Laman

Tonggak

Selasa, 06 Februari 2018

Badruddin Emce: DIKSI PARA PENDENDAM


Data buku kumpulan puisi

Judul : Diksi Para Pendendam
Penulis : Badruddin Emce
Cetakan : I, Februari 2012
Penerbit : AKAR Indonesia, Yogyakarta.
Tebal : xxii + 174 halaman (101 puisi)
ISBN : 978-979-9983-96-1
Supervisi : Joni Ariadinata
Editor : Raudal Tanjung Banua
Desai nisi : Indrian Koto
Desain cover : Nur Wahida Idris
Gambar cover : Tarman, Berjalan Lurus ke Depan
Foto cover : Jojo Ahmad (Titik Cerah)
Pengantar : Achmad Munjid

Diksi Para Pendendam terdiri atas 5 bagian, yaitu Diksi Kesatu (19 puisi), Diksi Kedua (20 puisi), Diksi Ketiga (17 puisi), Diksi Keempat (25 puisi) dan Diksi Kelima (20 puisi).

Sepilihan puisi Badruddin Emce dalam Diksi Para Pendendam

Tumpah

kutimba seember air
ya seember air, ku-
bawa seember air.
keliling air kutawarkan
pada pohon tak berdaun
kulobangi batangnya
agar air tak tertumpah.
kutuangkan tapi ter-
tumpah sehingga pohon
yang kering kutebang,
kuhadapkan lobang itu ke langit
biar tak tertumpah,
tapi air tertumpah dan
yang tertumpah menetes
bagai darah

1982



Lukisan Kampung Nasirun
: di pinggir sawah Doplang, Adipala!

Rasanya semua kebenaran kumpul di sini.

Nyewiji, seperti keluarga besar
dengan tetangga-tetangga keluarga besarmu.

Kuning air sumur dengan ibu-ibu
yang rajin berkumur.

Lantas dengan kegembiraan macam apa
melukisnya?
Dari tepian ini memandang
yang telah di seberang

Meniti pematang ke seberang
atau lebih seberang lagi.

Saat di seberang yang pernah dipandang,
tak lebih soal bagaimana sang nyata
siapkan warna.

Maka meski di sini engkau tak lagi beralamat,
tanamanmu juga tak pernah khianat.

Terus usil serupa tangan
menggores bentuk-bentuk liat
mirip keris tukang ruwat

Memangnya sama, bertani
dengan pegawai negeri?

Agaknya seseorang tersinggung berat.
karena di tengah aneka muslihat
tanamanmu malah ngakak.

Benar! Adakah lucu
memuliakan satu dari lainnya,
merantau atau di kampung saja?

Semuanya hebat
penuh tanggungjawab?

Merantau terus dibayangi,
sudah bisa apa anak-anak
kampung asal puluhan tahun ditinggal?
Sebaliknya, di kampung sampai tua
disibukkan, setelah seharian di kebun sawah
segera magriban di surau?

Usai wiridan, turonan:

Menduga waktu tempuh ke titik langit
seluruh benih tanaman kampung berasal.

Kroya, 2008


Di Srandil

Siapa bilang di srandil ada makam Semar?
Lihat, beliau masih bugar
Menghampar impian kami tak merasa hina
cuma bisa nyithak bata

Dan iri, dewa-dewa berubah bajingan.
Membubuh ucapan palsu di kertas segel.
Tak sedikit yang pura-pura kere.

Kata siapa ki lurah Semar memanggil turun
para dewa? –
Ayunlah beliau tetap bayi –

Tak pernah menuntut ataupun menafikan
lapar dunia.

Dan biarlah terpingkal-pingkal
bila si berkopiah menyatakan kata-katanya
kata-kata kami.

“Tapi di mana nggali pasir lagi, Semar?”
“Apa-apa yang kami kumpulkan
bukan empunya kami lagi!”
“Namun dituntut ikhlas
dan malu memiliki!”

“Semar. Kentutlah, Semar!”

Kroya, 1997/1998


The Song of Idiot

Bukan benda aneh kiranya, siang pandanganku terhalang
ribuan kunang.

Cuma nantinya perlu ada sedikit perubahan
pada anatomi tubuh.
Jantung diletakkan lebih tinggi
dari kepala!

Api pun berpadaman!
Bagaimana yang beterbangan di luar ruang ini nanti tidur?
Kubeli saja sebungkus kacang sorga.
Murah. Tak kena pajak. Tersedia di sembarang toko.

Lalu tanpa menjelaskan
Ban sepeda bahannya apa –
Apa tak pecah untuk sejauh itu –
Segera saja aku mengayuhnya.
Ada juga yang bonceng, bersuara persis suara bebek.

Dalam kelas, murid yang duduk di deretan belakang pun
keringat pikirannya
nggenangi kami berdiri nggores warna-warni kapur.

Ini kepulauan baru!
Sudah terlambat!
Tak perlu dicantumkan pada peta! –
Begitu saran konsultan hukum.

Maka di kamarmandi-kamarmandi sekolah, kami,
tanpa nimbulkan suara seperti leher patah,
mutar kran ledeng karaten.

Di langit, bintang-bintang ternyata lebih punya banyak rencana
dibanding kunang-kunang.

Di papan tulis, para kunang lebih nyala
dibanding bintang-bintang.

1989


Matahari Seolah Ikan

Pinggir sungai pohon-pohon
Terlalu banyak menghisap sari benda.

Matahari seolah ikan kecil
Lagi berenang. Dan gemawan
Di ufuk barat,

Reruntuk makanan terapung
Harus segera direbuthabiskan!

Lama rasanya
Dua belah tangan ini sirip
Dan kaki ekor merah
Maha merah.

Jaman apalagikah ini?
Mesti sempurnakah aku?
Saat hujan turun,
Kulit lereng yang lepas
Lapar segala makhluk air.
Dan perutku tetap saja perut, nyenggol batu demi batu.

1992/1993


Diksi Para Pendendam

Tangan untuk melupakan nyaris tak punya.
Kami hanya punya tangan untuk mengingat.
Tangan ini, tanpa menunggu perintah
rasa lapar,
mengais-ngais di antara garis:

Namamu, dengan huruf legam kayu arang,
terus merambah sisa-sisa pohon di hutan.

Tempat kelahiranmu dahulu berjalinan
kara-cincau,
kini bertegakan tiang kemarau.

Kau tahu, di desamu ribuan sumur digali
hanya untuk memahamimu?

Tanggal lahirmu adalah hari sial orang-orang
yang mengiramu malaikat
atau jalan cepat menuju hakekat.

Agamamu telah mendorong kami
saling mencurigai.

Saling melarang berbuat baik
dan bersungguh-sungguh.

Pendidikanmu membuat kami harus belajar
lebih keras,
hanya untuk mengejar tempat teratas.

Pekerjaanmu sungguh membuat kami
harus mengulang yang tak perlu:

Buku-buku yang kami cetak
ternyata tak pantas dibaca anak-anak.

Alamatmu membuat kami kesasar
dan hari ini kami masih terus bertengkar
Bagaimana bisa keluar dari belukar.

Nomor ponselmu mendorong kami
berselingkuh denganmu
hingga kehabisan gairah untuk wujudkan yang nyata.

Hobimu menjadi anak-anak.

Hanya para pendendam tega menyalahkanmu,
lalu menangkapmu, memenjarakanmu
seumur puisi.

Sebuah kata yang tak pernah tepat
di baris manapun
telah memaksa kami untuk memilih
dan berhimpun.

2007


Dari Jauh

Pusaran angin membawa debu ini, melintasi kebun
dan sungai. Kebaikan, pohon tunggal di atas tanggul,
mencelupkan kakinya ke keheningan tengah sawah.
Dari jauh kemarau tampak begitu kukuh.
Di punggungnya yang coklat, rel terus memuai
melintasi stasiun-stasiun neraka.

Kroya, 2004


Yang Ditulis

Sendirian, dan bahkan tanpa dukungan empat kekasih
yang berkoalisi,
kunyatakan rasa tak sukaku.

Betapa engkau bukan lagi kawanan kata yang diburu,
dirundung takut,
dan senantiasa sibuk mengibaslepaskan rasa takut.

Menjadi ucapan sehari-hari,
hingga orang malu hidup sekedarnya,
merasa tak lengkap jika belum menghargai orang lain
atau apapun yang terlintas.

Ingin pergi dan tetap seperti itu?
Begitu mungkin lebih baik.
Pergilah sebelum engkau dikira pikiran tanpa dasar dan berantakan.

Harapan berlebihan orang sadar kenyataan.

Lebih menjijikkan dari rona kesedihan yang dipertontonkan
seorang menteri yang keliru langkah.

Mungkin sehari lagi, sejam lagi, empatbelas menit lagi,
duapuluhtujuh detik lagi,
setengah detik lagi, saat ini bahkan,
engkau hanya lolong kosong di beberapa detik termalam.

Silakan pergi. Tapi baru beberapa langkah
engkau akan merindukan,
betapa di sini, kapan pun bisa saling memberi
sekalian menolak yang disuka.
Merahasiakan biung bunyi atau mencerahkan dengan
sejentik api.

Memuja pekan kosong atau menentukan keberuntungan
dengan suara tekek.
Abaikan tetes pedih pagi hari atau kesetiaan musim hujan.

Pergilah! Sebelum mlethek fajar,
seekor gajah menggosok-gosokkan tubuh
ke batang rambutan depan rumah.
Maka bangunlah. Duduk sebentar di pinggir ranjang.
Engkau akan didukung hingga sebelum subuh
telah menyalakan api di sebuah pantai.
Menggelar tikar di bidang datar sebongkah karang.

Usai sarapan, seekor hiu yang pernah, darahnya
duabelas tahun lebih mendenyutkan nadi para rompak
hingga sejarah tak kuasa nolak, akan mengantarmu
ke seberang,
di mana seekor celeng ngiring telah menunggu sambil menyusui.

Selebihnya, telanjang kaki, engkau akan mengikuti jejak
nrobos hamparan alang-alang,
menghindari lubang jebakan dan jerat yang dipasang
peladang liar.
Sesekali berjalan di atas pecahan batu kapur runcing.
Menuruni jurang hingga dasar.

Hingga yang kautemukan dan makan – cacing tanah,
sisa buah mulai membusuk, sekerumun belatung pada
bangkai hewan –
membuatmu merasa diterima tanpa harus seperti mereka:

Melata lalu melilitkan tubuh ke pohon seperti sanca luwuk
yang kelak dikuliti.

Berjalan dengan empat kaki seperti barongan ebeg,
atau dua kaki seperti pencuri kayu yang sangat percaya
diri.

Mengendus
sambil mengibas-ngibaskan ekor seperti anjing polisi hutan.

Mengaum seperti macan loreng yang telah diawetkan
dalam keadaan menyeringai.
Melolong.
Memekik.

Mengepakkembangkan sayap seperti bangau tong tong sombong
yang lama meninggalkan dongeng. Menukik. Mematuk.

Mencengkeram seperti elang yang bahagia
mendapat seekor tikus wirog.
Hinggap seperti gemalo yang sayapnya digetarkan
gempa.

Meloncat turun seperti beruk yang terlambat
melindungi betinanya.
Menyelam menghindari terkaman seperti kodok.
Mengubah warna kulit.
Menyelinap seperti gemek.
Menyengat seperti tawon gung terakhir.
Menghisap seperti lintah.

Ya, tanpa harus seperti mereka, engkau bisa lebih tajam.
Bisa masuk lebih dalam!

Menyibak belukar. Memenggal akar menghalang langkah.
Menguak pori-pori kulit pohon.

Jika getah bening menjadi beku karena kehadiranmu,
maka yang merasa kuat akan menetes, menetapkanmu
sebagai ancaman.
Dan jika pendendam tahu, bahwa yang kaubawa
sesuatu yang tak terhindarkan, sungguh engkau beruntung.
Engkau akan diterima dengan sedikit bijak.
Didaulat jadi yang terjaga
sampai tak bisa melakukan apapun yang engkau suka.

Sekali lagi, pergilah. Jika sekedar ingin berpanjanglebar
Jangan coba-coba kembali.

Sebab yang engkau ceritakan dengan bangga
mungkin hanya untuk seuntai belas kasih atau setepuk kagum.
Harga murah untuk sesuatu yang ditulis!

Kroya, 2010


Peron Para Pedagang
bagi S. Ratman Suras

Saat itu mentari masih suka
sentuhkan hangat murni tujuh pagi!

Lepaskan sorak lonjak, jika kereta yang ditunggu
di jauhan kepul asapnya mendadak tampak.

Panjang, jika pintu-pintunya dibuka,
segera rebutan orang Banjarpatoman
menaikkan barang kulakannya.

Sementara di peron itu juga,
turun orang Kroya yang kembali dari berdagang.

Juga nenekku.
Juga pembantu laki-lakinya
memikul pemberian orang Mlewong dan Gandrung
yang memesan jarit atau sarung:

Ubi talas, mlinjo, tak ketinggalan gadung.

Rupanya yang dulu suka berharap segera tiba waktu buka.
Alihkan lapar dengan berkejaran atau tiduran
dalam gerbong kosong,
tak juga tertarik tinggalkan desa
yang kerap kedodoran dengan baju kota.
Apa yang berat untuk dilupatinggalkan?

Adakah sedang mengingatkan,
cerita nenek dikejar begal jaritnya hampir tanggal?

Lalu terbelalak saat seorang duda tujuh anak
berjanji jadi suami yang bisa memahami.

“Ibu juga beranak tujuh!
Kenapa tidak?” Lamat-lamat di senthong belakang,
kakak tertua ibuku meledek.
Lalu nenek membuka warung di depan rumah ibuku.

Mungkin ingin hirup aroma desa-desa yang pernah disinggah.
Sering, beberapa hari menjelang puasa numpak dokar ke pasar.
Jika segala yang perlu telah didapat,
segera, bersama orang Banjarpatoman,
berdesakan menuju peron itu.

Peron yang tak sempat cerita banyak kepada para cucu:

Orang Kroya, juga nenekkku,
juga pembantu laki-lakinya,
akhirnya naik spur kluthuk ke barat, menyusul bulan puasa,
bulan di mana yang mendunia lebih diterima.

Peron yang kembali segar, jika ibuku coba berpanjanglebar
tentang beberapa malam menjelang lebaran:

Di dapur,
di tengah kerumunan rengek para cucu,
nenek terus menempapipihkan mlinjo
menjadi keping-keping emping!

Konon ada satu ditinggalkan nenek di rumah ibuku,
tapi aku tak bisa melihat wujudnya.

Mungkin wujud itu pernah menyentuhku,
membuatku tak kunjung merasa tua.

Tak menyadari, betapa kereta telah gonta-ganti warna.
Dan warna gonta-ganti makna!

Untuk yang satu itu,
pemuja ketenangan yang tak bisa guyonan,
tahunya adalah Dosa!

Kroya, 2007/2008


Akik Nusakambangan

Inilah tetes-tetes dari tlatah yang kerap dikisahkan
dengan gundah sembunyi-sembunyi!
Lalu jin bangkai kapal tenggelam
membocorkannya saat hujan memeriahkan rasa kanak
kami.

Nyaris, di tengah sunyi pantai segara kidul
kami membuat ikatan sama sekali baru –

Tebing terjal pantai, pohon-pohon besar muncul dari dasar jurang,
Konon menyukai kelicinan kami.
Tapi nama-nama tadi segera kami ingkari dengan ndagel.

Lantas siapakah kami yang memilih batu
dengan kesungguhan? Betapa tak mungkinnya
akik sebening Kristal Waktu.

Setiap hendak nggosok keinginan, selalu,
wanita-wanita yang mengharap keuntungan
dari toko mas Pasar Gede,
membuat merasa tak pantas mengenakannya.

Melingkari jari manis ini, jika itu seuntai kata –
ah, gadis-gadis rasanya lagi menyimak warna karat
luapan air rawa.
Kami pun merasa lebih buas dari Pulebahas.
Bisa bercinta kecuali dengan memaksa.

Silakan, yang seperti itu engkau telah lama punya.
Berkali dibawa pesta!
Berkali tuk mulai kisah panjang cinta.

Kroya, 1998/2001


Kethoprak Kampung Laut

Tentang lokan yang rekah di terang purnama,
ia teramat fasih.

Katanya seperti rentetan petasan meletus
di air.

Sebelas tahun lebih saya tidak ke sana,
Melihat gogo disiram air asin.
Tetapi ia tetap menggelora.

Seperti sebuah tobong
dengan beberapa gelintir orang di dalam.
Benar, ia sama sekali
bukan anak turun Pulebahas
si perompak tak patut jatuh cinta.

Hanya tangan kekarnya kaubiarkan
terbakar –

Menjadi kampung
yang selalu nyaris tergulung.

Sedang kami, seperti antek-antek VOC,
berjaga siang malam dengan perahu motor.
Siapa tahu ia teringat miliknya
yang dirampas atas nama laut.

Kroya, 1998


Debur Nusakambangan

Angin mengacak yang mapan
dan tidak kunjung hinggap.

Juga engkau,
yang aku berusaha bungkam
atau hanya sedia membaca catatan pekatmu
jika telah digubah jadi baris-baris gerimis.

Mereka hanya ingin engkau ketahui?
Engkau kemudian malas rapikan rambut,
hingga hidup seperti tak butuh cermin.

Aku pun terkadang merasa jauh lebih baik
tanpa penglihatan, pikiran dan keyakinan.

Di situ engkau akan tenang
seperti di masa purbamu.
Masa di mana demit dan hewan buruan,
pohon dan jurang memanggilmu: Nusatembini!

O, betapapun jangan tinggalkan aku!
Meski cerewet, pikiranku siap menerima
setiap yang runtuh darimu.
Mengirim biji-bijian yang tak lagi engkau hargai
ke tempat-tempat jauh hingga tumbuh
dan terhormat.

Tanggalkan bosanmu ke lubuk hatiku!
Mereka akan menjadi ikan jinak
yang mengelilingi iringan perahu.

Tanggalkan!
Angin memang lahir buat memutar baling.
Menyusup ke mana suka bersama para pencari tahu.

Kau tahu, setiap malam mereka menyingkap
penutup tubuhku?

Gelombang pun membesar.
Nelayan-nelayan turunkan layar,
lalu balik ke pangkal.

Jika langit memekat,
layang-layang akan menghujam ubun hakekat.
Dan sipir saling mendekat.
Dan jeruji besi raih gembok terayun-ayun.
Dan pesakitan itu menutupi wajahnya denagn sorban.

Dan aku, marabahaya itu
Dan engkau, tolak bala itu, kembali berpeluk.

Bertahun orang-orang kesepian itu mendengar debur.
Tetapi tak berupaya jadi lebih tahu!

Kroya, 2008


Pengantin Kampung Laut

Hidup kalian penuh air. Jalan darat ke kota
berbelit lewat utara
                        seperti birokrasi kantor!

Suatu pagi, ditemani segelas kopi manis hangat,
Rempeyek kacang –
Tetap saja hujan membuatku ingat akan ikan laut
yang terbang.

Sore waktu itu. Di tengah kampung cukup dekat lidah ombak
yang telah kutaburi butir pertanyaan teramat pahit,
dari perahu menjauhi barat, sepasang deraitawa itu
makin lamat.

Ranting-ranting yang mereka damba penuh buah
yang tidak biasa dimakan,

Namun merah menggoyang selera!
Ada juga kicau burung yang enak buat disiulkan!
Sekali lagi di emper surau rusak
pengantin sepasang itu menyantap gerimis –

“Alangkah nikmat jalan batu kapur licin melingkar-lingkar!”

Tidak berguraukah kalian?
Lalu natap punggung kepergianku.
Malam tiba,
dari rumah panggung mulai miring mungkin menduga
dari apa cahaya kotaku.

Sesungguhnya di sini lebih kampungan –
Kata-kata masih saja liar.
Warung berderet di tempat lalulalang orang.

Kroya, 1994/1998


Widarapayung, Pukul 11.32
                : Saut & Katrin

Siapa menjadikan kami merasa lebih perkasa
dari pasangan-pasangan teduh
di bawah nyiur itu?

Lebih bebas dari teriakan-teriakan mereka.

Mereka hanya jingrak-jingrak
di depan panggung musik.
Sementara sebagian lainnya
hanya bolak-balik dengan sepeda motornya.

Tak merasakan
betapa ombak-pasir senantiasa baur.

Siapa membuat kami merasa
belum punya tanggungan?

Lima anak kami tak ubah orang-orang kesepian
yang ketemu di jalan lalu menumpang.

Yang kadang mengganggu
dengan pertanyaan-pertanyaan
yang dunia tak berani langsung menjawabnya.

Begitulah kami mencoba tetap ada
dan tak sekedar beda.
Tak terpisahkan apapun,
meski negeri tinggal ruang kamar
yang kami tiduri:

Untuk mengalami. Menghargai ciptaan-ciptaan,
menyanyikannya sepenuh hati,
seperti tidak akan pernah mati.
Begitulah, saat angin menerpa
dari tenggara yang sulit diubah:
Merasa bertiup ke desa-desa yang disasar.
Merasa sedang mengerjakan tugas-tugas besar.

Kroya, 2008


Dingin Juli Desa Kedu

Adakah kerikil halaman tetangga mertua
selalu dicucikeringkan? batang langsat kelengkeng tua,
membuat segala pantas diterima.

Kebodohan pesisirkah ini?
Baru sekarang mencoba tahu
Bagaimana powotan bambu membesarkan si cemani lugu!

Umpama-umpama. Di amben dapur kakek butuh hangat kretek.
Juli tambah dingin, cerita yang sesungguhnya nimbrung
ke tengah obrolan merencana sunatan
anak pertama.

Sejumlah lelaki. Juga suami mbakyu istriku, ngrajang tembakau
sambil nembang.

Beberapa sruput kopi, apa yang tak terpikir hingga Subuh
tiba-tiba bedug?

Begitu. Usai panen padi seyogyanya memang tidak nanam
sangkaan –
Awan disusun atas perintah para pengendali harga!
Cukup kiranya, bersama cahaya, hujan tiba-tiba itu
juga titisan sang Ada.

Segala daya baiknya menjadi asap balon kertas hari raya
warna-warni.

Progo
akan sambut luap puluhan anak sungai menjadi kenyataan!

Kroya, 1997/2001


Berakhirtahunnya
Orang Karangkemiri
                (Hermann Affandi)

Pikiranmu berdiri jauh
dari jalan besar.
Ada hitam di sana,
lebih hitam dari batu kali.

Stasiun Purwokerto di timur!
Di atasnya mega corengmoreng cahaya.

Lengking semayup jaman!
Mirip jantung sang ibu
Sisa bambu merumpun
Guncang pula pinggirnya.

Mungkin seperti saat-saat
Pasirluhur hendak mulai.

Tak ada meja makan malam itu!
Hanya lesehan beberapa orang,
Bercakap-cakap di ruang tamu.

Dan sejengkal sawah teramat purba
Melontar ke halaman

Warna-warni kesal
Sepanjang tahun bintang.

Pagi-pagi sekali!
Ya, pagi sekali –
Seekor anjing coklat
Simpuh di sisi gang,
Perutnya rapat
Ke tembok pagar kebun.

Pun tidak menyalak.
Tapi aku tetap saja merapal mantra ketika lewat.

1994/1995


Menjadi Lebah
                -Dewi Nawang Wulan

Seluruh yang engkau tulis, tengadah.
Seluruh yang tengadah, rekah.
Seluruh yang rekah, menggugah.

Perkenankan kami menjadi lebah!
Bagaimana terbang lepas
Seperti makhluk paling bebas.

Berputar-putar seperti kerumunan gila belajar.

Lalu meluncur
seperti hanya akan ambil manis sarinya
menolak sepah kosongnya.

Sebelum sentuh membangkitkan,
tak perlu kiranya dituliskan.

Menyusuri jalan yang ditentukan angin
kami akan datang melupakan
pohon-pohon jauh tinggi!
Sepanjang engkau bebas dari nepsu,
dengan seluruh urat daya,
pertahankan itu tengadah rekah.

Sentuhan demi sentuhan!

Nanti yang berlagak
tak kehilangan miliknya direbut,
setelah balik ke sarang
bakal menemukan tubuhnya masih utuh kering.

Begitulah, setelah engkau pergi,
desa yang dulu memuja-muja kembang impianmu.

Menjaga matamu dari tatapan berawan puncak Slamet,
terpaksa menyembunyikan kangennya
dalam relung-relung debur air terjun musim hujan.

Tepatnya, lelaki itu tak tega mengatakan
yang mesti dikatakan,
meski engkau terseok di depannya.

Jika ia putra seorang pejuang.
Atau setidaknya pernah membuaimu dengan kisah
yang melingkari monumen-monumen kotanya,
sepanjang musim ia hanya mendengung ingin.
Berputar-putar tak kunjung hinggap.

Adakah lalu engkau rebut itu kuncup dirimu?

Kelopak-kelopak itu tak nuntut tahu,
yang terjadi barusan sebenarnya apa.
Tetapi tetap membuka,
menjaring dengung panjang
yang telah membangkitbesarkan para pejuang.

Di musim engkau kehilangan gairah,
patung-patung itu telah berdiri
dengan bambu runcing di kaki depan dan kaki belakang.

Di mata dan mulut. Di punggung dan perut.
Di sayap dan udara.
Di kata-kata dan bukan kata-kata.

Kroya, 2010


Tentang Badrudin Emce
Badrudin Emce lahir di Kroya, Cilacap, 5 Juli 1962. Alumnus fakultas hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Event sastra pertama yang diikutinya adalah Forum Puisi Indonesia 87 (PKJ-TIM Jakarta). Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Tengah periode 2006-2008 dan periode 2009-2011. Kumpulan puisinya: Binatang Suci Teluk Penyu (2007).


Catatan Lain

Achmad Munjid menulis pengantar sepanjang 14 halaman (v-xviii). Di sana dapat kita peroleh informasi bahwa puisi di buku itu ditulis dalam rentang waktu 1982-2010, atau hampir 3 dasawarsa. Pun ia sedikit terganggu dengan diksi seperti “ngikut”, “nerjang”, “mutar”, “nggenangi”, “nggores” dan lain-lain sejenis itu (hlm. xii). Tidak terlihat foto penyair atau pun komentar-komentar teman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar