Laman

Tonggak

Rabu, 12 Agustus 2020

Isbedy Stiawan ZS: KOTA CAHAYA

 

Data Kumpulan Buku Puisi

 
Judul: Kota Cahaya
Penulis: Isbedy Stiawan ZS
Penerbit: PT Grasindo, Jakarta
Cetakan: I, 2005
Tebal: xiv + 154 halaman (100 puisi)
Penyunting penyelia: Pamusuk Eneste
Penata isi: Suwarto
ISBN: 979-759-315-0
Kata penutup: Suminto A. Sayuti
 
Kota Cahaya terdiri atas Nyanyi Sunyi (21 puisi), Menandai Tahilalat (25 puisi), dan Dari Cerita yang Lain (54 puisi)
 
Sepilihan puisi Isbedy Stiawan ZS dalam Kota Cahaya
 
MALAM-MALAM MENGAJI
 
hayat ngembara padang kelam
lentera di tangan mercukan jalan setapak
kaki-kaki basah oleh keringat
persis ketika harap pun sampai
dan tak kembali-kembali lagi
 
1984
 
 
LAUT MEMBAWA JASADKU
 
laut membawa jasadku
ke malam-malam pekat. ke makam-makam sunyi
ditanamkan, menyimpan riuh jam
tanah pun basah, melumpurkan langkah
yang berhenti pada gerbang-Mu
 
kau pun tersedu. hujan turun
mengabarkan ketajaman pisau padaku, dan
laut tak henti membawa jasadku
ke makam-makam sunyi-Mu untuk ditanamkan!
 
o aku sendiri dalam kematian ini
di semesta sempurna ketiadaanku
 
1987

 

 
ADA DAUN GUGUR
 
ada daun gugur
dekat pintu rumahku
dan warna kuningnya
mengabarkan dunia yang pecah
lewat tanah-tanah
 
hatiku gemetar
memandang namaku
yang mencari-cari rumah
akhirku
 
ada daun gugur
dekat jendela kamarku
dan warna terbakarnya
memandangku dingin
 
Surabaya, 1994
 
 
MEMBACA BAHASA SUNYI
 
Seperti kayu aku ikhlas dibakar
dari waktu ke waktu. Tubuhku hitam
menjadi arang. Lebur dalam bara dan abu
di dasar tungku kehidupan-Mu
 
Aku membaca bahasa sunyi
Dari waktu ke waktu kuhikmati bara dan abu
Pada setiap sujud kusebut ketiadaan
melengkapkan arti gerimis yang gugur
di taman-taman atas nama kedamaian
 
Aku membaca bahasa sunyi
sehabis bara menggenapkan tubuhku
menjadi arang. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku lebur dalam zikir panjang
mengaji rahasia tangan-Mu
 
Seperti kayu
aku pun ikhlas dibakar. Lebur dalam bara
dan abu. Di dasar tungku kehidupan-Mu
aku terus-terusan sujud menciumi tanah
 
O telah kubaca bahasa sunyi
di tengah-tengah pikuk bumi yang tidak
pernah menawarkan istirahat atau kedamaian
Begitu bara membakar hingga aku lebur
ke dalam sujud dan zikir
ke dalam sujud dan zikir
 
1989
 
 
SESABIT BULAN
 
sesabit bulan
lesat ke rimbun bambu
tiang-tiang bagan
bagi perangkap ikan
rumah nelayan
melayar ke pantai-pantai
 
menggusur rumah liliput
yang ada sejak tahun-tahun suram
kini menyisakan kenangan
ditinggal cangkang
 
para nelayan
mengunyah mimpi
dari laut sepi
di bawah sesabit bulan
yang merajam ranjang
 
seekor elang menancap
melarikan ikan
ke dekat bulan
dan membuang tulang
ke hati para nelayan
 
mengecup malam
sesabit bulan
meneteskan darah
ke pantai-pantai
 
            mana kampung
            kenapa lengang?
 
 
BATAS BAYANG DAN DIRI
 
batas apa antara bayang dan diri? Langkah yang saling kejar
tapi tak pernah tahu di mana akhir. Rumah cuma angan-angan
yang sepi menanti. Ahasveros masih juga berkelana
                                                            ke dalam benak
atau sisiyphus yang selalu gagal mencapai puncak
 
menggotong ada-Mu. Jalanan belukar. Bayang dan diri
                                                                        saling kelahi
siapa yang dulu yang mesti sampai. Tapi, rindu makin mengental
membangun terjal. Sisyphus yang dungu! Tak kautolak juga
titah itu, sebelum uban menyemai di usiamu
 
batas apa antara matahari dan diri? Usia memburu langkah
dan menyalib bayang. Jalan menciut. Rumah cuma didatangi
bila rindu. Selebihnya sunyi,
 
tertutup. Pintu dan jendela terbakar oleh
pengembaraan bayang-bayang. Di sini matahari
telah berlalu!
 
2002
 
 
PERJALANAN PELAUT
 
karena laut mengajarkan rahasia badai
aku pun setia berlayar. dari pulau asing
ke pulau asing aku tebarkan benih pelaut
dan lalu meninggalkan ratusan rumah
yang memendam kesepian
 
rumah hanya istirah bagi kejenuhan kapal. oh,
laut yang terapit oleh pulau-pulau
di mana tubuhku sesekali dibaringkan?
 
dari pulau asing ke pulau asing
aku pahami rahasia badai, aku tebarkan
benih pelaut. sementara pada kedalaman laut
kubur mengajarkan rahasia paling akhir
 
1987
 
 
REQUIEM
 
baru saja gerimis reda, ketika iringan panjang itu melewati
jalan ini. mungkin kau tak pernah rasakan pedihnya kehilangan
cinta dan segala yang dicinta
 
namun matahari yang redup tetap merekam segala langkah
dan gumam. wajah-wajah yang menantang jalan itu kian
tampak pasi, menatap masa depan yang juga legam. baru saja
gerimis menghapus segala kenangan yang dibangun
di antara keringat dan semangat hidup abadi!
 
jika matahari tak juga menyala, kau boleh mencatatnya
sebagai requiem. namun sejarah akan terus terulang. terus
berulang. sebagaimana tangis dan tawa yang pertama ditanamkan
ke tubuh manusia. begitulah…
 
lalu  rumah akan kembali sunyi. namun percayalah, matahari akan
tetap menepati janji. terbit dari balik jendela atau pintu rumah
ini, memberikan segala kesetiaan. layaknya jarum jam yang tak pernah
mengaku kalah meski beribu kali mendaki dan tergelincir
 
mungkin setelah gerimis ini benar-benar reda, baru kau rasakan
hidup dan kematian akan berulang. sampai jalan-jalan sungguh-
                                                                        sungguh patah
 
27 Juli 2001
 
 
MENJAUHI AMBANG
 
“jangan datang
selagi aku belum
berbenah.”
aku terpana lalu
melupakan jalan
menuju rumahmu
 
kertas alamat
kubuang di parit
tak jauh dari rumahmu
 
tiada lagi kalam
aku telah lupa
membaca harapan
wajahmu memburam
bergoyang di daunan
 
seperti perjaka
yang lupa merias
rambutku kusut
dipenuhi uban
: hilang cahaya…
 
“jangan datang
sebelum aku berbenah
dan meninggalkan
kamar pengantin ini.”
 
aku bimbang
menjauhi ambang….
 
05 Maret 2005
 
 
AKU TANDAI
 
aku tandai tahilalatmu dari dunia kanak-kanak
yang tak akan pernah terhapus bilangan. sampai hafal benar
aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku sendiri
 
sari akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores tanda di tubuhmu tahilalat itu yang
senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau
 
tahilalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu
akan selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiap kali aku tertidur
meski tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan
gerakmu dalam gerakku pula. lalu aku menari di antara
tanah yang subur bagi mekarnya perjalanan ini
 
ya. aku tandai tahilalatmu yang masih kukenang dari
dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana kita menyatu dalam rumah tangga
besar. lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam hidangan di piring saat pagi dan petang
 
2001
 
 
HUJAN:
DARI CERITA YANG LAIN
 
/satu/
 
langkahmu menjauh
ingin menanam hujan
di dalam akar pepohon
lalu menulis dingin di dahan
 
            “kau tahu hari sudah
            amat jauh dari rembulan, tapi
            warna perak rambutmu
                        masih melambai…”
 
aduhai, jangan lupakan
ciuman sebelum pagi datang
ketika kau merapat di bantal
 
ketiak pagi meruap amis
dari keringat waktu
saat hujan bercampur garam
dan tenggelam di bawah pohon
 
            tapi, beri aku parit
untuk mengalirkan bau tubuhmu,
ketiak yang dipenuhi keringat
saat siang pekat
 
dan usah ulangi perjalanan
hujan telah menanam usiamu
si akar, di batang, di dahan
yang akan tumbuh esok
sebelum terbit matahari
 
            kini diamlah
            selagi hujan menanam waktu
            dari cerita lain
 
rahasia
 
 
/dua/
 
demikianlah. hujan berwarna putih
pagi ini ke pelukku; di matamu cuaca
berkabut, dan jalan menyusut
kususuri lorong yang terasa jauh
alangkah jauh  
 
di pipimu kulihat bentangan hujan
seperti sayap-sayap burung
yang menanti pemurung
meluruh sebagai sepi…
 
ah! aku tenggelam
 
24 April-15 Mei 2005; 23.25
 
 
DULU AKU MINTA MATI DI LAUT
 
aku ingin lari dari laut
sejak ia tak lagi
memberi kehangatan
 
dulu aku minta mati di laut
dalam gemuruh gelombang
dilempar ke pulau tak bernama
tapi kini aku berharap di ranjang
kuhabiskan hidupku
dikubur dengan namaku di nisan
 
aku bukan perenang ulung
sebab itu aku menolak
sewaktu kau mengajakku,
suatu sore kelabu,
dengan penuh rayu
 
di ranjang aku mau berenang,
kataku dengan rayuan pula,
biar matiku menyediakan
sejengkal tanah untuk nisan
yang menulis nama dan kenangan
lalu ilalang membuat cantik istanaku
juga wangi bunga yang selalu meruap
 
kau tertawa. di laut pun kita mati
ada nisan yang mengekalkan
nama, katamu, sebab karang
sudah lama pula rindu
pada nama-nama
 
maka marilah ke laut
berenang hingga ke lumut
aku akan menepis maut
jika datang memagut,
lanjutmu sambil melambai
 
tapi sayang, kumau
ranjang jadi lautan
aku berenang dan terkubur
di bawah nisan
mengekalkan ihwalku
 
23 November 2004
 
 
EPITAPH
 
ada yang tak sempat terucap; getar ari-ari
yang terputus dari pusat-Ku ketika tanah ditimbunkan
ketika palka dikuakkan dan payung hitam menguncup
lalu sebongkah kayu ditancapkan di atas kepalanya
menyilang langkah
 
18.11.1986
 
 
SEPERTI KEMATIAN
 
aku dapati kematian
tiap gali rahasia perempuan
 
serupa mendung
di wajahmu
aku hanya rasakan
aroma peluhmu
 
lalu mata,
bibir yang anggur
sebagai kanal dingin:
sesunyi pelataran ini
buatku mendesah
 
kugotong berwaktu-waktu
mencapai pendakian
dan membongkarnya
di kanal ini
 
tapi, sudah berapa jauh
aku ngembara,
berapa lubang kugali
mencari temu rahasia?
 
engkau, perempuan, rahasia
yang sulit diselami
seperti kematian
yang kurasakan
setiap petang…
 
2004
 
 
KOTA CAHAYA
 
(tanjungkarang-telukbetung)
 
(satu)
 
sebuah kota cahaya lahir di wajahmu
aku pun singgah. jika diperkenankan aku
hendak mendirikan rumah di sini
dengan pintu atau jendela menghadap
pantai. dan tanganmu jadi sampan,
rambutmu layar. sesekali merapat
di kaca kamarku. seperti tetesan embun
yang mencair: mutiara dalam mimpiku
 
pecahan-pecahan bintang yang merantau
sepanjang malam akan rebah di kota ini
juga sisa perjalananku penuh luka
sekejap lelap di pelukanmu. dalam mimpiku
segalanya jadi mutiara,
            sampan yang kembali
            menetap abadi
 
sebuah kota cahaya di wajahmu
aku pun singgah. jika kauperkenankan
aku akan menjaganya dari pecahan sodom
dan gomora yang kacau
aku bangun rumah di sana
jendela dan pintunya menatap pantai.
tanganmu menjelma sampan
dari senyummu layar membentang
 
di dalam reruntuhan waktu
kota jadi semerah-dadu
melelapkan hasrat
mengawinkan kota
untuk aku singgah
            dan menetap abadi
 
Lampung, 12-24 Juli 2003
 
 
(dua)
 
aku ingin kota yang lahir di wajahmu
bercahaya. di dadamu kupahat
rumah yang baru. jendela dan
pintunya menatap matahari yang terbit
dan lelap. seperti keluh akan sampai
ke dalam getarmu
 
begitulah, sayang, akan kupangkas
segala bernama rumput
yang menyimpan maut
 
dari wajahmu kusisir kota cahaya
dalam getar si remaja
mencabuti uban:
kota yang tua dan kacau
tinggal igau
 
dan aku merantau ke dalam
kota cahaya ini
menggali senyum abadi
 
amboi, jangan pula kaubalikkan
kota ini, perempuan luth?
– izinkan aku di sini
menetap-tatap! –
 
Lampung, 25 Juli 2003
 
 
(tiga)
 
gairah apa yang memilih kota cahaya ini
bagian pengembaraanku
segala tempat telah kurantau
tak juga memukau
 
kini aku kembali ke kota kelahiran
sejarah purba yang tersimpan
perjalanan adam mencari cinta
di segala semesta
 
gairah apa yang melahirkan kota cahaya ini
ketika siang yang rusuh?
aku tatap parasmu
membayang kota terbuka
 
aku pun menyusuri
liku-sungaimu
 
amboi, gairah apa
yang menggetarkan hasrat ini?
 
Lampung, 25 Juli 2003
 
 
INGIN KUSUARAKAN
 
ingin kusuarakan apa saja di sini, tapi angin punya
telinga dan kata. bahkan lampu-lampu taman ini
akan merekam dan menyuarakan kembali dengan bahasa
lain. lalu dinding memagar tubuhku,
kesepian yang mendekam!
 
ingin kumerdekakan apa saja di sini, tapi burung
tak punya lagi sarang yang tenteram. pohon-pohon telah
memburu kota demi kota, mengubah ketenteraman jadi
kegaduhan, dan asap yang dimuntahkan beribu
cerobong pabrik adalah oksigenku setiap detik. aku
merokok limbah serta mengunyah beton!
 
ingin kutulis apa saja di sini, tapi koran tak lagi
punya suara. seribu iklan memadati halaman
demi halamannya, seperti gula-gula yang dikunyah
anak-anakku. aku hanya membaca bahasa angin di sana
kemudian meliuk di balik bendera setengah tiang.
kemudian hening…
 
ingin kusuarakan kembali kemerdekaan di sini, tanpa
granat dan senapan. ingin kuteriakkan penderitaan
burung yang kehilangan kebebasan terbang. hingga
di udara yang terbuka tak akan ada lagi kecemasan-kecamasan.
 
1994
 
 
Tentang Isbedy Stiawan ZS
Isbedy Stiawan ZS lahir di Tanjungkarang (Lampung), 5 Juni 1958. Menulis puisi, cerpen dan esai. Kumpulan puisinya: Kembali Ziarah, Daun-daun Tadarus, Roman Siti dan Aku Selalu Mengabarkan (2001), Aku Tandai Tahi Lalatmu (2003),  dan Menampar Angin (2003). Kumpulan cerpennya: Ziarah Ayah (2003), Bulan Rebah di Meja Diggers (2004), Dawai Kembali Berdenting (2004), Perempuan Sunyi (2004), Selembut Angin Setajam Ranting (2005), Seandainya Kau Jadi Ikan (2005) dan Hanya untuk Satu Nama (2005).
 
 
Catatan Lain
Tulis Isbedy di “Kata Penyair”, hlm ix-x: Puisi pembuka yang saya buat tahun 1984 berjudul “Tubuh Tanpa Ruh” adalah persembahan bagi almarhum D. Zauhidhie (penyair Banjarmasin), dan telah dimuat oleh media daerah di Mataram, NTB. Sebenarnya, sebelum tahun 1984 saya sudah menulis puisi. Cukup banyak puisi saya yang telah dipublikasikan. Namun, kesulitan saya mendapatkan dokumentasi atau kliping, kumpulan pilihan puisi ini akhirnya saya buka dengan puisi bertitimangsa tahun 1984 (saya hanya menemukan satu puisi bertitimangsa tahun 1982).  
 
            Jadi, begini puisinya (hlm. 3):
 
TUBUH TANPA RUH
 
Bagi almarhum D.Z.
 
tubuh itu
tanpa ruh. nyebarkan duka
melayat bunga dari seluruh kampung
 
(dari sini perjalanan masih panjang
bagi tubuh tanpa ruh
yang ditandu; bergegaslah peluit dibunyikan
biar sampai di stasiun sebelum senja merengkuh)
 
tubuh itu
tanpa ruh
bekukan hujan di awan
sepanjang hari
 
sementara dari kamar
netes kenang; siapa bisa
menghapus gambar tangan
di dada?
 
12/7/1984 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar