Laman

Tonggak

Jumat, 17 November 2023

Ni Made Purnama Sari: KAWITAN

 

 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Kawitan
Penulis: Ni Made Purnama Sari
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Cetakan: I, 2016
Tebal: x + 78 halaman (42 puisi)
Editor: Mirna Yulistianti
Ilustrasi sampul: Natisa Jones
Setter: Nur Wulan Dari
ISBN: 978-602-03-2788-4
 
Kawitan terdiri dari Muhibah Tanah Jauh (25 puisi) dan Kampung Halaman (17 puisi)
 
Sepilihan puisi Ni Made Purnama Sari dalam Kawitan
 
Lewat Rotterdam Tengah Malam
 
Lewat Rotterdam tengah malam
Kukira Hatta bersamaku di kereta
Bagai dua siswa sekolah mula
          tempuh ujian akhir tahun:
ia menulis sajak, aku gubah sejarah
tak boleh saling contek
 
Kami pandang langit, cari-cari inspirasi
rasanya baru saja bintang jatuh
memintas kanal dan puing kota
menemani peti-peti buku kiriman
di samudera tanah jajahan
                        jauh ke bandanaira;
melesat lewati kereta seratus kilo per jam
yang bikin lampau kota Rotterdam
 
Puisi yang ditulis Hatta
          tak kutahu tentang apa
Sejarah yang aku buat
          entah akan akhir bagaimana
Kami tak punya apa-apa
          kecuali nasib buruk yang tanpa jemu
          menikung langkah di setiap kesempatan
 
Dilanda kebosanan, diam-diam kami tukar karya
membacanya dalam hati
          tak henti membacanya dalam hati:
Berdua memisah arah
Ia turun di stasiun, aku laju ke masa yang nun
Puisi kami, sejarah kami
Entah akan pernah sejalan lagi
 
 
Pemandangan Luar Kamar
 
Di Swanston Street, pukul sepuluh lebih sepuluh
seorang pengelana bertanya arah pulang:
          pemuda aborigin
          pelaut tanah yunan
          ksatria berkuda dari britania
                     membeku dalam gugur bayang
 
Di Victoria Street, bukan pukul apa-apa
jelita asia dan rupawan arabia
cium berpisah pulang, buat selama-lamanya
 
Ada kuntum bunga di Queensberry Street
bunga beri, bunga semi hijau
melayu sepanjang pinggiran kota
 
Apa yang mempertemukan mereka
kiranya itu jua yang memisahkan
 
Bukan maut. Bukan waktu.
 
 
Doa Natal Keluarga Poyk
 
Apa firman tuhan bila membaca koran pagi ini
 
Seorang ibu bunuh diri
Seusai tenggelamkan balitanya
Karena si ayah tak mau serumah lagi dengannya
 
Sebuah desa dihanguskan
Seluruh warga dieksekusi
sementara tujuh saksi mata di pengadilan
Tak berani mengungkap pelaku kejahatan
 
Ada iklan toko kue baru dibuka
Aneka croissant ditawar setengah harga
Sedangkan di halaman lain
Ratusan pengungsi melarikan diri
Laparnya memuncak sampai ke bulan mati
          disayat kesumat mimpi
Di mana batu dan tanah menjelma roti
 
Apa firman tuhan bila menyaksikan televisi hari ini
 
Nona-nona berdansa dengan gaun paling mini
Dengan gaya rambut model terkini
Bercinta dengan pangeran negeri dongeng
Naik kereta kencana yang hanya ada di layar kaca
 
Kita menyaksikan semua itu
Meyakin-yakinkan diri bahwa sungguh ada di bumi
 
Apa firman tuhan
ketika membaca jutaan buku di perpustakaan
 
Sebuah dunia lain telah ditemukan
Terpencil, di sudut rasi bintang tak bernama
Dan manusia telah lebih dulu sampai di sana
Jauh dibandingkan nujuman waktu
Atau kata pertama para wahyu
 
Seluruh langit usai dijelajahi
Kelamnya laut selesai diselami
Manusia hidup menuai nasibnya sendiri
 
Jadi, mengapa tuhan masih berfirman dalam kitab suci
Mengapa tidak berfirman di koran-koran, di jalan-jalan
Tidak berfirman padamu atau padaku
 
 
Di Depan Kuil
 
Di depan kuil
seseorang duduk menunggu
 
Lingkaran bayang-bayang
pada setangkai bunga peoni
menyentuh ujung malam
                     di linang matanya
 
Ia hanya rerantingan dan dedaunan
tak kuasa jauhkan tangan
                               dari cahaya bulan
tak mampu jadi mawar
                               yang cintai durinya sendiri
 
Dirinya adalah pasrah
luluh berdamai dengan maut
termenung melantunkan sisa doa
untuk mereka yang belum tiada
 
 
Borneo
 
Pada sebuah majalah wisata
Di ketinggian langit pesawat
Kupandangi wajah murung seekor orangutan
Dan hijaunya tumbuhan kantong semar
Di mana lebah terbujuk maut yang kesekian kalinya
 
Aku menelusup ke dalam matanya
                                 berada di rimba raya
Terasa sekali, aku bukan siapa-siapa
Entah muasal, atau hendak ke mana
 
Dari gemerlap kunang-kunang pada anganku
Aku buat satu sekoci dan kuarungi sungai-sungai
Menembus lahan gambut, menembus sepi kabut
Menembus waktu yang menyesatkanku jauh kemari
 
Suara-suara menggema dalam rimba tak bernama
Alir sungai, bening sungai, membayang pandangku
Melamunkan wajah siapa pun
Yang entah pernah kukenal
                                    atau tak pernah kukenal:
Wajah para pelaut yang sunyi ditikam karam
Wajah para ibu yang tak henti menatap maut
 
Bila kusentuh bayang air itu
Kembali ia memantulkan malam semata
Hingga muncul lagi wajah orangutan
Penuh kasihan pada diriku
 
Dituntunnya aku pada lembar-lembar yang lain
Pada lembah, pesisir pantai, dan gua-gua rahasia
Menuju dunia yang lagi-lagi tak bisa kuingat
Gelap dalam penyap
 
Di ujung halaman, orangutan lain telah menanti
Menyeru kesekian kali, menunjukkan hijau dahan-dahan
Juga biru langit dingin kabut
 
Di ketinggian langit pesawat
Sambil memandang wajah murung orangutan
Betapa inginnya aku kembali pulang
 
 
Perpustakaan Kampus
 
Apakah bahagianya jadi penyair, oh, Walt Whitman
          Rumi, Khayyam, Paz, Mistral!
Inginku menandingimu tiap kali usai membacamu
Kuyakin mudah tulis puisi tentang anggur
          membayang bulan padang gurun
Kisah dua taman, patung singa
          menghilang di ujung petang
Perahu kenangan dentang lonceng
          mewangi laut di batas semenanjung
          badai datang sebelum sempat berlabuh
 
Aku bisa lampaui ketakterdugaan itu
Hidupku, orang sekitarku, tak pernah bisa kukira:
 
Di terminal pagi hari aku berjejal bersama para pencuri
          yang rupa dan namanya tak pernah kusadari
          mereka mencopet, memaki, sembunyi
          tanpa pernah kusadari
Di jemariku kuntum bunga tumbuh merimbun pohon
          rindang lalu berguguran
          ranting kering menjelma tangan
          gemetar genggam takdir yang bukan miliknya
Di dalam tidur  diam-diam jiwaku meminta. Berdoa
          Mengikat janji pada maut
          agar abadi dalam dunia fana ini
 
Aku berjalan dari rumah ke rumah
Di sana tak ada ibu yang menunggu menyambutku
Bagai anak hilang abai tak pulang
aku berharap bisa ngembara:
          mendayung sampan di hutan-hutan
          berenang di muara, menyelam bersama lumba-lumba
          mengarungi samudera, memintas masa ke masa
          terpilih jadi nabi di galaksi baru nun di mana
          hingga kemudian aku kembali, sungguh ke muasal
          dan tak ada seorangpun kukenali di sana
          dan tak siapapun masih mengenaliku
 
Apakah bahagianya jadi penyair
          oh, Whitman, Rumi, Khayyam, Paz, Mistral?
Dua taman, anggur, bayang bulan gurun. Bersemilah
Tapi puisi, tak kumau hanya igaukan diri sendiri
 
 
Ayung
 
Ada batu di sungai
       Sendiri di air
Siapakah ia
pertapa atau cuma
seekor ikan durhaka?
 
Sebuah ranting terjatuh
terbawa arus
adakah ia
              untuk kita?
Sebuah sampan nelayan
tak pergi ke hulu
atau ke tepian yang teduh
mengayuh menempuh buih
 
Kita tak punya sampan
     atau kata-kata
Cuma punya tanya
sungai mengalir, entah ke muara
atau ke laut yang sia-sia
 
Ada batu di sungai
dan ranting kayu
menolak terbawa arus
 
 
Weltevreden
 
Kalau marco pulang, dia akan lihat:
Sekarang pohonan rindang di jalan-jalan weltevreden
Pesepeda mengayuh sisa waktu sebelum senja tiba lagi
 
Ya, pohonan merindang di weltevreden
Tempat dulu tuan tanpa malu memandang
Pada gadis yang baru datang dari pasar
Malam kemudian,
Jadilah ia nyai yang kesekian
 
Angin meniup gang-gang debu weltevreden
Di mana kuli angkut, petani miskin
Pencuri, rampok, dan cendikia
Ditahan bertahun-tahun
Sama rata, sama rasa
 
Kalau marco pulang, dia akan lihat:
Pesawat melintas di langit weltevreden
Melayangkan mimpi penyanyi jalanan
Melantun dari trem ke kereta
Dari bus sesak ke taman kota
Lari dari kejaran polisi juga lilitan piutang kehidupan
 
Di bawah pohon rindang sana
Anak remaja pacaran, curi-curi ciuman
 
 
Rumah Jean
 
Apa yang dipikirkan pohon-pohon
ketika tiba musim gugur:
Maut yang pias di wajah ibu
atau nujuman masa depan
yang tersamar kabut?
 
Di antara akar beringin
ada sebuah batu kelabu
                        kemilau di bawah bulan
Serupa cermin, kulihat wajahku
bagai gelombang sungai yang hijau
mengalirkan tawa riang
dua saudara kutilang
yang mempertengkarkan hampa
 
milik siapakah bebatuan itu
kepunyaan ibu peri
atau kupu yang menangis di hulu?
 
Apa yang dibayangkan pohon-pohon
ketika melihat dahannya yang hijau:
Sarang kecil seekor pelatuk
yang kuyup oleh hujan
atau lenguh lembu di padang luas?
 
Semuanya terbayang pada batu kelabu itu
namun gemerlap cahaya
mengaburkan kabut
membiaskan angan-angan kami
 
 
Hutan Pinus Kota Brecht
 
Hutan pinus kota brecht
          mengering mati
dalam sia lupa ingatan
ciko, si anjing tua
          penjaga rumah
 
Tidur di luar bersama rumput bunga
mengigaukan nama-nama burung
          nama-nama tuan
          yang satu per satu melupakannya
 
Datanglah ia padaku
menciumiku, tersedu
sebab tak dikenalinya siapa aku
 
Masih tersisa buah apel
Dibasuh hujan di halaman
Sebelum ciko sempurna buta
 
 
Doa Puisi
 
Di stasiun karet aku menunggu bukan untuk chairil
puisi orang mati atau keluh sebuah kota yang berubah
 
Nasib buruk berulang lewat
membujuk siapa saja untuk lekas berangkat
 
Adapun waktu
diam-diam menyamar kepala stasiun
atau penjaga loket yang letih dan payah
selalu memintaku bersitahan menunggu
 
Mereka menawarkan tiket
menuju dunia baru yang tak pernah kutahu:
 
Dunia tempat penyair chairil hidup abadi
          dan bercinta tak jemu di gerbong tua kereta
Dunia yang jadi rumah teduh
          bagi kotaku yang jauh berubah
 
Baru saja seekor burung menukik dari langit yang nun
                               menyelusup dalam pikiranku
Suara kicaunya beri warna pada kata-kataku
 
Lalu kudengar kereta sayup mendekat
membuka pintunya di hadapanku
menampilkan ruang remang sepi penumpang
 
Semua yang mati
hidup bangkit kembali karena doa puisi
 
 
Tentang Ni Made Purnama Sari
Ni Made Purnama Sari menulis puisi, cerpen dan esai. Kelahiran Klungkung, 22 Maret 1989. Tulisannya tersebar di berbagai media massa dan antologi. Diundang dalam berbagai Festival Penulisan dalam dan luar negeri. Mendapatkan beasiswa penelitian riset sosial budaya selama 3 bulan di Belanda. Kawitan, terpilih sebagai pemenang kedua sayembara manuskrip buku puisi Dawan Kesenian Jakarta, 2015.
 
 
Catatan Lain
          Halaman 74 dan 75 ada Riwayat Pemuatan karya. Halaman 76 berisikan Tentang Penulis. Halaman 77 tentang Ilustrator Sampul, Natisa Jones. Di sampul belakang buku, ada petikan tulisan dari Dwan Juri Sayembara Manuskrip Puisi DKJ 2015, Putu Fajar Arcana dan Jean Couteau. Kata Jean: “Di dalam sebagian besar kumpulan sajak ini, Purnama Sari mengajak kita untuk keluar dari tradisi etno- dan ego-sentris dari kebanyakan penyair Bali modern: bukan diri yang dibicarakan, dan diajak merasakan, tetapi “yang lain”. Si “lian” itu dirangkul di dalam ruang yang beda, status sosial yang beda, atau politik dan budaya yang beda. Tetapi justru karena diakui sebgai “beda”, “kelianan” itu hilang dengan sendirinya, larut di dalam kebersamaan Sang Manusia.” Begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar