Laman

Tonggak

Rabu, 04 Januari 2012

Eko Suryadi WS: ELEGI NEGERI SERIBU OMBAK


Data buku kumpulan puisi

Judul : Elegi Negeri Seribu Ombak
Penulis : Eko Suryadi WS
Cetakan : I, Maret 2010
Penerbit : Framepublishing, Yogyakarta
Tebal : xxxiii + 82 halaman (51 judul puisi)
ISBN : 978-979-16848-2-8
Penyunting : YS. Agus Suseno
Gambar cover : Abu Bakar
Desain cover : Nur Wahida Idris
Prolog : Jamal T. Suryanata (Aku, Kau, Kita: Menandai Personalitas Sajak-sajak Eko Suryadi WS)
Epilog : Faruk (Kebuau: tentang Artikulasi dan Pengalaman Lokal Orang Banjar)



Beberapa pilihan puisi Eko Suryadi WS dalam Elegi Negeri Seribu Ombak

Di Langit Kota Ada Menara

Di atas langit kota ada menara
            Sajak-sajak dibacakan
Penyair bersayap terbang menjadi dewa
            Mengangkangi bulan

            Mimpi-mimpi mereka hampari
seperti permadani
            Sepanjang jalan

Para penyair adalah kunang-kunang cahaya indah
            Ketika malam demam kata-kata

Pergantian siang  dan malam
            Penyair di antaranya

            Di langit kota ada menara

Kudus, 2008



Saranjana

            Sambu, kedalaman cintamu menjadi periuk
Kami tanak kemudian mendidih
            Di lubuknya kau simpan hatimu
Sungainya mengaliri lembah perihmu

            Di puncak-puncak keniscayaan kau bangun gerbang
Pembatas duniamu dan para juriat
Kesunyian kau genggam – dimensi waktu yang terkapar
Seiring menuju gundukan buah rindu
Di batas sungkai dan pohon kuranji
            Kau sembunyikan jembatannya

            Di punggung fajar kau sekat kabutmu
Siulan igaumu menjurai ke perkampungan
            Apa yang tak bisa kau tembus
Kecuali dinding nasib dan hasratmu

            Sambu, kepurbaan cintamu menjadi pengembaraan
Di padang-padang sunyi kau gembalakan angan
            Memasuki lorong-lorong intipmu
Periuk yang kami tanak berisi air mata kandamu
Ranjang pengantin batu bersimbah darahnya
            Jangan simpan perihmu ke lukanya
            Jangan biarkan keanyiran menyergap

Sangkarmu penuh tangkapan – bukalah
            Biarkan halimun itu tersibak
Burung-burung kembali ke sarang pertama
Fajarmu harus kita bangkit ke ufuknya

            Angkatlah lubuk cintamu menemu kuali

Kotabaru, 2008


Cinta Ini Kususun

Cinta ini kususun
Udara menuliskannya hati-hati. Jalanan meriap embun
Kusapa namamu dalam ruang beku
Untuk apa kusampaikan salam kekasihmu
            Di pohon perdu dan subuh yang meleleh

Jangan eja cintaku. Jangan katakan ya
Biarkan ia berlayar bersama sajak-sajak terakhirku
            yang kutulis di kapal waktu di sungai Nuh
Alpakan pernyataannya. Biarkan serbuk-serbuk darah menaburi
            kolam dan ladang masa lalu kita
Jangan jangkau dengan tanganmu
            Biarkan ia beringsut meraihnya

Cinta ini kususun di serbuk hujan
Hingga kemarau menjemput musim
            Aku ada di antara udara

Banjarmasin, 2009


Elegi Negeri Seribu Ombak

Di negeri seribu ombak
            kubangun kota-kota peradaban
Kutaburkan mimpi daun, sungai, cakrawala, hujan
            Lewat kasih sayang bunga

Kuhisap udaramu
            kuhirup sungaimu
                        kupijak bumimu
                                    kukayuh lautmu

            menjadi semestaku.

            Di sini perarakan musim datang dari segala penjuru
membawa mimpi peristiwa
            dari nol kilometer ke kilometer lima puluh tiga
kusapa duka lara.

            Tangismu melarutkan jembatan kekinian
Air matamu meruntuhkan beton-beton
Menisbikan sejarah yang lahir dari doa-doa leluhur
Kuburnya ditenggelamkan para pengembara
            Kota-kota telah dibakar para perambah
Mimpi musim pun diseret putaran waktu:
            tak pernah kembali
            tak pernah tersisa

Adakah semestaku.

Mereka  lukai negeri ini
Mereka hirup darahnya
Dengan rasa haus dan mata terpejam

Di negeri seribu ombak
Burung-burung pemangsa meninggalkan bangkai

            setelah pesta
  
Kotabaru, Juni 2003


Sebelum Halimun

sebelum halimun menenggelamkan senja:
            pohon-pohon bakau menjemput jiwa
gairahmu patah
parasmu pupus –
mengalir ke busur sunyi

pantaimu
beringsut ke kelam

tiang-tiang layar
patah

menunggu kepulangan
halimun bergulung turun
mengantar ruhmu menaiki perahu
menuju laut

sebelum halimun
sisakan air matamu

Kotabaru, 2008


Ibu

Ibu, engkaulah yang mengirim air mata rindu ke langit
            Ketika malam berpendaran dibungkus sunyi
Hening menggesekkan cuaca ke daun-daun
            Kabut menyusup ke tingkap mimpi

Ibu, engkaukah yang merajut doa sepanjang usia
            Hingga menyingkap pintu-pintu langit
Menuliskan namaku, nama anak-anakmu
Air matamu tak pernah kering
            Mengaliri sungai kekinian
Menuliskan sajak-sajakku tentang cakrawala dan cinta
            dan menitipkan waktu dalam gerakku

            Ibu, engkau ajari aku membaca peristiwa
Jika kusangsikan cintamu
Dunia tak menoleh kepadaku

Jendela yang kau buka pagi-pagi, Ibu
            Adalah pintu pelayaran
Ketika sore aku kembali
            Engkau membukanya
Dan jika aku tak kembali, Ibu
            Engkaulah nisan kuburku

            Di dalam berdiriku

Engkaulah

            Ibu

Kotabaru, 2006


Bajau

Atas nama nenek moyang
laut kau tugali dengan sampan
            Nasib membawamu kepada pengembaraan

Berlayarlah menuju musim
            mencari jati dirimu

Atas nama cinta
kau kayuh samudera mendekatkan semesta
            mata angin pijar olehnya.

Kau curi utara kau tanak barat
Kau tenggelamkan selatan kau tiduri timur
Lautmu adalah kelahiran
Daratan mimpi kematian

Berlayarlah dengan waktu
Tak kembali kembali

Juriatmu pengayuh
            menegakkan cinta dalam ruh

Kotabaru, 2008


Mengunyah Rasa Sakit, Kuludahkan Darahnya

Sepanjang kelokan jalan Tanjung Serdang
            Kita melukis wajah dengan beton
Rumah yang dihadapkan pagar
            kita durikan pada bola mata
            Runcingnya menusuk lengan kita
seperti ada yang terlepas
            Darah membaui hutan pinus
            Angin membaui jalan-jalan

            Mengunyah rasa sakit ini
kuludahkan ke hutan-hutan terbakar
Pohon ulin dan meranti dirobohkan
sebelum pemantik api dijatuhkan

Ada yang dihilangkan sebelum pembakaran
Ada yang diterbitkan sebelum pembalakan

Sepanjang kelokan menuju kota
Hutan-hutan dikuliti
Luka pohon nyeri

Ketika kita melupakan waktu
Rumputan tak pernah melupakan zikirnya

Kenapa kita melukai semesta
Sementara kita menghirup air susunya

Kenapa kita menyumbat sungai kehidupan
Padahal di sana ruh dimandikan

Mengunyah rasa sakit ini
Kuludahkan darahnya

Nyerinya tak terasakan olehmu

Kotabaru, 2001


Kutimba Badai Pamor Lautmu
            : d.zawawi imron

            Hamparkan semestamu
Kubentang dari barat ke timur
            Di tengahnya aku berdiri
Kutangkap kejaran ombak hingga badai
            Kusalamkan jejak musim
pada almanak pulaumu

Pelayaran yang kau kirim menggurat cakrawala
Kutorehkan pasang di pesisirmu
            dalam lautan garam

Di geladak kita berdiri. Laut hilang
            Penanggalan tak bertemu pantai
Kita tandai arah angin dengan kemudi. Kau orkestranya
            Seperti khotbahmu yang menyihir
Penyair itu melarutkan kata-kata. Menaklukan sungai-sungai
            hingga cakrawala

Laut terus menjadi musikku. Dari dawai yang kau petik
            Kubangun tanggul-tanggul peradaban
            Dari tafsir lautmu

Pelayaran ombak terus kugiring
Kujaring angin penjuru
Kutimba badai pamor lautmu
            dalam hitungan waktu

Surabaya, 2006


Figura (1)
: m. Sulaiman najam

Puisi senja yang kau tulis kemarin
Mengendap di batas usia
Ketika para sahabatmu bercakap
Tentang bulan penghujung

yang memberi ruang

: Palang pintu membukakan rindu

Kau pun terdampar dalam titik peta
Ketika gelora kenangan
Memunguti waktu dan jejakmu

Kegairahanmu seperti desir angin membangkit ufuk

Kau kokangkan senapan
: sebagai nasib menafsir badai

Adalah figura yang kau bingkai
Sepanjang hari-hari kembara
Mulutmu terus mengunyah batu dan kerikil
Sementara jalan kau hampar dalam kesunyian senja

Siapa pun tak mampu membendung pasang lautnya

Kotabaru, 2003


Terbanglah Kuat-Kuat ke Langit Lukaku

Kutatap kunang-kunang dalam terbang
            jiwaku mengawang menuju kibasan sayap
Getar cahaya menerobos sakitku
            Terbanglah, tanganku menjangkau kenapaku
Sia-sia raihan ini tak membekas

Mengembaralah kunang-kunang ke laut tanpa batas
Semestaku diam
Tak ada yang kukabarkan
            kecuali sangsai yang limbung di udara
Kusapa ruang kosongnya

Terbanglah kuat-kuat ke langit lukaku
            kunyahlah anyir darah perihnya
nikmati makan malammu
sedekat gigitan sedekat kerlingan
            simpan di mejamu

tanpa kusentuh
            kenyangnya tiba

2009


Jejak

taman kota
rumah puisi
pasang laut
kata-kata

taman kota
rumah sunyi
waktu terikat
penjarakan senja

taman kota
rumah sendiri
bertiang tombak
beratap perih

perjalanan musim tak menemu hari
jejak mentari menyisakan belati

Makassar, 2008


Hikayat

Di tubir altar hikayat cerita ditulis
            dari nyeri dan kemalangan
Hanya dunia
            dimentahkan dari kepiluan cinta

Angin dalam tatapan tandus
            Burung-burung menghilang
Kemana perginya orang-orang
            Pagi patah – batu-batu tak bernama
Di atas sejarah dihampar jejak
Masa lalu seperti menara, cukup dipandangi
Cinta milik kita sebegitu sakit menahan muntahan
Deritanya tak sempat membakar ladang-ladang
            Ya, hikayat tergeletak dalam catatan orang-orang bijak

Masa lalu cuma derita yang patah
Tak terpikirkan menyusunnya menjadi bingkai
Kita senantiasa menganggapnya biasa-biasa saja
            Tak teracuhkan, sendirian tanpa cahaya

Buruk bayangnya
            Buruk kepandiran kita

Kotabaru, 2008


Di Kedalaman Waktu

aku terangkut arus menuju sungai-Mu
mengalir di kedalaman waktu
mabuk
ayo lukai aku
ayo kirimi perihku

ini jembatan jangan dirobohkan
ini jalan jangan belokkan
ini rindu jangan palingkan

jangan tunda mabukku
jangan balut lukaku
jangan rebut perihku
jangan,
jangan coba bujuk tidur rinduku

Kotabaru, 2008


Tanjung Dewa

            Laut mengundang mimpi lewat mantra
Para pengembara melepas jangkar
            Angin selatan menembus tanjung
Ombak mengirimkan warta duka kepada nelayan
Ketika purseseine menjelma Segitiga Bermuda
Bola lampunya menyeret kehidupan nelayan
            di keterasingan  
Di jemarinya seperti ada yang terlepas

            Di lautku jala-jala diputuskan
ikan-ikan direbut
            Ketika senja meninggalkan mimpi laut
menyandarkannya di bingkai cakrawala

Tanjung Dewa tetap misteri
Ketika mereka melupakan sesaji
            Semesta berduka dalam kabut dan badai

Di Tanjung Dewa
            Ada yang meraih mimpi
            Ada yang ditinggalkan mimpi
Sesaji tidak lagi berupa kambing dan ayam
Tetapi berubah benda lain

Di lautku ketika orang-orang tidak lagi menangkap ikan dengan jala dan rajut
            Tetapi dengan api dan amarah
            Mereka mengayuh dengan tombak dan parang
            Mereka melupakan sejarah nenek moyang
Siapa yang kuat mereka yang menang

Di Tanjung Dewa
            ikan-ikan meninggalkan perahu

Musim dari manapun tiba

Kotabaru,  2003-2006


Sajak Politik

politik adalah
bermain api dalam sekam

politik adalah
menggunting dalam lipatan

politik adalah
lembar batu sembunyi tangan

politik adalah
kemungkinan

Kotabaru, 2007


Rumah Puisi

Rumah puisi adalah hatimu
            yang merangkai kota-kota dunia

Membaca dan merekam peristiwa
            lewat jemari waktu

Dalam pahatan hari
            tanpa henti

Rumah puisi kita bangun
            dari kecemasan dan mimpi embun
Hati kita adalah jembatannya
            kita biarkan terasing sendiri

            Kekosongan kita lukis di selembar kertas
Dengan tipu daya
            warna-warna diputihkan tanpa ujung
Kita melukisnya dengan tombak, panah, keris, pedang
            bayonet, molotov, hingga bom
Kita menguasnya dengan ekspresi
            dan tangan sendiri
Gambarnya berterbangan di udara
            Kita santap setiap sarapan pagi

Rumah puisi tak lagi kita tulis dengan kata-kata
            Atau kita bingkai dengan hati
Tetapi sudah mereka tulis dengan peristiwa
            Setiap waktu

Rumah puisi bukan lagi rumah kita

ia adalah cuaca

            sebab musim dan angkara pemiliknya

Kotabaru, 2006


Menggenapi Langkahmu

Menggenapi langkahmu, penyair sunyi, siul semesta:
            Tamu berjubah malam sudah tiba bertandang
            Seperti ingin mengabarimu tentang kepurbaan
            Yang mesti diselusur dari musim ke musim
Sebelum segalanya lelap ditelan bayang

Lalu, kau pun kembali menulis sebait puisi
Jangan sudahi sebelum jemarimu menjuntai  

Menggenapi kepakmu, camar biduan, penari senja:
            Laut diam tersibak angin yang datang tiba-tiba
            Tak tahu gelombang harus menepi ke mana
            Diabiarkannya kapal-kapal tenang berlayar
            Mencari pulau tempat teduhnya bermalam  

Ya, kalau kedua sayapmu sudah terentang
Jangan sekali-kali kau tengok ke belakang

Menggenapi rindumu, musyafir cinta, pencari kearifan:
            Seseorang berdendang menghela dingin malam
            Dipagutinya embun yang menetes di daunan
            Lalu dilantunkannya syair kealfaan dunia raya 
            Agar terbujuk kiranya alam ‘tuk berbagi luka

Wahai, jika engkau tak lagi perlu bertanya
Jangan biarkan ada cerita yang tersisa

Kotabaru,  2007


Tentang Eko Suryadi WS
Eko Suryadi WS Lahir di Kotabaru, Kalimantan Selatan 12 April 1959. Menyelesaikan pendidikan di STIA Bina Banua jurusan Administrasi Negara dan Magister Manajemen di Universitas Dr. Soetomo Surabaya. Menulis puisi dan esai, publikasi al: Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita, Sinar Harapan. Antologi puisi Sebelum Tidur Berangkat (1982), Ulang Tahun (1982), Di Balik Bayang-bayang (1983), dan Di Batas Laut (2005). Pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Kotabaru (1995-1998 dan 1998-2002) dan anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999)


Catatan Lain
Buku puisi Elegi Negeri Seribu Ombak (ENSO) terdiri atas 3 subjudul yaitu Elegi Negeri Seribu Ombak (periode penciptaan 2000-2005, 16 puisi), Tanjung Dewa (periode penciptaan 2006-2007, 15 puisi), dan Bajau (periode penciptaan 2008-2009, 20 puisi). Seperti dikatakan Jamal T. Suryanata dalam esainya, dibanding dengan puisi yang terhimpun dalam Di Batas Laut (2005), puisi-puisi dalam ENSO mengalami perubahan bentuk dan gaya penulisan, terutama tampak pada model tipografi (tampilan bentuk) yang bebas-terikat bahkan cenderung agak kacau. Namun, kata Jamal lagi, dilihat dari segi faset tematisnya, secara umum garapan tema sajak-sajak Eko sebenarnya tidak beranjak jauh dari tema-tema yang pernah dieksplorasinya di buku puisi sebelumnya. Kata Jamal lagi, hampir seluruh sajaknya secara dominan kembali menyuarakan kegelisahan batin dan sekaligus tanggapan personal terhadap alam atau lingkungan sekitar. Secara garis besar Jamal mengelompokkan sajak-sajak Eko ke dalam dua kelompok besar, yaitu yang berkecenderungan kritik sosial dan yang berkecenderungan religius, yang dilevel tertentu mengarah sufistik, sembari mengaku adanya wilayah abu-abu.

1 komentar: