Laman

Tonggak

Minggu, 08 Oktober 2017

Hamdy Salad: MAHAR CINTA BAGI KEKASIH


Data buku kumpulan puisi

Judul : Mahar Cinta bagi Kekasih (puisi cinta untuk isteri tercinta)
Penulis : Hamdy Salad
Cetakan : I, April 2005
Penerbit : Logika, Yogyakarta.
Tebal : xiv + 110 halaman (84 puisi)
ISBN : 979-95978-224-4
Penyelia akhir : Akhmad Muhaimin Azzet
Desain sampul dan tata letak : Gugun Gunawan
Pemeriksa aksara : NR. Setyaningsih, B_koes

Mahar Cinta bagi Kekasih terdiri atas 3 bagian, yaitu Mendaki Rindu, Membungkus Luka (29 puisi), Air Mata Bulan, Air Mata Cinta (23 puisi) dan Menyepuh Sunyi, Mengutuhkan Jiwa (32 puisi).

Beberapa pilihan puisi Hamdy Salad dalam Mahar Cinta bagi Kekasih

KEMBALI DALAM KERINDUAN

Kembali aku dalam kerinduan
menapaki jejak cahaya di sisi bulan dan bintang

Masihkah engkau bertanya pada senja
tentang badai dan ombak di samudra biru
sedang cakrawala kian menjauh
dari bening bola matamu
dan ketika samudra telah berpindah ke dalam ruh
ke manakah bahtera cinta itu hendak berlabuh

Duhai mahabbahku, singkaplah rahasia waktu
tak ada cinta dalam keindahan tubuhmu
kecuali cinta itu sendiri yang menyusun tubuhnya
di antara jantung dan hatimu. Maka biarkan
rinduku merekah tanpa daging dan butiran darah
karena itulah mahar cintaku, simbah mawar
bagimu: kekasih dalam jiwaku

Jika pun engkau masih mencari resahku
dan bertanya tentang silsilah kelahiranku
bakar saja keindahan tubuhmu
di atas api tungku semesta
sampai jasadku berseri dan beratap
lalu kembali menjadi debu dan senyap
di palung rindumu. Telah kutaburkan seribu
bunga
agar jiwaku tetap setia di taman cintamu
selamanya

2003-2004



MAKRIFAT TANAH

Menghanguskan tanah di dada matahari
arwah-arwah berhamburan membawa jasadnya
ke dalam belenggu perbudakan
upacara penguburan ruhani
kemenangan dunia dan benda-benda
membangun surga di pundak bumi
dengan darah para pendoa

Wahai batu-batu! Dengarlah anak-anak bintang
yang merintih di pohon malam
bagai halilintar membakar jubah semesta
membuka pengetahuan. Makrifat tanah di bukit
kelam

1996


AKULAH TANGKAI

Akulah tangkai yang menjelma kayu bakar
O, Api! Kalau tubuhku kering, sulutlah daku
menjadi asap dan debu dalam paru-paruku
biarkan bunga-bunga tetap berdzikir
atau berdoa menuntun sembahyangku
mengucap salam dan syahadat
bagi dunia yang tumbuh
dari guguran daun, tetesan darah dan madu
mimpi percintaan. Berkibar di atas bendera
kegelapan dan kesepian umat manusia

1989


SAJAK LUKA

Langit mati, mengubur cahaya di tepi pantai
sunyi bergerak mencipta huruf dalam kata
membawa api dalam gulita. Aku bernyala

Air menetes di atas batu, membelah dunia jadi dua
di tanganku, matahari mendaki ke puncak duri
dan bulan menangis dalam luka teriris

Dan cermin telah kupecah di dinding rumah
tak ada lagi yang dapat menyimpan bayangan
selain kegelapan. Kulebur semua yang singgah
dalam sukma pengembaraan

1986


RAHASIA GELOMBANG

Sebab matahari, laut menyimpan rahasia gelombang
kehidupan tak pernah selesai di kubur pantai
ikan-ikan bercermin pada peluh di matanya
mendidihkan air garam sampai pingsan

Sebab matahari, laut menyimpan rahasia kematian
mendorong layar-layar perahu ke dermaga
menyimpan buih air mata dan dihisap kembali
ketika sampai di kelak hari. Meniti jembatan samudra

1988


DALAM RUANG CINTA

Segala niat telah cair di sini
padamkan hasrat, lapar dan haus jadi saksi
menutup pintu malam dengan kegelapan
dongengan langit yang rubuh dan kesepian
dalam keindahan ruang cinta. Bulan mekar
pada senyuman bersimbah mawar
selebar angkasa, jenis-jenis luka terhampar
dua senjata berhadapan di medan lagi
tiada kalah atau menang jiwa berkata
setiap kali anak panah terlepas dari busurnya
air mata itu terperas, di bawah telapak kaki ibu
dunia. Cahaya berubah warna
di pusat kedalaman waktu. Aku mematung
tertimbun semilyar kata-kata bisu

1990


IBUKU MUSIM SEMI

Ibuku musim semi, bersusu embun
dalam kilau matahari
rumput dan bunga-bunga tumbuh menghijau
merambah daun cinta sekekal derita
sampai pelepah menyentuh ke tanah
di taman usia. Ibuku seamsal doa
mengirim hujan ke ladang gersang
sederas air mata menimang anaknya
membuka surga di telapak kaki
pada hatiku: kini tinggal kupu-kupu
mencari madu di putik zarrah
walau dunia telah menjadi batu
dan manusia saling memamah

1991


BULAN SUNYI, ABIDAH

Laparmu, laparku; Abidah
membakar perunggu di rongga dada
segala perih membungkus ruh dalam darah
meneteskan madu tanpa lebah dan rumahnya

Dahagamu, dahagaku; Abidah
menjaga muara di dasar waktu
segala sumber meringkus tubuh dalam tanah
melimpahkan air tanpa sumur dan kincirnya

Bulan sunyi dipenuhi berkah dan bunga-bunga
Mengharumkan usia dan jejak kaki para pendoa

Lidahmu, lidahku; menjelma daging yang beku
bagai sebatang kayu terpaku di tepi jurang
ketika jarak tempat berpijak diserang lindu
dan meradang. Menggigilkan jarum jam yang lengang

Matamu, mataku; membuta di keruh mimpi
bagai arang terbentang di gelap malam
merindukan matahari, bulan dan bintang tak bertepi
menghiasi langit dalam diri. Menukil kalbu dan pualam

Bulan sunyi dikelilingi rahmah dan cahaya-cahaya
Mematangkan dunia yang terpanggang dalam Cinta

2000


BAGI ANAKKU
: Jauhara Nadvi Azzadine

Di tengah lengkung tidurmu, Jauhara
aku dengar suara. Pintu gerbang telah dibuka
roda-roda bergerak di atas balok besi
mengajarkan ketabahan dan cinta
pada segumpal darah yang licin
di dadamu. Biji-biji tasbih melingkar
menyambut tanganku dengan jari-jari doa
al-fatihah membuka pintu
bagi rumahmu

Jauhara, Jauhara! Aku memanggilmu
usia bersayap bulan
merangkak di karpet biru
mengitari bintang dan matahari pagi
dengan senyuman yang belum dikenal dunia
engkau menyapa, meminta tuhan dalam jantungku

1993


BAGI ANAKKU
: Geffarina Firdaws

Dan segumpal darah itu, telah diberi ruh
lalu bergerak dalam mempelaiku
dan lahir ke dunia saat matahari tegak
berdiri di punggung onta
berpesan atas nama Cinta, amanah dan janji
sebagai mantra kesucian
silsilah keberangkatan hidup
Geffarina, anakku yang kedua
telah membuka putih kelambu
di pintu gerbang, menuju langit yang Satu

1995


BAGI ANAKKU
: Zahida Aine Hawwa

Di bola matamu, anakku, lorong waktu menyala
membawa abad ke dalam sejarah yang bisu
orang-orang bertikai tanpa darah dan bangkai
mendorong duka dalam gerobak masa silam
di bawah lingkaran matahari. Pohon-pohon berdoa
menyambut kedatanganmu dalam kehijauan

Di dahimu, anakku, peta-peta menebalkan garisnya
menuju negeri yang dibangunkan para nabi
di dekat perbatasan katulistiwa. Berjalanlah sendiri

2001


RUBAIYYAT CINTA

Sebelum angin dan musim saling merindu
bumi ini telah berputar lebih dahulu
menggores tubuh cinta di kanvas cakrawala
tapi ruh dan jiwaku masih saja berkelana

Karena cinta aku terguling
ke dalam bola matamu yang bening
dan bila engkau pergi
tak seorang pun yang bakal kembali

Karena cinta air menghilang dari banjir
angin pergi dari badai
api melenyap dari pembakaran
lempung dan pasir menyala di pekarangan

Karena cinta burung terbang di angkasa
mencari musim yang belum dikenal
walau hujan berganti panas
tak pernah bosan untuk menyangkal

Karena cinta matahari selalu bersinar
dan bintang tak pernah mati di malam hari
tangkai duka dan bahagia saling menakar
pada segala yang berbunga di taman hati

Karena cinta duri menjadi mawar, kata Rumi
karena mawar cinta menjadi duri, kataku
lalu debu berputar membisikkan nafas sunyi
hingga sunyi menari-nari dalam kefanaanku

Wahai penghuni singgasana cinta
kibarkan tujuh puluh sayap bidadarimu
agar aku bisa kembali ke dalam diri
menyepuh rindu sepanjang waktu

2003


AKU TELAH MENJADI

Kini aku telah menjadi seruling waktu
gundah tertimbun rasa cemburu
menggenapi nasib dengan putusan rumit
untuk tetap bersyukur dan bertahmid
di taman dan masjid. Aku ditendang ibu
sampai wajah menghadap keluar penjuru
meniti kekosongan, diburu makrifat
lembaran cinta dan dusta berlipat
sepanjang leher dan urat kelamin
membopong mayat ke ladang pemburu
memikul syahwat ke liang kuburmu

1989


SETANGKAI MAWAR MENCARI RINDU DI BOLA MATAMU

Setangkai mawar mencari rindu
di bola matamu. Fajar pagi berkilauan
mengajak usiaku ke tempat pelaminan
tapi luka masih saja menganga
walau senja telah turun dan tenggelam
di balik rambutmu yang hitam
lalu aku mendaki badai
tergulung ombak ke dasar lautan
sampai jiwaku berkerak
menunggu cintamu dalam kesurupan

Di manakah kita mesti berbenah
ketika pohon dan rumah-rumah
telah terbakar api amarah?

Maka biarkan angin itu berlalu
menerbangkan pasir dan debu-debu
dari pelupuk matamu yang ungu
hingga bulan kembali purnama

saat kita berbaring di tengah malam
membungkus luka dalam ikatan
cahaya waktu, menerangi duka semesta
di antara engkau dan aku

1992


AIR MATA BULAN

Seribu bulan menangis, meneteskan air mata
dalam gerimis yang sama
di pipimu. Setangkai mawar merekah
memantulkan sinar dan bola matamu
di ujung langit biru

Sedang awan mengirimkan banjir
sepanjang sungai di pipimu yang lain
hingga laut berwarna lumpur
badut-badut memasang tali cinta
pada sirip ikan berduri
merobek atlas dan peta dalam sunyi
di genggaman tanganmu
tanah-tanah tak juga menyubur
untuk menanam sebiji zarrah
yang terbelah dari semesta lukaku

2003


CONSERTO DE AMOUR

Di urat matamu, aku berlari
menabur keteguhan sajak-sajak dari puncak duri
pohon-pohon Jibril yang tertanam di masa lalu
mentahbiskan awan. Mencaci-maki matahari
dan batu nisan, menyimpan kesaksian
dalam konser cinta. Kuburan sepi. Bulan
bernyanyi

Di tengah auditorium sunyi, kita berpelukan
menyingkap kelambu dan selimut penuh kecoa
sampai habis kata mengeluh. Kita berdendang
melenyapkan sisa morfin di ujung jari
dan bulan telah lahir kembali
memisahkan cahaya. Belaian yang mulia

1988


SUJUD MAWAR
: mahar kekasih

(1)
Telah kusujudkan cinta
pada sajadah di pipi mawar
bertahta menyala jiwa
dalam tungku yang Satu
lebur jadi cahaya
merembes ke tanah
mengalir ke darah
gurita rumahku

Bangun dan bangunlah!
segala salam dan hikmah
tinggalkan tubuh dari cinta
bagai kalam semesta
temui diri taman sang nabi
menyulam ke indah waktu
pada ruhani yang madu

Telah tanamkan cinta
Pada bumi wujudnya
Bayangan Esa. Bayangan Esa

(2)
Setubuh bulan melintas dalam diam
membubung mimpi di atas kursi pelaminan
putik bunga merekah menuju ke langit cinta
mengikat janji sepanjang angan
menuju istana yang dilapangkan Tuhan

Di tengah pesta perkawinan, kita meraja
menyemai ladang di musim semi
penuh rahasia. Duri-duri menjelma bayangan
memaku jiwa sedalam samudra
sampai ombak dan karang bersayap kata:

Qais berdarah di gurun sunyi
Karena rindu pada Laila
Matahari bergerak di punggung bumi
Karena duka pada segala

1992


Tentang Hamdy Salad
Hamdy Salad lahir Ngawi, Jawa Timur. Alumni Fakultas Syariah (jurusan Pidana-Perdata Islam) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah mengajar dramatologi Universitas Ahmad Dahlan dan sampai kini menjadi dosen creative writing pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Menulis puisi, cerpen, esai, naskah drama dan sekaligus menyutradarainya bersama Teater Eska Yogyakarta. Bukunya antara lain: Sajadah di Pipi Mawar (2004), Rubaiyat Sebiji Sawi (2004), Bercinta di Luar Kebun Binatang (2005), dll.


Catatan Lain
Halaman persembahan berisi kata-kata berikut: “dan ketika samudra telah berpindah/ke dalam ruh/ke manakah bahtera-bahtera cinta itu/hendak berlabuh”.

            Penerbit menulis kata pengantar sepanjang 3 halaman dan bertanda: Yogyakarta, 2005.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar