Data buku kumpulan puisi
Judul : Bungkam Mata Gergaji
Penulis : Ali Syamsudin Arsi (Asa)
Cetakan :
I, Februari 2011
Penerbit :
Framepublishing, Yogyakarta
Tebal :
xiv + 148 halaman (40 judul)
ISBN :
978-979-16848-4-7
Desain isi :
Indrian Koto
Gambar cover :
Darvies Rasjidin (Pintu Larangan)
Desain cover :
Nur Wahida Idris
Beberapa pilihan puisi Ali Syamsudin Arsi (Asa) dalam Bungkam Mata Gergaji
Semakin Terbuka
Bersuaralah tanpa ada batas-batas,
menulislah tanpa ada titik-titik. Jangan biarkan tekanan demi tekanan menyelimuti
sampai akhirnya tersungkur karena bentangan garis pembatas. Bersuaralah tanpa
harus melihat ke kiri atau ke kanan, menulislah sampai tak tampak lagi apa yang
seharusnya disampaikan. Mimpi yang terkepung dengan semua hasrat berjalan
sendiri-sendiri di kerikil cadas semilir angin berhenti dalam. Sunyi kembali.
Kalimat terpotong. Sunyi kembali. Wacana tak ada yang dapat diterima. Yang di
luar dari kepentingan, enyah sajalah sebelum diusir secara kasar, demo tak ada
ujungnya, protes tak akan didengar juga. Berdiri di titik saling
berhadap-hadapan adalah kata sepakat, tapi paling sakit dari segala langkah.
Malam datang engkau tetap termangu dalam menunggu. Hei, ada berita bahagia atas
segala pinta, Chairil Chairil Chairil, menyebut sebuah nama yang rasa-rasa sulit
dilupakan, Tardji Tardji Tardji, sejak itulah orang-orang semakin mempersempit
jalan dan melayang di tatap matanya Rendra Rendra Rendra.
Keterbukaan yang menyeruak ke akar-akar
ternyata membentuk kotak-kotak cahayanya sendiri dengan memisahkan
bagian-bagian dan sampai pada akhirnya tidak mau menerima apa pun yang dilakukan
oleh orang lain, oleh segala sesuatu yang berada di luar dari bagiannya.
Kebersamaan seperti orang-orang pesimis memandang lurus harapan dibentang,
tetapi kata sepakatnya adalah harus melebihi kepentingan orang lain karena ada
tujuan terselubung di balik layar lebar sebagai tontonan, masa depan adalah
kami, masa kini lebih dari sekedar kami, dan masa lalu biarlah kalian yang
memiliki, seperti mimpi-mimpi itu sendiri. Terjerat di sudut kelambu. Kami terlalu
pahit merasakan
kami terlalu sakit dibebankan. Ranjang kami
pun dirampas paksa. Kursi goyang kami pun dijarah dengan bentakan sekeras halilintar.
Kompor kami ditendang tanpa dapat memunguti isinya yang tumpah ke parit-parit.
Kami adalah orang-orang tersingkir dari tanah negeri kami sendiri. Kami lebih
rendah dari sampah yang masih ada memunguti