Laman

Tonggak

Jumat, 29 Mei 2020

Sultan Musa: SEDJIWA MEMBUNCAH



Data Buku Kumpulan Puisi

Judul: Sedjiwa Membuncah
Penulis: Sultan Musa
Penerbit: Guepedia - Bogor
Tahun Terbit: Januari 2020
Tebal: 54 halaman (26 puisi)
Ukuran: 14 x 21 cm
ISBN: 978-623-251-250-4

Sepilihan Puisi Sultan Musa dalam Sedjiwa Membuncah

DATANG MEMOHON RAHMAN DAN RAHIM-MU

Kala itu memberi bukan mengambil
Kala itu mendendam bukan mengiba
Kala itu menampik  bukan  meraih
Kala itu bukit-bukit harapan sirna

Bukti harapan terguncangkan
Hamparan sajadah meluas
Di atas lantai permintaan yang dingin
Mengalun suara yang bergetar

Dalam doa…
Hati ini telah terkumpul
Jiwa ini telah tercurah
Seiring tidak pernah redup

Dalam ma’rifat…
Hati ini telah hidup
Jiwa ini telah terlimpah
Seindah tawakal menolong gersang

Hamba-Mu...
Wujud dhaif dalam ikatan
Berharap naungan ridha-Mu
Berpinta  dekapan  maghfirah-Mu



DI SEPERTIGA PENANTIAN

Akhirnya berat untuk melepaskan
Yang sudah sesal dalam abadi
Yang harap berujung bahagia
Akankah asa semata?

Akhirnya rasuk untuk tegar
Akan menghadapinya
Meski kadang sekejap hilang
Akankah teriakkan mimpi?

Teriak dengan  tentang
Teriak dengan  hampa
Teriak dengan tunggu
Teriak dengan cari

Beginikah tersiksanya jika menanti ?


KATA MEREKA....TOREH SEMBILU

Di sana kata mereka
Gemulai manja merangkul
Berhias renda belahan rembulan
Bukan itu!

Di sana kata mereka
Pinggiran jalan tersoroti
Bersisian temaram janji
Bukan itu!

Di sana kata mereka
Terusan putih satin
Dipasang dalam tatakan menu
Bukan itu!

Di sana kata mereka
Tersaji mirip tungku
Mengendong pemberian romantis
Bukan itu!

Di sana kata mereka
Pembuka serasi di tengah hasrat
Putih berubah bintik hitam
Bukan itu!

Seolah itu kau
Melepas masa kelam
Melangkah maju ke sebuah harapan
Ditelan pilu oleh waktu yang berlalu


KITA INI APA ?

Selama ini
Karang hati tetap mengukir
Walau membisu dalam jenuh
Yang semu kini menjauh

Selama ini
Hati terkikis menghujam
Walau tak di mengerti
Yang termenung  menghantam

Aku dan olehmu...
Mengikuti seakan hilang
Meski tetap ku tatap
Di bawah hamparan gelap

Seolah itu olehmu
Kuberhenti di gelap matamu
Kuterperajat di hitam matamu
Kita ini apa ?


KUDEKAP LIRIHMU

Jujur berharap akan dimengerti
Dusta berharap akan dihempas
Pergi bilamana sesuatu yang pantas
Datang bilamana sesuatu yang bahagia

Nyatanya semua berlaku
Bahagia itu ada saat lembayung pudar
Seperti pelangi yang cemburu pada hujan
Seperti bunga yang diam-diam mencintai angin

Nyatanya ada yang pantas
Untuk dimengerti...
Untuk diterima...
Karena semua ini seperti duri tajammu

Kepedihan yang tercipta
Kehancuran yang tersemat
Berawal dari busuk sebuah janji
Berakhir dari palsu sebuah janji

Tak ada lagi dunia yang menyorakimu
Tinggalah dunia yang tak berarti
Tak ada lagi takdir yang menemanimu
Tinggalah takdir yang  meratap

Dan kini hanya...
Kekecewaan...
Kesedihan...
Aku tak mengerti atas pilihanmu ini


KUSIMPUL DO’A INI

Bila sampai kini
Dalam timpai kemurkaan
Tenggelam dalam kesesatan
Harap dengan sinar  taufik-Mu

Dalam hati ini
Ingin membesarkan Asma-Mu
Dalam langkah kecil ini
Meski waktu datang silih berganti

Damaikanlah pertengkaran hati ini
Pertautkanlah cabaran jiwa ini
Sematkanlah cahaya-Mu
Jauhkanlah gundah bergulir

Mauku jauhkan dari rasa ...
Tak terungkap....
Tak tampak....
Tersembunyi....


MASA KETIDAKPERNAHAN

Aku tak tahu di mana
Akan kunyanyikan lagu ini
Aku tak tahu di mana
Akan  akhiri  serak  gema  ini

Aku tak tahu di mana
Kutemukan  malam  yang  terburu  gelap
Aku tak tahu di mana
Kutemukan  siang  yang  terburu  terang

Aku  tak  tahu  di mana
Menampik  sayap  yang  bergelinjang
Aku tak  tahu  di mana
Mengukir  resah  yang  terpuaskan

Aku tak tahu di mana
Kembali taburkan corak pada kesunyian
Aku tak tahu di mana
Kembali terinjakkan angin pada keramaian

Aku tak tahu di mana
Mengungkapkan ragu yang terkunci
Aku tak tahu di mana
Menguraikan riak yang deras

Aku tak tahu di mana
Mengukirkan mimpi yang terburai
Aku tak tahu di mana
Menentang mimpi yang bercorak


SAYUP IBA...BENAR TAK MENARIK

Seperti bebunyian yang kudengar
Layaknya segaris dalam tawamu
Kau menjelma menjadi itu
Berkumandang dalam payung merah

Seperti deru yang bergerak
Layaknya asap samar lalu
Kau menggamit di atas ayu
Berharap paras itu tersaji

Seperti langit yang tajam
Layaknya berputar waktu
Kau undur dalam pacuan hujam
Berlarian meski kau tak tersoroti

Aku tak pernah tertarik
Bersisian...
Berdampingan...
Benar memang sudah tak menarik


SEUNTAI BUNGA KELAM

Ketika terang terus mengelabui
Seakan jati diri tak berujung
Seakan mampu sentuh segala hal
Sirna dengan kerendahan kodrati

Ketika benderang terus berkumandang
Seakan jiwa tak tertandingi
Seakan nurani sentuh langit
Sirna dengan kejumawaan wujud

Tak ada tujuan yang dicari
Semua tak bisa di gapai
Samudera tak berujung
Bumi tak tersentuh

Larut dalam sosok yang congkak
Datang dengan sesuka hati
Pergi dengan sesuka jiwa
Menyisakan kekosongan langkah

Semata ku ingin kau sadari
Kau miliki senyum
Kau miliki kasih
Berharap semua kan terbuka kembali

Harapan akan datang menyapamu
Buktikan masih  ada yang mengharapkanmu
Buktikan masih ada yang menyayangimu
Dalam masa yang tertunda ini


AROMAMU....BERKATA, BERSUARA

Ada yang bilang dunia dipenuhi keburukan
Sekaligus dipenuhi keindahan
Aku tidak tahu tentang itu
Tapi sebentar lagi aku akan melihat dunia itu

Makin banyak kata yang terucapkan
Makin banyak pula hal yang harus ditegaskan
Segalanya bisa berkata….bersuara
Bahkan lebih dari itu

Aromamu....
Mengajariku untuk setia
Kepada kepribadianku…
Tertanam di benakku
Bahwa kebaikan seorang perempuan
Adalah kesempurnaan seorang lelaki

Kuambil dari belajar sesuatu yang penting
Dari masa yang tak akan datang kedua kalinya
Karena apa yang terjadi
Tak akan ada yang tahu

Kuingin tidak menjunjung tinggi prasangka
Yang mengalahkan kenyataan
Bila kenyataan tercampakkan
Tergantikan sebuah keliru

Sanggupkah termusnah
Seluruh teluh yang tercipta karena insan yang arogan


RUMAH

Sampailah di satu saat
Hidup adalah sketsa
Yang terlihat di balik dunia
Jendela pada pagi kita membukanya
Membiarkan matahari
Masuk menerobos
Langkah-langkah yang kita ayun
Sejak pintu rumah
Hingga melintasi ….
Jalan
Hutan
Padang
Serta gunung
Lalu kembali ke rumah
Setiap hari bergegas menghadap dunia
Di rumahlah menemukan diri
Berbaring tak pernah ke mana-mana
Tapi rumah yang mana?


MAUT

Peluru kamu panas
Dan membawa kematian

Tetapi ..
Bukankah kamu abdi kami yang setia
Tanah Hitam….
Kamu kelak menjadi selimut kami

Tetapi…
Bukankah kami menginjakmu dengan kuda kami?

Maut kamu dingin tetapi kamilah tuanmu.
Bumi akan merebut jasad kami
Surga menjemput jiwa kami…


Tentang Sultan Musa
Sultan Musa, berasal dari Samarinda Kalimantan Timur. sebagian karya tulisnya di himpun dalam beberapa antologi puisi maupun cerpen bertaraf Nasional maupun Internasional, seperti “Balikpapan Kota Tercinta Kumpulan Cerita Pendek” Jaringan Seniman Independen Indonesia 2008, “Hantu Sungai Wain” Kumpulan Puisi dan Cerpen Jaringan Seniman Independen Indonesia 2009, “Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia“ Panitia Dialog Borneo-Kalimantan XI bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur Juli 2011, “Ketika Senja Mulai Redup Kumpulan Puisi” Kaifa Publisihing Bandung 2016, Antologi Puisi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2017 “The First Drop The Rain” Wahana Resolusi Jogyakarta, 2017. Pada Juli 2018 puisinya lolos kurasi Antologi Puisi Penyair Dunia “Wangian Kembang : Antologi Puisi Sempena Konvesyen Penyair Dunia – KONPEN 2018” yang di gagas Persatuan Penyair Malaysia dan di ikuti sebanyak 11 Negara. Antologi Puisi “Dari Balik Batu – Batu Candi” Kelompok Pemerhati Budaya & Museum Indonesia (KPBMI) Jakarta 2019. Antologi Puisi “Jazirah 2 Segara Sakti Rantau Bertuah” Festival Sastra Internasional Gunung Bintan 2019. Antologi Puisi “Saat Berjumpa Di Kertas” Garis Khatulistiwa, Makassar 2019. Antologi Puisi "5:00" Ellunar Publisher, Bandung 2020. Antologi Puisi “Pringsewu,Kita Rumpun Di Tepi Way Tebu” Lampung, 2020. Antologi Puisi “Potret Kehidupan” 2020. Antologi Puisi “Rumah Semesta” Bali 2020. Antologi Puisi Sempena Pertemuan Dunia Melayu 2020. Antologi Puisi “Perempuan–perempuan Kencana – Serpihan Puisi Tentang Perempuan Istimewa “ Lingkar Studi Sastra Setrawulan 2020. Antologi Hari Puisi Dunia 2020 “Berbisik Pada Dunia” Yayasan Hari Puisi – Jakarta 2020. Serta tercatat pula di buku “Apa & Siapa Penyair Indonesia – Yayasan Hari Puisi Indonesia” Jakarta 2017. Merupakan 10 Penulis Terbaik versi Negeri Kertas Awards Indonesia 2020 & Penyair Pilihan dalam even Antologi Puisi Bersama 2020 “Perempuan Istimewa” – Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA) 2020. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa serta laman daring online. Buku karya tunggalnya sudah terbit di antaranya “Candramawa” 2017, “Petrikor” 2019 dan karya terbaru saat ini berjudul “Sedjiwa Membuncah” 2020 & “Mendjamu Langit Rekah” versi e-book 2020. Untuk berkomunikasi dapat melalui email : seesultan@yahoo.com


Catatan Lain
Baiklah, kira-kira begini bunyi sinopsis kumpulan puisi ini:
Sedjiwa Membuncah, seakan ungkapan warna pada abu- abu yang sulit dipastikan karena keberadaannya tidak sesederhana hitam dan putih. Lewat kumpulan puisi ini anggap kita berada di antara hitam dan putih. Ketika warna abu- abu itu sebagai objek yang kita lihat berbeda, maka telah terjadi kelelahan dan hilangnya “pelengkap” warna tersebut. Itulah kesetiaan warna...
Lewat sedjiwa membuncah menginginkan pencerahan akan sebuah kebebasan akan segala sesuatu yang kita pahami terjadi di luar kendali kita dan hal yang berada dalam kendali kita. Sembari memungut setiap bait dalam kumpulan puisi ini untuk mengasihani diri sendiri atau bercermin dari segala problematika untuk memperbaiki diri sesudahnya, kamu yang mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar