Data buku kumpulan puisi
Judul
: aku bukan masa depan
Penulis : Shinta
Febriany
Cetakan
: I, Juni 2003
Penerbit
: Bentang Budaya, Yogyakarta.
Tebal
: x + 64 halaman (60 puisi)
ISBN
: 979-3062-90-8
Fotografer,
perancang sampul : Titarubi
Gambar
sampul : Titarubi, karya instalasi
“The
Silence Sound of War”, 2002
Media
: keramik stoneware berglasir, kayu,
besi,
senar, lampu
ukuran
: 30 x 20 x 380 cm
Pemeriksa
aksara : Trie Hartini
Penata
aksara : Agus W. Pambudi
Prolog
: Afrizal Malna
Beberapa pilihan puisi Shinta Febriany dalam aku bukan masa depan
jumat dalam pete-pete
lelaki tua dengan
sajadah di pundaknya. pasar senggol
adalah perhentian.
menjadi lelaki tua tidak mudah, nak.
terkadang,
perempuan menciptakan kesedihan
untuk dirinya,
seperti awan yang tiba-tiba hitam, tetapi tidak
membawa hujan atau
gerimis sekalipun, mungkin
kampung menyimpan
musim yang represi dibanding
seorang suami.
pernikahan pun kembali melahirkan
istri,
berkali-kali. seorang polisi menjadi juara mengaji.
tiga orang anak
lelaki sekolah menengah pertama,
duduklah agak ke
dalam. kita tak akan pernah tahu
siapa yang
mengetuk pintu. bisa hantu, yang tiba-tiba
merampas uang
jajanmu yang pas-pasan. hantu ada di
mana-mana. hantu
bahkan ada di sekolah. ia membuat
kening seorang ibu
berkerut, ia membuat seorang
bapak tak ingin
memandang cermin. apa kau masih
bermimpi untuk
masuk sekolah, nopi?
lelaki awal tiga
puluh, kira-kira. ia lupa nama hari, tapi
di pasar sentral
ada masjid. kopiah hanya jilid kedua,
mungkin ketiga,
setelah lutut. aku tak tahu pasti. itu
menurut makna
sebuah bahasa yang mengalami
migrasi. apa yang
dia inginkan dari pertanyaan-
pertanyaan basi?
dengar, aku tinggal bersama ibu dan
ayahku di jalan
anu, kuliah di universitas anu sejak tiga
tahun lalu. apakah
otakmu mencatat jawaban itu? aku
turun duluan.
aku tak memihak eye shadow merah muda di kelopak
mataku. aku tak
memihak gincu merah jambu, tipis di
bibirku. ibuku
bilang, gula itu manis tapi jangan pulang
tengah malam.
makassar, agustus 2002
pete-pete = istilah angkot di makassar
hujan di fort rotterdam
perang membuat
sejarah dirinya, bacaan panjang
dengan tahun
kejadian untuk bahan ujian di sekolah-
sekolah. derak
kuda-kuda memisau di udara, sekali-
sekali mereka
kembali merayu batu-batu tua yang
sekarat. ada
mayat-mayat yang kehilangan tempat
tidurnya, hanya
ziarah bunga-bunga di sebuah tiang
tugu yang
berkarat.
dan mimpi-mimpi
yang berdesakan, meriap di bangku-
bangku taman.
entah mengapa, kubayangkan rama dan
shinta dalam suatu
adegan cinta. dahan-dahan pohon
ketapang menahan
matahari jatuh di atas kepala
mereka. beberapa
lembar daunnya berguguran,
menyentuh tanah.
tanah adalah rumah bagi segala
keindahan.
senja mengantar
vanessa dalam sebuah konser besar,
tapi teater dibuat
dalam kesendirian. langit berubah
warna di atasnya.
ketakutan ada di telapak tangan yang
berkeringat,
menyengat jendela-jendela raksasa yang
mengeluarkan
rintihan. mata terpaksa melihat dalam
cahaya yang
singkat, mengabaikan bunga-bunga
berwarna merah di sekelilingnya.
aku mendengar
langkah-langkah kaki. ribuan tapak
kaki. bunyi derap
langkah tentara yang berbaris. ada
laut di luar,
ombaknya mengiris pasir-pasir yang diam.
tubuhku mengirim
hujan di fort rotterdam.
makassar, oktober 1997
seorang nenek membacakan gurindam
aku mendengarkan
nenekku membacakan gurindam di
bekas kamar
kerjanya yang penuh buku-buku agama
dan kertas-kertas
yang kehilangan tujuan. ia
membacakan
gurindam dengan wajah yang mencintai.
tak ada sensasi.
aku menyukai kebaya dan kesetiaan
ekspresi nenekku.
tetapi kebaya berwarna ungu yang
dipakainya siang
itu memancarkan api yang menyebar
ke seluruh
pintu-pintu tubuhku. aku menjadi mabuk
hingga tak menutup
mataku sama sekali. mataku
menjadi hitam.
mengapa gurindam itu dibacakan
untukku?
aku mendengarkan
nenekku membacakan gurindam
tanpa air mata.
mataku tak mampu membuat telaga
untuk aku berkaca
dan kembali berpura-pura menjadi
shinta.
makassar, 1999
masa depan rindu
mengunjungimu di
malam yang keruh. angin
bersenandung malu-malu.
dengan bersijingkat
kuhampiri kau.
rindu meluap-luap. aku ingin
merayakannya
dengan dua gelas susu coklat tanpa
gula dan roti isi
keju. aku ingin merayakannya
tanpa teman,
tetapi malam menjelma kabut di matamu.
puisi untuk
seseorang yang tak pernah dibacakan
tersimpan di bawah
tumpukan majalah remaja. cahaya
bulan meranggas
pelan. sebuah psikodrama yang tak
tiba di rumah,
singgah di jalan tanpa kata. jalan kosong
yang tak ada dalam
peta masa depan kita. hampir saja
kau berlakon dan
aku menjadi penonton.
mengunjungimu di
malam yang keruh, bagai menjemput
masa depan. kering
dan lusuh.
makassar, pebruari 1998
ramalan cuaca dalam kaca
kau percaya
ramalan cuaca yang berkata bahwa hari-
hari hangat hanya
ada pada musim gugur. itu
membuatmu tak tidur
berhari-hari dan ingin bunuh diri.
di kamarku ada
orang yang bunuh diri. ia meloncat dari
sebuah gedung
tinggi samping casino dan mendarat di
public park. ia tak membaca tanda di sebuah tiang
kuning di depannya
– walk, don’t walk – kini ada pita
kuning
mengelilingi tubuhnya – police line, do
not
across –
aku tak punya
musim gugur, tetapi di kampungku ada
lumbung gandum
yang menyimpan harum padi dan
rumah panggung
dengan kandang-kandang ayam di
bawahnya.
watansoppeng, januari 1996
ensiklopedia nostalgia
lima pucuk suratmu
kubaca semua, membangunkanku
dinihari merasakan
napasmu di wajahku. bayangan
dedaunan jatuh ke
tirai jendela. seekor burung
bersenandung
murung, dan kenangan demi kenangan
bersemi lagi.
bau getah dedaunan
di luar mengembalikan renyah
tawamu yang selalu
sukar kulupakan. begitu pula rindu
yang telah usang,
meruah seketika. kau adalah cahaya
penggoda, yang
samar-samar – tanpa rasa bersalah –
menjelma menjadi
debar di jantungku.
tapi siapa yang
bisa mengira datangnya kenangan?
rasanya seperti
jika kita berkereta api tanpa arah, turun
di stasiun mana
saja.
lima pucuk suratmu
yang kubaca kembali, membuatku
khawatir (mungkin
diam-diam berharap) lao tse tetap di
sini.
makassar, desember 1999
blues losari
(bernyanyi, bernyanyilah
losari. menari, menarilah losari)
lantaran malam
menyekapmu dalam keriuhan sepetak
ombak hanya bisa
berkejaran. mungkin menemani
nelayan menjala
ikan atau mengagumi kerdip sepi
sampan-sampan.
bule-bule menikmati pisang epe
gerobakan. mendengarkan
dendang pengamen jalanan
dengan tubuh
bergoyang-goyang. tangan-tangan
tengadah
menyemburkan nasib di deru kendaraan yang
hanya menyisakan
bulan. perempuan dengan blus
tanpa lengan, rok
pendek, gincu tebal dan sepotong
ingatan tentang
tuhan. ada yang melambaikan tangan
dari balik kaca
sedan.
di losari, lelaki
dan perempuan berpendaran.
melupakan esok
bila bangun akan hujan. mereka
mungkin menderita insomnia, sebab losari penuh
khayalan dan
ciuman.
makassar, mei 1998
proteus tiruan
baru saja aku
berpikir untuk menjadi penyanyi di klab-
klab malam. Atau
mungkin lebih baik berbaring seumur
hidup di tempat
tidur dengan setumpuk buku di
sampingku, dan
berpuluh-puluh lelaki bermata sayu
yang setiap saat
dapat kupesan melalui room service.
(carilah proteus –
si anak kesayangan itu – katamu)
makassar, nopember 1998
orbis tertius tanpa nama
aku berada di
negeri antah berantah, menyanyi lagu
lagu tua bagi sepi
yang begitu sempurna, juga bagi
beberapa pemimpi
yang mempercayai nasib.
kami mempunyai
tuhan sejak negeri ini ada. para
stranieri mengganti tuhannya di setiap negeri yang
mereka singgahi.
aku berada di
negeri antah berantah, di mana para
stranieri menari penuh suka. orang lainlah yang akan
menjawab telepon
untukku, menyiangi kolbanda yang
tengah merekah di
sudut rumahku karena aku
mengalami paramnesia di sini.
aku akan bangun
esok pagi sebelum matahari datang
aku akan mandi dan
berkebun, menanam nujum di
atap-atap rumah
panggung. aku akan bangun esok
pagi di negeri
antah berantah ini.
makassar, april 2000
orbis tertius = planet bumi dalam
kosmografi jaman reinesan
stranieri = kaum pendatang
pacar pertama mesti berjanji
aku mau kau
berjanji lewat radio, tempatmu memuji
rasio dan
lagu-lagu tanpa artikulasi yang pasti –
dengan nama aslimu
bahwa – kau tidak akan berjalan
dengan siapa pun
lagi di malam hari. pulang sekolah
siang itu, aku
mengumumkan pada sister-sister,
ketika
minum “es teler
oke” di samping rumah tahanan,
tentang cinta yang
lain. mereka memandang wajahku
lekat, lalu serempak
bernyanyi – congratulations and
celebrations – mereka menggambar bibir mereka di
pipiku, membuat
aku kehilangan tingkah laku yang
biasa.
aku mau kau
berjanji – karena tak ada waktu yang
pasti untuk
mengumumkan masa depan.
makassar, desember 1996
rumah yang jauh dari rumah
aku ingin bermukim
di tubuhmu, menunggu pepohonan
tumbuh dan
berbunga warna-warni di tanah tempat kita
membuat rumah,
kelak. terkadang, laci sebuah lemari
kecil di kamarku
mengeluarkan bunyi jangkrik yang
menjerit hingga langit-langit
kamarku. terkadang, kisi-
kisi jendela aku
biarkan terbuka. aku menunggu
pengungsi datang
dan membacakan puisi tanpa rasa
takut. aku juga
menunggu nujum jatuh sebelum rasa
takut itu menjelma
laut. dua gambarku di dinding yang
kuning bersinar dingin.
aku tak ingin mengirim gambar
itu padamu.
aku ingin mengirim
debar jantungku di gaun malam
yang aku pakai
khusus untukmu. aku adalah kenyataan
dengan rumah yang
tak melukai usus penghuninya.
pada sebuah
kenyataan yang membuat suaraku parau,
ibuku mendekapku
lalu berkata, setiap rumah berdiri di
atas pulaunya
sendiri. ada barisan bidadari yang akan
menari untukmu
begitu kau bangun pagi, jangan
bersedih. kita
adalah kenyataan dengan kebetulan-
kebetulan
misterius dalam petualangan odysseus.
aku ingin bermukim
di tubuhmu, menunggu pepohonan
tumbuh dan
berbunga warna-warni di tanah tempat kita
membuat rumah,
kelak. sebuah rumah, sayang. sebuah
rumah yang
merumuskan dirinya sendiri.
makassar, agustus 2002
malka sansi
perempuan-perempuan
itu menuduhku perempuan dari
kasta perampok,
karena aku telah meninggalkan
harum keringatku
di tubuh lelaki mereka. lelaki mereka
kehausan dan
datang padaku, lalu harum keringatku
menjelma opium.
aku menyembunyikan batu di
kemaluanku. apakah
mereka tahu?
aku menyarankan
mereka berperan sebagai syahrazad yang
setiap saat
bercerita tanpa lelah, tapi tak ada
yang akan
menggantungku. aku bukan selir.
makassar, pebruari 1996
korelasi sebuah negeri
suatu malam yang
indah dan basah di bulan nopember.
penuh dengan aroma
musim dingin. aku pandangi tabi
yang menutupi
kakiku, tampak satu raksasa dan empat
anak kecil yang
menggigil. tak ada pesta memandang
bunga-bunga di
bawah pohon sakura. stasiun-stasiun
kereta menampung
disiplin yang dingin, tetapi aku
kagum dengan
gugusan bintang orion di langit mereka.
jendela merekam
orang-orang yang berjejalan di jalan,
mengenakan pakaian
perangnya lalu menanggalkan
bulan di atas
kepala mereka.
oyasuminasai.
aku tak dapat
mengingat dengan pasti, apakah negeri
ini pernah tak
berada dalam keadaan perang.
tokyo, nopember 2000
tabi = jenis kaos kaki jempolnya
terpisah
oyasuminasai = selamat malam
ibu, aku benci meragu
aku sering
bercermin di wajahmu dan merasa intim.
mungkin karena aku
melihat wajahku di situ. aku
melihat wajahku di
wajahmu, tetapi aku tak bisa
menyulam taplak
meja untuk ruang tamu kita. aku
bahkan tak bisa
menjahit sebuah lubang sempit di
celana dalamku.
aku hanya bisa matematika dan kau
suka karena aku
selalu menjadi juara kelas. sembilan
belas tahun yang
lalu kau bersumpah untuk
kehidupanku,
karena itu tak ada yang bisa bertanding
denganku untuk
mendapatkan tangan tanganmu, bahkan
bintang-bintang di kala hujan sekalipun.
aku mendengarkan
tangisanmu dengan tubuh yang
kaku. apa yang
menggerakkan tangisan itu? apa yang
mendiamkan tubuh
itu? aku tak bisa menahan ombak
yang meledak di
tubuhku, membuat porak-poranda
seluruh isi di
dalamnya, dan tangisan, tangisanmu
menjelma laut yang
membuat tubuhku mengkerut. ibu,
apakah kita telah
saling mengingkari?
ibu, aku benci
saat-saat aku mesti meragukanmu.
makassar, juli 1998
opera kanak-kanak
aku selalu
menyangka kalau cinta kita layaknya
dongeng masa
kanak-kanak, menderas sejenak lantas
mengeras di setiap
detak waktu.
makassar, desember 1996
purnama di atas rumah panggung
suatu siang di
bawah terik matahari kau membuat
rumah panggung
dengan mata yang menerawang jauh.
ini untuk purnama
yang akan menjaga jiwaku dari
matahari, katamu.
siang beranjak
pergi ketika kau usai mendirikan rumah
panggung dengan
pilar-pilar kokoh yang anggun. kau
duduk di anak
tangga memandangi ikan-ikan kecil yang
tengah
bercengkrama di kolam yang mungil. kau masuk
ke dalam kolam dan
terhanyut bersama ikan-ikan kecil
itu. aku pulang.
malam telah jatuh,
dan tanpa kau sadari sebuah
purnama mengapung
di atas rumah panggungmu.
makassar,
sinyal pada pesta karnaval
kita berada di
pesta karnaval dengan pohon-pohon di
sebelah kanan dan
kiri dari negeri para pembohong.
kau membawa balon
dan membubuhkan tanda tangan
di setiap pohon
yang kita lewati. aku membawa pita
putih dan memasang
arnal di setiap pohon sebagai
tanda pengenal.
kita tak punya kalimat untuk bertanya
dan menjawab.
kita berada di
pesta karnaval dan memasang sinyal
tebal sebagai
syarat tak normal untuk sebuah
perkenalan.
makassar, januari 1998
Tentang Shinta Febriany
Shinta Febriany Sjahrir berasal dari Soppeng, lahir di Palopo, 5 pebruari
1979, dibesarkan di beberapa kota di Sulawesi (Palopo, Soppeng, Toraja dan
Makassar). Pendidikan, fakultas Sastra Jerman Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sejak tahun 1996 bergabung dalam komunitas seni Sanggar Merah Putih sebagai aktivis teater (actor, penulis,
sutradara). Tahun 2000, melalui program japan foundation, mengunjungi beberapa
kota di Jepang dalam perjalanan pengenalan kehidupan teater di Jepang. Antologi
puisi yang memuat karyanya: moyangku
bugis (Makassar, 1999) dan bumi
impian bumi kenangan (Makassar, 2000).
Catatan Lain
Afrizal Malna menulis pengantar sebanyak 10 halaman, dan ditandai
dengan penanda: Kalimalang, 6 Nopember
2002. Katanya di suatu paragraf: “Tidak ada huruf besar, tidak ada huruf
kapital dalam seluruh puisi-puisinya. Juga tidak ada formalism tertentu dalam
pemenggalan setiap baris dalam paragraf puisi-puisinya. Puisinya datang dari
sebuah desain yang tidak ingin mengganggu mata. Seperti jahitan panjang yang
lebih mementingkan kain yang dijahit, sementara jahitan itu sendiri tidak
penting, bahkan menyembunyikannya agar tak tampak.” (hlm. ix)
Di lain tempat berbisik
seperti ini: “ desain lain dalam puisi-puisi Shinta adalah tubuh. Tubuh sebagai
pusat pemaknaan. Dalam hal ini Shinta adalah bagian dari wacana yang
menggunakan tubuh sebagai ‘super perempuan’ dalam dunia penandaan perempuan.
Namun super prempuan dalam konteks puisi-puisi Shinta bukan bagian dari
reproduksi tubuh perempuan sebagai obyek perhiasan. Tubuh perempuan di sini
lebih sebagai medan tanda: kau ingin
tahu, mengapa ada tubuh yang menyekap jiwanya dengan begitu banyak tanda.”
Begitu. Dan judul prolog
Afrizal itu adalah sebuah batu dalam kemaluanku, metafor lipatan dalam ikon-ikon perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar