), Antologi Puisi Pesta Sastra Indonesia ’85 (1985) dan Krematorium Matahari (1986). Menulis puisi sejak tahun 1978, banyak dipublikasikan di Berita Buana dan Pikiran Rakyat, selain sekali-kali muncul di Mutiara, Hai, Suara Karya, Suara Merdeka, Pelita, Minggu Pagi, Bandung Pos, Gadis, dan Mangle (majalah sunda). Selain puisi juga menulis cerpen dan esay. Sering juga membacakan sajak-sajaknya di GK. Rumentang Siang Bandung. Pada bulan Maret 1986 diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan sejumlah puisinya di TIM-Jakarta dalam acara 50 tahun Perjalanan Polemik Kebudayaan.


Catatan Lain
Di halaman v, ada tulisan penyairnya yang mempersembahkan buku ini kepada Srie Amy Meilani Pancasilaiswati. Di bawahnya ada tulisan yang bunyinya: “Sependakian matahari itu pun berkobar/Dan aku sepanjang waktu mendzikirkan ketiadaan!”
Di cover belakang ada 3 testimoni yang masing-masing dari Yakob Sumardjo, Abdul Hadi WM, dan Benny Yohannes. Yakob Sumardjo berkata, “membaca sajak-sajak Soni akan terasa penguasaannya terhadap idiom-idiom puitik modern. Pilihan-pilihan imajinya terasa cerdas, otentik dan di luar dugaan.”
Dari sejumlah puisi Soni yang saya baca di buku ini, diksi “mengekalkan” dan “guguran daun” cukup banyak ditemui.


(Kontributor: Ahmad Fauzi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar