Laman

Tonggak

Kamis, 19 Oktober 2023

Malkan Junaidi: LANSKAP FREUDIAN

 
 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Lanskap Freudian
Penulis: Malkan Junaidi
Penerbit: Malkan Junaidi, Indonesia.
Cetakan: I, 2023
Tebal: iv + 72 halaman (40 puisi)
Sampul Depan: Zelenin Johann (zeleninart.com)
Sampul Belakang: Gita Putipratia
 
Lanskap Freudian, kumpulan puisi 2013-2023, terdiri atas Ufuk Eros (20 puisi) dan Ufuk Thanatos (20 puisi).
 
Sepilihan puisi Malkan Junaidi dalam Lanskap Freudian
 
DI ATAS RERUNTUHAN DAGING DAN BATU
 
/1/
 
Aku telah menghabiskan hidupku
Bersujud pada onggokan daging dan
Patung batu, menyerahkan pada mereka
Langkah-langkah kaki dan pikiranku.
Aku telah sepanjang waktu
Menelantarkan kewarasanku,
Perhitungan-perhitungan akalku,
Percaya benda-benda lembek dan tuli itu akan
Melerai pertengkaranku dengan kesunyian.
 
Aku telah seperti kebanyakan lelaki:
Lemah, bodoh, dan gila keributan;
Membiarkan kakiku buta dan punggungku
Dicambuk kerling mata perempuan.
Aku telah bundas, semplah, dan suwung;
Menjadi sepah, tisu, dan batu loncatan.
Hingga malam menautkanku denganmu
Di sebuah bukit, dan bedahlah tanggul yang
Selama ini mendindingiku dari sukma keindahan.
 
/2/
 
Kau yang kini mengada sebagai purnama,
Betapa aku telah mengenalmu sejak
Kau mengenakan wajah celurit.
Jelas kuingat bagaimana pertama kali
Aku mengukur seberapa besar kepercayaan
Bisa kucemplungkan ke matamu.
Sampai aku tak syak lagi untuk berbagi
Apa yang hanya dapat dibagikan dalam cinta:
Pelukan hangat dan harapan-harapan baik.
 
Dan demikianlah, kau membuat tujuh
Samudraku bergolak, tujuh sungaiku
Deras mengalir. Kau, masih dengan wajah
Purnamamu, membuatku berdiri tegak
Di atas reruntuhan batu dan daging,
Menunggu dan menikmati seluruh
Gebyoran cahaya dan rengkuh lembutmu,
Hingga di ufuk maut fajar merah menyingsing.
 
 
PENEMPUH JALAN SUNYI
 
Kuucapkan selamat
Untuk tak mendapatkan
Penghargaan apapun
Dalam hidupmu dan
Untuk tak melakukan
Suatu apa demi
Mendapatkannya
 
Seperti pepohonan
Terus tumbuh dan
Melebatkan buah
Sebelum tumbang oleh
Angin atau gergaji
Tanpa pernah menerima
Sekecap terima kasih
 
Seperti matahari
4,5 miliar tahun menghuni
Angkasa gulita
Merawat planet-planet
Dengan jemari hangat
Dan bedong gravitasi
Tak berharap imbal balik
 
Selamat untukmu
Yang telah mawakafkan
Daging dan pikiran
Menempuh jalan di luar
Hitungan ahli fikih dan sejarah
Datang dan berlalu
Tanpa suatu monumen
 
Sebagai bukan siapa-siapa
Setulus beras
Memberi sel-sel tubuh
Glukosa dan magnesium
Sebelum pergi memasuki
Kotak septic tank
Dilupakan atau diberi
Ekspresi wajah mencibir
 
Sesuci sabun
Menghabiskan diri
Membersihkan daki
Membuat kulit harum
Sebelum tergelincir
Ke selokan dan menyatu
Dengan limbah dapur
 
Hormat untukmu
Yang rame ing gawe
Sepi ing pamrih
Tiada suatu piagam
Piala atau obituari
Hanya kepenuhan makna
Menunggu di ujung
Penempuhan sunyi itu
 
 
HAL TERBAIK
 
Jam sepuluh nanti jika udara masih
Mengisi penuh paru-paruku
Aku yakin aku akan menyaksikan
Jam sembilan menjelma masa silam
Tergeletak bugil dan berdebu
Di sebentang pemakaman kenangan
 
Kala itu mungkin namamu
Tak lagi menggedor-gedor dadaku
Karena pada jam delapan ini
Aku berencana melakukan
Pada jam sepuluh nanti apa saja
Selain hal-hal yang menautkan
Pikiranku pada wajahmu
 
Setelah menulari diri
Dengan aroma sabun mandi
Aku akan mengunjungi
Pikiran beberapa temanku
Memeriksa oleh-oleh yang
Mereka dapat dari berpelesir
Ke bukit-bukit pasir
Atau menjenguk mereka
Yang sibuk mengelap cermin
Dan mengepel lantai rumah mereka
Dengan puisi Gibran dan Rumi
 
Aku akan memasang
Muka takjub menyaksikan
Betapa mata mereka dipenuhi
Keyakinan telah menunaikan
Kewajiban terhadap
Diri dan kehidupan
Aku akan menyampaikan
Persetujuan dan pujian
Bukan sebab aku sungguh
Setuju dan takjub
Melainkan sekadar agar
Aku dan mereka tak
Abadi dalam tengkar
 
Lalu jam sebelas nanti jika
Udara masih mengisi
Penuh paru-paruku
Aku yakin aku akan
Disergap oleh rasa mual
Dan tepat saat itu aku akan
Menulis di dinding benakku:
Mengingatmu adalah
Hal terbaik dalam hidupku
 
 
KUBISME YULDEN
 
Memasuki Yulden
Melewati pintu berkata sandi
Melalui labirin penuh demit dan zombie
Menuju tambang emas nun di kedalaman
 
Dirasuki Yulden
Tertawa dengan tawa Yulden
Menangis dengan tangis Yulden
Memahat kuil seperti kuil Yulden
 
Mengerumuni Yulden
Unggun di tengah hutan pada malam berkabut
Menawarkan perlindungan dari cuaca dingin
Kesembuhan dari rasa takut
 
Gugup mengecup tangan Yulden
Seperti Bonasera gugup mengecup
Tangan Don Vito Corleone
 
Meludahi altar Yulden
Meledak di jeda puitik Yulden
Mencari-cari dalam sejarah letak Yulden
 
Memercayai Yulden
Merawat mood Yulden
Meragukan Yulden
Memasuki penjara rasa risih Yulden
 
Yuldenku Yuldenmu Yulden kita
Yulden yang ingin menjadi sederhana dalam
Laku dan kata
 
Yulden yang menggigil nyeri dalam kesunyiannya
Yulden yang digunjing dan yang dijadikan berhala
 
Yulden yang hitam
Yulden yang putih
Yulden yang seteguh pualam
Yulden yang serawan keramik
 
 
SEBUAH BUKU
 
Ia menyodorkan konektor jaringan,
Sebuah jalur menuju taman nisan dan
Inskripsi, tempat perjalanan berakhir
Dan menantimu menjelmakannya
Museum kebangkitan bagi ingatanmu
Sendiri, yang bertahun-tahun lelap
Di bawah lapis kesadaran freudian.
 
Ia menyodorkan setapak,
Lorong, labirin, dan pada suatu
Malam sumuk, apatis, dan sumpek
Kau melompat keluar jendela
Kamar, menyusurinya sendiri,
Mencari sendang untuk berendam,
Tebing yang disepuh matahari jam
Lima pagi, menghadap lanskap
Abdullah Suriosubroto, lantas dengan
Agak gamang menabuh genderang
Menantang minotaur berkelahi.
 
Ia menunjukkan, dengan isyarat
Lamat, pintu rahasia di keningnya.
“Masuklah diam-diam. Masuk
Ke balik bola mataku dan lihat
Apa yang tampak dari sana. Lihat
Dengan cermat dari situ bagaimana
Aku melumat segala yang fana.”
 
 
PERGI MELAYAT
 
/1/
 
Menuju tubuh
Terbujur dingin
Kaki di barat
Kepala di timur
Dikelilingi
Kelopak-kelopak bengkak
Dari mata berkaca-kaca
 
Menuju ruh
Yang bergegas pamit
Pada kerabat
Tetangga tercinta
Usai menyantap habis
Semangkuk Yasin
 
Dialah rahim
Yang menaruh orok
Di bawah matahari pagi
Lalu menyerahkan pada langit
Untuk dibesarkan
Dan dijaga dari luka
 
Orok yang kelak
Melahirkan lain rahim
Dan mengalirkan kenangan
Dari hulu waktu
Ke sebuah samudera
Cerita tak bertepi
 
/2/
 
Dua gentong air
Daun-daun bidara
Dan sebuah kursi panjang
 
Berangkatlah
Dengan tubuh resik
Ruh terbasuh
 
Pulang
Pada tanah basah
Dan bibir yang meniupnya
 
Jadi patung mengkilap
Lincah menari
Sambil bernyanyi
 
 
KITAB KEJADIAN
 
Mula-mula sentuhan mesra
Jemari pada tuts piano
Dua tiga nada sekaligus
Seperti Yanni pada
              NOSTALGIA
Atau pisau
Pada jari juru masak
Tanpa bunyi
Hanya garis merah
              Mendadak menebal basah
Atau bibir lembut
Pada kening
Hangat dan kinasih
Sementara kelopak
              Matanya terkatup sempurna
 
Menjadi lepas landas
Kepakan atau
Terjangan pertama
Mengawali melodi
Tarian lincah
 
              Kadang gemulai
Pada tiga oktaf
Berlangsung 11 menit
Dengan variasi hening
—Jeda yang adalah
Suara sunyi
 
                            Dan menunggu
Saat paling tepat
Bagi sebarisan lirik
Untuk melompat
 
              Pada latar depan
Merenggut telinga penyimak
—Mereka yang menelan panggung
Dan mencernanya dalam
Biografinya sendiri
 
Sebuah kelarutan
Suatu kehilangan
Yang membuat ketagihan
Atau yang selalu mengembalikan
Ingatan akan surga
Sebelum seorang tersentak bangun
              Meraba rusuk
Dan memandangi
Jasad lelap di sisinya
 
Di sudut gedung
Kursi paling belakang
Seorang berkata:
                          Rasa getir
Tak berlangsung selamanya
              Buah-buah getir
Menganjurkan diri untuk
Dipetik dengan sadar
Dan meski iman memasang
                          Muka canggung
Namun toh buah-buah itu
Terkunyah sempurna akhirnya
 
 
UMBU LANDU PARANGGI
 
Terlepasmu
Suara kaki kuda
Menapak pelataran subuh
Di bawah jendela mahoni
Mengelus lembut suntuk sukma
Insomnia kata-kata
 
Melepasmu
Pangeran jalan sunyi
Membubung ke langit kesumba
Melanglang meninjau
Persada hitam dan putih
Bali Bandung Malang Jogja
 
Selepasmu
Kesatria brahmana sama terbit
Berpendar di kaki langit
Meteor dan air mata
Sama berguguran
Terbakar habis di udara
 
 
PENYAIR
 
Dengan perut buncit, rambut
Kusut masai diamuk badai,
Dan benak berdengung seolah
Mesin penggiling melumat
Buah, sayur, biji-bijian—
Segala yang mungkin dipetik
Dari kebun ingatan.
 
Melakukan kesibukannya sendiri
Atau ditemani satu pak rokok,
Sebotol bir, atau secangkir kopi.
Di kamar lusuh, di kaki lima
Tempat kelelawar mereguk tuntas
Malam paling getir, atau
Di mana pun bau kematian
Menyengat organon olfaktus.
 
Kadang seperti petapa, memilih
Ceruk paling tersembunyi, bersemadi
Hingga terlucut roh dari tubuh,
Melesat lebih cepat dari cahaya
Menuju galaksi terjauh,
Memotret hal-hal garib dan ajaib—
Bekal memasuki camera obscura.
 
Dan akhirnya: dunia lain,
Dalam bingkai persegi, penuh warna
Namun juga membeku, menunggu
Sentuhan mata yang terbakar
Asmara atau terpanggang duka
Hingga meleleh, melelehkannya.
 
 
CATETAN AKHIR TAHUN
 
Tak ada yang harus dihapus
Yang kadung tertulis
Biarlah dibaca oleh semesta
Menjadi bahan olokan
Atau renungan mendalam
 
Sesal berlaku cuma
Buat mereka yang kurang
Menyerap pelajaran
Malu tak lebih bayang jelek
Iseng dicipta cahaya di cermin retak
 
Angin dan hujan
Tentu bisa menghapus
Jejak kerbo dan kuda
Itu memang kerja mereka
Apa peduli kita?
 
Kita penempuh
Kelewat paham makna disapih
Jalan remang di depan
Cuma minta selembar perhitungan
Di bawah nyala nyali
 
Hari ini adalah masa depan
Sederhana saja
Kita di sini sebab keputusan
Yang mungkin dengan sedikit ragu
Kita ambil dua puluh kilometer yang lalu
 
Hari ini adalah masa silam
Di sebuah kilometer di masa depan
 
Kita bersyukur hari ini
Kita bertekat tak berhenti melangkah
Kemungkinan apapun nanti menyergah
 
 
REKUIEM
 
Pintu itu, mayat pohon mangga dari
Sebuah kebun. Ia menerima berjuta
Ketukan dan salam. Angin dan debu,
Tamu-tamu yang paling tekun, membawa
Dongeng-dongeng dari tanah yang jauh.
Tentang bantal yang terbakar, pulpen
Yang memuncratkan sebelanga sperma,
Dan kening penuh gelombang pasang,
Serta anjing-anjing yang bertengkar
Memperebutkan sepasang sepatu kaca.
 
Saat tertutup, pintu, mayat pohon
Mangga dari sebuah kebun itu, menahan
Sebutir balon dari berburu rembulan.
Ada kelelawar-kelelawar lapar di atas
Sana, katanya. Ada layang-layang
Meraung-raung mengutuki senar
Yang terus mengekangnya. Ada hujan
Meteor dan jarum akan meledakkanmu
Di lambung galaksi yang menganga.
 
Suatu hari, balon itu membawa pulang
Sampan remuk, menaruhnya di sudut
Dapur di samping tungku yang beku.
Di lain hari ia membawa sekeranjang
Matahari sekarat, meroncenya menjadi
Tasbih, dan menaruhnya di samping
Mushaf yang tak pernah tertutup.
 
Dan hari ini, kursi-kursi mencangkungi
Ruang tamu. Menatap mayat balon di karpet
Hijau dengan pojok digerogoti kesunyian
Itu. Televisi terus membelalakkan mata.
Ia seperti jurang tempat si mati mendapat
Penghormatan terakhir. Ia seperti hujan
Yang menyergap pintu itu, mayat pohon
Mangga dari sebuah kebun itu, dan
Menyapunya perlahan dengan cat biru.
 
 
NASIB KATA
 
Saat beberapa liter kata
Berjatuhan seperti
Hujan singkat di kepalaku
Seorang memancal starter
Motornya tiga kali
Sebelum memutar-mutar
Handle gas dan
Membuat raungan
Menyentak-nyentak
Meretakkan bening pagi
 
Beberapa liter yang lain
Berjatuhan di lantai
Kamar mandi setelah
Mengguyur tubuh seorang
Anak sebelum ia mengenakan
Seragam dan pergi ke
Tempat pikirannya dipaksa
Mengikuti kawat yang
Dibelitkan padanya
Oleh para tukang bonsai
 
Beberapa liter kata yang
Berjatuhan di tubuhku
Kini dibawa pergi oleh
Kuda gaib bersayap
Menuju ketinggian tempat
Titah suci disabdakan
Untuk monyet sigung dan babi
Menyatu dengan mendung lain
Menumpuk di sebuah lereng
Sebelum bergulir di pipi
Lembut seseorang
Di ujung sebilah sunyi
 
 
CERUK KERAMIK
 
Seperti secangkir air
Baru dituangkan
Dari bibir ketel
Mengepulkan
Uap hangat di gigil
Pagi bulan Juli
 
Kata-katamu
Seperti daun-daun
Teh telah kering
Melarutkan dalam diriku
Sari dan rasa
Warna dan aroma
 
Tak ada jalan
Pulang ke wujud asal
Selain dengan menyerahkan
Diri pada kobar api
Meninggalkan selamanya
Ceruk keramik ini
 
 
40
 
Menengok ke belakang
Ke Maret yang menggerimisi
Daun jendela kamar tempat
Sepasang pengantin bergumul
Dari orgasme ke orgasme
Sangat jelas di ingatan
Seolah adegan hari kemarin
Dua puluh tahun akan
Terasa sekejap saja kukira
Kisah-kisah akan berkelebat
Seperti merpati dan melati
Di tangan lincah pesulap
 
Ya, dua puluh tahun ke depan
Rambutku akan sepenuhnya putih
Pikiranku akan sudah seloyo
Manuk cilik nggaya ini
Dan dari jendela kamar
Tempatku menekuri hari-hari gabuk
Mendaur ulang kerisauan itu-itu juga
Kulihat cucuku tengah berlatih merayu
Dengan baris-baris sajak
Dan sembari tertawa aku akan
Dalam hati berkata:
Kayak aku tempo hari saja!
 
 
Tentang Malkan Junaidi
Malkan Junaidi lahir 12 Maret 1981 di Blitar. Bekerja sebagai petani dan pekerja bangunan, selain menulis puisi dan menerjemahakan. Kumpulan puisinya: Lidah Bulan (2011), Di Bawah Cahaya yang Terpancar dari Ingatan Terhadapmu (2016), Chelsea Islan Terbang ke Bulan (2018), Rumah Daging dan Pikiran (2023) dan Lanskap Freudian (2023). Novel terjemahannya Paradise karya Abdulrazak Gurnah.
 
Catatan Lain
            Ada puisi berbahasa Jawa di kumpulan ini, yaitu Maca Kahanan. Ya, sudah, itu saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar