Data buku kumpulan puisi
Judul
: Wayang dan Lain-lain
Penulis : Purwadmadi
Cetakan
: I, Juni 2014
Penerbit
: Interlude, Yogyakarta.
Tebal
: xvi + 176 halaman (120 puisi)
ISBN
: 978-979-14870-7-5
Desain
sampul : Omah Djanur
Gambar
sampul : Purwadmadi
Ilustrasi
Isi : Purwadmadi
Tata
letak : Gapura Omah Desain
Catatan
Pengantar : Indra Tranggono
Buku Wayang dan
Lain-lain terdiri atas 2 bagian, yaitu Lembar-lembar Wayang (50
puisi) dan Dan lain-lainnya (70 puisi).
Beberapa pilihan puisi Purwadmadi dalam Wayang dan Lain-lain
Ranjab Laku Luka Cinta
(yang tidak suka wayang jangan membaca)
1#1 -- menengarai tenggara
dalam angin kuru yang terjaga.
Tatkala berpaling terbit rasa ingin mengepitnya dalam
ketiak
waktu. Siti Sendari dalam rabun waktu, mencium bau mesiu
dan anyir darah penghabisan. Langit menjingga dan
gemintang
bintang bertabur mega. Tak ada tangis, tak ada tangis,
kerna sayat miris kelewat bengis. Air mata telah menjadi
gumpal dupa, nafas telah menghela aroma kematian, serta
doa membentur dinding pengampunan atas remah karma-
karma, setara pengasingan jiwa pada cinta tanpa asmara,
cinta tanpa jiwa. Dalam padamu, rentang tembang mewirid
taksu, mantra rebah di persinggahan tanah merah. Wahai
Siti
Sendari, dadamu mengerling seperti sungging penuh picing,
membiarkan tubuh Abimanyu tersangga gendewa, terpasung
tancap tancep anak panah tajam, pada sebuah orkestrasi
ranjaban, komposisi luka arang kranjang, kujur tubuh
penuh
torehan merah saga, tak terkuaskan, hanya kucur leleh
yang
mulai alum dan mengering. Kepada siapa mereka berpaling?
2#1 -- ada angin semilir,
anglir mengalirkan raga rapuh. Siti
Sendari tetep sintal tak tersentuh. Tatkala angin
melabuh,
begitu banyak gemuruh tanpa tabuh, derum dentam
menghantam ceruk serta ruam-ruam terdalam pada lubuk
aruh. Terluka sekaligus terasing, tepian Padang Kurusetra
mamring. Langit jingga, angin termangu, dan gelegak gagak
kuakan seruak hasrat hisap darah beku dan robek cabik
tubuh
kaku. Siti Sendari-Abimanyu, berambang pada genang air di
petirtaan suci, terpilin arus setrum timbangan cinta,
pada usia
tak terpaut. Setara. Kepada cinta mereka berpaling,
bertaruh
ranjab tebusan. Ketika cinta bukan lagi pilihan, ketika
cinta
tinggal kepastian, perselingkuhan menjadi sempurna.
Memetik
nikmat selagi sempat. Kepada siapa Abimanyu bertambat?
3#1 -- asmaragama kehilangan
makna. “Aku tak hendak
berpaling. Kutebus rasa ingin. Untuk penghabisan kali,
teguh
kukatakan. Kepadamu akan bersilat janji, satu cintaku tak
terbagi.” Siti Sendari tercenung dalam menung menghitung
dunung, menemu sangkan sekaligus paran. “Kepada siapa
kau membilang bujang?” Abimanyu meradang ajal, kuasa
beringsut. “Kepada harapan. Kepada hari depan.
Kepada
pewaris zaman.” Siti Sendari diam, mencengkeram batin
kelam, tenggelam dalam dalam. Meraba gemetar pada kening
lebam Abimanyu. Gagap membau darah beku, menatap
luka nganga. Langit gelap, hari hampir malam, senjakala
rela
melepaskan. Hanya ada satu tanya: adakah hari depan di
tangan perselingkuhan indah dan kebohongan menyenangkan?
Yogya, 2014