Laman

Tonggak

Senin, 05 Desember 2016

Subagio Sastrowardoyo: SIMFONI DUA




Data buku kumpulan puisi

Judul : Simfoni Dua
Penulis : Subagio Sastrowardoyo
Cetakan : V, 1999 (cet. I: 1990)
Penerbit : PT Balai Pustaka, Jakarta.
Tebal : 104 halaman (59 puisi)
ISBN : 979-407-264-8
Seri BP no. 3770
Desain kulit : Swasta Widianusita

Simfoni Dua terdiri atas 2 bagian, yaitu Simfoni I (1957) – 18 puisi dan Simfoni II (1989) – 41 puisi.

Beberapa pilihan puisi Subagio Sastrowardoyo dalam Simfoni Dua

SAJAK

Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari.
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit.
Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun:
Hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggerek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?

Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.


NADA AWAL

Tugasku hanya menterjemah
gerak daun yang bergantung
di ranting yang letih. Rahasia
membutuhkan kata yang terucap
di puncak sepi. Ketika daun
jatuh takada titik darah. Tapi
di ruang kelam ada yang merasa
kehilangan dan mengaduh pedih.

Jamal T. Suryanata: SAJAK SEPANJANG TROTOAR




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sajak Sepanjang Trotoar
Penulis : Jamal T. Suryanata
Cetakan : I, 2015
Penerbit : Tahura Media, Banjarmasin
Tebal : vi + 58 halaman (37 puisi)
ISBN : 978-602-8414-32-6
Penyalin : Hamsinah
Penyelia : Hajriansyah
Tata Letak & Desain : Ibnu T.W

Sajak Sepanjang Trotoar disusun berdasarkan titimangsanya, yaitu Sajak-sajak 1988 (3 puisi), Sajak-sajak 1989 (7 puisi), Sajak-sajak 1990 (11 puisi), Sajak-sajak 1991 (7 puisi), dan Sajak-sajak 1992 (9 puisi).

Sepilihan puisi Jamal T. Suryanata dalam Sajak Sepanjang Trotoar

SAJAK

jika ada cahaya pagi yang bergetar sebelum senja
pastilah sejengkal kalimat tengah menerbangkan dunia

ketiadaan makna adalah kemarau sepanjang tahun
yang mengering bila kedalaman telah mendasar
bila sungai-sungai kecil telah terbujur bangkainya

jika ada sedetik waktu bicara tentang kabut
pastilah cahaya yang datang menghangati kebekuan

bermula pengakuan ini karena matahari telah dingin
warna perak bercabang meniti dada pohonan yang meranggas
lukanya telah lama dibiarkan alam tanpa cinta

jika ada sepenggal pengakuan alamat jiwa sebenarnya
pastilah seekor pungguk bersyair di malam buta

sedang bayang manusia tak lagi tampak di jendela
sedang pintu-pintu kita terbuka untuk waktu yang lama
sedang segala nafas terhenti seketika

jika suatu api tak lagi mampu membakarku
pastilah jiwanya yang menghalangi panas jiwaku

jika suatu kali dada bergoncang mendengarnya
pastilah rohnya yang meronta dalam hidupku

kukenal ia di sebuah pelabuhan sepi
baiklah kupilih mati daripada lepas dari cintanya

1988

Nersalya Renata: LIMA GAMBAR DI LANGIT-LANGIT KAMAR




Data buku kumpulan puisi

Judul : Lima Gambar di Langit-langit Kamar
Penulis : Nersalya Renata
Cetakan : I, Januari 2015
Penerbit : Akar Indonesia, Yogyakarta
Tebal : 88 halaman (55 puisi)
ISBN : 978-602-71421-2-1
Penyunting : Nukila Amal
Perancang Sampul & Penata Letak : Pat Adele
Fotografer : Ging Ginanjar & Yudi
Gambar sampul diambil dari Instalasi
Maria Zaitun (2010) karya Hanafi

Beberapa pilihan puisi Nersalya Renata dalam Lima Gambar di Langit-langit Kamar

PUTIH

di sini, putih adalah pusat. tujuan dari setiap
perjalanan. semua berlomba untuk menjadi putih.
tampak putih. seolah-olah putih. berpura-pura
putih. bermuka putih. berpikiran putih.
bertingkah laku putih. berkata-kata putih.
berjalan di jalan yang putih.
mengerjakan pekerjaan yang putih. berkeyakinan putih.
bermimpi putih.
berteman dengan teman yang putih.

Jakarta, 2011


METAMORFOSIS

setelah meninggal
kakek menjadi angka delapan digit
bersemayam dalam rekening nenek

Jakarta, 2013


MATI

jika aku mati
apakah kau
akan mengawetkanku
dalam puisi

Jakarta, 2008

Akhmad Taufiq: KUPELUK KAU DI UJUNG UFUK




Data buku kumpulan puisi

Judul : Kupeluk Kau di Ujung Ufuk
Penulis : Akhmad Taufiq
Cetakan : I, 2010
Penerbit : Gres Publising, Yogyakarta
Tebal : ix + 80 halaman (56 puisi)
ISBN : 978-602-96829-1-5
Tata Letak : Anes Prabu S
Pracetak : Siswanto
Cover : Suharmono

Sepilihan puisi Akhmad Taufiq dalam Kupeluk Kau di Ujung Ufuk

Kelana Kota

Aku tidak tahu, ---
mengapa daun itu gugur
di tengah musim semi

Aku juga tidak tahu, ---
mengapa muara air sungai itu
berhenti,…
sebelum sampai ke samudera

aku sendiri tidak tahu, ---
mengapa hidup itu
                        tidak jiwa
dan, angan angan
                        di simpang jalan

Aku, aku sendiri,--
tidak tahu
mengapa diri
menjadi ---kelana---
di tengah temaram
                                    --- kota ---

Jember, 2 Mei 2001

Galih Pandu Adi: REL KERETA DAN BANGKU TUNGGU YANG MEMUCAT




Data buku kumpulan puisi

Judul : Rel Kereta dan Bangku Tunggu yang Memucat
Penulis : Galih Pandu Adi
Cetakan : I, 2012
Penerbit : Kendi Aksara, Yogyakarta
Tebal : viii + 145 halaman (69 puisi)
ISBN : 978-602-99907-3-7
Pereka Sampul : Kang emte
Penata Aksara : Moh. Fathoni
FotoIlustrasi : Day Milovich, Yudho “Gusur” Widodo & Rahmat Hari “Adi Karnoe”
Lukisan Ilustrasi : “Waiting of Mahdi” karya Ahmad Kekal Hamdani
Epilog : Hudan Hidayat

Rel Kereta dan Bangku Tunggu yang Memucat terdiri atas 3 bagian, yaitu rel kereta yang terus memanjang (7 puisi), kota yang tumbuh di kolong ranjang (47 puisi) dan bangku tunggu yang memucat (15 puisi).

Beberapa pilihan puisi Galih Pandu Adi dalam Rel Kereta dan Bangku Tunggu yang Memucat

Peta di Kolong Ranjang

aku jadi ingin rebah di kolong ranjang saja
sunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiri
biar cahaya menyeruak di ranjang dan bantal
aku tak perduli jika luka makin mengental

aku ingin tidur di kolong ranjang saja
memintal benang-benang sepi
menjadi peta menuju kotamu
yang kerap kukunjungi dalam mimpi

Semarang, 2009


Pulang

tuhan, luka dalam sajakku bertubi-tubi menujumu
lantas, malam yang entah kelak
gelas-gelas kosong tanpa arak atau sajak, kutenggak

di rumahmu, aku pulang tanpa wajah
di ranjangmu, kulucuti satu persatu tubuhku

aku demam bergetar-getar
seperti sejak mula kelahiran sampai ajal
dadaku ini zikir detak
menghentak-hentak
tanpa hitungan,
tanpa bilangan

Semarang, 2011

Narudin: GEMURUH OMBAK




Data buku kumpulan puisi

Judul : Gemuruh Ombak, Kumpulan Puisi (2008-2014)
Penulis : Narudin
Penerbit : Garudhawaca, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2015
Tebal : 116 halaman (85 puisi)
ISBN : 978-602-7949-40-9
Tata Letak : Ahmad Jalidu
Desain Sampul : freepik.com
Prolog : Sulaiman Djaya
Epilog : Jamal D. Rahman

Beberapa pilihan puisi Narudin dalam Gemuruh Ombak

BELAJAR

Aku belajar menjadi matahari,
Mengapung dalam panasku,
Aku belajar menjadi bulan,
Melayang dalam gelapku,
Aku belajar menjadi langit,
Tempat-tempat makhluk hakikat,
Aku belajar menjadi bumi,
Menampung kotoran dan yang murni,
Aku belajar menjadi samudra,
Menghanyutkan jiwa-jiwa merana,
Aku belajar menjadi bukit,
Rumah-rumah burung tertinggi,
Aku belajar menjadi gunung,
Puncak kekhawatiran napasku,
Aku belajar menjadi api,
Membakar sepi,
Aku belajar menjadi air,
Dahaga ruhani,
Aku belajar menjadi angin,
Menuju yang hampa,
Aku belajar menjadi bunga,
Diisap dirimu,
Aku belajar menjadi burung,
Memburu moncong senjata hidupmu,
            Ah,
Aku belajar makan,
Aku belajar mimum,
Lapar lagi, haus lagi,
Aku belajar tidur,
Terjaga lagi,
Aku belajar terjaga,
Tidur lagi,
Aku belajar hidup,
Mati lagi,
Aku belajar mati,
Hidup lagi,
Dan aku belajar mencintaimu,
Akalmu,

            Akal-Mu!

Wendoko: SAJAK-SAJAK MENJELANG TIDUR




Data buku kumpulan puisi

Judul : Sajak-sajak Menjelang Tidur
Penulis : Wendoko
Cetakan : I, Mei 2008
Penerbit : Banana, Jakarta
Tebal : viii + 72 halaman (40 puisi)
ISBN : 978-979-1079-17-4
Sampul : Principia Wardhani
Foto Sampul : Yessie

Sepilihan puisi Wendoko dalam Sajak-sajak Menjelang Tidur

DONGENG SEBELUM TIDUR (03)

            Kuil itu adalah pecahan cahaya. Kau akan melihatnya
setelah mendaki Lereng Timur Pegunungan Hua, saat matahari
membenam. Berjalanlah ke utara menyusur deretan hutan
kembang, sebelum kautemukan gapura bertuliskan yin-yang itu—
yang selalu kau sebut dalam tidurmu.
            Kata orang, dulu dewa-dewa berpesta di situ, dengan
berkeranjang buah, musik dan tarian. Menjelang subuh mereka
kembali ke langit – menyisakan suara dan bau-bauan yang gaib.
Barangkali, saat cuaca berkabut, kau akan melihat atap
keperakan, pilar batu yu dan lantai marmer yang kemilau dalam
warna bulan. Atau samar-samar kaudengar suara ku-chen, bhi-pa
dan nyanyian itu – yang sia-sia kautangkap maknanya.
            Lalu, saat fajar, bidadari turun ke bumi. Gaunnya
menebarkan embun dan sepasang kakinya menari di atas kabut.
Kau tahu, embun juga memercik ke kolam samping kuil itu –
yang kata orang adalah air mata Peri Biru, sebelum terpisah dari
kekasihnya karena takdir dewa-dewa. Tetapi tak ada yang
kautemukan di situ, kecuali bening air yang mengaca ke dasar
kolam dan memantulkan langit – dengan gugusan awan dan
cahaya-cahaya.
            Barangkali saja.