Laman

Tonggak

Selasa, 26 Mei 2020

Honorius Arpin: TRAGEDI: MASIH BISA BERPUISI



Data buku kumpulan puisi

Judul: Tragedi: Masih Bisa Berpuisi
Penulis: Honorius Arpin
 Penerbit: CV Jejak, Sukabumi, Jawa Barat
Cetakan : I, Juli 2018
Tebal : 79 halaman (70 puisi)
ISBN : 978-602-474-200-3
Editor: Resa Awahita
Penyunting dan Penata Letak: Tim CV Jejak
Desain Sampul: Meditation Ark

Beberapa pilihan puisi Honorius Arpin dalam Tragedi: Masih Bisa Berpuisi

Aku Hidup dalam Puisi

Aku hidup dalam puisi
Dan aku adalah matahari
Dan bumi adalah kamu
Planet-planet bukan siapa-siapa
Dan bintang hanyalah pengganggu
Lalu bulan juga pengganggu
Tapi aku tidak takut
Hanya jarak
.
Hanya jarak yang aku takut
Dekat adalah kemarau
Jauh adalah beku
Sedang rindu hanyalah tangga panjang
Untuk melipat jarak ke dalam genggaman tangan

Sekadau, 19 Mei 2018



Rasa Kematian

Rintik-rintik api membasahi tanah sepi
Pohon-pohon kering tumbuh menyubur
Ranting-ranting melompat riang mematah
Air-air menguap gembira
Langit cerah memudar
Awan hitam memekat
Kucing-kucing menggonggong
Anjing-anjing mengeong
Kura-kura berlari cepat
Kupu-kupu berhenti mengepak
Kicau buruk serak memekik
Cacing kenyang melumat

Dunia terombang-ambing oleh lautan cinta
Bagai perompak yang meremas jantung pujangga
Lalu air perasan diseduh dengan raksa
Ah...
Perih terasa
Penat
Pekat
Lekat
Tau mau minggat
Dasar laknat

Sekadau, 7 Mei 2018


Nisanku

Dalam nisan yang kau tanam
Tak ada nama yang terukir
Apa berarti cinta masih hidup?
Entahlah...
Tapi ibu pergi karena cinta
Dan aku hadir karena nama
Bila memang cinta yang kau kubur
Ukir namaku dalam nisanmu

Sekadau, 3 Mei 2018


Aku; Introvert

Pagi yang suram selalu hantui
Menemani; tak mau pergi
Dalam gulita yang temaram
Seram
.
Aku
Berteman sepi
Berkasih sunyi
Menyendiri; tak ingin hingar
.
Hingar-bingar hanya ilusi
Sukma melara dalam pasar
Gigil dalam teriknya sinar
Mati suri
.
Hidup
Hanya di dalam ruang
Ruang sempit; hampa
Sendiri, sunyi, sepi; nikmat
.
Dalam kebingaran bisa sepi
Dalam kesunyian bisa nikmati
Sendu bukan pilu tapi syahdu
Berkurung aku dalam sangkar keheningan

Sekadau, 2 April 2018


Pahit

Berjalan dalam lorong hatimu
Aku berhenti meniti rindu
Yang kian jauh
Menjauh

Cahaya
Di penghabisan itu apa?
Harapan atau keputusasaan
Berjalan dalam sepatu rindu; berat

Jaket semangat kusematkan
Senter keyakinan menerangi jalan gelap
Berlari dan berlari dengan kencang
Pada tujuan di ujung jalan
Nyata; bukan harapan tapi pengkhianatan

Cahaya hanya terlihat dari kegelapan
Dan aku definisi dari gulita
Kini membentuk tembok kekecewaan
Yang keras tanpa gema

Sekadau, 9 Mei 2018


Lahirmu

Tangismu adalah bahagia
Dan hati yang terbelah adalah kau
Satu tubuhmu adalah setengah ragaku
Dan setengah cintaku
Dan masa depan adalah kau
Dalam genggam yang belum mampu menggenggam
Dalam rasa yang belum berasa
Dua bola mata itu adalah penglihatanku
Dua telinga itu adalah pendengaranku
Hidung itu adalah penciumanku
Satu mulut itu adalah semangatku
Wicara mengeluarkan kata teka teki
Yang tak bermakna
Tapi penuh makna
Semua diartikan dahaga
Rupa-rupa adalah rupa ceria
Tangis adalah tawa
Tawa adalah tangis
Kini dalam nyata
Hidupmu, hidupku

Sekadau, 15 Mei 2018


Di Tanah Oktober

Awan-awan hitam berlarian di tanah Oktober
Berkumpul dan bercerita akan rencana
Bermain kata teka teki yang tersirat lewat bait tangisan
Yang satu satu mengucapkan kata tanpa makna
Lalu tanda tanya besar muncul di hati kecil
Di sanubari sana terbenam asa yang gelora
Mencairkan semua ingatan yang telah mengkristal perlahan
Saat dua pasang mata saling merangkul manja
Dan sepasang bibir memeluk mesra satu kepada lain
Tanda tanya berseru dalam kelambu waktu
Seluas apa tanah Oktober?
Tak habis-habis jalan ini terlewati

Sekadau, 16 Mei 2018


Pagi Semangat

Embun pagi masih setia
Wajah basah menatap jendela
Pada gadis kecil di ujung timur
Yang duduk di bawah langit keemasan

Wajah pagi begitu indah
Bersama burung-burung menari manja
Diterangi sinar sang surya
Harapan dalam tangan yang menengadah

Masih ada asa hari ini
Sisa kemarin yang tumpah meruah
Dalam cangkir, kopi masih hangat
Ku hirup bersama nafsu dalam gebu

Sekadau, 18 Mei 2018


Sabtu Malam

Kabarnya bulan telah bersilih
Namun gelap belum mau tenggelam
Sepertinya malam belum ingin beranjak
Dalam pangkuan; ia memeluk Sabtu

Sepi bahkan telah hinggap lama
Dalam hati membangun rumah dari batu
Dan sunyi sembunyi di punggung waktu
Bingar yang mengaduh hilang; sirna

Kunang-kunang menari riang
Kelap kelipnya bagaikan bintang
Ingin hati memetik sinarnya
Jadikan benderang dalam rumah hamba

Hawa dingin merangkul manja kudukku
Selimut mimpi ingin kembali dibuka
Namun kelambu waktu mulai menyingkap
Takut akan kokok ayam yang memekik terang

Di ufuk timur, surya mengintip ceria
Langit-langit bermandikan cahaya emas
Netra yang lelah, memaku diri dalam rumah sendiri
Lalu gulita pindah ke dalam diri
Dan sunyi dan sepi
Dan pulang ke tanah mimpi

Sekadau, 20 Mei 2018


Menua

Tak ada yang lebih berasa dari pagi.
Dan siang hanya bisa memaki diri sendiri.
Lalu ibu menangis ditinggal senja.
Dalam dekapan; kau baru tertidur dipangku malam.
Dibalik cermin aku hidup; menatap mati.
Seperti mata lampu pencetak yang rusak.
Memicingkan mata kepada langit.
Dan aku adalah bumi.
Atmosfer merupakan cinta-Mu.
Yang membuat aku terus hidup.
Bangun dan bangun setiap pagi.

Sekadau, 21 Mei 2018


Warisan Sang Penyair

Saat fajar datang mengetuk jendela. Selalu aku termangu
menunggu lembayung senja. Menanti asa akan nama yang
tak mampu dilupa.

Mataku berpetualang; menjelajahi sudut-sudut ruang sempit
hidupku. Sampai tersentak kalbu. Kala sebuah buku
memanggil.

Lembar demi lembar; ia mengajari aku, cara meracik aksara.
Perlahan dan yakin, aku mengerti agar tidak dilupa.

Lembayung senja bukan lagi yang aku tunggu. Aku ingin
menikahi sang fajar. Agar bisa berdua. Menemaniku,
memahami warisan sang penyair; lewat buku-buku itu.

Ilmu dan semangat mereka terpatri dalam hati. Sastra dan
literasi akan selalu hidup; tak bisa mati. Warisan sang penyair
telah menyubur dalam hatiku. Menyebar laksana bakteri,
yang akan selalu berkembang biak.

Sekadau, 15 April 2018


Tujuh Pohon Waktu

HWE;

Enam pohon waktu telah kita tanam, sayang
Setiap-tiap telah mengakar tunggang mendalam
Kokoh kuat tak tergoyahkan
Tumbuh meninggi lebat dedaunan

Pohon waktu menandakan kamu dan aku
Menjadikan kita dalam kemesraan

Hari ini, satu pohon waktu akan ditanam
Menandakan kedewasaan dalam hubungan

Takkan ada dia,
Takkan ada mereka,
Walau luka coba menyapa,
Kita berdua tetap menambah kita

Sekadau, 28 April 2018


Mayat Hidup

Dan aku masih tinggal dalam kesunyian malam
Menunggu kabar kematianmu
Biar mengaduh sampai gaduh
Hancur melebur tercerai berai

Kubiarkan cangkang ini mengeras
Tak tertembus oleh sapamu

Kau pikir aku ingin hingarmu?

Ragamu mati saat padaku
Biar saja mati sekalian

Pelita takkan berarti tanpa sumbu
Terang takkan ada tanpa gelap

Aku semakin tidak peduli
Mati saja dalam pasar

Sekadau, 29 April 2018


Tragedi

Pada langit-langit
Pada sayap-sayap putih
Malaikat-malaikat yang bertengger pada ranting kehidupan
Mulai bosan akan waktu yang mengalir
Dari hulu kepada hilir
Melambat tanpa ombak menghambat

Kaki hitam menapak di tanah putih
Menodakan tinta yang tak terhapus
Merasuki otak sebagai vitamin
Memaksa angkara memurka
Jarum jam memutar cepat
Malaikat tertawa bahak
Lagi manusia menari
Di atas paku; ditebar sendiri
Luka-luka tak menyembuh
Ditambah cuka tambah mengamuk

Datang iblis dengan wajah malaikat
Menghapus tangis pada surga-surga
Lalu dipuja
Lalu dimanja

Sekadau, 25 Mei 2018


Biodata Penyair
(catatan: Saya kira jarang penyair menulis pada biodatanya seperti berikut ini): Seorang introvert yang menjadikan menulis puisi sebagai sarana dalam mengarungi kehidupan dan menghilangkan kepenatan dalam bekerja. Bagi sebagian orang saya merupakan seorang yang pendiam dan sebagian lagi menganggap saya tidak bisa diam. Dan hidup saya hanya untuk makan dan bukan makan untuk hidup. Kata bijak untuk pembaca yang budiman, “Kegilaan adalah bukti dari suatu keseriusan”.


Catatan Lain:
Ada tiga paragraf pengantar yang ditulis penyairnya sendiri (hlm. 3-4), berjudul Biarkan Waktu Melukis Wajahnya Sendiri. Saya malah berpikir, judul pengantarnya ini lebih puitis ketimbang judul bukunya.

Ungkapan “Kegilaan adalah bukti dari suatu keseriusan” diberi halaman sendiri dan hurufnya diukir indah di halaman 8.

Kesaksian akan buku ini hadir di laman penerbitnya di  https://jejakpublisher.com/product/tragedi-masih-bisa-berpuisi/ : “Kumpulan puisi yang menawarkan berbagai tema dengan kesederhanaan kata dalam tiap baitnya. Kebanyakan dari puisi ini dibuat dadakan, bahkan ketika sedang jalan-jalan, bekerja, menonton, baca komik dan menulis. Sebuah tragedi tidak membuat kita harus terjebak, tapi itu merupakan bagian dari cerita yang kita tuliskan dalam lembar hidup kita. Dan di sini kalian akan melihat betapa berkuasa dan indahnya waktu mengajari penulis cara berpuisi.” Demikian.

1 komentar: