Laman

Tonggak

Selasa, 06 Februari 2018

Aprinus Salam: SULUK BAGIMU NEGERI


Data buku kumpulan puisi

Judul : Suluk Bagimu Negeri
Penulis : Aprinus Salam
Cetakan : I, April 2017
Penerbit : Gambang Buku Budaya, Yogyakarta.
Tebal : ix + 79 halaman (64 puisi)
ISBN : 978-602-6776-41-9
Desain isi : Kun Andyan Anindito
Desain sampul : Yopi Setia Umbara
Lukisan sampul : “Suluk Sampan” karya Danang Indra Prayudha

Suluk Bagimu Negeri terdiri atas 4 bagian, yaitu Pada Mulanya (16 puisi); Ketika, Menjadi (18 puisi); Para Pribadi (16 puisi) dan Tak Pernah Akhir (14 puisi)

Sepilihan puisi Aprinus Salam dalam Suluk Bagimu Negeri

SEORANG GURU DI PELOSOK

Hidupku kecil, ruang gerakku kecil, sekolahku kecil,
kelasku kecil, tubuhku kecil, muridku kecil-kecil,
pada sebuah desa terpencil.

Jika malam, kehidupan lilin berapi kecil, kubuka
buku pelajaran untuk persiapan kecil-kecilan.
Tidak larut tidurku, takut tubuhku kurus mengecil.

Aku masak nasi pada sebuah periuk kecil, kupanaskan
sayur dalam panci kecil.

Segera aku melangkah cepat dalam langkah-langkah
kecil ke sekolahku yang kecil. Kusapa muridku yang kecil-
kecil.

Kubuka pelajaran sejarah. Aku pun berkisah tentang
sebuah bangsa besar yang dijajah negara kecil.
Muridku yang kecil-kecil menggangguk kecil.

Selesai sekolah, aku bergegas pulang, dengan langkah
yang kecil-kecil, menuju rumahku yang kecil.

Siang menjelang sore, aku membersihkan rumah dan
mengerjakan pekerjaan lainnya yang kecil-kecil. Sore,
aku mandi dalam sebuah kamar mandi kecil.

Kembali malam, kulakukan refleksi kecil. Kusadari nyaliku
yang kecil. Juga sisa hidupku yang mengecil.

Kini umurku tak lagi kecil, tapi hidupku kecil, ruang
gerakku kecil. Kalau nanti aku mati, aku membutuhkan
sebidang tanah yang kecil.



SULUK BATIK

Warnaku cuma satu, kupecah sejumlah
Hingga kabur mataku, lahir dirimu

Garisku cuma satu
Kupatah dan kubengkokkan
Kembali kuluruskan
Jadilah gambarmu
Jadilah rupamu

Bukan aku tak butuh mori
dalam keseimbangan bandul
dan dingklik untuk dudukku
serta tarian canting yang meleleh
dibakar anglo dan jari tangan lincah
dalam sebuah wajan

Seperti lingga dan yoni, cantingku
seperti ganggang dan nyamplung
melebur pada malam yang melekat
dan membasahi warnaku yang satu
dari garisku yang tak terputus

Polaku cuma satu, motifku cuma satu
Kucacah beribu, kugaris dan kuwarnai
Hingga namaku beribu-ribu

Aku percayakan diriku padamu
pada tubuh dan jiwa yang membawa
doa dan harapan atas namaku
agar aku menjadi batikmu

Aku tak berpola
Aku tak bermotif
Aku tak merupa
Aku tak bergambar


SULUK CACING

Entah siapa yang berkenan jadi cacing
aku mau, dalam geliat tubuhku
aku rupa yang bejat
tak bermata dan bertelinga

Telah lebur apa pun dalam diriku
karena padaku kusimpan malu
Mengunyah sepanjang hayat
mengolah keras jadi kelembutan

Aku bisu di kebusukan dan lorong-lorong
juga perut dan kepala batu, dan darah
Aku bisa terbang ke mulutmu

Akulah dirimu yang licin
dalam lendir pasrah, untuk subur bumi
untuk jalan yang kau tempuh


PUISI ITU ADALAH AKU (3)

Banyak mulut bicara
Tapi tak berkata
Kata-kata telah keluar
dari dirinya
tinggal suara bising
yang menjengkelkan

Kuambil kata dalam mulutmu
Kujadikan tulisan, agar
menjadi catatan kasihku

Banyak kata ditulis
tapi tak jadi kehendak
Kata telah keluar dari hatinya
Mana pangkal mana ujung
Tak bisa kuurut

Kuambil kata dari baca mu
Kujadikan puisi, agar
Menjadi jalan moksa ku


SULUK NUSANTARA (3)

Apa yang tersebar di pulau-pulau, selain peta
Seperti mutu manikam, terhampar di pinggir pantai
Serta lamunan masa lalu yang samar

Telah berabad-abad, kau tulis kisah hidupku
Tentang kampung dan desa yang gemah
Kota-kota yang tumbuh, atau tentang
kabut yang bercokol di kepalamu

Di sini, aku berdiri menyediakan jejak-jejakku
Pada bata merah dan tulisan di batu yang tertimbun
Serta kolam pemandian yang airnya tak lagi bening

Tapi aku hanya gugusan kenangan
Rumah yang dulu pernah aku bangun,
kini entah kemana
Tinggal puing yang beserakan
Satu per satu luruh. Bukan saja dalam ingatan
Pun dalam buku-buku catatan

Tak ada yang merangkulku, seperti tidur anak-anak
yang kehilangan pangkuan, aku pasrah melebur
berterbangan menuju gerbang istanamu

Kini, aku hanya bisa menungu
Masa-masa keabadian itu


SULUK DESA-DESA

Karena titahmu, aku lahir di malam hari
Bersama tiang listrik, jalan, dan aspal
Lampu-lampu membesar ketika aku
belajar naik motor di kebun belakang

Tubuhku semakin berisi, tanganku panjang
Perutku buncit berlepotan, aku mengeluarkan
kotoran yang kau pajang di museum
menjadi tontonan

Begitulah nasib, lahir karena gembira
berkepanjangan dan tak henti-henti
aku mempesolek diri, entah untuk siapa

Ketika aku berkaca pada siang hari, kutemukan
diriku tersungkur lusuh, lelah menahan pelototan
matamu berbinar kecewa

Berharap selalu malam, bersembunyi
dari pandangan siang. Tak hendak aku menjadi
kota, aku ingin kau mematikan lampu di jalan
agar aku selalu menjadi desamu. Desaku yang
permai


SULUK RUMAH

Tanah kosong, dan kayu-kayu yang lelah
Kau pernah di situ bersama atap dan paku
Juga dinding-dinding yang terhapus

Kemudian, bersamamu aku pindah
Berpindah rumah ke segala tanah kosong

Kini kau tak bisa pindah-pindah lagi
Karena semua rumah adalah aku


SULUK PENGGALI KUBUR

Entah berapa ribu orang yang telah aku kubur.
Tak tahu aku. Aku tak pernah menghitung. Aku juga
tak tahu, siapa dan dari mana saja mereka.

Tapi, coba kau lihat kuburanku. Sudah berapa
orang yang aku kubur. Ribuan. Dari awal, aku sudah
di sini bersama bapakku.

Orang memanggilku Pak Kubur. Iya, namaku Sakubur.
Tidak nyombong, aku terkenal di kampungku. Tidak
ada orang yang tidak kenal Pak Kubur. Semua orang
di kampung, berurusan denganku.

Iya, telah kukubur ribuan orang, entah siapa mereka.

Kugali kubur. Kugali kubur, kugali dua meter. Kugali lima
meter. Kugali ribuan meter. Kugali jutaan meter.

Rumahku di kuburanku. Ada banyak yang menemuiku.
Mereka memperkenalkan diri mengatakan aku yang
membuat kuburan mereka. Ada yang ganteng dan
wangi. Ada yang buruk rupa dan busuk.

Ada-ada saja yang menemuiku. Akupun pura-pura kenal
Karena mereka semua akan menjadi tetanggaku.

Setiap hari aku menggali kuburan. Ada permintaan atau
tidak, setiap hari aku menggali kuburan.

Kuburku sendiri telah kugali.

Iya, aku penggali kubur. Entah berapa ratus ribu orang
yang sudah aku kubur, aku tak pernah menghitung.


SULUK IKAN

Jika aku berenang tak henti-henti
Akan kemanakah sampai
Jika laut dan air rumahku

Saat itu pun telah ditentukan
Di keteduhan, Yunus menungguku
Ngajak jalan menuju rumahmu


SULUK SAMPAN

Aku ukir diriku hingga mengapung
Bersama nyanyian biduk, aku bergegas
hingga tepi airmu

Tak kan ke mana pantai pergi
Karena ikan-ikan pun tak pernah
menjauh

Aku pun terus mengayuh mencari
pusaran tempat aku berlabuh pada
masa penantian

Menujumu, aku tak perlu layar
Cukuplah bagiku, sebilah kata yang
kau tulis di dinding hatiku

Aku terus berlayar, bersama angina
Yang berhembus hingga ke relung
Terdalam


SULUK SIBUTA-BISU

saat kau padamkan suaraku
aku hanya menyebut namamu

saat aku tak mendengar
aku mendengar suaramu

saat kau tutup mataku
aku melihatmu

ketika padam suaraku
ketika aku tak mendengar
ketika kau tutup mataku
aku menjadi dirimu


SULUK POHON-POHON

Dari tanah kembali ke Tuhan
Tapi aku kayu

            Melalui diam, dan bersama dedaunan
            Kulahirkan daun dan ranting
            Kau bertengger bak mahkota
            Yang kau pasang di kepala

            Atas tubuhku, akulah meja dan kursi
            rumah-rumah dengan dinding yang menjamur
            dan tiang-tiang yang goyang dicumbu rengat

            Di dapurmu, dihimpitan batu dan tembikar
            Mengabu diriku memasak makanan
            Tak mau aku menjadi hangus
            Pada hutan-hutan yang terbakar

            Bersama tegak, diriku tak bernama
            Buah-buah pun bergelantungan
            mencari jalannya sendiri
            sebab tubuhmu menerimaku dengan cepat
            Mengantarkan aku pulang kepada-Nya

            Pun ketika kau istirah, kau duduk bersama
            teduh pepohonan, pagar menyangsikan
            perasaan dan batas yang membuat jalan
            Jalan semua orang

Tapi aku kayu
Menjadi pohon tak berhingga
Biarlah Tuhan menamai diriku


SULUK NYIUR MELAMBAI

Pohon-pohon lahir karena air, bersama daun
berguguran ke tanah, dipoles matahari. Di mataku,
pohon bertelur, bersama ranting-ranting

Tak ada lambai yang mengemas diriku
Pucuk-pucuk tumbuh begitu saja. Menggapai awan
riang berlari karena hasrat yang tertahan
hingga bulan menghampiri, siluet pun terbayang

Tak ada yang memintaku menjadi lancip
menyuruh menjadi akar, pohon-pohon hadir
mengasah hari dari kesunyian dan desau angin

Di kejauhan, di kedekatan, akulah nyiur itu. Suara
melodi, mengetuk detak jantung dan langkah kaki.
Menjadi tubuhmu, dalam lambaimu


SULUK MALAM

Keremangan apa yang menghisap sore
Ketika suara burung tiba-tiba terdiam
Menyelinap ke sangkarnya tergesa-gesa

Suara apa yang lebih syahdu daripada malam
Ketika jangrik dan orong-orong berpuisi
Menghibur kesendirianmu yang berani

Dalam batas keraguan, kau pun bersiap-siap
Kau buka jendela, pintu, dan matamu
Agar aku tak pernah merasa kegelapan


SULUK ANJING (1)

Kukibaskan ekorku untuk menghamba
Kujulurkan lidahku untuk memujamu
Aku makan sampah dan kotoran
Menggonggong dan membuatmu heran
Sambil berdoa ke langit

Tak apa kau lempar aku
Tak apa kau siram gelegak air, aku tetap anjing
Yang kau pakai mengumpat

Aku anjing yang mengantar dan menunggu
berdoa untukmu sampai kau hujat

Dari luar pintu gua, aku menatapmu
Entah kapan engkau keluar
Kutunggu engkau hingga ratusan tahun
Menuju matiku


SULUK BURUNG-BURUNG

Jadilah, maka jadilah sayap, seekor burung
terusir terbang tak sampai-sampai

Sebagai burung, kau lihat hidungku
Kau jadikan diriku boneka bersayap
Terbang rendah menyusup rumahmu

Maka jadilah terbang, seekor burung melayang
Menuju langit kematian

Jauh di pucuk, sayapku mendekap awan
Menuju kotamu yang kau bangun
Berabad-abad yang lampau

Dalam sayap-sayap diriku, aku mencarimu


Tentang Aprinus Salam
Aprinus Salam mengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM. Waktu kuliah mengambil skripsi (1992) dan tesis (2002) tentang puisi. Sedang disertasi dokternya (2010) tentang novel. Tahun 2012-2016 menjadi anggota Senat Akademik UGM. Menjadi kepala pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013. Kumpulan puisinya yang pertama adalah Mantra Bumi ini, disusul Suluk Bagimu Negeri (2017). Kumpulan esainya Biarkan Dia Mati (2003) dan Politik dan Budaya Kejahatan (2015).


Catatan Lain

Di sampul belakang ada puisi Suluk Sampan. Lengkap. Pengantarnya dikasih judul Suluk Pengantar. Tulisnya di paragraf 3: “Berbeda ketika aku menulis Mantra Bumi (2016). Waktu itu, aku bisa menulis dengan cepat, dan tidak berpikir panjang, karena kuniati menulis mantra atau doa. Menulis puisi dalam Suluk Bagimu Negeri, aku harus bekerja keras.//Berdasarkan pengalamanku kali ini, tidak ada pekerjaan yang lebih melelahkan daripada membuat puisi. Tidak ada pekerjaan lain yang lebih menuntut konsentrasi tinggi daripada membuat puisi.” (hlm. v). Begitu.

1 komentar: