Data buku kumpulan puisi
Judul
: Sesaji Senyap
Penulis : Lutfi
Mardiansyah
Cetakan
: I, Juli 2013
Penerbit
: Garudhawaca, Yogyakarta.
Tebal
: iv + 52 halaman (42 puisi)
ISBN
: 978-60207949-07-2
Lukisan
sampul : “Surah Alam” Arief Kurniawan Natapradja
Perancang
sampul : Arief Kurniawan Natapradja
Penata
letak : Arief Kurniawan Natapradja
Ilustrasi
: Arief Kurniawan Natapradja
Sesaji Senyap terbagi atas 4 bagian, yaitu Laut
(12 puisi), Langit (9 puisi), Talud (11 puisi) dan Sesaji Senyap (10 puisi).
Beberapa pilihan puisi Lutfi Mardiansyah dalam Sesaji Senyap
Menjadi Senyap
--
sesaji kepada diri sendiri
Aku ingin mencatat
sesuatu sebelum aku tak dapat lagi
mengingat apa-apa;
adalah sepasang mataMu, rubi
matahari merah
jambu, tergelincir di lekuk pinggul laut.
Adalah bibirMu,
pesisir dilimbur pucuk kecup ombak,
ciuman yang tak
juga lengkap. Pada kepak koloni camar
mengarsir putih di
keluasan ungu, akulah sayap senyap.
Pada temaram kuil
terumbu, amplop-amplop kerang
di pasir, akulah
cangkang hening. Aku akan menjadi
senyap, denyut
laut yang lelap di tubuhMu.
2013
Lagu Anak-Anak
Tik tok tik tok di
dinding
diam-diam menyayat
Datang malaikat
maut
Hap!
Aku ditangkap.
2013
Bab-el-Mandeb
Siapa yang
menangis
sepanjang gerbang
ini?
Reruntuhan hari
di sungai murung
menghapal pucuk
candi
dan pangkal pagoda
Cahaya memutih
di lekuk tanggul
merah
Mungkin ada lelaki
duduk dan
menangis,
di bantaran sungai
atau di sisi
jembatan
dengan hati
berembun
menyebut namamu.
Menyebutmu dengan
nama yang basah:
siapa yang
menangis
sepanjang sejarah,
sepanjang gerbang?
2013
Di Bawah Senyummu
: untuk Inneke Soraya Amalia
/1/
Di bawah senyummu
krisan merimbun;
ujung lengkung
daun,
embun ngungun.
Angan-angan angin
tugur di alis
awan.
Turun jadi tandan
hujan.
/2/
Di bawah senyummu
ilalang meremang;
buhul dibilas bias
biru,
matari merajah
bayang.
Langut langit
tiras di sungging
samun.
Jadi gurat-gurat
isyarat
pintalan anyaman
awan.
/3/
Di bawah senyummu
cahaya berbenah;
terang hari yang
istirah,
cadik petang
dikayuh.
Kidung lembayung
lagu warna marun.
Talud laut hening,
lambat-laun.
/4/
Di bawah senyummu
purnama purna;
garam-garam malam,
serangga menggumam.
Badik bintang
seputih bahu
bianglala.
Lampus ladam
kemukus,
kayuh kabut yang
kikis.
/5/
Di bawah senyummu
ombak mereda
debur;
ikan-ikan
membangun
puri-puri terumbu.
Langkan laut
anjung kecup
mercu.
Di tepi,
langit-darat
menghapus batas
aras
2012
Yamanja
Matahari tergelincir,
mantra merah muda
ditebar di altar pasir.
Demi gapura kastilmu
yang sebiru Picasso;
taksu terumbu,
tugur tamsil ombak,
antara limbur-langsir
garam dan desah
berumah dalam
cangkang kerang.
Madah di tepi
talud, debur dan beranda pasir,
tempat berangkat
dupa doa dan litani lilin
: ada yang lembut lebih dari hakikat laut.
Demi mercu matamu,
suar penjaga debur,
pemandu perahu
yang memasrahkan
geladak pada angin
darat, layar, malam
dan kompas
konstelasi.
Karamkan cadik kecemasan,
tumbal penangkal petir,
bara badai dan sihir Siren.
Tentramlah,
Yamanja, dewi dari garis biru ibu
yang menyimpan
gema sungai Caboclo
dan peta bintang
bagi para nelayan. Terimalah,
Yamanja, tahniah
tahir, denyut di jantung
palung laut paling
hening.
2013
Surah Alam
Tentang khusyu,
tanyakan pada batu-batu, pada diamnya yang
merdu, zuhud yang
tak diumbar. (1) Tentang kidung, tanyakan pada
burung-burung,
pada pangkur pagi di ranting, memberkahi hari
dengan lagu. (2)
Tentang tangis, tanyakan pada hujan deras, pada
redanya yang
memulas palang pelangi yang mendaras. (3) Tentang
bahagia, tanyakan
pada bunga, senyum yang tak habis, sekali ditinggal
kumbang selepas
puas menghisap. (4) Tentang pasrah, tanyakan
pada arus sungai,
pada deras-lambat aliran, diturut setia ke mana
kehendak. (5)
Tentang diam, tanyakan pada hutan, pada dengung
seribu serangga,
digubahnya jadi suara senyap. (6) Tentang jujur,
tanyakan pada
sumur, pada kedalaman liang yang menggemakan
suara sebagaimana
ia diucapkan. (7) Tentang amarah, tanyakan pada
petir, pada
kilaunya yang sekejap dan gemuruh yang sejenak. (8)
Tentang keteguhan,
tanyakan pada terumbu, pada cabikan cambuk
ombak, perih yang
terajah di tubuh, sebentar kembali ke muasal. (9)
Tentang pulang,
tanyakan angin, pada kembara tanpa istirah,
debu di jemarinya
yang rindu. (10) Tentang kenangan, tanyakan
pada semak-samun,
pada belukar yang menjalar kelindan antara buah
ranum dan ulat di
tandan daun. (11) Tentang keindahan, tanyakan
pada rusa, pada
bulu dan tanduknya emas, sembunyi di suam hutan.
(12) Tentang
sesaji, tanyakan pada matahari, pada terbitnya yang
dipuja dibunga-bunga,
pada tilamnya yang disujudi sembahyang jingga.
(13) Tentang
naungan, tanyakan pada kabut, pada selimut yang
menjaga segala
mimpi dari ancaman. (14) Tentang hati, tanyakan
pada perigi, pada
pancuran air wudhu, percik sebelum kening batu
sujud dalam ibadah
khusyu. (15) Tentang kematian, tanyakan pada
kunang-kunang,
pada cahaya yang menyebar pendar, sebelum padam,
sebelum embun. (16)
Tentang keabadian, tanyakan pada cuaca dan
musim, pada mimik
yang berubah-ubah di wajah langit yang serba
rahasia. (17)
2012-2013
Gangga
Di sini batu
pertama dipancang
sebuah kota sedih
dibangun
di atas air mata
yang mengalir
dari kusut rambut
Siva.
Gangga, seandainya benar surga
adalah tempat tahir yang basah.
Sarnath
mengirimkan surat-surat,
kabar lewat gugur
daunan Bodhi,
sabda Siddharta
dekat Varanasi.
Mereka mencatat
nama dewa-dewa
sepanjang bantaran
semenanjung
dengan pucuk mawar
yang seperti
memanggil-manggil
peziarah datang ke
Allahabad,
atau pengembara
yang aus.
Gangga, seandainya benar surga
adalah tempat tahir yang basah.
Air mata siapa
mengalir
menghapus dosa-dosa?
2013
Di Bawah Bulan Tirus
- adegan untuk May Ziadah
Perempuan itu
memandang
ke dalam kabut
longgar,
mengkhayalkan garis
gerimis
dari cuaca yang
gemetar.
Masih didengarnya
putih
dibidik bulan
tirus
ke dinding zaitun
dan gurun.
Dan langit jadi
dingin
di tempat terakhir
ia bernazar;
laki-laki yang
kembali
dengan luka
yang minta diakui
luka yang terduga
dari mimpi kesumba
dengan garis
batas tak tegas.
2013
Ekaristi
Menjelmalah Engkau
tanpa ragi
di sekeping hosti.
Selepas lampus
gema lonceng.
Yahweh,
menjelmalah
kerajaanMu dalam
kalbu.
Misa mengisahkan
kembali
tubuh nestapa,
punggung yang
memanggul ajal
ke puncak Golgota.
Menjelmalah Engkau
anasir anggur
di cawan tugur.
Selepas tiga kali
Salam Maria.
Yahweh,
menjelmalah
cinta kasihMu di
pangkal lidah.
Imamat domba
jantan
gembalaan Tuhan.
Sesaji bagi gurun
pasir
yang menemu akhir.
Dalam
bayang-bayangMu.
Yahweh, kukunyah
Engkau jadi darah.
2013
Kota Suci
Kubayangkan sebuah
kota suci
yang
jalan-jalannya
disusun merah
terang bata
dan kaki peziarah
dari tiap-tiap
ayat kitab
seperti melangkah
tanpa alas di atas
aras
cahaya.
Kubayangkan sebuah
kota suci
yang menyimpan
hikayat
nubuat nabi-nabi
dan olok-olok
jemaat
yang diam-diam
mencintai
utusan biru langit
menempa hijau
bumi.
Kubayangkan sebuah
kota suci
yang masih
menyisakan
tiang-tiang dari
reruntuhan
rumah ibadah, dan
sisa-sisa bentuk
berhala
sebab tuhan tak
mukim
di patung lempung,
atau
pada ruang lengang.
Kubayangkan sebuah
kota suci
tanpa sejarah,
hanya
para penghuninya
memiliki
kubah masjid,
lonceng gereja
di dada mereka.
Kubayangkan sebuah
kota biasa
dengan
manusia-manusia
yang dadanya penuh
cahaya.
2013
Tidurlah
Tidurlah tidur bulan mengambang berenang di empang
Tidurlah tidur bangkai kupu-kupu di pucuk kembang
Tidurlah tidur kabut nyeruak dari bibir yang geming
Tidurlah tidur gema percakapan genangan di mulut gang
Tidurlah tidur pelatuk detik akan menjadi tinggal lengang
Tidurlah tidur mabuk hanya menyisakan botol-botol kosong
Tidurlah tidur sebelum malam makin sukar dipetakan
dan mimpi makin tak masuk akal
sementara tangan ibu menumbuk doa-doanya
yang bau rempah –
tidurlah
tidur
tidurlah
tidur
tidurlah
di ranjang paling empuk
di istirah paling nyenyak
kematian –
Seseorang akan membangunkanmu
dan ada sejumlah tanya tak terduga.
2013
Ziarah
Segala pemujaan ini,
sajak dan jejak
bakal berakhir di desir angin.
Kata-kata menjadi sepi,
semata hening
menindaki kecup detik
terjun ke muara diri,
pada pucuk keheningan
yang lain lagi.
Sampai di ujung kita tahu juga,
jalur buntu ini
jadi pintu pertama yang terbuka,
dan ada hidup lain lagi lebih abadi
di atas segalanya,
yang jemari syair tak bakal
sanggup menepi.
Sebatas perbandingan
tak sepadan.
Segala persembahan ini,
puisi dan sunyi
bakal berakhir dalam
sekap senyap.
Kata-kata meluntur
berlepasan,
sekadar sisa rindu
tak tersiasati lagi,
jadi duri di luka hati
paling berahi.
Sampai di puncak kita tahu juga,
ada langit, tiang-tiang
terpancang gaib, dan ada
yang lebih tinggi lagi
dari sekadar kata.
Tepi-tepi jangkauan
tak tergapai,
sebatas tangan
cuma menadah
sebatas penyair
bukan siapa,
pada akhirnya.
2012
Pohon-Pohon Palo Santo Di Galapagos
: variasi untuk Annie
Dillard
Di Galapagos, senyap seperti sayap albatros,
legiun gelombang laut merah lava
legiun gelombang laut merah lava
dan lengang laguna.
Ombak mengirim selusin cangkang kerang
dan rumput laut mati ke tabula talud,
memutihkan jejak yang sebentar di pasir,
di pesisir yang seperti fana.
Di Galapagos, dinding tebing menanggung
mural lumut. Pucat palo santo serupa
pohon buah terlarang. Barangkali, firdaus itu
pohon buah terlarang. Barangkali, firdaus itu
taman tebing tugur terumbu.
Pohon-pohon palo santo di Galapagos,
semacam amsal orang-orang kudus,
perawi sabda suci, bagi
dunia yang mendengung,
mencari muasal hening.
2013
Sesaji Senyap
Sesaji senyap ini adalah puisi,
ruang gelap-hening,
menahun menghimpun
kedip matamu.
Menahun memulas sajak-sajak
persembahan di altar candi,
kata-kata yang ranggas-gugus,
jalaran akar rindu yang rumit.
Sesaji senyap ini adalah puisi,
dada yang gemuruh
menerjemahkan batu diammu
ke dalam puisi, batu diamku.
Menahun kususun diam batu-batu
menjadi kuil menjadi kastil.
Sementara masih menanti,
kapan kau datang
dan mukim di sini.
2013
Musim Gugur
daun panas daun semi daun gugur daun dingin daun
kering daun hujan daun retak daun lusuh daun rapuh
daun goyah daun sobek daun rimbun daun sepi daun
sehimpun daun luka daun rindu daun kecewa daun aku
d d
a s i
u a g
n t u
u n
d t
a p i
u e n
n r g
j s a
a a n
t t g
u u i
h n
ada banyak
kecambah
rindu layah
ada
banyak
tunas
tunas luka
bakal
tumbuh
2012
Tentang Lutfi Mardiansyah
Lutfi Mardiansyah lahir di Sukabumi, 4 Juli 1991. Puisinya terdapat di
beberapa antologi bersama. Buku puisinya sendiri al. Dari Senja ke Malam (bersama Tirena Oktaviani, 2012), Sihir Malam (2012), dan Terlimbur Tafsir (2012).
Catatan Lain
“Membaca puisi-puisi Lutfi Mardiansyah, kata Wayan Sunarta di sampul
belakang buku, saya seperti memasuki rimba yang penuh sihir dan pesona, yang
memancar dari kerumunan metafora dan permainan bunyi. Ada banyak
ketakterdugaan, banyak kemungkinan, banyak labirin. Jika tak hati-hati, sulit
rasanya menemukan jalan keluar dari rimba kata-kata itu…”
Ya, hanya ada satu suara
itu saja yang berbicara tentang buku ini, tak ada yang lain, bahkan dari
penyairnya sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar