Jumat, 29 Maret 2024

Tjak S Parlan: CINTA TAK PERNAH FANATIK

 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Cinta Tak Pernah Fanatik
Penulis: Tjak S Parlan
Penerbit: Rua Aksara, Bantul, Yogyakarta
Cetakan: I, Juli 2021
Tebal: viii + 70 halaman (50 puisi)
Penyunting: Kiki Sulistyo
Desainer Sampul: Fariduddin
Perwajahan Isi: Jaesan
ISBN: 978-623-6650-34-9
 
Sepilihan puisi Tjak S Parlan dalam Cinta Tak Pernah Fanatik
 
Jalan Puisi
 
Siapa yang peduli
dengan lengang panjang ini
—jam-jam tidur yang terlampaui
 
Kamu di mana
ketika jam-jam kerja yang baik
tak berpihak pada kesempatan puitik kita.
 
Sementara di luar, siang sedikit mendung
dan terus memanjang serupa jalan-jalan
yang kerap kuhapalkan namanya untukmu
hanya agar kita tak tersesat, ke jalan lain,
 
          selain puisi.
 
Tapi siapa yang peduli,
orang-orang akan terus berjalan
atau bekerja atau bertengkar atau
tertawa atau menepi
hanya agar tak tersesat
 
          ke jalan puisi.
 
 
Cinta Tak Pernah Fanatik
 
Kekasihku,
jangankan dalam berkeyakinan
cintaku pun tak pernah fanatik.
 
Sebab aku tak bisa menyayangi
dengan cara-cara yang berisik.
 
Sebab cintaku hanya ketenangan
yang tak ada apa-apanya,
jika kau tak berkenan menghayatinya
dalam-dalam.
 

Joko Pinurbo: SEPOTONG HATI DI ANGKRINGAN

 
 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Sepotong Hati di Angkringan
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta.
Cetakan: I, 2021
Tebal: 80 halaman (45 puisi)
Kurator: Tia Setiadi
Penyelaras Akhir: Edi AH Iyubeni
Ilustrator dan tata sampul: Alfin Rizal
Tata Isi: Vitrya
Pracetak: Ika, Endang, Fitri
ISBN: 978-623-293-316-3
 
Kumpulan puisi ini terdiri atas 2 bagian, yaitu Sepotong Hati di Angkringan (31 puisi) dan Ibadah Mandi (14 puisi)
 
Sepilihan puisi Joko Pinurbo dalam Sepotong Hati di Angkringan
 
Bakso Sedap
 
Yang paling sedap dari bakso langgananku bukanlah
baksonya atau kuahnya, melainkan suara ting ting-nya.
Suara ting-ting-ting yang dilahirkan oleh sendok dan
mangkok. Seenak-enaknya bakso dan kuahnya, paling
pol hanya akan berumur 10 menit, sedangkan suara
ting ting-nya bisa menggema lama ke mana-mana: ke
ceruk mimpiku, ke hati ibuku, ke rongga nasibku, dan,
tentu saja, ke relung cinta-Mu.
 
Begitulah, ketika malam itu aku beli bakso, aku bilang
kepada tukang bakso, “Bisa tambah ting ting-nya, Pak?
Pak bakso bingung, diam, melongo.
 
 
Menyambut Tahun Baru
 
Hai, teman-teman terkasih, selamat pagi.
Baru mau sedih, sudah harus bahagia lagi.
 
Pandemi membuat miris dan nelangsa.
Mau misuh dan nangis, eh keliru tertawa.
 

Hasan Aspahani: DUKA MANIS

 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Duka Manis
Penulis: Hasan Aspahani
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta.
Cetakan: I, Mei 2018
Tebal: 208 halaman (99 puisi)
Penyunting: Tia Setiadi
Tata Sampul: Ferdika
Lukisan Sampul: Hasan Aspahani
Tata Isi: Kayla
Pracetak: Antini, Dwi, Wardi
ISBN: 978-602-391-537-8
 
Sepilihan puisi Hasan Aspahani dalam Duka Manis
 
Sajak dengan Beberapa Bait yang Satu
Sama Lain Tidak Ada Hubungannya
 
SEBAGAI ikan, aku tak harus bernaung dari hujan,
merenangi kesepian, selamanya, tuli dari bising suara
kalian.
 
INI bukan bulir embun, tapi air mata mataku yang
rabun. Kabut kesedihan, betapa betah bertahan.
Menunda, mempermalukan hujan.
 
SEPERTI kuliah pertama ilmu pembentukan permukaan
bumi, kesedihan adalah hujan ratusan bulan,
menggerus kesendirian, mengurat parit, kepahitan.
 
DI tepian kesepian, ada perahu kuminta menunggu,
kukira tak akan cukup untuk kita berdua, atau kau mau
kita karam saja di kanal itu?
 
KALAU kusentuh genangan kesepianmu, apakah lingkar
riaknya akan sampai ke seberang, ke tepian kesendirianku?
 
 
Tak Semata Mata dan Metafora Lainnya
 
MATAMU sepasang taman. Kelinci-kelinci
kecil berlompatan, seperti air mataku, jika
aku menangis dulu. Bulu matamu, pagar pandan.
 
Rambutmu serat-serat hujan malam. Aku
menenun dengan tangan. Sepasang balam
berdiam di pagar titian mataku-matamu.
 
Lidahmu hiu kecil merah jambu, bersirip ajaib,
yang mengecipakkan kata-kata mantra,
saat ia merenangi di teluk teduh: mulutku.
 
Alismu kebun buluh. Sebatang kutebang,
kucuri waktu petang. Nanti, di tengah sunyi,
aku mengendap datang: memancing bimbang.
 
Telingamu kupu-kupu. Kepaknya mengonserkan
partitur warna sayapnya. Ada yang ia bisikkan
selalu: larva rindu. Kelak menetas di hatimu.
 
Bibirmu kawanan angsa merah. Berenang
melingkari danau, bening dan hening. Aku?
pemburu piatu, busurku patah, habis anak panah.
 
Dadamu padat kubis, kupuja tumbuhnya
selapis-selapis. Warna putih itu, kutabung
dari terang bangkit, fajar pertama.
 

Acep Zamzam Noor: MEMBACA LAMBANG

 
 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Membaca Lambang
Penulis: Acep Zamzam Noor
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Cetakan: I, Oktober 2018
Tebal: 96 halaman (48 puisi)
Ilustrasi sampul dan isi: sukutangan
ISBN: 978-602-06-1800-5 (Digital)
 
Membaca Lambang terdiri atas Mencari Perigi (42 puisi) dan Membaca Lambang (26 puisi)
 
Sepilihan puisi Acep Zamzam Noor dalam Membaca Lambang
 
MEMBACA LAMBANG
 
Di muara kudengar langkah waktu sayap-sayup sampai
Rumpun bakau menjelma ruang yang memantulkan gema
Ketika angin kemarau berkejaran dengan gulungan ombak
Di pantai. Aku tertinggal jauh di luar batas kesementaraan
 
Sekalipun yang tampak di hadapan tinggal kabut semata
Tentu ada yang masih bisa diteroka. Aku membaca lambang
Merenungi bagaimana langit merendah dan bumi meninggi
Namun bukan sedang mengulurkan benang basah ke udara
 
Pengembaraan adalah detik-detik yang mengalir dari gunung
Diteruskan sungai ke muara. Sedang penghayatan ibarat pasir
Yang butir-butir halusnya mengembara ke tengah samudra
 
Pelan-pelan aku menyaksikan senja berubah menjadi panggung
Sebuah resital cahaya mulai dipentaskan cakrawala. Di kejauhan
Gugusan pulau menggelepar-gelepar bagaikan para penari latar
 
2017
 
 
BEDUGUL
 
Pura yang diam
Menyerap inti waktu
Dari lubuk air. Pusat sunyi
Pusaran tanpa akhir
 
Kedalaman yang biru
Menyempurnakan rindu
Pada yang satu. Wangi sesaji
Mencintai dan memberi
 
2014
 

Yudhistira ANM Massardi: JANGAN LUPA BERCINTA!

 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Jangan Lupa Bercinta!
Penulis: Yudhistira ANM Massardi
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Cetakan: I, Juni 2020
Tebal: 230 halaman (145 puisi)
Copy-editor: Teguh Afandi
Layout isi: Ryan Pradana
Desain sampul: Orkha Creative
Ilustrasi isi: Freepik
ISBN: 978-602-06-4349-6 (PDF)
 
Jangan Lupa Bercinta! terdiri atas 2017 (23 puisi), 2018-2019 (79 puisi), 2020 (43 puisi)
 
Sepilihan puisi Yudhistira ANM Massardi dalam Jangan Lupa Bercinta!
 
Sajak Bubur Ayam
 
Bubur ayam itu menu paling kaya intervensi: Jangan pakai
bawang, jangan pakai seledri, jangan pakai kacang, jangan …..
Banyakin daun bawangnya. Banyakin kacangnya… Boleh
pakai telor mentah, banyak merica, tambah tongcay, tanpa
cakue… (“Macam sudah hebat kali kau!” kata kawan dari Medan).
Maka pelajaran demokrasi harus dimulai dari tukang bubur
ayam. Biar tumpah semua selera. Biar tumpah segala nyinyir.
Seperti aneka polusi mengotori Jakarta. Seperti semua bunyi
membisingkan pagi hingga malam. Bahkan tukang parkir tak
henti teriak: “Terus…! Terus…! Terus…! Kiri…! Kiri…!” Rasa
gila terbawa mimpi. Entah apa cita-citanya waktu kecil. Entah
jadi apa pula anak-bininya nanti. Demokrasi bisa bikin gila siapa
saja. Seperti bubur ayam tanpa ayam. Tapi enak, gila!
 
Bandung, September 2019
 
 
Planetarium
 
Di planetarium
Semesta tak berhingga
Kita seperti tak ada
Tata Surya berlayar
Dalam gelap
Putih-biru berputar
Seperti film bisu
Seperti teka-teki
Tanpa waktu
 
Noktah-noktah
Serupa zarah
Dalam manzilah-manzilah
Satu arah
Mengalir seperti darah
Serupa di tubuh rapuh
Bintang-bintang redup-terang
Juga yang tak terbilang
Menuju hilang
 
Kita pun
Entah
Seolah Ada
 
Seperti tak
pernah Ada
 
Jogja, Januari 2020
 

Selasa, 27 Februari 2024

M. Faizi: JALAN KEEMPAT

 

 Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Jalan Keempat
Penulis: M. Faizi
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta.
Cetakan: I, November 2019
Tebal: 68 halaman (40 puisi)
Pemeriksa Aksara: Edi AH Iyubeni
Tata Sampul: Alfin Rizal
Tata Isi: Aira
Pracetak: Antini, Dwi, Wardi
ISBN: 978-602-391-814-0
 
Sepilihan puisi M. Faizi dalam Jalan Keempat
 
Di Makam Johann Sebastian Bach
 
Tiga langkah masuk ke makammu
tiga nada pertama Toccata und Fugue
aku menghitung ketukan jantungku
 
Kupasang indera menangkap perirana
pada ubin dan langit-langit gereja
Tiba-tiba, kesedihan dan kesunyianmu
menjadi suara di dalam bahasa
 
Di bangku kayu aku berselingar
mengamati hal-hal kecil yang kutakjub
serakan bunga di atas epitaf
Namamu: partitur yang berdenyut
“Bagaimana cara mempercayai doa?”
 
Tiga langkah keluar dari makammu
tiga nada berulang Brandenburg Concerto
Tertahan sebentar, aku menoleh ke dalam
 
Aku lalu pergi dengan tanya tertinggal
Kata-kata dan simfoni
melakukan perjalanannya, sendiri-sendiri
 
26/06/2011
 
 
Kembang-Kembang Tebu di Tepi Bondoyudo
 
Kembang-kembang tebu
bergoyang diterpa angin
mencucuk langit, melukainya
 
Daun-daun berdesakan
seperti antrian rakyat di pintu pabrik
menunggu tiupan peluit;
pesta giling,
pasar malam
beli-beli, makan-makan
hasil setahun habis semalam
 
Di sepanjang bantaran sungai Bondoyudo
rel baja, lurus dan melintangi jalan
menunggu lori mengangkut nasib
menuju takdir penentu panen
 
Kembang-kembang tebu di tepi Bondoyudo
menitikkan air mata langit
menjadi kristal, menjadi gula
yang alangkah manis rasanya:
endapan getir sengsara berabad-abad lama
 
24/05/2011
 

J.J. Slauerhoff: KUBUR TERHORMAT BAGI PELAUT

 
 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Kubur Terhormat bagi Pelaut
Penulis: J.J. Slauerhoff
Penerjemah: Hartojo Andangdjaja
Diterjemahkan dari Een Eerlijk Zeemansgraf dan sebagian dari Verzamelde Gedichten
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Bandung.
Hasil usaha penterjemahan sastra dunia yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Bank Naskah Dewan Kesenian Jakarta, 1976
Cetakan: I, 1977
Edisi elektronik: 2020
Tebal: 98 halaman (38 puisi)
Gambar jilid: A. Wakidjan
ISBN: 978-623-221-728-7
 
Sepilihan puisi J.J. Slauerhoff dalam Kubur Terhormat bagi Pelaut
 
KESELATAN
 
Tanah-tanah lama tinggal di belakang.
Gugusan-gugusan bintang
Timbul dari tepi laut dan malam:
Bunga-bunga perak, kemewahan yang luas bercabang-cabang
Yang menyemarakkan lazuardi kelewat lembut mengesan
Seperti belum pernah alam berbagi keindahan sedemikian rupa
Dengan kami yang fana, dari keturunan yang dina,
Tercipta ketika dewa-dewa bosan,
Tetapi kini buat pertama kali berbahagia – ini malam.
 
 
KAPAL TERKUTUK
 
Esok, sebelum fajar, aku akan pelan terbenam.
Kini, di awal malam, kunyanyikan ratap kematian
Atas mereka yang hidup, yang kini kubawa dalam pelayaran,
Yang dalam tidur kini, mereka pun tak mengira akan tenggelam.
 
Betapa jauh pun mereka pergi dari pantai semula,
Hidup mereka ada di darat, di mana di bawah pohonan,
Depan rumah, seorang isteri tinggal berdiri memimpikannya.
Pelayaran yang jauh membayang indah bagai dongengan.
 
Ruh mereka nanti akan timbul dari dalam gelombang,
Di mana dulu tubuh mereka yang berat meluncur turun,
Dan bagai burung tersesat, sebentar tertegun,
Kemudian ke kota-kota semula, mereka pun kembali pulang.
 
Di sana, tak terlihat, lewat rindang taman,
Mereka akan melayang-layang, dan kadang hampir terdengar mengerang
Malam-malam, bila topan membangkitkan debu tertua dan
Membuat dasar-dasar bangunan yang kokoh bergegar terguncang.
 
Pada diriku, nasib yang lebih besar berlaku:
Terlucut dari ombak-ombak kecil, angin lepas,
Laut akan memeluk dan merembesi tubuhku,
Mabuk mendesak daku hingga ke tubir-tubirnya yang luas.
 
Bila jasad mereka naik meninggalkan tubuhku,
Kurasa diriku ringan dan akhirnya bersih suci,
Ruangku yang kosong, temaliku yang tak bertuju mengigil selalu;
Kemudian kurasa haru dari sunyi yang abadi,
 
Yang hanya bertahta di tubir lautan,
Di mana tak ada gelombang dengan lekuk lengkungnya
Maupun cahaya dengan remang-samarnya mampu menembus ke sana;
Dunia tinggal kelam seperti di Awal Penciptaan.
 

Surachman R.M.: SERIBU KEKUPU

 

Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Seribu Kekupu
Penulis: Surachman R.M.
Penerbit: PT. Dunia Pustaka Jaya, Bandung, bekerjasama dengan
PT. Kiblat Buku Utama, Bandung.
Cetakan: I, Oktober 2012
Tebal: 88 halaman (62 puisi)
Perancang kulit muka: Tim kreatif Kiblat
Gambar kulit muka: lukisan karya Salim
“Wanita di Balkon” 1993,
dari buku Salim Pelukis Indonesia di Paris
(Ajip Rosidi, Pustaka Jaya, Jakarta, 2003)
ISBN: 978-979-8001-23-9 (PDF)
 
Sepilihan puisi Surachman R.M. dalam Seribu Kekupu
 
GUGURITAN LANGIT
 
Lantaran langit, manisku, gebyar gemerlap dan
pengembara malam berlayar ke ujung larut
tataplah butiran jenuh cahaya. Intan berlian,
mirah delima, safir biru, akuamarin, dan zamrut
Untaian-untaian anggur, dari cemerlang
hingga samar, tersingkap tirai penghalang
Sang pohon tak terduga di mana pucuknya
dan reranting tak tersentuh di mana tampuknya
Semua disajikan bagi segenap penghuni
di bentangan semesta dan di lazuardi luas ini
Apa boleh buat jika umur sangat terbatas
kurang dari sekejap sukma pun tumpas
 
Lantaran langit, manisku, mulai pijar
dan baru saja ia mempersembahkan fajar
Apa salahnya menghirup alam teramat jernih
dengan wajah penuh kasih senantiasa bertasbih
Dari tepi daun usia, kita tadah embun subuh
biarpun setetes buat benang hayat yang rapuh
Berkafilah sebagai musafir di gurun waktu
manusia berkendara abad menafsir jejak
Mewarisi garapan dari peradaban lalu
beban amanah biar buana tambah semarak
Begitulah sejarah mengajarkan. Sejak bahari
kita cuma bersentuhan ujung-ujung jari
 
 
MEMBACA JEJAK
 
Kutemukan, di balik kerutan waktu, setumpuk
sajakku paling tua. Jejak suara
dialirkan darah. Gemuruh
deras. Meluap di aorta belia
 
Dengan harapan sederhana
mencoba menyapa dunia. Lewat kata
yang ditempa menyampaikan salam tulus
 
Kukenali, di balik sajak-sajakku paling tua, wajah
teman-teman lama. Kuhitung satu per satu
bertegur canda bertukar cerita
tentang sayap cinta atau cakrawala biru
 
Penanggalan hari ini merujuk
bilangan windu. Sejak awal memilih kata
Entah pabila sempat menuai mestika makna
 

Pringadi Abdi Surya: SEJUMLAH PERTANYAAN TENTANG CINTA

 
 
Data Kumpulan Puisi
 
Judul buku: Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta
Penulis: Pringadi Abdi Surya
Penerbit: PT. Elec Media Komputindo, Jakarta.
Cetakan: I, 2019
Tebal: ii + 99 halaman (70 puisi)
Penata Letak: Kum@art
ISBN: 978-623-00-0382-0 (PDF)
 
Sepilihan puisi Pringadi Abdi Surya dalam Sejumlah Pertanyaan Tentang Cinta
 
Perpisahan
 
Segala hal tidak bisa bertahan sama
dalam waktu yang lama.
Biskuit dan roti, susu kaleng dan
mi instan juga punya masa
kedaluwarsa. Cinta juga
 
Tapi burung-burung yang biasa
menghilang dari pagi di Jakarta
hari itu masuk ke kamar,
lewat lubang angin di atas jendela
 
Sepasang burung gereja menusukku
dengan pandangannya
Sepasang burung gereja menyakitiku
dengan kesetiaannya
 
 
Cinta Pertama
 
Takdir kita ditulis, sejak kau angkat teleponku,
“Halo, kau adalah cinta pertamaku,
apa kau mau jadi cinta terakhirku?”
 
Tapi diam tak pernah menjadi bahasa terbaik
bagi kita untuk membincangkan
angan-angan yang cenderung rapuh
Sebuah pijakan lemah anak lelaki kurus saja akan mudah
mematahkannya dan waktu yang tak pernah bosan
menjadi peneman perjalanan akhirnya juga ikut menyerah
 
Tuhan kemudian membeli penghapus di toko seberang
Aku tahu toko itu tak punya uang kecil buat kembalian
dan memberi dua bungkus permen, rasa paling kecut.
 
Dua permen itu juga kutemukan
di depan pintu kamar, bersama
kata maaf dari Tuhan,
karena memberi kita kado perpisahan.