Laman

Tonggak

Selasa, 07 Oktober 2014

Usman Arrumy: MANTRA ASMARA




Data buku kumpulan puisi

Judul: Mantra Asmara
Penulis: Usman Arrumy
Penerbit: Hasfa Publishing, Demak
Cetakan: 1, April 2014
Tebal: viii + 138 hlm; 13x19 cm (70 puisi)
ISBN: 978-602-7693-10-4
Penyunting: Gunawan Budi Susanto
Desain Sampul: Muhammad Hidayatullah
Produser: Adi Susanto
Tata Letak: Ahmad Ghossen A
Prolog: Dr. Suwardi Endraswara M. Hum
Epilog: KH. Budi Harjono

aku mencintaimu/seperti tanah menjamah jasad di liang lahat/setulus angin yang menjadi nafasmu
(Petikan sajak Rindu Qudus, Usman Arrumy)

Beberapa pilihan puisi Usman Arrumy dalam Mantra Asmara

Kwatrin Tsuroysme

Selain puisi, adakah jalan untuk menujumu?

Aku mengandaikan kau sebagai kertas putih,
yang berkenan menampung katakata sedih
sebab aku percaya betapa kaulah kekasih

di hadapanmu yang sentosa, 
seluruh kataku moksa, 
sefana dunia seisinya
bagaimana kutulis kau, Cinta
sedang tatapanmu lebih puisi,
ketimbang berlaksa sang pencipta aksara

Puisi adalah satu-satunya kendaraan,
yang mau mengantarkan kesedihan mencapai kenangan
menuju jauh ke dalam dirimu, berpaling dari masa depan

di banding Pujangga terkenal
tatap matamu lebih kekal
nyatanya detakku fasih menyebutmu tanpa sesal
sembari mengembarai semesta,
aku mencari kata paling luka
untuk kusampaikan kepadamu wahai sengsara

Selain puisi, adakah yang lebih kenangan?

aku menghayalkan jadi kata yang terselip di sela kalimatmu
di antara larik lirik di balik bilik yang kaulafalkan dengan rindu
aku akan tumbuh sepenuh yang tak bisa direngkuh
aku akan mengembara sejauh yang tak bisa ditempuh


Sabda Cinta

Kelak, Tuhan akan menyentuh keseluruhanmu melalui tanganku
memasrahkan penglihatanmu di sepasang mataku
jika kau mendengarkan lewat gendang telingaku
indra perasamu bergantung dengan lidahku
bibirku sebagai pengendali senyummu
hidungku mengemban endus aromamu
dadaku menjadi ruang menampung rahasiamu
dan hatiku adalah tempat terbaik untuk menuju

Kau air dari hujanku
aku cahaya dari purnamamu
kau ombak dalam lautku
aku bara dalam apimu
kau dan aku adalah esa;
Cinta yang bergema

Minggu, 05 Oktober 2014

Ajip Rosidi: DJERAM




 Data buku kumpulan puisi

Judul: Djeram, Tiga Kumpulan Sadjak
Penulis : Ajip Rosidi
Tjetakan : I, 1970
Penerbitan: P.T. Gunung Agung, Djakarta
Tebal : 74 halaman (45 puisi)
Gambar kulit & dalam: Popo Iskandar

adapun penjair lahir/membangkitkan kematian para penjihir/lalu dengan mantra kata-kata/mendjelmakan kehidupan manusia
(Petikan sajak Penjair, Ajip Rosidi)

Djeram terbagi 3 bagian, yaitu Sadjak-Sadjak Hijau (15 puisi), Kakilangit Lain (20 puisi), dan Satu Saat dalam Sedjarah (10 puisi)

Beberapa pilihan puisi Ajip Rosidi dalam Djeram
(catatan: penulisan menggunakan ejaan lama, sesuai buku)

Memandang Kehidupan

Memandang relung2 kehidupan
Aku tak tahu pasti
Apakah mungkin mendjadi
Seorang tua jang tenang batja koran
Di tengah ribut dunia kebakaran?

Kusaksikan diriku dan kawan2
Sambil makan katjang dan asinan
Memperbintjangkan nasib negara
Sengit berdebat
Penuh semangat memberi perintah
Menentukan haluan dunia.

Tidakkah lebih baik kita tenggelamkan
Segala rumus dan perhitungan di warung kopi
Selagi matahari belum tinggi
Atau kupilih sadja ketenangan kursi gojang
Saban pagi semangkuk susu dan setangkup roti?

Masih pula merasa kuatir
Akan kepastian hari esok: Bukan tak mungkin
Tuhan tiba2 bertitah: Berhenti!
Maka planit2 bertubrukan, bintang2 padam.
Lalu apa jang masih dapat ditjapai?

Sedangkan bumi tak lagi pasti.

Jang tinggal hanja angan2 jang pandjang
Dan kelam. Sedang
Angan-anganpun
Membutuhkan suatu landasan.

Kuteliti tanganku: urat-uratnja, tulang-tulangnja …
Bisa sadja lenjap tiba2. Tak satupun kupunja.
Selain do’a.

1968

Sumasno Hadi: LAILA




 Data buku kumpulan puisi

Judul : Laila
Penulis : Sumasno Hadi
Penerbit : Indie Book Corner, Yogyakarta
Cetakan : II, Februari 2013 (cet. I : Januari 2013)
Tebal : xv + 108 halaman (80 puisi)
ISBN : 978-602-7673-54-0
Penyunting dan tata letak: Anne Shakka
Desain sampul : Sumasno Hadi
Prolog : Timur Sinar Suprabana dan KH. Amin Maulana Budi Harjono al-Jawi
Epilog : A. Kohar Ibrahim

Beberapa pilihan puisi Sumasno Hadi dalam Laila

Matinya Bunga Cempaka

cempaka muda menyembur kedukaan
bukan lagi kenanga dan kamboja
cempaka tumbuh dari keluarga tertinggi
bunga-bunga surga zaman ini
bunga-bunga segar lalu layu
ujungnya mati mengering
cerita bungaan mengendap
di sanubari luas

sebelum pergantian wajah skeptis ini, zaman mandek ini
suatu perjalanan sangat panjang menceritakan likunya
pada aroma-aroma putik cempaka
kenanga dan kamboja menyerahkan titipan
kehormatan perasaan sebangsa, setaman
ada aroma lembut
meluncur cepat di antara canda dan tawa kepolosan
siapapun mengikuti aroma-aroma bunga
menjadi waktu
mekar

aku adalah waktu yang menerjang
menjadi hidup dan melahirkan
bunga ranum wangi berparas dewi
oh, ini masih sekitaran pengabdian
tugas dalam kemuliaan
taman sari kehidupan
ada keheningan dan hampa sepi
hewan-hewan kecil di malam menghibur taman
kehampaan alur pikiran sudah datang 
entah, kau pergi memperlihatkan tikungan tajam
menuju kebersamaan keadaan perasaan

perasaan rerumputan sekitar taman
bukan gunung-gunung keras angkuh
hanya beberapa di seberang taman
mengangkang dengan letusan
tiada mengganggu
di dalam rumah penghuni keghaiban
menyendiri keindahan taman
cempaka berguguran
menyampaikan kemuliaan
pada kenanga dan kamboja
cempaka mati di taman

(Yogya, 22 Desember 2010)

Ahmad Faisal Imron: MALIUN HAWA





 Data buku kumpulan puisi



Judul : Maliun Hawa, Sajak-sajak 1998 - 2006

Penulis : Ahmad Faisal Imron

Penerbit : Komunitas Malaikat, Bandung.

Cetakan : I, Juni 2007

Tebal : ix + 113 halaman (56 puisi)

ISBN : 978-979-16522-0-9

Editor : Acep Zamzam Noor

Desain cover : Cev Abeng

Lukisan cover : Ahmad Faisal Imron

Foto : Gus Bebeng

Tata letak : Roh Anna



Beberapa pilihan puisi Ahmad Faisal Imron dalam Maliun Hawa



Maliun Hawa



setelah itu

kau datang padaku

membawa sebuah parodi

yang tak terduga



bahwa masih di kamar ini

selain puisi, lukisan jingga atau peninggalan Suri

hanya ada seruling kuno, sayap coklat cendrawasih

jarum jam yang kelam atau bunga abadi

yang tak pernah kurelakan pada siapa pun



setelah itu

setelah kau datang padaku

membawa Maliun Hawa

kesedihan yang sempurna



maka lengkaplah

langit di awal Maret ini, seperti pula

detak jantung kita yang membosankan

lebih kelam dari nilam manapun

atau lebih kudus dari lelehan purnama



sabarlah, di luar, tuhan begitu bersayap



dan tak mungkin membiarkan sukma kita menggigil

hujan adalah bahasa lain dari kesedihan itu

namun matahati kita selalu mengira

bahwa purnama yang tenang dan kembali menghilang

bahwa bunga-bunga yang tumbuh dan berguguran kemudian

bukanlah isyarat dari suatu kefanaan



yang semakin menyiksa

melupakan segalanya



tapi kau selalu mengatakan, di luar langit masih berdarah!



1999


Leon Agusta: GENDANG PENGEMBARA




 Data buku kumpulan puisi

Judul : Gendang Pengembara
Penulis : Leon Agusta
Penerbit : Pustaka Eidos
Cetakan : I, Januari 2012
Tebal : x + 235 halaman (173 puisi)
ISBN : 978-979-12442-53-4
Penyunting : Damhuri Muhammad
Perancang sampul : Ricky Hayanto
Tata letak : Hari Ambari
Foto profil : dm.photowork

Kumpulan puisi Gendang Pengembara terdiri dari 2 bagian, yaitu Dalam Kabut Purba (86 puisi) dan Yang Selalu Kembali (87 puisi).

Beberapa pilihan puisi Leon Agusta dalam Dalam Kabut Purba

Kenapa tak Pulang, Sayang?
buat Ibunda

Hijaunya wajah danau kita adalah rindu, sayang
Hijaunya daun-daunan rindunya perawan muda
Bisik-bisik di tepian bila hari naik senja
Kampung kita kian tahun kian lengang
Entahlah. Mana yang pergi tak ada yang pulang

Ke manakah gerangan lajang-lajang kita menghilang
Semarak kampung di rembang petang?
Mereka hilang bersama debu perang saudara
Yang tak pulang ditelan hutan
Yang pulang berterbangan
Anakku bilang: bumi luas tempatku tualang

Rinduku pun kelabu, Ibu
Tapi empedu di kerongkongan
Ibu pun takkan kenal wajahku sekarang
Tak akan ada yang tanyakan anakmu, Ibu
Kalau pun pulang takkan dipinang
Karena kertas kuning, kata-kata yang berjaga
Takkan dikerling karena bukan logam menguning

Di Hari Raya, di hari rindu beralun-alun
Jari Upik, ai, lentiknya memetik inai
Selendangnya lepas terkibas angin, Ibu?
Ah, salamkulah itu.

1962

Emha Ainun Nadjib: DOA MOHON KUTUKAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : Doa Mohon Kutukan
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Cetakan : I, Februari 1995 (Ramadhan 1415)
Penerbit : Risalah Gusti, Surabaya
Desain sampul : Studio 10
Tebal : xii + 96 halaman (34 puisi)
ISBN : 979-556-080-8

Bangsa ini memiliki ribuan cara untuk bersopan/santun dan menutup-nutupi//Namun hendaknya ada satu hari khusus untuk/berkata apa adanya: misalnya bahwa negeri/ini terlalu banyak maling” (Petikan Syair Heran, Emha Ainun Nadjib)

Buku ini terdiri dari 3 bagian yaitu Doa Mohon Kutukan (20 puisi), Nasionalisme Burung-burung (13 puisi) dan Perjalanan Dusta (1 puisi).

Beberapa pilihan puisi Emha Ainun Nadjib dalam Doa Mohon Kutukan

Hati Semesta

Betapa dahsyat penciptaan hati
Bagai Tuhan itu sendiri
Oleh apa pun tak terwakili:
Ia adalah Ia sendiri

Semalam batok kepalaku pecah
Dipukul orang dari belakang
Tatkala bangun di pagi merekah
Hatiku telah memaafkan

Hati bermuatan seribu alam semesta
Dindingnya keremangan
Kalau kau keliru sapa
Ia berlagak jadi batu seonggokan

Kepala negara hingga kuli mengincar
Menjebak dan mencuri hidupmu
Namun betapa ajaib sesudah siuman
Kau percaya lagi

Betapa Tuhan serasa hati ini
Dicacah dilukai berulangkali
Berdarah-darah dan mati beribu kali
Esok terbit jadi matahari

1994