Laman

Tonggak

Jumat, 23 Maret 2018

Hasta Indriyana: RAHASIA DAPUR BAHAGIA



Data buku kumpulan puisi

Judul : Rahasia Dapur Bahagia
Penulis : Hasta Indriyana
Cetakan : I, Januari 2017
Penerbit : Gambang Buku Budaya, Sleman, Yogyakarta.
Tebal : xx + 115 halaman (70 puisi)
ISBN : 978-602-6776-24-2
Desain Isi : Kun Andyan Anindito
Ilustrasi Isi : Ismu Ismoyo
Desain Sampul : Yopi Setia Umbara
Gambar Sampul : “Mellow Dramatic Fools” karya Fatoni Makturodi
Prolog : Purwadmadi

Rahasia Dapur Bahagia terdiri dari 3 bagian, yaitu Rahasia (20 puisi), Dapur (21 puisi), dan Bahagia (29 puisi).

 Sepilihan puisi Hasta Indriyana dalam Rahasia Dapur Bahagia

TEKO POCI

Di pucuk lidah usia terasa berharga
Di pangkal kenangan kita merasa pernah ada

Gunung Kidul, 2013


JAKA UMBARAN

Darah Ki Gede Wanakusuma telah
Dikabarkan pada Sultan. Keris telah
Disarungkan di warangka, tubuh ibunya
Sendiri. Kini ia resmi menjadi anak raja
Anak kandung yang diaku lewat syarat
Membunuh ibu dan paman
Sang pemberontak sultan
Yang kelewat tangkas dan liat

Tanah di Giring kering. Gugus kelapa
Meninggalkan nyiur di antara belik
Yang dijaga bulus dan pelus

Bagaimana Brawijaya mengajari anak
Cucu mengukur tali saudara, memberi harga
Pada lidah dan tali darah?

Nun, Sunan Kalijaga telah membaca
Arah sejarah trah Kali Gowang
Yang batu-batunya berlubang dan air
Mengalir di antara pohon poh dan preh

Tak ada lagi daun lembayung dan
Kacang panjang dirajang di tiap
Babat dalan Sodo. Apem jagung dibalut
Daun salam, dikukus kerucut dalam
Anyaman kukusan kerucut di atas dandang

Orang-orang menoleh membayangkan
Wajah seorang senopati muda, cucu
Ki Ageng yang selama hayat menyatukan
Diri dengan alam lewat ajaran-ajaran
Sang Sunan.

Cimahi, 2016



KI AGENG SELA

Setelah ditangkap, petir di tangannya
Diikat di sebatang pohon gandri
Petir yang berkilat dan menggelegar
Gemetar menatap petani lugu

Kembali seperti semula, petani gagah
Itu menanam padi gaga dan merawat
Kolam, membuat bleng dan garam
Membuat nila, menanam
Kembang pulu dan maning
Menanam junjutan
Sebagai benang halus
Sutera untuk membikin
Cindhe gedhog membikin joglo
Limasan, membikin motif kain lurik

“Tanah adalah kewajiban memeliharanya
Tiap orang. Disebut satu bau dikerjakan
Dua orang. Disebut cacah sakikil jika
Dikerjakan empat orang.”

Tak berapa lama, petir yang dipenjara
Diperciki air dari batok kelapa seorang
Perempuan tua

Suaranya menggelepar
Keduanya lenyap

Lidah lebih panjang dari jalan
Buat memanjangkan kisah tentang
Petani lugu yang menangkap petir dengan
Kilat

Gunung Kidul, 2015


WARA SURENDRA

Rautnya sedih namun memikat
Luruh mengendap seperti santan
Cerdas juga santun

Sinom di kening lebat
Rambut gelombang, leher jenjang
Dada bidang

Bersama ibu, Wara Surendra memetik
Jambu dersana, manggis, kepel, kokosan
Rambutan, duwet putih, delima
Jeruk keprok, salak medhi, mangga sengir

Wara Surendra memasak sayur bening
Sambal jagung sayur menir, pecel
Ayam panggang, lalap cambah-telasih
Ayam betutu, ikan gabus gepuk
Sambal brambang lalapan seledri
Bawang sunti dan mentimun

Wara Surendra membikin wedang kawa
Gula tebu, kue putu, kue bikang
mendut, koci, semar mendem
Dibungkus telur dadar disiram
Santan kanil

Wara surendra membikin sambal goreng
Kering, udang dan hati ayam
Rambak kulit ayam berbumbu petis
Nasi lembek dan akas, nasi liwet
ayam jago

Wara Surendra membikin wedang
Daun belimbing wuluh, keripik ketela
Keripik linjik, pisang goreng, karak

Malam di pendapa Ki Darmajati
Cahaya damar gemerlapan menimpa
Dinding dan tiang jati

Semua hidangan telah disuguh dari
Lentik perempuan berhati teguh
Perempuan yang tekun dan cekatan
Terampil menyiapkan ratus, bedak
Param, tapel pupur wilis, konyoh
Meracik jejamuran, mengetahui segala
Rempah-pawah, obat daun yang
Berkasiat. Pandai pula menenun
Memintal benang, menyulam, menyongket
Merangkai bunga, menjahit, mencelupkan
Ke soga, mewarisi kain batik, mematut
Matut isi rumah

Hingga pada waktunya, tamu rupawan
Yang bercahaya undur diri dan
Berpesan pada Wara Surendra

“Rara, kudoakan Kepada Allah
Segeralah menikah, mendapatkan
Jodoh yang tepat, yang tulus
Berbudi keturunan mulia.”

Cahaya damar tetap berpendar sampai
Subuh. Sang tamu undur mengulum senyum

Magelang, 2015


SRI SADANA

Melata ke timur, ia mengulur umur
Mengukur jarak tempuh tanpa keluh

Di Wasutira tubuh yang lentur melingkar
Bersimpuh di sebuah lumbung padi
Milik Ken Sanggi

Sentong gentong geming dan tenang
Siapa jabang bayi yang ditunggui ular
Melilit diri dalam sunyi yang membelit
Tubuh atas kutuk pastu ayah yang
Berderik dan berderit
Dikala lapar di malam-malam?

Sadana melayang menjelma
Sriti hitam menyingkap langit di antara
Delapan penjuru mata angin
Menyangkal nasib diri telah bersayap
Dan berparuh di separuh umur yang senyap

“Sampai di mana aku? gerutunya
“Akan ke mana lajur usia menuju
Jika tubuh adalah gugus bulu
Yang diterpa angin dan arakan awan?”

Sayap yang sepi tanpa peta tanpa
Waluku. Itu sebabnya Wedowati
Tak terlacak di serak bentang sawah
Dan liku kali

“Begitulah,” ujar Ki Brikhu, “akan
Kusediakan sedah ayu, kembang, lampu
Dan uba rampe bagimu, Ular, yang
Melingkar dan menjagai bayiku, jabang bayi
Titisan Dewi Tiksnawati.”

Di hari terang ketika awan berarak ke barat
Mengabarkan angin paling hangat pada
Si burung sriti, Wedowati pun malih
Kembali semula

Di waktu kekinian, tanah rekah dan keras
Luku bajak sapi telah ditaut dalam kisah
            Kisah tentang petani yang
Menganggap pekerjaannya
Klangenan belaka

Sementara musim tak lagi bisa diterka

Cimahi, 2016


DAENDELS

Jawa digaris sepanjang tepi selat Bali selat
Sunda setelah Inggris menggencetnya dan
Dua ribu serdadu cuma sepertiganya
Bersenjata

Petani dipaksa memintal benang menenun
Kain. Pengrajin tembaga Gresik disulap jadi
Pabrik bedil. Pengrajin gamelan Semarang
Dipaksa jadi pabrik mesiu

Di mana-mana
Petani mesti menyetor padi, uwi, gembili
Buah, dan sayuran buat menguruk
Pekerja rodi yang mati berceceran buat
Mengganti tulang-belulang pekerja
Yang dibakar di sepanjang jalur
Yang dibikinnya

Ada yang belum terangkut
Rempah-rempah dan kitab masakan pribumi
Ketika jalan terpanjang di bumi
Itu hampir jadi

Cimahi-Magelang, 2015


BOSSCHA

Ribuan tahun setelah kaisar Shen Nung
Menemukan teh dan cendekian Lu Yu
Menulisnya dalam kitab, di kampung kecil
Bosscha menyentuh-nyentuhkan sepuluh
Jari di papan piano memainkan nada
Gemerincing itu sebagai daun teh yang
Jatuh melayang dan luruh di sebuah
Telaga bening

Pengalengan yang dingin bisa diusir
Sepat-sepat teh. Teh yang menghampar
Di seluas lereng gunung Windu

Jalan berkelok-liku dan embun
Yang turun setebal
Kapas menjadi lengkap di antara para
Petani teh bercaping lebar yang berjajar yang
Ditunggui mandor berpistol di sisi pinggang
Sebelah kiri

Di gedung besar seorang seniman diminta
Melukis tentang geulis pemetik teh yang
Bibirnya merekah seperti daun teh jatuh
Melayang, dan entah kelak ke mana kan luruh

2015


BAGIAN DARI KINANTI

Tiba di hutan Bagor tiga pengembara
Menunaikan salat Magrib hingga Isya

Gempa mengguncang ketika penguasa
Hutan datang

Demikianlah, ketiganya terpesona melihat
Perempuan sangat cantiknya duduk menunduk
Memohon dirawat pada sang tamu: Ratu
Trenggana Wulan, demit penguasa hutan

Tak ada angin tak ada hujan
Pengetahuan tentang binatang-binatang
Teruraikan di bawah bintang-bintang

“Keringkan darahnya, gerus dengan bawang
Merah beserta adas lalu rendam dalam
Air wadah mangkok putih
Itu obat mata.”

Polo pan kinarya pupuh
Ing netra pan datan keri
Ing lalamur sawabira
Jajantungipun binukti
Sawabira saron gampang
Sabarang ingkang kinapti

Nun, Nabi Sulaiman menguraikan kasiat
Burung pelatuk bawang. Ratu Trenggana
Wulan menjabarkan

Kepala untuk obat
Mata untuk penglihatan
Agar jelas tak kabur
Makanlah jantungnya, khasiat
Memudahkan sembarang yang
Dikerjakan

Kerik jengkerik, suara katup bunga
Nangka mendengar ujaran putri Prabu
Brawijaya itu tentang burung pelatuk
Gagak, dan prenjak

Menjelang Subuh ratu lenyap
Meninggalkan aroma wangi di sekitar
Telaga Sugihwaras yang tak berwaris

Magelang, 2015


KLIPING WARISAN IBU

Menjelang mangkat, ibu membagi
Setumpuk kertas pada istri, kakak-kakak ipar
Seperti berwasiat, kitab yang tak
Terlalu tebal disodorkan pada menantunya
Dengan tangan gemetar

Ibu menciumi setumpuk demi setumpuk sebelum
Mengecup pipi semua menantu. Satu-satu
Semua dapat

“Tak ada yang kuberikan pada kalian kecuali ini
Bukalah sesampai rumah.”

Bertahun kemudian, di sebuah hari ketika rumah
Tak dililit ribet dan kami jauh dari ribut, tumpukan
Kertas dari ibu kami buka berdua. Kami tertawa

Nyaman rasanya membacanya, seperti berperahu
Di tengah telaga sambil memancing ikan-ikan

Sungguh, tanganku digenggamnya erat
Perahu bergeming di geriap air yang hening
Di bawah langit berwarna kuning

Kitab ternyata telah khatam dibaca istri dan
Tiap hari huruf mengelupas sebab
Fasih sudah tangan halusnya rikat menerjemahkan
Juga, betapa likat lidah mungilnya mencecap rerempah

“Ini resep asli dari ibu. Sayur kesukaanmu
Ada di halaman dua tujuh.” Maka terbayanglah
Garam, wajan, bumbu, dan tungku gerabah yang
Pinggirnya retak cuil kecil di waktu aku kecil

Kini aku mengerti betapa panjang halaman-halaman
Ini. halaman-halaman yang mengulur ingatan akan
Kampung halaman

Dapur, meja makan, dan tatap matamu yang bening
Juga satu kalimat peninggalan ibu di sesisip kliping

“Segala ibu menjadikanmu hangat dari tungku
Yang mengepul, dari piring yang berkumpul
Dan beradu.”

Cimahi, 2015


PAPEDA KUAH KUNING

Sungguh, surga mana kutemui ini?

Papeda kenyal dari batang sagu
Kuah kuning dari kakap berwarna saga

Tak jauh dari hutan dan lembah-lembah
Di antara hamparan laut yang menawan

Oi, papeda telah menunggu
Sayur ganemo yang di dalamnya
Tenggelam daun melinjo
Ditumis bunga papaya

Dan kuah kuning tercecap tomat
Leon cui, rempah-rempah, dan kaldu
Ikan

Sungguh, jika rawa-rawa sungai
Sungai dijagai buaya dan gunung
Telah dikeruk emas tembaganya
Tak boleh dirampas dibawa pergi
Resep masakan ini meski nanti seisi
Alam makin kikis makin menipis

2015


JENANG 2 WARNA

Ketika kau lahir darah tumpah
Ketuban pecah. Wajahmu bercahaya

Aku begitu getir merasakan ibumu
Menahan perih dan letih

Aku begitu getar menatapmu
Menjadi muazin pertama bagimu

Maka di hari weton
Sepiring jenang putih
Sepiring jenang merah
Di kamar turut mendoakan

Setelah lahir dan diazankan
Hidup rampung usai disalatkan

Cimahi, 2014


PEPES BELIDA

Belida yang pipih
Dari cokelat kali palembang
Dibelit daun pisang dililit rempah
Yang dilumat dilumurkan di sekujur

Daun selasih di sampingnya
Disimpangkan

Aku menatapnya. Kau menatapnya
Sejenak kita susuri Musi seperti
Membaca Sriwijaya yang dilayari
Kapal dagang dan pelancong yang
Tanahnya mencuat beton yang
Menjulang dan mengangkang

Baiklah, pepes kita buka
Belida yang disayat, beberapa bagian
Tubuhnya gosong

Entah siapa diantara kita memulai
Mengelupasi kulit dan menempelkan
Balutan bumbu di lidah kita yang
Tak lelah-lelah berlayar ke mana-mana

Palembang, 2003-2015


BIBIR KUALI

Di bibir kuali pada suatu kali
Bibirku ketemu masakan ibu

Bibir yang retak segaris selalu
Duduk di tungkai tungku

Tungku api dari batu yang
Berlubang dua yang ujungnya miring
Ditutup wingko pecahan genting

Dari lebar bibirnya
Aku bayangkan seperti kawah
Mendidih yang mendedahkan biji-biji
Kacang merah dan kacang tanah

Bibir cokelat semu merah itu
Kini tiada. Bukan sebab retak
Atau rusak tapi karena kenangan
Memang harus diciptakan dari dapur
Sederhana yang lantainya tanah
Yang rumahnya tabah

Magelang, 2015


DI DALAM ISTANA IKAN
bersama Roem Topatimasang

Dari berjuta jenis ikan, telah terhidang
Beberapa di antaranya di meja restoran

Perut memang kecil, tapi kemauan
Lebih berjuta banyaknya dari ikan
Di lautan, sentilmu

Tujuh sambal, lalapan, oseng kangkung
Memagari kerapu, taneke, baronang
Udang, dan ikan lain yang aneh
Namanya. Aku termangu dan ragu
Memegang pencatut dan garpu ketika
Menu yang kupilih seekor kepiting sedang

Bagaimana mereka bisa hidup
Di istana air negeri ini? tanyaku

Alkisah, para nelayan dan pelayar
Sungguh mencintainya sebagaimana
Penyair menjala kata-kata, mendekap
Menangkapi puisi dengan perahu miliknya

Tapi siapa sangka jika segala jenis lautan
Berteman onak, angin sakal, dan perompak

Ah, nikmati saja. Toh, di sini tak bakal kita
Temui tengkulak dan bayang cuaca yang
Tak menentu, katamu

Sesaat setelah gerimis rintik, kami
Bergegas ketika pengemis cilik
Mengacungkan kaleng dengan tangan
Kirinya

Makassar, 2006


BANDA REX
bersama Nani Zulminarni

Aku tak jadi pesan sate Matang. Kuambil
Dua bungkus keripik meulieung dari saku
Celana. Jus terong Belanda tandas
Sambil menunggu larut, kita pilih-pilih menu

Orang-orang tumpah, seolah tak menyisakan
Tempat duduk di warung terbuka ini

Sesekali kuperhatikan bangkai perahu
Yang bersandar di atap gedung. Ukiran naga,
Cat merah-putih yang mengelupas, dan
Lukisan yang tak jelas. Aku teringat masa
Kecil ketika menggambar kampung halaman
Yang ditumbuhi aneka pepohonan, matahari
Yang menyala di tengah, dan kali
Yang melintas dan membelit bukit

Oi, mie daging rusa telah diantar pelayan
Apakah ini beraroma ganja? Aku bergurau
Sambil mencecapnya dengan ujung garpu
Lidahmu lebih memilih mencicipi kuah
Seolah khawatir aroma berubah

Angin laut sampai juga di sini
Aroma kopi ada di kanan-kiri
Orang-orang bersliweran

Aku melirik jam tangan ketika piring penuh tisu
Dan gelas kosong sudah

“Tak ada jam malam, tak usahlah khawatir,”
Katamu sambil langsir menghampiri kassa
Aku beranjak. Kita bergegas pulang setelah
Mengantri di belakang pemuda berlogat Jawa
Yang kaos belakangnya bertuliskan huruf
Kapital berwarna merah: Kita harus membangun
Sendiri negeri ini!

Angin terasa asin di perjalanan

Aceh, 2008


SAJAK UNTUK UMAR KAYAM

Lantip pergi ke Jogja
Dari Madiun dibawanya brem
Dan satu pak bumbu pecel
Oleh-oleh untuk ibu kosnya dulu
Semasa jadi mahasiswa

Lantip diundang jadi pembicara
Diskusi tentang tragedi 1965
Yang akhir-akhir ini di mana-mana
Rusuh dengan pelarangan dan
Perlawanan

Ia mengelus dada

Di selatan bunderan Sagan pinggiran
Rumah sakit, tak didapatinya lagi
Penjual bakmi jawa yang penjualnya
Laki-laki tua dari Piyaman

Oalah, kecelik

Tak ada kata maknyus kali ini
Maka dikitarinya kota seribu hotel
Ini dengan vespa pinjaman

Lantip tak bisa ngebut soalnya
Semua roda jalannya pelan dan kini ia
Mengerti bahwa makin banyak
Gerai gawai dan kedai kopi juga
Satu-satu toko buku kukut

Oalah, ia kecelik lagi

Yogyakarta, 2015


KOMPOR

Apa kabar kompor?
Ini malam ingin kukenang kau

Bagaimana dulu tiap bulan
Membongkar wadah minyak tanah
Mengulur sumbu dan memotong
Pucuknya yang arang dan ringkih

Setelan sumbu harus licin tak mampat
Oleh karat. Semua bagian dilap mengkilap
Hingga ibu mengulum senyum

Tangan ini puluhan tahun sudah
Tak terendam minyak tanah
Itu sebab negara kewalahan mengolah
Minyak bumi

Pada akhirnya kini, aku
Menuliskanmu juga dalam larik
Puisi sederhana. Betapa dari ujung
Benang menyala itu telah
Mengenangkanku pada segala
Masakan ibu

Cimahi, 2013


TEDAK SITEN

Di pelataran depan rumah dua kaki mungil
Diinjakkan ke tanah ketika usia menginjak
Usia sembilan bulan

Dikurung dalam pranji berhias
Janur kuning, telah tersedia tumpeng
Gudangan, jenang abang-putih, jenang
Boro-boro, jajan pasar, ingkung ayam, dan
Sega gurih

Di tikar dekat tampah ada jedah merah
Putih, hitam, kuning, biru, merah muda
Dan ungu

Kembang setaman di bokor. Tangga dari
Tebu rejuna, padi-kapas, beras kuning
Sekar telon, gelang, kalung, cincin
Bapak, ibu, kakek, nenek, kerabat
Berkumpul mendekat merubung
Kaum

Setelah kaki menginjak jadah
Meniti tangga tebu, lalu dikurung
Di kranji

Ruang kecil dari anyaman bambu
Tersebar perhiasan, cermin, baju, buku
Uang
Kau pilih yang mana?

Tangan yang tak begitu terampil
Menyempil angin menghadang masa depan
Dengan jari-jari mungil

Cimahi, 2016


BERITA DI TIVI

Harga cabai rawit mencapai
Delapan puluh ribu. Ibu menggerutu
Betapa di meja makan
Tak aka nada raut megap-megap
Keringetan

Bapak berkata bahwa petani seperti
Kami menanam tapi cuma memanen
Keringat

Bukankah cabai suka bertabiat begitu?

Muntilan, 2014


Tentang Hasta Indriyana
Hasta Indriyana lahir di Gunungkidul, 31 Januari 1977. Tulisannya tersebar di berbagai media massa. Kumpulan puisinya: Tuhan, Aku Lupa Menulis Sajak Cinta; Piknik yang Menyenangkan dan Rahasia Dapur Bahagia. Buku lainnya: Kisah Cinta yang Dirahasiakan (cerpen); Teater, Tiada Hari tanpa Pembebasan (penelitian); Pintar Bahasa Indonesia Superlengkap (bahasa), Seni Menulis Puisi (teori sastra).


Catatan Lain
                  Ada kamus kecil di halaman 94-112, yang dibagi dalam beberapa kategori, yaitu Bumbu (16 entri), Masakan (24 entri), Perabot Dapur (16 entri), Pohon (27 entri), Tokoh (11 entri) dan Umum (45 entri). Termasuk di dalam entri umum ada sedikit berpanjang lebar dijelaskan tentang: perdagangan rempah, sejarah kopi di Indonesia, dan sejarah teh di Indonesia. Dalam laman biodata ada 3 orang, yaitu Hasta Indriyana, Purwadmadi Admadipurwa, dan Ismu Ismoyo. Purwadmadi menulis Menggantang Kelembutan, Liris-liris Lirik Memesona sepanjang 7 halaman (halaman xi-xvii). Halaman persembahan berisi kata-kata ini: Mengenang sahabat baik: Eko Boedyono. Kira-kira begitu.

1 komentar: