Laman

Tonggak

Kamis, 19 Oktober 2023

Puji Pistols: TOKOH-TOKOH DALAM SEPULUH LOMPATAN


Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Tokoh-tokoh dalam Sepuluh Lompatan
Penulis: Puji Pistols
Penerbit: Basabasi, Bantul, Yogyakarta.
Cetakan: I, Mei 2019
Tebal: viii + 92 halaman (40 puisi)
Editor: Tia Setiadi
Pemeriksa Aksara: Daruz Armedian
Tata Sampul: Resoluzy
Tata Isi: @kulikata_
Pracetak: Kiki
ISBN: 978-623-6631-67-6 (PDF)
Prolog: Anis Sholeh Ba’asyin
Epilog: Bagus Dwi Hananto
 
Tokoh-tokoh dalam Sepuluh Lompatan terdiri atas Tembang Macapat (7 puisi), Timur (12 puisi), Tengah (3 puisi) dan Barat (18 puisi)
 
Sepilihan puisi Puji Pistols dalam Tokoh-tokoh dalam Sepuluh Lompatan
 
Simbolia
– variasi atas cerita Julia Alvarez
 
tak ada lagu pujian terjun lurus menuju kita
taman, langit, apartemen, mesin keripik jagung
kereta bawah tanah, rangkaian salju
dalam semalam segalanya tampak putih
menelurkan cahaya-cahaya
 
seorang perempuan gipsi gaun hitam
berjalan menguak kegelapan
seperti datang dari pelabuhan lama
ia menutup kepalanya dengan syal berwarna
hening bagai dinding gereja
bening seolah bintik-bintik bola salju di udara
 
“sebelum bulan bertambah dingin
aku dan para saudariku
kerap melepas doa
untuk kedamaian para perempuan imigran”
 
rok hitam panjangnya terbang
menghujani langit amerika dengan peluru-peluru mainan
serombongan anak berlarian
merentangkan telapak tangannya ke udara,
“ini bola salju abadi, mami
ini bola salju yang abadi!”
 
“bum-bum!”
gipsi itu tersentak, memandang ke atas
“ini seperti mimpi,
aku tak mampu menjelaskannya lewat kosakata”
tahun baru pertama di new york
kami perebutkan bola salju di halaman apartemen murahan
mobil-mobil terparkir di bawah jendela
kristal-kristal kacanya berubah putih
meleleh bak barisan doa perempuan imigran
yang menggenapi terang nyanyi kosmopolitan
 
“mi america querrido”
 
 
Di Pesarean Kiai Mutamakin
 
1/
 
latar pesarean
hampir lengang menuju dini hari
kami bersedekuh mengucap
salam dengan data lapang
menunggang suluk menuju jantung
 
mata kami padam
di seputaran jam dua malam
di kuburan, kami sandarkan kalah
 
2/
 
apa yang membuatmu kerap ragu?
berkah bahagia hanya singgah
dari hidup perih dan membekas
jejak kabel-kabel cahayanya pada
sisi batu nisan yang bersih
 
3/
 
seusai zikir panjang terhenti di 9900
subuh datang terang benderang
seorang peziarah, entah siapa
pulang menggendong perempuan kecil
berkerudung jenaka
 
ia bergumam dalam bahsa orang biasa
“jika lelah, maka sandarkanlah bahumu
di kuburan lalu berbahagialah”
 
 
Shintaishi
: Minamoto Yorimasa
 
di taman Aokigahara
matamu setawa bunga plum putih
 
letih, ingat kerabat
cahaya bulan terbang ke pucuk ilalang
ilalang tempat kau-aku berjanji berumah
di buku haiku fana
 
menunggu adalah bahagia tertunda
 
di taman ini hujan jelma batu
keras dan kelabu
 
kau lajang
aku tak pulang
 
serupa pohonan
menguning
sewarna petang
 
 
Realma Pengunjung Taman
: variasi atas cerita Gao Xingjian
 
Ia menyentuh taman ke dalam genggaman tangan
memasukkannya ke tas warna menyala
dan meletakkannya bersebelahan dengan suasana
malam rerumputan.
berbulan-bulan ia menunggu sahabat
dalam kesedihan yang ia simpan
bersama bola karet dan sepatu hitam:
menunggu haru di antara kesunyian pohon sipres
mengenang persembunyian para pengunjung
lalu bertukar cerita di atas terpal kusam
di bawah tiang-tiang listrik tua.
 
seperti yang terjadi pada lain hari
seorang pengunjung datang mengirim kartu ucapan
“taman tanpa tuan kelihatan hampa,
seakan terhapus aforismanya.”
dan jalan menuju sore
tak ada gugur kembang persik
tak ada bunyi omong kedai-kedai
yang selalu berisik.
 
ia merapatkan genggaman tangannya lagi
menyimpan kehangatan matahari terbenam
ketidaksengajaan melahirkan keindahan buatan
meskipun ia tidak suka keindahan buatan
ia terus duduk dari kemarin hingga sekarang
di atas perdu pohon sipres
membiarkan segala kenangan membusuk pelan
hidup adalah permainan yang sembunyi
dalam dekut jarum jam.
batas akhir garis taman
sudah digarisbawahi dalam sebuah cerita
tatkala matahari terbenam
dan tampak kematian itu tiba.
 
di bawah genggaman tangan
taman membikin percakapan untuk tak takut
menyusun pertanyaan-pertanyaan ihwal keindahan.
 
namun di ujung jalan
ia lepaskan genggaman
dan membiarkan ingatannya
balik pada pepatah lama:
“kalau perempuan datang ke taman jatuh cinta lebih awal,
pasti esoknya ketiban sial.”
 
ia mengangguk di bawah cahaya tiang-tiang listrik itu
di hadapan daun-daun poplar putih
barangkali ada pengunjung terakhir memutar radio
dan lagu-lagu cinta terperangkap di sana –
seperti somnambulis tengah malam.
 
 
Elegi Su Tung Po
 
cukup, Po
berhentilah memilah
 
di pelataran klenteng ada pengelana
menyalakan hong swa
“rayakan kekosongan –
bayangkan kekaguman”
 
pada sembahyang keluarga
jalan ke surga berubah pucat
seperti warna penginapan di sore
ingin aku menjumpai hantu-hantu
dengan kecantikan nan memesona
dan kesiur angin di sekujur plum
bergoyang bagai hiasan lampion
anggun meski tak ada cahaya
aku mesti berhenti merapikan topi
yang melebar terbuka
 
dan kenapa,
perjalanan selalu kehilangan nama-nama?
 
cukup, Po
sejenak duduk bisu
di penginapan ada sisa asap dupa
kita bisa memesan malam di sana
 
bernyanyi, mainkan kin
hingga pagi menidurkan segala sasmita
kadang terlalu jelas dan tak jelas
seperti siul angin
pada ritus yang kau lihat itu
 
 
Pada Kaligrafi Qi Baishi
 
/a/
 
lelaki Qi bertualang menyusur jauh
tapi pulang jua pada batu kuburan
dingin, sesepi ornamen-ornamen abadi
pada puncak-puncak istana
 
/b/
 
ajari kami menyesap tegak lurus bertikal
dari kenangan beragam hiasan
 
“dari sini bayang-bayang hantu
berkerumun membangun surga-surga palsu”
 
/c/
 
ajari kami menidurkan baris horison
pada mata patung kim tong dan giok li
tenang, cinta sejati pulang lebih awal
 
/d/
 
masa muda sembunyi dalam semangkuk sup kepiting
kesedihan kerap datang tanpa dipesan
satu meter garis terpotong ke dalam ingatan
 
/e/
 
di awal musim semi
sekelompok udang berdendang
Qi, ia tahu kapan memulangkan garis sepi
sepasang burung hong yang terbang
dalam rawi keheningan
 
/f/
 
rambut Qi putih salju
menaungi pualam terang
yang memandang
semi peoni
sebagai perkabungan
 
 
/Pangkur/
 
aku akan menyimpan kenangan baik
dari bola matamu yang basah
ke dalam selarik kain batik ketumbar pecah
kekerabatan seperti nasib sajak:
benda yang pasti retak
kelak, kau pun akan menyimpan
kenangan baik dariku
ke dalam dua matamu yang lelah
 
 
Catatan Mario
 
hanya ada bias
serta hamburan
perjalanan yang lekas
 
apa aku akan
berputar-putar di sini
sebagai beruang gunung
atau
kuda jantan yang murung
memanjat lengkung
pegunungan San Cristobal
 
di situ
karat sepatu besi
tembok-tembok
rumah penggembala sapi
adalah
kebisuan abadi
 
dan
cahaya terjun
dari tumpukan
langit gunung
terpa topi Sambero,
dua pengendara sepeda
bersalipan
 
“adios, nos vermos”
 
sehabis rute jembatan San Antonio
setelah kuyup diserang bau laut Bellavista
aku kenang kacu seorang perempuan
tertinggal di meja doa katedral tua
 
pada hari baik
aku pingin sendiri
duduk di bawah taburan
kembang api
memandang barisan
rute perjalanan dan kacu linen,
di sebuah paskah yang lekas
 
aku adalah karakter “A”
di dalam buku lama
Geografia Memorias
 
2018
 
Imaji Kota-kota Tak Bernama
: Andy Warhol berdansa di bawah baliho rock and hedonisme
 
seperti itulah
dari lubang maya kita selingkuh
meminjam es krim sisa jilatan Lou Reed
Fukuoka Art Museum yang sedih menyimpan arsip
ada kurator dan fotografer berbagi tanda tangan
dengan inisial A.W.
I like anything that is American.”
 
ilusi, refleksi, meditasi,halusinasi
menemani mesin cetak
dan kita kembali rutin mengatur drawing
pada sebuah kertas
Viva Banana Wallpaper
 
teriakan keras keluar dari mulut yang rapi
gerakan Pop Art di Amerika tahun 1960 seperti
mengemas sekumpulan puisi
(sial, aku tak pandai membaca diskusi sejarah para akademi)
bau industri pada labirin otakmu
mengutuk lagu pagi
Silence Sunday Morning
 
ia bisa lebih manis dari adegan ciuman dua perempuan
seperti tembang melankolis di sebuah bar
Love Me Tender
 
Thank’s Warhol!”
beruntung kita selingkuh di dunia maya selama 8 jam
kau menikmatinya?
 
kau bilang
ini Last Supper
ziarah terhenti pada lapisan bantal-bantal warna pasta
di mana cinta dan lupa tidur bersebelahan
hiruk pikuk perempuan berdada balon saling sapa di Pittsburgh
seorang seniman berdasi hitam plus merah muda
berada di dunia penuh pesta
“salam pemeluk teguh agama konsumerisme!”
 
yang candu, membawa kita berjalan mulai awal
menikmati mesin-mesin hasrat
uang-kekuasaan-miniatur perusahaan
berapa hari kita pose di ruang ini?
 
Piringan hitam kembali berputar
Sunday Morning
dan
kacamata Warhol
menampilkan mural sureal
sepanjang jalan Manhattan
 
 
Kenangan pada Sajak Despedida
Tersebab sajak cinta Federico Garcia Lorca
 
demikianlah, kita pun memilih naik keledai tambun
pada sebuah fatamorgana tebing masa silam
“mungkin seseorang akan terbaring mati di sini.”
 
kita pun melepas ilusi denyar saputangan
terbang menjauh dari gelap kamar tidur
begitu jauh, tak terukur
 
dalam warna pagi kau lihat itu keledai
mulai mengasingkan pandangan dua matanya
konon ia rindu bau rumput rimbun
        – kau di sana?
 
begitu lama balada Romancero Gitano mendekut
berdegup hingga tercecer
dalam perjalanan diselingi penghujan
rima rimis yang teramat santun
dan kita dalam duduk yang sepi
 
surga melahirkan rumah ketiga
rundung mengantar murung
 
biarkan dia pergi
biarkan…
sebab embusan tangan
lupa melepas sonata Despedida
 
 
Menggambar Rumah Ayah
: untuk Emily Dickinson
 
dalam kuasan pensil hitam
rumah itu tampak pendiam
cuaca kerap mengungsi
ke kebun
dan menyirami bunga bakung
apa gerangan yang didamba?
 
kuasan pensil hitam tak kunjung berhenti
menyelesaikan kisah rumah hingga rampung diminati
seseorang lupa menarik garis panjang
bersebelahan taman bermain masa kecilku
aku tahu di sana, ada segaris keharuan;
menggambar kebahagiaan untuk bertemu
 
dari arsip keluarga
rumah ayah kelihatan bersahaja
menyimpan draf-draf surat dari sahabat hingga tetangga
tak lupa menemani aku jadi perempuan
sampai kesepian di usia 56
 
hari ini
orang-orang masih membawa cerita rumah ayah
pada sebuah perayaan paskah
 
 
Imaji Rastafarian
 
“kami akan kenakan kaus cetak sablon manual,
asal cetakannya berasal dari celupan tangan Tuan Bob Marley”
 
kisah rastafarian kerap dibaca melalui perpustakaan keluarga
ketika matahari mengantar cuaca cerah
ke arah luas kota, kuning, hijau, dan merah
Viva Rasta!
 
reggae cuma pertunjukan fantasi pada jam sibuk
mempermainkan lagu-lagu kenangan
mengulang kemurungan keluarga perkotaan
dengan satu tajuk: “No Woman No Cry”
 
pada acara Festival Ska di hari libur itu
ia perlu bahagia sejenak
 
ya, kami hanya dua lelaki pengisap cerutu pabrikan
memainkan tambur
o Carolina, berdansa, dari partitur
menggema sampai pembatas kaca jendela
ada sebuah dipan dengan poster dinding
Bob Marley kurus dan tertawa abadi
 
“dia sekadar Griot dari Jamaika;
pemabuk yang perlahan mati kesepian,” katamu
 
di luar kamar, kerlip cahaya
lampu-lampu kota, kenangan terang
merangkum cerita kepahlawanan musikus jalanan
yang berantakan
di sana kami bermukim, mendengarkan
dan memakai kaos oblong “casualties peace”
 
dan barangkali di luar sana, tuan masih
mengibar rambut gimbalnya?
 
 
Tentang Puji Pistols
Puji Pistols lahir dan tinggal di Pati. Menempuh pendidikan hingga jenjang SMA, walau tak selesai. Mantan gitaris band grunge tak terkenal. Bekerja sebagai peracik kopi. Puisi dalam buku ditulis dari tahun 2012-2018.
 
 
Catatan Lain
          Halaman 5 dan 6 buku ini, memuat apresiasi dari Hanna Fransisca dan Tia Setiadi. Kata Hanna: “ … ia membaca banyak sumber, menziarahi para penyair dan prosais dari seluruh dunia lalu memerasnya menjadi mata air yang mengilhami kreativitasnya. Ia kemudian menciptakan sebuah dunia baru.” Kata Tia: “Dalam sebuah dunia yang bergebalau dan ingar-bingar, sajak-sajak Puji Pistols menyeret saya ke dalam suatu dunia privat yang hening, bening, dalam, jauh. … dengan konsentrasi dan intensitas yang penuh, sehingga untuk beberapa jenak membuat kita terculik dari diri kita sendiri, masuk merasuk ke dalam jagat alit sajak itu, yang ternyata membentangkan keluasan tak tepermanai. …”
            Adapun Anis Sholeh Ba’asyin menulis begini: “Saya merasa bahwa Pujianto tidak pernah menulis puisi, karena hidupnya sendiri adalah puisi. Ia bukan penyair, karena dia adalah syair itu sendiri. Yang ia tulis hanyalah sekadar sepersekian huruf yang ia comot dari buku kehidupannya.” Tulis Bagus Dwi Hananto: “Bagi anak-anak muda yang mengenalnya, mungkin Puji Pistols laiknya Melquiades, gipsi tua dalam novel Seratus Tahun Kesunyian, … Orang-orang menyenanginya karena ia rendah hati, egaliter dan gampang diajak ngobrol. Yang lain mengenangnya karena puisi-puisi sedih tentang cinta.” Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar