Minggu, 06 Desember 2015

Shinta Febriany: AKU BUKAN MASA DEPAN




Data buku kumpulan puisi

Judul : aku bukan masa depan
Penulis : Shinta Febriany
Cetakan : I, Juni 2003
Penerbit : Bentang Budaya, Yogyakarta.
Tebal : x + 64 halaman (60 puisi)
ISBN : 979-3062-90-8
Fotografer, perancang sampul : Titarubi
Gambar sampul : Titarubi, karya instalasi
“The Silence Sound of War”, 2002
Media : keramik stoneware berglasir, kayu,
besi, senar, lampu
ukuran : 30 x 20 x 380 cm
Pemeriksa aksara : Trie Hartini
Penata aksara : Agus W. Pambudi
Prolog : Afrizal Malna

Beberapa pilihan puisi Shinta Febriany dalam aku bukan masa depan

jumat dalam pete-pete

lelaki tua dengan sajadah di pundaknya. pasar senggol
adalah perhentian. menjadi lelaki tua tidak mudah, nak.
terkadang, perempuan menciptakan kesedihan
untuk dirinya, seperti awan yang tiba-tiba hitam, tetapi tidak
membawa hujan atau gerimis sekalipun, mungkin
kampung menyimpan musim yang represi dibanding
seorang suami. pernikahan pun kembali melahirkan
istri, berkali-kali. seorang polisi menjadi juara mengaji.

tiga orang anak lelaki sekolah menengah pertama,
duduklah agak ke dalam. kita tak akan pernah tahu
siapa yang mengetuk pintu. bisa hantu, yang tiba-tiba
merampas uang jajanmu yang pas-pasan. hantu ada di
mana-mana. hantu bahkan ada di sekolah. ia membuat
kening seorang ibu berkerut, ia membuat seorang
bapak tak ingin memandang cermin. apa kau masih
bermimpi untuk masuk sekolah, nopi?

lelaki awal tiga puluh, kira-kira. ia lupa nama hari, tapi
di pasar sentral ada masjid. kopiah hanya jilid kedua,
mungkin ketiga, setelah lutut. aku tak tahu pasti. itu
menurut makna sebuah bahasa yang mengalami
migrasi. apa yang dia inginkan dari pertanyaan-
pertanyaan basi? dengar, aku tinggal bersama ibu dan
ayahku di jalan anu, kuliah di universitas anu sejak tiga
tahun lalu. apakah otakmu mencatat jawaban itu? aku
turun duluan.

aku tak memihak eye shadow merah muda di kelopak
mataku. aku tak memihak gincu merah jambu, tipis di
bibirku. ibuku bilang, gula itu manis tapi jangan pulang
tengah malam.

makassar, agustus 2002
pete-pete = istilah angkot di makassar



hujan di fort rotterdam

perang membuat sejarah dirinya, bacaan panjang
dengan tahun kejadian untuk bahan ujian di sekolah-
sekolah. derak kuda-kuda memisau di udara, sekali-
sekali mereka kembali merayu batu-batu tua yang
sekarat. ada mayat-mayat yang kehilangan tempat
tidurnya, hanya ziarah bunga-bunga di sebuah tiang
tugu yang berkarat.

dan mimpi-mimpi yang berdesakan, meriap di bangku-
bangku taman. entah mengapa, kubayangkan rama dan
shinta dalam suatu adegan cinta. dahan-dahan pohon
ketapang menahan matahari jatuh di atas kepala
mereka. beberapa lembar daunnya berguguran,
menyentuh tanah. tanah adalah rumah bagi segala
keindahan.

senja mengantar vanessa dalam sebuah konser besar,
tapi teater dibuat dalam kesendirian. langit berubah
warna di atasnya. ketakutan ada di telapak tangan yang
berkeringat, menyengat jendela-jendela raksasa yang
mengeluarkan rintihan. mata terpaksa melihat dalam
cahaya yang singkat, mengabaikan bunga-bunga
berwarna merah di sekelilingnya.

aku mendengar langkah-langkah kaki. ribuan tapak
kaki. bunyi derap langkah tentara yang berbaris. ada
laut di luar, ombaknya mengiris pasir-pasir yang diam.
tubuhku mengirim hujan di fort rotterdam.

makassar, oktober 1997


seorang nenek membacakan gurindam

aku mendengarkan nenekku membacakan gurindam di
bekas kamar kerjanya yang penuh buku-buku agama
dan kertas-kertas yang kehilangan tujuan. ia
membacakan gurindam dengan wajah yang mencintai.
tak ada sensasi. aku menyukai kebaya dan kesetiaan
ekspresi nenekku. tetapi kebaya berwarna ungu yang
dipakainya siang itu memancarkan api yang menyebar
ke seluruh pintu-pintu tubuhku. aku menjadi mabuk
hingga tak menutup mataku sama sekali. mataku
menjadi hitam. mengapa gurindam itu dibacakan
untukku?

aku mendengarkan nenekku membacakan gurindam
tanpa air mata. mataku tak mampu membuat telaga
untuk aku berkaca dan kembali berpura-pura menjadi
shinta.

makassar, 1999


masa depan rindu

mengunjungimu di malam yang keruh. angin
bersenandung malu-malu. dengan bersijingkat
kuhampiri kau. rindu meluap-luap. aku ingin
merayakannya dengan dua gelas susu coklat tanpa
gula dan roti isi keju. aku ingin merayakannya
tanpa teman, tetapi malam menjelma kabut di matamu.
puisi untuk seseorang yang tak pernah dibacakan
tersimpan di bawah tumpukan majalah remaja. cahaya
bulan meranggas pelan. sebuah psikodrama yang tak
tiba di rumah, singgah di jalan tanpa kata. jalan kosong
yang tak ada dalam peta masa depan kita. hampir saja
kau berlakon dan aku menjadi penonton.

mengunjungimu di malam yang keruh, bagai menjemput
masa depan. kering dan lusuh.

makassar, pebruari 1998


ramalan cuaca dalam kaca

kau percaya ramalan cuaca yang berkata bahwa hari-
hari hangat hanya ada pada musim gugur. itu
membuatmu tak tidur berhari-hari dan ingin bunuh diri.
di kamarku ada orang yang bunuh diri. ia meloncat dari
sebuah gedung tinggi samping casino dan mendarat di
public park. ia tak membaca tanda di sebuah tiang
kuning di depannya – walk, don’t walk – kini ada pita
kuning mengelilingi tubuhnya – police line, do not
across

aku tak punya musim gugur, tetapi di kampungku ada
lumbung gandum yang menyimpan harum padi dan
rumah panggung dengan kandang-kandang ayam di
bawahnya.

watansoppeng, januari 1996


ensiklopedia nostalgia

lima pucuk suratmu kubaca semua, membangunkanku
dinihari merasakan napasmu di wajahku. bayangan
dedaunan jatuh ke tirai jendela. seekor burung
bersenandung murung, dan kenangan demi kenangan
bersemi lagi.

bau getah dedaunan di luar mengembalikan renyah
tawamu yang selalu sukar kulupakan. begitu pula rindu
yang telah usang, meruah seketika. kau adalah cahaya
penggoda, yang samar-samar – tanpa rasa bersalah –
menjelma menjadi debar di jantungku.

tapi siapa yang bisa mengira datangnya kenangan?
rasanya seperti jika kita berkereta api tanpa arah, turun
di stasiun mana saja.

lima pucuk suratmu yang kubaca kembali, membuatku
khawatir (mungkin diam-diam berharap) lao tse tetap di
sini.

makassar, desember 1999


blues losari

(bernyanyi, bernyanyilah losari. menari, menarilah losari)

lantaran malam menyekapmu dalam keriuhan sepetak
ombak hanya bisa berkejaran. mungkin menemani
nelayan menjala ikan atau mengagumi kerdip sepi
sampan-sampan. bule-bule menikmati pisang epe
gerobakan. mendengarkan dendang pengamen jalanan
dengan tubuh bergoyang-goyang. tangan-tangan
tengadah menyemburkan nasib di deru kendaraan yang
hanya menyisakan bulan. perempuan dengan blus
tanpa lengan, rok pendek, gincu tebal dan sepotong
ingatan tentang tuhan. ada yang melambaikan tangan
dari balik kaca sedan.

di losari, lelaki dan perempuan berpendaran.
melupakan esok bila bangun akan hujan. mereka
mungkin menderita insomnia, sebab losari penuh
khayalan dan ciuman.

makassar, mei 1998


proteus tiruan

baru saja aku berpikir untuk menjadi penyanyi di klab-
klab malam. Atau mungkin lebih baik berbaring seumur
hidup di tempat tidur dengan setumpuk buku di
sampingku, dan berpuluh-puluh  lelaki bermata sayu
yang setiap saat dapat kupesan melalui room service.
(carilah proteus – si anak kesayangan itu – katamu)

makassar, nopember 1998


orbis tertius tanpa nama

aku berada di negeri antah berantah, menyanyi lagu
lagu tua bagi sepi yang begitu sempurna, juga bagi
beberapa pemimpi yang mempercayai nasib.

kami mempunyai tuhan sejak negeri ini ada. para
stranieri mengganti tuhannya di setiap negeri yang
mereka singgahi.

aku berada di negeri antah berantah, di mana para
stranieri menari penuh suka. orang lainlah yang akan
menjawab telepon untukku, menyiangi kolbanda yang
tengah merekah di sudut rumahku karena aku
mengalami paramnesia di sini.

aku akan bangun esok pagi sebelum matahari datang
aku akan mandi dan berkebun, menanam nujum di
atap-atap rumah panggung. aku akan bangun esok
pagi di negeri antah berantah ini.

makassar, april 2000
orbis tertius = planet bumi dalam kosmografi jaman reinesan
stranieri = kaum pendatang


pacar pertama mesti berjanji

aku mau kau berjanji lewat radio, tempatmu memuji
rasio dan lagu-lagu tanpa artikulasi yang pasti –
dengan nama aslimu bahwa – kau tidak akan berjalan
dengan siapa pun lagi di malam hari. pulang sekolah
siang itu, aku mengumumkan pada sister-sister, ketika
minum “es teler oke” di samping rumah tahanan,
tentang cinta yang lain. mereka memandang wajahku
lekat, lalu serempak bernyanyi – congratulations and
celebrations – mereka menggambar bibir mereka di
pipiku, membuat aku kehilangan tingkah laku yang
biasa.

aku mau kau berjanji – karena tak ada waktu yang
pasti untuk mengumumkan masa depan.

makassar, desember 1996


rumah yang jauh dari rumah

aku ingin bermukim di tubuhmu, menunggu pepohonan
tumbuh dan berbunga warna-warni di tanah tempat kita
membuat rumah, kelak. terkadang, laci sebuah lemari
kecil di kamarku mengeluarkan bunyi jangkrik yang
menjerit hingga langit-langit kamarku. terkadang, kisi-
kisi jendela aku biarkan terbuka. aku menunggu
pengungsi datang dan membacakan puisi tanpa rasa
takut. aku juga menunggu nujum jatuh sebelum rasa
takut itu menjelma laut. dua gambarku di dinding yang
kuning bersinar dingin. aku tak ingin mengirim gambar
itu padamu.

aku ingin mengirim debar jantungku di gaun malam
yang aku pakai khusus untukmu. aku adalah kenyataan
dengan rumah yang tak melukai usus penghuninya.
pada sebuah kenyataan yang membuat suaraku parau,
ibuku mendekapku lalu berkata, setiap rumah berdiri di
atas pulaunya sendiri. ada barisan bidadari yang akan
menari untukmu begitu kau bangun pagi, jangan
bersedih. kita adalah kenyataan dengan kebetulan-
kebetulan misterius dalam petualangan odysseus.

aku ingin bermukim di tubuhmu, menunggu pepohonan
tumbuh dan berbunga warna-warni di tanah tempat kita
membuat rumah, kelak. sebuah rumah, sayang. sebuah
rumah yang merumuskan dirinya sendiri.

makassar, agustus 2002


malka sansi

perempuan-perempuan itu menuduhku perempuan dari
kasta perampok, karena aku telah meninggalkan
harum keringatku di tubuh lelaki mereka. lelaki mereka
kehausan dan datang padaku, lalu harum keringatku
menjelma opium. aku menyembunyikan batu di
kemaluanku. apakah mereka tahu?

aku menyarankan mereka berperan sebagai syahrazad yang
setiap saat bercerita tanpa lelah, tapi tak ada
yang akan menggantungku. aku bukan selir.

makassar, pebruari 1996


korelasi sebuah negeri

suatu malam yang indah dan basah di bulan nopember.
penuh dengan aroma musim dingin. aku pandangi tabi
yang menutupi kakiku, tampak satu raksasa dan empat
anak kecil yang menggigil. tak ada pesta memandang
bunga-bunga di bawah pohon sakura. stasiun-stasiun
kereta menampung disiplin yang dingin, tetapi aku
kagum dengan gugusan bintang orion di langit mereka.
jendela merekam orang-orang yang berjejalan di jalan,
mengenakan pakaian perangnya lalu menanggalkan
bulan di atas kepala mereka.

oyasuminasai.

aku tak dapat mengingat dengan pasti, apakah negeri
ini pernah tak berada dalam keadaan perang.

tokyo, nopember 2000
tabi = jenis kaos kaki jempolnya terpisah
oyasuminasai = selamat malam


ibu, aku benci meragu

aku sering bercermin di wajahmu dan merasa intim.
mungkin karena aku melihat wajahku di situ. aku
melihat wajahku di wajahmu, tetapi aku tak bisa
menyulam taplak meja untuk ruang tamu kita. aku
bahkan tak bisa menjahit sebuah lubang sempit di
celana dalamku. aku hanya bisa matematika dan kau
suka karena aku selalu menjadi juara kelas. sembilan
belas tahun yang lalu kau bersumpah untuk
kehidupanku, karena itu tak ada yang bisa bertanding
denganku untuk mendapatkan tangan tanganmu, bahkan
bintang-bintang  di kala hujan sekalipun.

aku mendengarkan tangisanmu dengan tubuh yang
kaku. apa yang menggerakkan tangisan itu? apa yang
mendiamkan tubuh itu? aku tak bisa menahan ombak
yang meledak di tubuhku, membuat porak-poranda
seluruh isi di dalamnya, dan tangisan, tangisanmu
menjelma laut yang membuat tubuhku mengkerut. ibu,
apakah kita telah saling mengingkari?

ibu, aku benci saat-saat aku mesti meragukanmu.

makassar, juli 1998


opera kanak-kanak

aku selalu menyangka kalau cinta kita layaknya
dongeng masa kanak-kanak, menderas sejenak lantas
mengeras di setiap detak waktu.

makassar, desember 1996


purnama di atas rumah panggung

suatu siang di bawah terik matahari kau membuat
rumah panggung dengan mata yang menerawang jauh.
ini untuk purnama yang akan menjaga jiwaku dari
matahari, katamu.

siang beranjak pergi ketika kau usai mendirikan rumah
panggung dengan pilar-pilar kokoh yang anggun. kau
duduk di anak tangga memandangi ikan-ikan kecil yang
tengah bercengkrama di kolam yang mungil. kau masuk
ke dalam kolam dan terhanyut bersama ikan-ikan kecil
itu. aku pulang.

malam telah jatuh, dan tanpa kau sadari sebuah
purnama mengapung di atas rumah panggungmu.

makassar,


sinyal pada pesta karnaval

kita berada di pesta karnaval dengan pohon-pohon di
sebelah kanan dan kiri dari negeri para pembohong.
kau membawa balon dan membubuhkan tanda tangan
di setiap pohon yang kita lewati. aku membawa pita
putih dan memasang arnal di setiap pohon sebagai
tanda pengenal. kita tak punya kalimat untuk bertanya
dan menjawab.

kita berada di pesta karnaval dan memasang sinyal
tebal sebagai syarat tak normal untuk sebuah
perkenalan.

makassar, januari 1998


Tentang Shinta Febriany
Shinta Febriany Sjahrir berasal dari Soppeng, lahir di Palopo, 5 pebruari 1979, dibesarkan di beberapa kota di Sulawesi (Palopo, Soppeng, Toraja dan Makassar). Pendidikan, fakultas Sastra Jerman Universitas Hasanuddin, Makassar. Sejak tahun 1996 bergabung dalam komunitas seni Sanggar Merah Putih sebagai aktivis teater (actor, penulis, sutradara). Tahun 2000, melalui program japan foundation, mengunjungi beberapa kota di Jepang dalam perjalanan pengenalan kehidupan teater di Jepang. Antologi puisi yang memuat karyanya: moyangku bugis (Makassar, 1999) dan bumi impian bumi kenangan (Makassar, 2000).


Catatan Lain
Afrizal Malna menulis pengantar sebanyak 10 halaman, dan ditandai dengan  penanda: Kalimalang, 6 Nopember 2002. Katanya di suatu paragraf: “Tidak ada huruf besar, tidak ada huruf kapital dalam seluruh puisi-puisinya. Juga tidak ada formalism tertentu dalam pemenggalan setiap baris dalam paragraf puisi-puisinya. Puisinya datang dari sebuah desain yang tidak ingin mengganggu mata. Seperti jahitan panjang yang lebih mementingkan kain yang dijahit, sementara jahitan itu sendiri tidak penting, bahkan menyembunyikannya agar tak tampak.” (hlm. ix)
            Di lain tempat berbisik seperti ini: “ desain lain dalam puisi-puisi Shinta adalah tubuh. Tubuh sebagai pusat pemaknaan. Dalam hal ini Shinta adalah bagian dari wacana yang menggunakan tubuh sebagai ‘super perempuan’ dalam dunia penandaan perempuan. Namun super prempuan dalam konteks puisi-puisi Shinta bukan bagian dari reproduksi tubuh perempuan sebagai obyek perhiasan. Tubuh perempuan di sini lebih sebagai medan tanda: kau ingin tahu, mengapa ada tubuh yang menyekap jiwanya dengan begitu banyak tanda.”
            Begitu. Dan judul prolog Afrizal itu adalah sebuah batu dalam kemaluanku, metafor lipatan dalam ikon-ikon perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar