Laman

Tonggak

Minggu, 08 Oktober 2017

Imam Budiman: JUTAAN KEKANAK SUNYI DALAM SEBONGKAH TUBUH


Data buku kumpulan puisi

Judul: Jutaan Kekanak Sunyi dalam Sebongkah Tubuh
Penulis: Imam Budiman
Penerbit: ?
Cetakan: I, September 2017
Tebal: vii + 94 halaman (60 puisi)
Format buku: e-book

Beberapa pilihan puisi Imam Budiman dalam Jutaan Kekanak Sunyi dalam Sebongkah Tubuh

MEMBACA KITAB ARKAIS LAUT

/ayat; akar bakau, surah; penenun pantai/

Dasar laut sepaling samudera tengah semedi untuk sedemikian
sabda, demi meredam dengan tabah segala keributan di atas
dunia berkabut fana. Ia tiada ingin bersegera untuk
menumpahkan kekesalannya dengan memuntahkan berkubik-
kubik air bah dari tenggorokanya yang mulai terasa bara.
Keberimanannya terhadap puisi kerap mengekal pada hening dan
sunyi yang dianut oleh gemerisik kaum terumbu.

/II/
Laut sejauh kedekatan kita padanya ialah sebermula cerita
sejarah dari peninggalan nenek moyang leluhur kita yang purba,
di masa mereka lahir dan menikmati masa kekanak dari rusuk-
rusuk rahim mata angin. Dan setiba remaja, digiring oleh para
tetua untuk ikut membelah badik ombak. Serta diajarkanlah
kepada mereka cara menombak paus seukuran bangsalan,
melumpuhkan hingga ke tepi dengan lancip mata besi, tidak
pengecut selaksa nelayan serakah dengan busuk serbuk mesiu.

/III/
Pagi menghidang sarapan nasi lembah tanjung berlauk tulang
paus bakar dengan sambal akar selada. Siang mengganjal perut
demi harum daging karapu. Malam barulah batang ranting kayu
disusun-tumpuk untuk seremoni beriring ombak laut dan aroma
garam. Mereka berkehidupan dari pesisir ke pesisir, menjadi
kelana atas tembikar. Menjadi musafir berkepal jaring dari satu
pulau ke pulau lain. Mati dan bermakam di sepanjang halu garis
pantai.

/ayat; rumah kelumang, surah; angin muson barat/

Laut kita memiliki kedalaman maha menukik. Seruas jelmaan
tempat berbiak segerombol ikan-ikan yang bermigrasi dari laut
selatan. Rumah cengkrama lelambai searah terumbu karang
berusia legende tajak pematang. Serta ia pun menjadi sepetak
medan nostalgia, pertemuan dua arus yang mengandung jutaan
janin kasih dan sayang diantara ceruk-ceruk palung paling gulita.

/IV/
Hariba ini, aku ingin menyusu pada tubuh laut yang cemburu
dan pulas terlelap dalam kantung mata ibu purnama yang gaharu



PEREMPUAN SETENANG DANAU KWARI

anak-anak angin menyapu pagi
yang belum seutuhnya tergenapi cahaya
membawa tubuh ke arah terjal berbatu,
menyanyikan lagu kaum gembala

“di sinilah, di kampung inilah,
rumah kami didirikan dengan apik,
demi merawat kenangan masa kecil
hingga kami beranak-cucu.”

aku menciptakan seorang perempuan di dalam kepalaku,
rambutnya tergerai sepinggang, sesekali ia kukenang
kami duduk berdampingan, menyilang tangan

seorang perempuan yang menyimpan
berkolam-kolam puisi di matanya
meski ia tak pernah mengukur jarak kata,
barang sebait pun

seorang perempuan yang mengalihkan segala yang nyata menjadi
imaji tak terkendali oleh keinginan untuk memiliki-mengasihi
seorang perempuan yang membuat lelap-letih setengah terusik
sebab wajahnya memelihara ribuan kekunang di satu waktu

tetapi demi menggapainya, tanganku terlanjur fana
membiarkan tubuhnya memburai pada suatu pagi
bersama jejak embun di tepi danau kwari


SILSILAH PENANTIAN

kularung sisa rindu pada segaris purba
yang mengukir setengah awal silsilah

segera kuhampar sejadah dari namamu;
wudhu ini bukan lagi pertanda
ada kau yang merenung, sebelum pergi
dan mendedah dari balik jendela
ingin kuhafal lagi, lagu-lagu tentang batu kali
serta anak-anak kampung

; tidak untuk merajam penantian


KITAB BOHEMIAN

batang tubuhku terbit dari himpun-silih keraguan
hamba-hamba yang terlempar, terbakar, tersingkir
semesta mencemari pahit, tanpa mengenal arah
: hidup –sebenarnya
adalah kekacauan yang teratur

nyaris kematian bercerita dengan amat terbuka
tentang rahasia yang dianutnya sedemikan lama
hidup bermula setitik sulbi menyuguhi puisi
dari celah ruas-ruas waktu ke sinaran semedi

tiada sukar diperkenalkan pada dedaun suluh
tumbuh tengah gulita dan gugur padang petang
lelaki tak laik bergumul seraut maut, sedendam teluh

: hanya perempuan patut berhati lumpuh


MENJAGA AROMA PANDAN TANAH

Fragmen, I
cara paling arif meneduh seutas ranum hujan ialah dengan
meminakkannya pada sepadang rumput bertubuh semak yang
bermuasal dari pendar-pendar titah dewata. anak-anak tanpa
pernah mengenal alas saling menghalau dengan sebegitu lincah
arah ke mana terbang sekelompok cecapung dewangga. dahan
pepohon yang menerbitkan suara gemerisik adalah ayat-ayat
yang lebih nyata dari sekadar kitab suci yang ditafsirkan secara
membabi-buta oleh mereka yang pura-pura paham beragama. ibu
pohon masih purna merajut tabah dengan memeranakkan segala
macam jenis dedaun surga dan akar-akar petala setiap waktu.
serunai laut yang dilenguh oleh sekerat prajurit angin adalah
bentuk sabda yang usai bermuara pada arus-arus berpangkal
kemahaluasan.

maka, tidak seharusnya kita meranggaskan serampai kata pada
sahih cuaca. menuding sepihak musim yang mendadak berubah
dengan amat tiba-tiba. tidak pula selaiknya mendengkurkan
keserakahan lambung-lambung kita pada tubuh bumi yang harum
pandan tanah. betapa jika demikian, sungguh kita rupa hamba
yang tak tahu diri.

Fragmen, II
setiap berlalu wajah ladang dan sawah di petang senja yang saga,
anak-anak selalu ingin memilih tak ingin pulang ke bubungan
demi mengejar mata lelayang. lelayang tangkai bambu. lelayang
yang hidup dari gumam-gumam lembu. mereka penjaga tanah-
tanah huma dari kepungan kemarau. mereka penandas
bebatukisaran manakala hujan menempur lorong-lorong
penduduk akar. anak-anak dusun dilahirkan di hariba dunia
menjadi juru selamat hutan jejaka dan bukit cendara. tidaklah
laik sesekali kita caci rambut gimbal mereka.

di remang sudut rumah bercermin anyaman bambu, para perawan
enggan terlelap setelah menahan nyeri dalam dada yang buncah.
setelah menyasak rambutnya, mereka memutuskan untuk
bungkam. betapa hutan sudah tak lagi nyaman untuk memberi
isyarat tentang sebab menelungkup ilalang sebagai pertanda
datangnya haturan jiwa dari tempat nun jauh kelam belantara.
hutan yang kini ditebang-tumpas keji budak-budak proyek demi
memuaskan orgasme mereka terhadap jelita tubuh pertiwi.
mereka pemerkosa perawan-perawan kami!

maka, tiba saatnya kita menyemai kesadaran dalam benak,
dengan segala tulus yang perdu. Bumi tak sekadar merupakan
tempat kita melabuh sebaya luka. bumi adalah semangkuk wadah
untuk meminumi janin-janin kasih kita. sungguh.


PENGHAMBAAN DIRI

sujudku ialah simpuh daun-daun
tiada dalam luka maupun sukma
karena sujudku ialah sujud penghambaan

rukukku ialah runduk batang padi
tiada dalam congkak maupun pongah
karena rukukku semata bentuk penghambaan

takbirku ialah hembus segala angin
tiada dalam lalai maupun terjaga
karena takbirku tiada lain sebagai penghambaan

aku ingin sujud, rukuk serta bertakbir
di dalam keduabelah telapak tanganmu yang ranum
aku ingin sekali melepas napas; ditimang-Mu


KARIANGAU

di ambang dermaga ini,
kau pernah berkisah tentang selatmu
yang sudah sekian lama tak ada satu pun kapal
maupun perahu yang tandas berlabuh ke lidah pantai

melainkan hanya kapal-kapal penarik batu bara
yang sekadar mendedah lewat

di tanahmu, terdengar kabar bahwa darah dan arus sungai berada
satu jalan dengan sampan nelayan-nelayan miskin
cekikik anak-anak yang berlompatan dari batang
dan ibu-ibu yang membasuh luka deritanya
amis dan anyir!


JUTAAN KEKANAK SUNYI DALAM SEBONGKAH TUBUH

bertangkai-tangkai sunyi dari pohon tak bernyawa pernah
mengaku-aku sebagai bayi yang tanpa tedeng aling-aling ingin
menyusu pada airmatamu yang sebetulnya, bagiku yang buta
hidup, tak dapat disebut airmata. airmata cadas darah, bukan
airmata yang semata-mata menegakkan layu lampah.

sekejap jutaan ribu sunyi yang tersesat itu melesak dalam setiap
 pori-pori, tigaratus enam puluh tujuh diantaranya, memaksa
masuk dari lubang kemaluan si tuan malang.

sunyi pertama lesak membelit rusuk-rusuk, menekannya satu
-dua-tiga, mencapai oktaf gemeletuk paling terkutuk. sunyi kedua
segera memanjat batang paha, ada celah yang sungguh durja,
entah milik siapa. sunyi ketiga menjelmakan diri menjadi salah
seribu urat yang bersitumpuk di tengkuk, beradu kayuh
menyelipkan darah ke sekujur dahan-dahan manusia, berlarian
tak kenal angin. sunyi keempat mengasah batu pisau di kuku-
kuku, menajamkan bau besi karat, demi menyemayamkan satu
tusukan yang kelak membuat nyeri berlipat-lipat di lambung
ayam.

sedang beribu juta sunyi lain tak lagi dapat dibendung laku
makinya dengan bertelur semau-maunya di bulu-bulu embus
hidung dan lubang kedap telinga dan helai semak rambut dan
tetes arus liur dan lekat palung pusar.

kini tubuhku seutuhnya sunyi, demi menyatu dengan tubuh-Mu.


PULANG KE BANJARMASIN

Tetuban Uma
lahir menumbuh panjanak uma di arus hulu
dibawa membesarkan hinak-hinak kami
mengasihi tanah tempat tajallinya

Balahindang
dua jam ranah menempuh cuaca Jkt - Bjm
di antara warna garis di sudut pematang
ada kenangan yang tak usai-usainya
basah tergenang dan merentang

Rumah Lanting
susur sehaluan siring sesungai Martapura
maranti-galam-ulin padatuan di sana!
tempat kita berceburan dari batang
ke batang lain; meredam anak api

lintas jingga di jendela-jendela lazuardi
lalu lalang kelotok warga membentuk
ulak kecil di setiap kali perlaluan

Hayapak
tetapi mengapa sungai ini bak mati suri
digelapi kebutaan hajat anak manusia
penganut konsumerisme dan bualan
[atau pemerintah kota yang lupa
istirah dengan proyek-proyeknya]

Kalangkala
menyudahi persinggahan singkat ini
dengan santap siang lauk jaring
kuah olahan kelapa kental


MATASUNYI

sebadik mata cuka berkata pada remah petala,
“aku yang datang mengusir naskah-naskahmu [pemiliknya]”
namun tempias hujan selalu saja lebih dulu menggelar caping
dalam setiap halu karang bunga serta satu-dua pementasan

sebadik mata cuka pulang ke dalam sumur yang dangkal
bahwa sunyi bertengkuk redam ialah keselisihan suara
ia ingin menjadi pertapa, di kejauhan hutan mata cuaca
pertapa yang tak lagi mengenal jarak beda ‘alif’ semesta

maka isak si mata cuka adalah matamu sebentuk mata
matamu dicipta segaris arah bagian dari mata-Nya
hingga kerontang dadamu coba menolak,
“Mataku ialah mata-Nya. Penutur mata pusaka.
tidak sahih kausebut-sebut mata cuka!


KUDA-KUDA PERANG DALAM PADANAN AKSARA TUHAN
; QS. Al-Adiyaat, ayat 1-5

/I/
adalah kuda-kuda perang kami, tuan, yang berderak lesat
seumpama laju ribuan rintik mengguyur tanah pusaka, di suatu
waktu yang tak tentu, di suatu musim kemarau dengan terik
berhamburan. menggenapi aksara-aksara yang nyaris tak terbaca
dirayapi zaman. menyambangi dahan-dahan muda agar bertunas
gandasuli dan berputik matadelima. kedua belah kaki kuda-kuda
kami sama menderap dalam laju di pacuan para prajurit Tuhan.
deru napas kami sama terengah-terbelah-tersinggah, namun kami
tak menyatakan tunduk dan payah. kuda-kuda kami, tuan,
sungguh lesat tak terbendung halau meski selangkah.

/II/
maka hikayat lesatnya yang purba, bukan hanya sekadar kabar
samar menurut kata orang; ladam-ladam keras di waktu dinihari
memercikan bunga api berpendaran manakala terantuk
sebilangan berbatu, sepanjang halu jalan dan takaran bulan,
sepanjang usia sabda dan musim tak berbilang. kuda-kuda kami
tak serupa kuda pejantan paling perkasa milik tuan sekalipun.
kuda-kuda kami, tuan, kuda yang termaktub difirmankan oleh
Tuhan sepaling tangguh dari segala pejantan.

/III/
sepagi embun belum benar-benar kering di pelataran, daun-daun
sirih menguarkan harum isak. O, kuda-kuda kami tak sabar ingin
menyerang tengkuk-tengkuk musuh. mencerai-beraikan susunan
rusuk, mengilirkan bahu dan mematahkan lutut pasukan durja
dengan sekali hentak yang teramat nyeri. mereka lalai dalam
buaian dunia tak seberapa, dan serbuan kita yang sungguh
rahasia, seperti sudut runcing bintang yang dihujamkan ke
lambung-lambung mereka. sedinihari ini, kuda-kuda kami ingin
segera beradu di medan laga dengan berlipat-lipat tenaga. lesat
lari kami, tuan, adalah lari sepenuh pengabdian kepada yang
maha penguasa alam kesunyian.

/IV/
berjuta debu-duli membumbung naik bertangga-tangga
menyesaki udara hingga menjadi serupa kelam kabut,
mengukuhkan langkah kuda-kuda kami yang terus berlari
menuju arah ufuk. langkah-langkah itu mengaburkan ingatan
kami yang akan menantang sepasukan musuh, tentang apa yang
kami tinggalkan, jauh beribu-ribu jengkal dari tempat kami kelak
akan menyatu dengan tanah bercampur wangi darah para pelaku
syahid.

/V/
pedang beradu pedang, menjatuhkan musuh dengan jarak tak
lebih selengan. perisai menghantam perisai, mempertahankan
posisi agar tetap seimbang, sebab terkandung dalam tubuh kami
laa ilaaha illallaah. ada yang menyaksikan pertarungan di
tengah berkobarnya perang, kecamuk yang kian memuncak
hingga lenguh penghabisan, aroma darah menyeruak ringan
membumbung ke cakrawala. satu pasukan besar yang
mendurhakai tuhannya berlari tunggang-langgang, sedang
pasukan lain yang tak seberapa, menggumamkan tahmid yang
tak habis-habisnya dibacakan di kedalaman sanubari prajurit
penunggang kuda.


BERSULUK DALAM SAJAK

menanti letak dahiku turun dan simpuh
menjadi semacam gemerisik di batang keladi
langkahku di jalan ini hanya sebagai pengungsi
aku melesak, menuju-Mu

menanti batur nisanku digerus dan pecah
menjumlah sekerat roti di lebar usia waktu
tundukku di peraduan ini hanya sebagai pengabdi
aku bergerak, menuju-Mu

menanti ubun sukmaku di laut empedu
merintis kata ampun di teluk-teluk sunyi doa
sediaku di bilik tikam ini hanya sebagai pembakti
aku melacak, menuju-Mu

menjauh tubuh padangku renta dilahap api
mengiba, meringis, meronta-ronta; berserah diri
ada-ku adalah ada-Mu. ada-Mu sebab ada-ku
aku bersajak, menuju-Mu


MENJADI TERASING KEPADA ANGIN

kadangkala kita perlu bersetia pada sepetak sunyi tanpa
membahasakan kicau saludang atau gemerisik batang bambu
yang konon dihuni lelembut datu. bahkan tidak juga kepada
angin berkelir putih yang jelas-jelas sengaja ingin mengusik
baris-baris sajak kita. tinggalkan dengan lapang punggung seluas
sabana.

sebab mereka; orang-orang yang kita labuhkan tembikar cerita,
hanya ingin melunasi rasa penasaran, bukan karena berempati
pada keheningan tangkai tubuh yang dirudung rasa teramat sesak
dan haru. Kembalilah pada pemilik hidup.

tapi, sungguh, putik bunga yang dinikahi angin itu tiada benar-
benar bermaksud diperhelat tabuhan persepsinya. meski tersiar
kabar, ia telah tak bernyawa di lambung luka.


AKSARA PADI SULBI
; untuk anak-anak yang –mungkin- akan lahir
dari rahim istriku sepuluh tahun kelak

tumbuh padi dari sulbiku, kuperagakan aksara dewanagri
agar halus cara padi sulbiku bertutur sapa pada kemangi

biar lebih dulu kuperagakan melukis aksara brahmi
sumbu kanan maupun kiri; kau tetap pelangi teratai api

berbungalah, padi sulbiku, pandangi wajah ibu pertapa
konon telah dirajutnya sajak berbahan wanacaraka


UPACARA PUISI

pohon putih, serupa peti kayu
yang diimbuhi bunga-bunga padma

tenanglah, sedang kumandikan
puisimu dari kata sekadar dan picisan

jejak kaki orang dulu;
jejak yang selalu menyebutkan
nama lengkapnya dengan api dan sembilu

aku mencintai puisi-puisimu
yang terbuat dari semak air


Tentang Imam Budiman
Imam Budiman dilahirkan di Loa Bakung, Samarinda, Kalimantan Timur. Ia menamatkan pendidikan menengah dan atasnya di Pondok Pesantren Al-Falah Putera, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Kini ia berstatus sebagai Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di waktu yang sama, ia tercatat pula sebagai Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat, di bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Karya puisi dan cerpennya tersebar di berbagai media massa dan buku antologi bersama. Adapun kumpulan puisi tunggalnya: Perjalanan Seribu Warna (Indie Publishing, 2014), Kampung Halaman (Tahura Media, 2016), Riwayat Gerimis (El-Qolam Publishing, 2017).


Catatan Lain
Di halaman tertentu dari e-book ini, muncul dua baris sajak tak berjudul, yang tak terekam di daftar isi.

Halaman 14:
/I/
tubuh lelaki,
gurun batu yang sunyi

Halaman 26:
/II/
tubuh perempuan,
jeram sungai tak bertuan

Halaman 40:
/III/
keduanya pun bertemu
di persimpangan gerimis

Halaman 55:
/IV/
tubuh lelaki melempar waktu
tubuh perempuan isyarat jinak

Halaman 67:
/V/
nyanyi angsa-angsa origami

mengiringi serta menjadi saksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar